Bocah Sakti
Oleh : Wang Yu
Jilid 01
-- 1 --
Itulah malam menyeramkan.........
Awan gelap menutupi bulan sisir. Kilat berkeredepan, diselingi
oleh bunyinya guntur seolah-olah malam itu bakal turun hujan
besar.
Dalam suasana yang seram itu, ada terdengar percakapan ini :
"In-ji, malam ini cuaca jelek. Kita tak usah latihan ilmu silat."
"Terserah pada Liok Sinshe. Juga bukankah sinshe lagi sakit
?"
"Sungguh terang otakmu, In-ji. Kau bakat menjadi seorang
pandai yang selain mengerti ilmu surat juga silat sekaligus !
Ha ha ha......."
"Terima kasih. Semua ini atas didikan Liok sinshe."
Percakapan ini keluar dari sebuah rumah tua yang mencil
sendirian di atas jurang Tong-hong gay, sebelah barat gunung
Hengsan di propinsi Ouwlam.
Dalam rumah itu yang diterangi dengan dua batang lilin, cukup
terang, tampak duduk menghadapi meja seorang anak kirakira
umur 12 tahun tengah menulis. Tidak jauh dari padanya,
diatas sebuah kursi malas, ada rebah seorang laki-laki dari
usia pertengahan. Kepalanya diikat setangan dan pada kedua
belah pilingannya ada ditempel koyo.
Orang sakit itu yang dipanggil Liok Sinshe, tabib Liok, tiba-tiba
bangun dari rebahannya, jalan menghampiri si anak kecil,
duduk di bangku di depannya.
Anak kecil itu hentikan tulisannya, bangkit dari duduknya,
mendekati Liok sinshe.
"Sinshe lagi sakit, sebaiknya Sinshe rebahan saja." kata si
anak dengan roman aleman.
Liok Sinshe ketawa. Ia pegang kedua tangan si bocah, lalu
ditarik dan dipeluk dengan rupa yang sangat menyayang.
"In-ji..." bisiknya di telinga si anak.
"Ya, Sinshe," jawabnya pelan.
Hening sejenak........
Lama ditunggu, belum juga Liok Sinshe menyambung katakatanya.
Lo In, si anak kecil menjadi heran. Lebih terperanjat
pula di kala ia merasakan pipinya hangat. Itulah air, ketika ia
meraba pipinya.
Dengan pelan ia melepaskan diri dari peluknya Liok sinshe.
Hatinya dirasakan mencelos ketika ia mengawasi Liok Sinshe
bercucuran air mata. Tapi air mukanya tetap bersenyum halus.
Senyuman penuh kesayangan, yang biasa Lo In hadapi
sehari-hari selama ia berkumpul denganLiok Sinshe.
"Liok Sinshe, kau kenapa ?" tanyanya cepat.
"Anak In (In-ji)...." kaat Liok sinshe, tidak lampias suaranya,
"Sebenarnya, malam ini ingin aku menuturkan suatu
kisah......."
Baru sampai di perkataan 'kisah', tiba-tiba saja Liok Sinshe
meniup padam api lilin hingga dalam ruangan itu menjadi
gelap gulita.
Segera terdengar menyambarnya beberapa senjata rahasia,
disusul oleh suara ketawa : "Ha ha ha, Liok sinshe mau
menutur kisah si bangsat Kwee Cu Gie ! Keluar ! Mari keluar
Liok sinshe, kita bikin perhitungan hutang jiwa dua belas tahun
yang lampau. Ha ha ha, Kwee Cu Gie...... !"
Liok Sinshe dan Lo In saat itu sembunyi di bawah meja hingga
terhindar dari serentetan serangan senjata rahasia musuh
yang dilepas dari jendela. Dalam keadaan biasa, musuh tidak
mudah menyatroni rumahnya, membokong dengan senjata
rahasia. Malam itu rupanya Liok sinshe dipengaruhi oleh
cuaca buruk, membikin kupingnya yang biasanya tajam
menjadi puntul.
"In-ji," bisik Liok sinshe, "Yang datang itu Siauwsan Ngo-ok.
Mereka punya piauw yang direndam racun yang dinamai 'Ngotok
piauw', sangat berbahaya. Juga mereka sangat kejam dan
telengas, maka itu, kalau sebentar aku keluar, harap kau lari
selamatkan diri !"
Si bocah tidak menjawab. Hanya ia pegangi kencang
lengannya Liok sinshe seperti juga ia tidak ijinkan sinshe itu
keluar.
"Liok sinshe, lekas keluar. Apa kau takut ? Hmmm... malam ini
kau harus bayar jiwanya Ngo-te. Kau sembunyi........"
Tiba-tiba dari dalam rumah melesat satu tubuh keluar. Dalam
sekejapan sudah berdiri berhadapan dengan si penantang
yang tidak melanjutkan kata-katanya sampai di perkataan
"sembunyikan......", saking kaget nampak kegesitannya orang
itu.
"Aku sudah ada disini, buat apa kau begini bawel ?" kata Liok
sinshe jenaka.
"Bagus, kau harus bayar jiwanya Ngo-te kami !" kata si
penantang.
"Kau ini aneh," sahut Liok sinshe. "Memangnya kau sudah
linglung ?"
Orang itu melengak dikatakan linglung.
Liok Sinshe ketawa geli dalam hatinya, nampak orang itu
melengak heran.
"Sam-ok Cui Seng," menyambung Liok Sinshe, "aku hanya
hutang satu jiwa. Kau masih ngerembengi minta ganti. Sedang
kalian huta pada mereka yang anggauta keluarganya dibunuh,
entah berapa puluh, tidak mau ambil pusing. Apa ini bukannya
linglung perhitunganmu ? Ha ha ha........"
Si Jahat ketiga, Cui Seng mendelu hatinya mendengar katakata
Liok Sinshe, tajam menyindir atas kelakuan mereka yang
jahat.
"Sam-to, kekas beresi saja !" teriak Toa-ok Cui Peng (si Jahat
no. 1).
"Jangan kasih calon bangkai itu banyak omong !" sambung Jiok
Cui Kin (si jahat ke-2).
Liok Sinshe awas matanya, ia perhatikan sekitarnya. Nyata
selain empat musuhnya yang sudah mengurung, ia dapat lihat
masih ada beberapa orang lagi yang berdiri sedikit jauh dari
mereka.
Kalau tadi ia bersenyum-senyum saja menghadapi empat
lawannya, kini setelah dapat tahu musuhnya ada bawa bala
bantuan, tampak ia kerutkan keningnya.
"Pantas kalian berani datang, kalau kalian bawa bala bantuan"
kata Liok Sinshe jenaka.
Ia sama sekali tidak gentar kelihatannya.
"Hm !" Toa-ok Cui Peng mendengus. "Kau takut ? Aku bisa
kasih kelonggaran padamu. Nah, kau berlutut sekarang,
mengangguk sepuluh kali dihadapan kami kemudian
membunuh diri sendiri. Dengan demikian, kau dapat
selamatkan kematianmu dengan tubuh utuh.........:
"Kentut busuk !" memotong Liok Sinshe. "Dengan turutnya dua
ekor imam busuk dan sebuah kepala gundul bau dalam
keramaian malam ini, apa kalian kira aku tinggal lari ? Kalian
salah hitung, Siauwsan Ngo-ok !"
Suaranya Liok Sinshe dibikin nyaring ketika menyebutkan 'dua
ekor imam busuk' dan 'sebuah kepala gundul', hingga orangorang
yang bersangkutan mendelik matanya saking menahan
amarahnya.
Memang, malam itu kedatangan Siauwsan Ngo-ok (Lima
orang jahat dari gunung Siauw san) dikawal oleh Tiat Cie
Hweshio Hong Hui (si Hweshio Jari besi) dan Tui-Beng Kiam
Siong Leng Tojin (si pedang Pengejar Jiwa) bersama adik
seperguruannya, Jin Leng Tojin yang bergelar Pek-houw-kiam
atau si Pedang Macan Putih.
Ketiga orang suci ini, ada jago-jago kelas satu dalam rimba
persilatan. Cuma sayang sekali, mereka melakukan
perbuatan-perbuatan yang nyeleweng dari tujuan agama
hingga menimbulkan kemarahan diantara jago-jago pembela
keadilan. Diantaranya mereka bentrok dengan Liok Sinshe
dimana telah terjadi pertarungan hebat. Kesudahannya
mereka dapat dipecundangai. Sejak mana mereka menaruh
dendaman hati, mereka meningkatkan kepandaiannya untuk
mencari balas pada lawannya.
Kawanan orang-orang jahat dari Siauwsan habis sabar
mendengar kata-katanya Liok Sinshe. Mereka anggap orang
terlalu menganggap enteng.
Lekas juga Toa-ok Cui Peng hunus goloknya dan mulai buka
penyerangan.
Tadinya Liok Sinshe hendak melayani si Empat Jahat dengan
tangan kosong, tapi melihat ada backingnya, tiga jago kelas
berat, maka ia rubah niatnya semula.
Maka begitu Toa-ok membabat goloknya mengarah leher, ia
mendak berkelit. Ia tidak balas menyerang, sebaliknya ia
lompat menerjang pada Su-ok (si Jahat ke-4) yang baru saja
akan menghunus pedangnya.
Gerakan Liok Sinshe gagal untuk merampas pedang Su-ok
Cui Tie.
Sebab barusan saja ulur tangannya, tiba-tiba goloknya Cui
Seng menyelak, membacok untuk tolong saudaranya.
Su-ok Cui Tie yang mencekal pedang dengan tangan kiri
karena lengan kanannya kutung tempo hari ditabas
pedangnya Liok Sinshe menjadi sangat gusar. Musuhnya mau
merampas senjatanya.
Sambil putar pedang, ia menyerang hebat membantu saudarasaudaranya
yang mengepung Liok Sinshe. Ia sangat gemas
pada musuhnya yang sudah membuat dirinya cacad. Nekad ia
untuk menuntut balas.
Dengan jurusnya 'Tong-cu-ci-louw' -- 'Bocah menunjukkan
jalan', pedangnya menyambar ke arah tenggorokan orang.
Hebat serangan ini karena dilakukan dengan cepat. Tapi Liok
Sinshe ada lebih cepat pula, ia berkelit sambil memutar tubuh
untuk terus lompat tinggi menghindarkan serangan Toa-ok Cui
Peng yang menggunakan tipu 'Hui-hong-sauw-yap'--'Angin
puyuh menyapu dedaunan'. Goloknya yang tajam dua muka,
membabat kaki Liok Sinshe dari kiri ke kanan.
Sungguh mengerikan. Kalau saja Liok Sinshe tidak sangat
gesit, kakinya akan tertabas kuntung tanpa ampun lagi.
Belum kakinya Liok Sinshe menginjak tanah, sudah datang
serangan golok Sam-ok Cui Seng yang mengarah kaki lagi. Si
jahat ketiga itu pikir kali ini ia tidak bakal luput goloknya
membacok kai musuh sebab Liok Sinshe masih belum
menginjakkan kakinya ditanah. Cara bagaimana ia dapat
berkelit ?
Tapi perhitungan Cui Seng meleset. Tampak tubuhnya Liok
Sinshe berputar, berkelit tanpa menginjak tanah hingga ia
lolos dari bahaya.
Suatu gerakan yang indah sekali yang dinamani 'Yan-cu-tengkong'
atau 'Burung walet mumbul di udara' yang membuat
empat lawannya menjadi melongo saking heran. Pikirnya,
musuh begini liehai, apa mereka nanti berhasil menuntut balas
untuk menuntut kematian saudaranya yang kelima ? Hanya
sejenak mereka bersangsi, sebab mereka segera mengurung
lagi.
Liok Sinshe yang perhatikan gerak gerik orang, dapat tahu
lawan-lawannya agak jeri untuk melangsungkan pertandingan.
Inilah suatu keuntungan bagi lawan yang sudah unggul. Ia
tertawa gelak-gelak, lalu berkata : "Kalian percuma
mengepung aku. Hayo undang itu si kepala gundul bau dan
dua imam busuk, bantu kalian mengerubuti aku !"
"Sungguh temberang !" terdengar suaranya Tui-beng-kiam
Siong Leng Tojin. "Undangan sudah datang, tidak baik kalau
ditempuh. Mari, mari kita maju !"
Ajakan itu disusul dengan majunya ia dalam kalangan
pertempuran, diikuti oleh Pek-houw-kiam Jin Leng Tojin.
"Ha ha ha ! Kwee Cu Gie, saat mampusmu sudah diambang
pintu. Masih bersikap jumawa ? Ha ha ha h...!" teriak si
Hweshio (pendeta) Jari Besi Hong Hui sambil jalan mengikuti
di belakang dua imam kawannya.
Di lain saat, tampak Liok Sinshe sudah dikepung oleh tujuh
musuhnya.
"Liok Sinshe," kata Siong Leng Tojin, suaranya mengejeki,
"Kau mau tinggalkan pesan apa, sebelum berangkat mati ?"
Liok Sinshe tidak menjawab, ia hanya kerutkan keningnya.
Otaknya bekerja, pikirnya, menghadapi Siauw San Ngo-ok,
meskipun dengan tangan kosong tidak menjadi soal baginya.
Tapi sekarang ia harus menggempur tujuh musuh, tiga
diantaranya ada jago-jago keals berat. Tanpa senjata
bagaimana ia dapat melayani mereka ?
Diantara empat pengepungnya tadi, Ji-ok Cui Kin kelihatan
agak jeri terhadapnya. Sedang senjata pedangnya itulah yang
paling tajam diantara senjata-senjata saudaranya. Mungkinkah
karena kakinya tinggal sebelah, sebab dahulu dikutungi
olehnya hingga ia tidak dapat leluasa bergerak ?
Bagaimanapun, pikir Liok Sinshe, ia harus waspada terhadap
Ji-ok yang cara melepas piauw beracunnya paling pandai
diantara saudara-saudaranya yang lain. Matanya melirik pada
Ji-ok yang berdiri di samping kirinya Toa-ok.
"Bagaimana ?" tegur Siong Leng Tojin, sikapnya jumawa.
"Memang aku mau tinggalkan pesanan," sahut Liok Sinshe.
"Nah, lekas bicara !" girang Siong Leng Tojin.
"Sebentar, kalau tanganmu putus, harap kau jadi orang baik
selanjutnya......" Liok Sinshe berkata seraya tersenyum.
"Sret !" tiba-tiba Siong Leng Tojin menghunus pedangnya.
"Kurang ajar, kau berani main gila ? Rasakan pedangku ini ?"
teriak Siong Leng Tojin, hatinya panas. Ingin sekali ia tabas
tubuhnya Liok Sinshe kutung dua.
"Eh, nanti dahulu !" kata Liok Sinshe, sambil berkelit dari
tikaman pedang Siong Leng Tojin, "Aku masih belum bicara
habis."
"Manusia hina, tak usah kau banyak pernik !" teriak Siong
Leng Tojin penuh kemurkaan. Serangannya pun dilakukan
saling susul tidak memberikan ketika kepada lawannya yang
melayani ia dengan tangan kosong.
Liok Sinshe berlaku tenang, meskipun kelihatannya ia repot
menghindari serangan lawan yang bertubi-tubi.
Dengan mengandalkan kegesitannya, Liok Sinshe melayani
Siong Leng Tojin.
Dalam tempo singkat saja, pertempuran sudah berjalan tiga
puluh jurus tetapi Siong Leng Tojin masih belum bisa berbuat
apa-apa atas lawannya yang bertangan kosong. Diam-diam ia
kagumi ilmu entengi tubuh musuh yang sampai sebegitu jauh
ia belum dapat menyentuh walaupun hanya bajunya saja.
Kenapa yang lain-lain berdiri diam saja, tidak datang
mengeroyok ?
Itu ada sebabnya. Siong Leng Tojin orangnya sangat
temberang, memandang rendah siapa juga. Ia anggap dirinya
adalah jago pedang nomor wahid di dunia.
Apalagi sekrang ilmu pedangnya sudah meningkat, sejak pada
dua belas tahun yang lalu dipecundangi Liok Sinshe. Ia
anggap sekarang Liok Sinshe sudah bukan tandingannya lagi.
Maka ketika Siauw-san Ngo-ok minta bantuannya, ia majukan
satu syarat ialah kalau ia bertempur dengan Liok Sinshe, yang
lainnya berdiri menonton saja dahulu sampai ia kasih kode
"turun tangan", barulah dilakukan pengeroyokan.
Imam sombong ini ingin menjatuhkan Liok Sinshe dengan
kepandaiannya sendiri.
Kalau tadi ia mendesak lawannya, selewatnya tiga puluh jurus,
pelan-pelan ia berbalik kedesak hingga si Pedang Pengejar
Jiwa jadi kelabakan.
Melihat si iman sudah kedesak, kawan-kawannya ingin lantas
turun tangan. Tapi masih juga belum dapat tanda dari Siong
Leng Tojin. Sampai kemudian terdengar suara 'prang !',
pedangnya si imam jatuh ke tanah, sedang Liok Sinshe lompat
mundur jumpalitan dengan gerakan 'Kera tua jatuh dari pohon'.
"Maaf Tui-beng-kiam !" kata Liok Sinshe seraya kedua
tangannya diangkat menyoja kepada Siong Leng Tojin yang
saat itu berdiri bagaikan patung. Tak dapat ia berkata-kata,
hanya matanya saja melotot mengawasi musuhnya.
Semua orang tercengang dengan kesudahan pertempuran itu.
Meskipun sudah terdesak, tidak semudah itu Siong Leng Tojin
dijatuhkan lawannya. Ini karena salahnya sendiri. Adatnya
yang berangasan tak dapat mengendalikan kemarahannya,
ingin cepat-cepat ia menjatuhkan lawannya.
Ia menggunakan jurusnya yang paling baharu, 'Ouw in hoan
hui' --'Awan hitam bergulung-gulung', pedangnya dibulang
baling cepat ke arah muka lawan untuk membuat mata orang
kabur penglihatannya, kemudian menusuk laksana kilat ke
arah tenggorokan.
Sudah berapa banyak ia bikin terjungkal lawannya dengan
ilmu pedangnya ini. Tapi menghadapi Liok Sinshe ia mesti
bayar mahal. Liok Sinshe ada terlalu gesit, hebat ilmu entengi
tubuhnya, penglihatannya tidak jadi kabur oleh bulang baling
pedangnya. Maka ketika pedang menikam ke arah
tenggorokannya, dengan sebat Liok Sinshe berkelit sambil
lompat nyamping ke kiri, akan dari mana sebelum Tui-bengkiam
sempat menarik pulang pedangnya yang mendapat
sasaran kosong, dua jari tangan kiri Liok Sinshe dengan
totokan 'hong-bun-hiat', menotok jalan darah di bagian pundak
lawan hingga si imam gemetaran tangannya dan dengan
sendirinya, pedangnya juga jatuh ke tanah.
Dengan angkat kedua tangan, Liok Sinshe bersoja pada Siong
Leng Tojin, sebenarnya Liok Sinshe ingin mengadakan
perdamaian, pemusuhan sebaiknya disudahi saja, jangan
ditarik panjang berlarut-larut tidak habisnya. Pikirnya, jagonya
yang paling lihay sudah ia jatuhkan yang lainnya pasti akan
menurut dan hentikan nafsunya untuk menuntut balas.
Tapi sebelum ia membuka suara lebih jauh, tiba-tiba ia
rasakan ada angin menyambar dari belakang. Cepat ia buang
diri ke kanan, sambil bergulingan ia menyelamatkan diri dari
serangan piauw beracun Ji-ok Cui Kin yang datang saling
susul, dibarengi oleh teriakan Pek-houw-kiam Jin Leng Tojin,
"Turun tangan ! Semua maju, habiskan jiwa keparat itu !"
Mereka ramai-ramai memburu Liok Sinshe yang bergulingan.
Dengan beberapa lompatan enteng, mereka sudah datang
dekat dan hujani tubuh lawan alot itu dengan bacokan,
tusukan dan kemplangan.
Sementara itu........
Awan gelap dari setadian, kini semakin gelap dan..... turunlah
hujan besar.
Orang-orang jahat itu tidak hiraukan lebatnya turun hujan,
mereka bernapsu besar untuk menghabiskan jiwa musuhnya.
Apalagi, musuhnya itu kini sudah mandi darah, lengan kirinya
sudah kena kebacok, mereka jadi beringas !
Ia kumpul tenaganya, kemudian melejit bangun. Dengan
gerakan 'Elang lapar menyambar kelinci', ia menerjang pada
Ji-ok Cui Kin yang berada paling dekat padanya. Cepat Ji-ok
Cui Kin menyambut dengan pedangnya. Tapi ia kalah cepat
sebab Liok Sinshe punya dua jari dari tangan tangan kiri sudah
menotok dengan totokan 'thian-ki-hiat', jalan darah di iga
kanannya, sedang pedangnya pun lantas pindah tangan Liok
Sinshe.
Bagaikan harimau tumbuh sayap, Liok Sinshe sudah
menyerang musuh-musuhnya tanpa ampun lagi. Ia naik pitam
melihat kekejaman dan ketelengasan kawanan jahat itu ketika
menghujani ia dengan berbagai senjata.
Pedangnya berkelebatan di antara sinar kilat dan lebatnya
hujan.
Segera juga terdengar jeritan saling susul, Ji-ok Cui Kin
lehernya kesabat pedang, hampir putus, Sam-ok Cui Seng
rebah dengan kaki kanannya kutung, Pek-houw-kiam Jin Leng
Tojin terkulai, mendeprok di tanah, pundak kanannya
berlumuran darah.
Hanya ketinggalan tiga musuhnya, Tiat Cie Hweshio, Toa-ok
Cui Peng dan Su-ok Cui Tie. Mereka ciut nyalinya, nampak
kawan-kawannya rubuh saling susul sedang Tui-beng-kiam
Siong Leng Tojin masih dalam keadaan tertotok, tak bisa
diharapkan bantuannya. Hampir berbareng muncul dalam
pikiran mereka, "Lari, paling selamat !"
Demikian, mereka bertempur sambil melihat kesempatan.
Dalam keadaan murka hingga kecerdasannya meningkat, Liok
Sinshe sebenarnya tidak sukar untuk menjatuhkan tiga
musuhnya. Sayang, dari lukanya di lengan kiri, muka dan
punggung banyak mengeluarkan darah membuat ia letih dan
tenaganya menurun banyak, kegesitannya pun dengan
sendirinya agak kurang.
Untung musuh-musuhnya tidak perhatikan itu. Mereka hanya
memikirkan 'jalan lari' saja hingga perlawanan mereka juga
tidak sepenuh tenaga.
Meskipun sudah lelah, Liok Sinshe ingin takluki tiga musuhnya
itu.
Demikian, ketika goloknya Toa-ok Cui Peng membacok, ia
tidak menangkis, hanya elakan pundaknya yang diarah.
Berbareng dengan itu, pedangnya meluncur ke muka lawan
dengan gerakan 'Giok li tek hoa' -- 'Bidadari petik kembang'.
Satu jurus yang lihay sekali sebab sebelum Toa-ok Cui Peng
dapat selamatkan mukanya, hidungnya copot kena disentak
ujung pedang. Ia berkaok-kaok sambil tangan kirinya menekap
hidungnya yang gerumpung lumuran darah.
Si hweshio Jari Besi merasa tidak ungkulan layani musuhnya
yang lihai. Ia coba angkat kaki, tapi ia juga tidak luput dikasih
persen tanda mata, kupingnya yang kiri di papas pedangnya
Lok Sinshe.
Su-ok Cui Tie dari pada ia turut lari, malah jadi lemas kakinya
dan jatuh duduk. Matanya meram, mulutnya kemak-kemik
seperti yang memohon Malaikat Elmaut tidak mencabut
jiwanya.
Sesaat kemudian ia raba lehernya, masih utuh. Ia heran, lalu
membuka matanya. Kiranya Liok Sinshe sudah tidak ada
disitu, ia sedang menguber si Hweshio Jari Besi yang lari ke
tepi jurang.
Tiat Ci Hweshio berlarian di tepi jurang dikejar dari belakang
oleh Liok Sinshe. Keduanya menggunakan lari cepat (enteng
tubuh). Hujan sementara itu masih turun dengan lebatnya.
"Kepala gundul bau, apa kau bisa naik ke la..... Ayo !"
Tiba-tiba saja Liok Sinshe berteriak, tubuhnya menyusul rubuh
dan......... tergelincir masuk ke dalam jurang yang curam.
Tiat Cie Hweshio heran, lalu hentikan larinya, balik
menghampiri tempat dimana Liok Sinshe berteriak dan jatuh
ke dalam jurang. Ia lihat jurang ada demikian dalam, diukur
dari sudut ketika ia dengan kawan-kawannya mendaki Tonghong-
gay, ia yakin Liok Sinshe pasti menemui ajalnya.
Girang bukan main hatinya si Hweshio Jari Besi.
"Hahaha !! Hahaha !" ia tertawa gelak-gelak sendirian seperti
orang gila.
"Hai, kepala gundul ! Kau jangan girang dahulu.....!" tiba-tiba
suara orang menyelusup ke dalam kupingnya.
Mungkinkah itu ada setannya Liok Sinshe ? Tiba-tiba
bayangan berkelebat, keluar dari balik pohon.
Tiat Cie Hweshio makin ketakutan, tubuhnya menggigil seperti
yang diserang penyakit malaria.
Hujan mulai berhenti, cuaca agak terang tapi suasana tetap
sunyi menyeramkan dalam daerah pegunungan itu.
Si kepala gundul makin menggigil, kapan pundaknya berasa
ada yang tepuk dari belakang, ketakutannya meningkat dan si
Hweshio Jari Besi bisa jatuh semaput kalau ia tidak
mendengar suara ketawa terkekeh-kekeh, seraya berkata :
"Hweshio pecundang, kau ketakutan ?"
"Ah, Kim Popo, kau bikin aku kaget setengah mati. Hahaha !"
tertawa si kepala gundul sambil putar tubuhnya, menghadapi
orang yang jail tadi.
"Apa kalian lupa dengan pesanku ?" tanya Kim Popo.
Sejenak Tiat-ci Hweshio mengingat-ingat, "Ah, benar-benar
aku harus mati. Aku lupa benar akan pesan Kim Popo",
katanya sambil tepuk-tepuk pahanya.
"Coba kalau kalian tidak mengabaikan pesanku, siang-siang si
keparat itu sudah menjadi makanannya kawanan ular dibawah
jurang. Hihihi......." Kim Popo temberang.
Adalah ketika mendamaikan pengeroyokan atas dirinya Liok
Sinshe, Kim Popo diminta bantuannya juga. Ia bersedia
membantu, tapi tidak mau terang-terangan menggempur Liok
Sinshe, hanya dengan cara gelap ia akan menghajar musuh.
Kim Popo memang ada satu nenek jagoan. Selain ilmu
silatnya tinggi, orang takuti senjata rahasia beracunnya yang
dinamai "touw-kut-tok-ciam' atau jarum berbisa menembus
tulang' yang jarang gagal mengambil korban diwaktu ia
menggunakannya. Jarum itu disimpan dalam satu bungbung
mungil, ada alat rahasianya yang membikin jarum melesat.
Keluarnya tidak satu-satu, tapi lima batang sekaligus,
mengarah bagian tubuh si korban, atas, tengah, bawah, kiri
dan kanan, hingga korbannya sukar meloloskan diri.
Asal usulnya Kim Popo tidak seorang yang tahu, sekalipun
siauw San Ngo-ok yang menjadi anak-anak angkatnya.
Tentang cara bagaimana si Lima Jahat bisa jadi anak-anak
angkatnya Kim Popo, akan dituturkan di sebelah belakang
cerita ini.
Kelupaan akan pesan Kim Popo sebenarnya si Hweshio Jari
Besi ngebohong.
Tui-beng-kiam Siong Leng Tojin, sewaktu mereka mendaki
jurang Tong-hong-gay mengajari kawan-kawannya jangan
meladeni pesan Kim Popo memancing Liok Sinshe ke tempat
sembunyinya si nenek yang hendak membokong.
Katanya itu tidak perlu, malah akan merendahkan derajat
mereka yang sudah ada nama dalam kalangan kang-ouw.
Dengan mereka bertujuh, sudah cukup untuk membinasakan
Liok SInshe, malah dianggap kelebihan oleh imam itu, kapan
ia ingat dirinya sendiri punya kepandaian sudah meningkat
banyak. Tidak tahunya mereka dibikin kucar kacir dan Liok
Sinshe binasa ditangannya si nenek tua yang membokong
dengan jarum jahatnya.
Liok Sinshe lihai, tidak mudah ia kena dibokong orang. Kalau
saja saat itu turunnya hujan tidak mengganggu
pendengarannya yang tajam.
Tiat Ci Hweshio ajak Kim Popo untuk melihat kawankawannya.
Sesampainya di tempat pertempuran tadi, tampak
Siong Leng Tojin dan Su-ok Cui Tie tengah repot menolongi
kawan-kawannya yang luka. Si imam mukanya merah, bahkan
malu ketika menyambut kedatangannya Kim Popo.
"Maafkan, aku sudah berlaku ceroboh, melupakan pesan
Popo." Siong Leng Tojin sembari angkat tangannya memberi
hormat.
"Kalau tidak, tidak sampai kejadian begini," ia menyambung,
matanya mengawasi kepada korban-korban yang pada rebah
sambil keluarkan rintihannya, menahan rasa sakit.
Tui-beng-kiam Siong Leng Tojin belum lama ia dapat
membebaskan dirinya dari totokan Liok Sinshe, setelah
berkali-kali ia memeras tenaga dalamnya.
"Tidak apa, ini barangkali sudah takdir." sahut Kim Popo acuh
tak acuh.
Tui-beng-kiam dalam hatinya mendongkol melihat sikap
sombong si nenek tua.
Tiba-tiba Su-ok Cui Tie menghampiri Kim Popo, di depan
siapa ia tekuk lututnya berkata :
"Popo, sakit hati ini laksana dalamnya lautan, kalau Popo tidak
tolong balaskan, bagaimana kami......."
"Anak tolol !" potong Kim Popo. "Apa yang dibalas ? Musuhmu
sudah mampus masuk ke jurang, sekarang barangkali
tubuhnya tengah dikerubuti oleh ular-ular penghuni disitu.
Hihihi !"
Kaget Su-ok Cui Tie mendengar kabar itu sampai ia lompat
bangun dari berlututnya.
"Apa ini benar ?" ia cepat menanya.
Siong Leng Tojin pun turut kaget, tidak terkecuali Toa-ok Cui
Peng dan Jin Leng Tojin yang sedang merintih-rintih.
"Kalau tidak percaya, kau tanya saja si kepala gundul !" jawab
Kim Popo, sikapnya bangga sambil menunjuk kepada si
Hweshio Jari Besi.
Mereka lalu minta keterangan kepada si Hweshio, lalu ia
menuturkan ketika ia diuber-uber Liok Sinshe hampir
kecandak, tiba-tiba ia dengar musuh berteriak dan tubuhnya
roboh tergelincir ke jurang, akibat bokongan Kim Popo dengan
senjata rahasianya yang lihai.
Semua jadi kegirangan, Siong Leng Tojin sambil bersenyum
berkata, "Dengan mampusnya si keparat itu, kerugian kita
sekarang ini sudah dibayar lunas. Hahaha !"
Disamping kegirangan dan rasa puas dari kawanan penjahat
itu, ada yang menceles hatinya dan mengucurkan air mata
mendengar berita kematiannya Liok Sinshe. Siapa gerangan
orang itu ?
Itulah si bocah Lo In yang saat itu mencuri dengar dibelakang
sebuah batu besar, dimana ia mengumpat, menonton
pertandingan yang menegangkan hatinya, Liok Sinshe
dikeroyok orang banyak.
Menggunakan kesempatan orang tidak memperhatikan
dirinya, karena perhatian kawanan penjahat itu tengah
dipusatkan pada Liok Sinshe, diam-diam Lo In sudah
menyelinap di balik batu besar dimana dengan aman ia
sembunyi.
Dengan begitu, Lo In sudah tidak menurut nasehatnya Liok
Sinshe supaya ia lari untuk menyelamatkan dirinya.
Anak ini besar nyalinya. Ia sebenarnya ingin membantu Liok
Sinshe, melihat orang dikeroyok. Tapi mengingat
kepandaiannya masih rendah, terpaksa ia harus menahan
napsu amarahnya.
Lo In sudah kegirangan melihat Liok Sinshe menjatuhkan
musuh-musuhnya satu per satu. Hampir ia melompat keluar
dari tempat persembunyiannya, kalau ia tidak ingat akan
pesanan Liok Sinshe supaya ia kabur untuk menyelamatkan
diri.
Lo In tidak melihat dengan mata sendiri bagaimana Liok
SInshe dirobohkan musuhnya dan tergelincir masuk ke dalam
jurang sebab letak tempat kejadian itu ada jauh dari ia dan
juga teraling oleh pohon-pohon.
Meskipun ia menangis, ia masih sangsikan kebinasaannya
Liok Sinshe.
"Ah, dia lihai. Tidak mungkin dia binasa cuma tergelincir saja
ke dalam jurang." pikir si bocah yang percaya akan
kepandaian Liok SInshe.
Sama dengan pikiran Lo In, terdengar Siong Leng Tojin
menanya, "Popo, dia sangat lihai, mungkinkah dia
menemukan ajalnya ?'
"Hehehe !" Kim Popo ketawa. "Dia boleh lihai tapi racun jarum
mautku, dalam tempo satu jam akan antar dia menghadap
Giam-lo-ong !" Giam-lo-ong dimaksudkan adalah raja akherat.
Kata-kata Kim Popo membuat Lo In kembali sedih. Air
matanya yang barusan sudah berhenti, kembali mengucur.
Suatu kedukaan yang belum pernah ia alami.
Liok Sinshe ada terlalu baik, ramah, sangat memperhatikan
sekali paanya. Sejak ia mengetahui dirinya tak berayah ibu, ia
pandang Liok Sinshe adalah pelindungnya, sebagai gantinya
orang tua.
Sementara itu angin pegunungan meniup agak keras.
Baru sekarang Lo In sadar, bahwa pakaiannya basah kuyup.
Ia merasa kedinginan, tapi ia tidak menggubrisnya. Ia ingin
menyaksikan lebih jauh tindak tanduknya kawanan jahat itu.
Untuk memberikan pertolongan lebih jauh, korban-korbah
pedangnya Liok Sinshe diangkut masuk ke dalam rumah. Suok
Cui Tie segera pasang lilin penerangan.
Dalam pemeriksaan, Ji-ok Cui Kin sudah mati dengan leher
hampir putus. Entah dengan Sam-ok Cui Seng yang
keadaannya tidak sadarkan diri akibat terlalu banyak
mengeluarkan darah dari kaki kanannya yang tertebas
buntung. Pek-houw-kiam Jin Leng Tojin masih merintih,
sambungan tulang pundaknya yang kanan putus hingga
selanjutnya ia tak dapat gunakan lengan kanannya ini.
Toa-ok Cui Peng amat berduka, Siong Leng Tojin kertak gigi,
menampak pemandangan yang mengharukan itu. Sebaliknya,
Kim Popo acuh tak acuh sikapnya. Rupanya ia mendongkol
pada Siong Leng Tojin yang tak mau perhatikan pesannya
sehingga terjadi mala petaka itu.
"Hei, kemana dia ?" berkata Siong Leng Tojin tiba-tiba, agak
kaget romannya.
"Siapa ?" tanya Su-ok Cui TIe.
"Si bocah ! Hayo, lekas cari !" sahut Tui-beng-kiam, seraya ia
sendiri lantas bertindak melakukan penggeledahan.
Sementara orang repot mencari Lo In, adalah Kim Popo
menggeledah orang punya laci, meja, rak, buku-buku, kopor
dan lain-lain.
Kim Popo seperti lagi mencari sesuatu barang.
Siong Leng Tojin merasa heran, lalu menanya, "Popo, kau lagi
cari apa ?"
"Urusanku aku urus sendiri, urusanmu kau urus sendiri. Buat
apa banyak tanya !" sahut Kim Popo, suaranya tidak enak
didengar.
Siong Leng Tojin cuma bisa nyengir. Dalam hatinya ia amat
mendongkol, pikirnya, "Nenek gila. Kau terlalu menghina !
Tunggu, ada satu tempo, aku bikin kau tahu rasa kelihayannya
Tui-beng-kiam !"
Ia kemudian keluar untuk hindarkan bentrokan dengan Kim
Popo, pura-pura turut kawan-kawannya mencari Lo In sebab di
dalam rumah anak itu tidak diketemukan.
Kim Popo memang memandang rendah pada siapa juga,
bukan hanya pada Siong Leng Tojin seorang. Adatnya aneh,
cepat amrah, sedang kata-katanya kasar.
Orang yang tidak mengimbangi adatnya, bicara beberapa
patah dengannya, akan lantas merasa dihinakan dan menaruh
dendam hati.
Kim Popo aduk-aduk lagi apa yang sudah diperiksa waktu
Siong Leng Tojin sudah keluar. Rupanya ia penasaran barang
yang dicari belum diketemukan.
"Celaka !" katanya perlahan, alisnya berdiri, marah rupanya.
"Tidak mungkin bangsat itu bawa ke dalam jurang !" ia
meneruskan berkata-kata sendirian.
Itulah Kim Popo yang kelihatannya putus asa, tak menemui
barang yang dicari.
Lalu ia jalan keluar, akan dari depan pintu dengan beberapa
kali lompatan saja ia sudah menghilang meninggalkan rumah
Liok Sinshe.
Apa sebenarnya yang dicari oleh Kim Popo ?
Ini, kejadian pada lima tahun yang lampau. Pada hari itu lepas
lohor, cuaca agak mendung. Liok Sinshe jalan terburu-buru,
habis mencari akar-akaran obat di sekitar Siauw-san, kuatir
nanti keburu turun hujan.
Ketika ia lewati pohon cemara yang besar, tiba-tiba ia
merandek. Ia berdiri sejenak sambil pasang kuping. Ia dengar
suara beradunya senjata, seperti ada orang yang tengah
bertempur.
Setelah memperhatikan sekian lama, lalu ia menghampiri tepi
jurang, tidak jauh dari ia berdiri barusan. Ia melongok ke
bawah, tampak sebuah lembah datar dimana ada kelihatan
dua orang sedang bertempur seru.
Dengan menggunakan ilmu entengi tubuhnya, ia lompat ke
bawah mendekati tempat pertempuran untuk menyelidiki siapa
mereka yang bertempur itu. Kiranya mereka itu ada satu
nenek dan satu kakek.
Si nenek menggunakan tongkat sebagai senjatanya, sedang si
kakek bersenjata sebilah pedang panjang. Kenapa mereka
jadi bertempur, itulah ia ingin tahu.
Tapi tidak menanti lama, Liok Sinshe lantas mendengar si
kakek buka suara, "Apa kau sudah tidak kenal persaudaraan
?" katanya, seperti yang sudah kewalahan.
"Hm !" mendengus si nenek. "Baru ada persaudaraan kalau
kau serahkan barang itu !"
"Itu toh bukannya hakmu ?" kata lagi si kakek.
"Aku tidak perduli punya siapa, barang itu harus aku punyai !"
teriak si nenek.
"Ah, kau benar-benar telengas !" si kakek mengeluh.
Kelihatannya ia mulai keteter, permainan pedangnya mulai
kalut hingga si nenek dapat kesempatan untuk merangsek
lawannya dengan serangan-serangan tongkatnya yang hebat.
Melihat gelagat jelek, si kakek mecari kesempatan untuk
angkat kaki.
Pada saat si nenek menusuk dengan tongkatnya, si kakek
menyampok, kakinya menjejak tanah akan lompat mundur,
kemudian putar tubuh dan ............ lari.
"Hm ! mau lari ? Lebih sukar lolos dari Kim Popo dari pada
naik ke langit !" si nenek berseru, tangannya merogoh
sakunya, kemudian dari tangan tangan itu melesat senjata
rahasianya, lima jarum beracun menyambar berbareng.
Segera teriakan ngeri terdengar, si kakek roboh ditanah,
pedangnya terlempar jauh, sementara itu Kim Popo sudah
berdiri di depannya.
-- 2 --
"Kau mau lari dari tanganku ? Hm !" mengejek Kim Popo.
"Tidak rela aku mati ditanganmu, perempuan jahat !" memaki
si kakek.
"Kau berani maki aku ? Nih, rasai........" sambil angkat
tongkatnya hendak dipukulkan pada batok kepala orang.
"Tring !" tiba-tiba terdengar suara. Tongkat besinya Kim Popo
terdorong nyamping, mengemplang tanah hingga
berhamburan. Selamatlah batok kepala si kakek dengan
kejadian ini, tadinya ia sudah meremkan matanya untuk terima
kematian.
Sebaliknya Kim Popo bukan main marahnya, ia berteriak
seperti orang gila, "Manusia usilan, siapa kau, lekas unjuk diri
di depan Popo !"
"Aku disini, Popo." Kim Popo dengar suara di belakangnya.
Kaget ia, cepat ia putar tubuhnya. Di depannya tampak
seorang laki-laki dengan usia kurang lebih empat puluh tahun.
Mukanya putih, cakap, di atas alis kirinya ada codet sebesar
jari kelingking. Rupanya bekas barang tajam mampir disitu.
"Kau yang barusan main-main ?" tanya Kim Popo gemas.
"Benar," sahut orang itu, sambil soja mulutnya bersenyum.
"Siapa kau ?" tanya lagi Kim Popo, sikapnya galak, tangannya
sudah siap dengan tongkat besinya untuk menghajar orang
usilan yang berdiri di depannya.
"Aku yang rendah si orang she Liok," sahutnya tenang.
Kiranya Liok Sinshe yang menolok si kakek dari bahaya pecah
kepalanya.
"Binatang !" teriak Kim Popo kalap. "Terimalah hadiah ini dari
Popo !" Mulutnya berkata, tongkat besinya bekerja.
Ia menyerang lawannya tidak tanggung-tanggung. Dengan
tipu 'Tay-san-ap-teng' -- 'Gunung Agung menimpa kepala', ia
kemplang batok kepala orang dengan tongkat besinya.
Tapi bukan main terkejutnya si nenek. Serangannya gagal,
musuhnya menghilang dari depannya. Ia celigukan mencari,
panas hatinya.
"Aku disini, Popo," suara halus terdengar di belakangnya.
Kaget Kim Popo. Pikirnya, setan barangkali orang ini, yang
bisa menghilang.
Ia penasaran, tongkat besinya sudah banyak makan korban.
Masa sekarang ia mesti jatuh dalam segebrakan saja ? Ia
harus jaga nama, jangan sampai dikalahkan.
Sebenarnya, Kim Popo sudha harus tahu diri. Ia sudah kalah
jauh. Kalau lawan memang kejam, ditepuk jalan darah di
bebokongnya, ia mesti terkulai jatuh duduk.
Dasar Kim Popo bandel, ia masih mau nekad-nekadan.
Dengan jurusnya "In-li-yu-liong' atau 'Naga melayang di awan',
sambil berputar tubuh, tongkatnya menyabat ke belakang
mengarah iga orang. Serangan ini dilakukan dengan cepat,
lincah. Tapi Liok Sinshe lebih cepat dna gesit akan lompat
tinggi, mundur satu tombak.
Melihat kembali sasarannya menghilang bagai setan, Kim
Popo gemas. Ia lompat menyerang lagi, tongkatnya menyodok
ke arah perut. Liok Sinshe berkelit sambil geser kaki
kanannya, tangan kanannya berbareng menepuk tongkat yang
nyelonong lewat.
Tergetar lengannya Kim Popo. Ia rasakan nyeri. Hampirhampir
terlepas tongkat dari cekalannya, itulah tepukan Liok
Sinshe yang menggunakan tenaga dalamnya.
Cepat Kim Popo empos tenaga dalamnya, untuk
menghilangkan rasa nyeri.
"Hehe, binatang kau, boleh jgua !" kata si nenek, seraya
kerjakan lagi tongkatnya. Kali ini hendak nenamu ke arah
dada. Liok Sinshe bersenyum, ia tidak berkelit, sebaliknya
ketika ujung tongkat hampir sampai sasarannya, tiba-tiba ia
mengebut dengan lengan bajunya yang kanan, dari bawah ke
atas.
Liok Sinshe hanya gunakan tenaganya tiga bagian, tapi sudah
cukup membuat tongkatnya si nenek hampir terlepas lagi dari
cekalannya. Angin kebutan lengan baju dirasakan si nenek
menumbuk dadanya sampai rasanya susah bernapas,
lengannya juga kembali dirasakan nyeri.
Lawan terlalu alot, sudah seharusnya Kim Popo terima kalah.
Namun, dasar si nenek keras kepala. Ia masih mau coba
dengan serangannya yang terakhir. Tampak ia melemparkan
tongkatnya, matanya mendelik seram, rambutnya yang kasar
hampir pada berdiri, rupanya ia sedang mengerahkan lwekang
(tenaga dalam). Kemudian, kedua tangannya yang kurus
macam cakar bebek diangkat, tampak kukunya seperti
memanjang. Benar-benar dalam sikapnya yang menyeramkan
itu, Kim Popo bisa membikin anak kecil yang melihatnya
menjerit nangis dan jatuh pingsan.
Liok Sinshe air mukanya tetap bersenyum-senyum, tapi ia
waspada akan serangan lawan yang hebat dengan
pengerahan tenaga dalam sepenuhnya.
Si kakek yang rebah di tanah empas empis, masih sempat
membuka matanya, kaget bukan main ia melihat si nenek
kerahkan tenaganya untuk melakukan serangan maut. "Awas
!" teriaknya kepada Liok Sinshe.
Berbareng dengan perkataan "Awas !", Kim Popo sudah
menerjang sambil berseru menyeramkan, "Binatang, aku akan
adu jiwa denganmu !"
Dengan gerakan 'Beng-houw-pok-ye' -- "Harimau liar
menerkam kambing', ia lompat menerjang musuhnya. Kedua
tangannya mencengkeram kepada lawan, dadanya Liok
Sinshe pasti remuk oleh karenanya kalau serangan itu
menemui sasarannya.
Si orang she Liok tidak takut. Ia bergerak sedikit, kedua
tangannya diulur untuk menyambuti. Ia gunakan tenaganya
empat bagian yang keras untuk lawan keras. Kim Popo tahu
juga bahaya. Cepat ia tarik pulang kedua tangannya untuk
mencegah bentrokan. Ia tidak mau tangannya bentrok dengan
tangan musuh yang unggul banyak tenaga dalamnya.
Serangannya berganti, tangan kanannya diputar lalu dua
jarinya, telunjuk dan tengah bagaikan kilat nyelonong hendak
mengorek sepasang mata lawannya.
Namun, Liok Sinshe sekarang tidak mau kasih si nenek
banyak tingkah lagi. Sambil elakkan kepalanya ke kanan,
tangan kirinya bekerja. Jarinya menyentil dua jari si nenek di
bagian jalan darah tiong-ciong dan siang-yang.
Segera terdengar jeritan melengking, mengalun di sekitar
lembah itu. Itulah jeritan Kim Popo yang kesakitan, jari
telunjuknya kena disentil. Ia rasakan sakit sekali menyelusup
ke ulu hati, panas rasanya.
Berbareng dengan melengking jeritannya, kakinya menjejak
tanah, lompat ke belakang, menjauhkan diri dari lawannya,
kemudian berkata, "Binatang, lain kali kita jumpa lagi."
Setelah mengucap demikian, Kim Popo putar tubuhnya.
Dengan beberapa lompatan tubuhnya sudah menghilang dari
pemandangan.
Oleh karena jeri terhadap kelihaiannya Liok Sinshe, maka
ketika Kim Popo diminta bantuannya oleh Siauw-san Ngo-ok
dan kawan-kawannya untuk mengeroyok si orang she Liok, ia
tidak mau menempur orang dengan berterang, hanya bersedia
membantu dengan jarum mautnya, membokong dari tempat
sembunyi. Tidak ia sangka bahwa rencananya itu dibikin
kacau oleh si imam sombong Siong Leng Tojin.
Kenapa dalam pertempuran satu sama satu tadi dengan Liok
Sinshe si nenek tidak menggunakan jarum mautnya ?
Meskipun keras kepala, Kim Popo punya perhitungan akan
untung rugi. Demikian ia lihat musuh sangat lihai, juga tidak
mencelakakan dirinya, ia sangsi untuk menggunakan senjata
mautnya. Pikirnya kalau ia berhasil, tidak jadi soal. Tapi kalau
gagal, apakah Liok Sinshe tidak jadi naik pitam ? Ia sadar,
kalau mau dengan mudah Liok Sinshe dapat ambil jiwanya
bagaikan orang yang membalik tangannya. Kalau si nenek
tinggalkan perkataan 'lain kali kita jumpa pula', itulah hanya
untuk tolong mukanya dari perasaan malu.
Liok Sinshe melambaikan tangannya dengan senyum dikulum,
ketika Kim Popo ambil 'selamat berpisah', kemudian putar
tubuhnya menghampiri si kakek dalam keadaan dekat mati.
Terkejut Liok Sinshe ketika memeriksa si kakek, dua jarum
beracun sudah menembusi bagian pundak dan bebokongnya.
Pada bagian-bagain itu sudah jadi hitam, menjalar ke bagian
lagin dari tubuhnya, mungkin racun jarum sudah menembusi
tulang.
Ketika Liok Sinshe celentangi si kakek, sesudah periksa
bebokongnya, kepalanya rebah dilengannya. Keadaannya
sudah payah. Matanya meram terus. Liok Sinshe terharu
melihatnya. "Kejam...." Liok Sinshe kata dalam hatinya.
Ingin ia menolongi si kakek, namun apa daya ? Racun jahat
sudah menjadi satu dengan darahnya. Tapi bagaimana pun
juga, ia ingin coba dengan obat pilnya yang mustajab. Taruh
kata si korban tak dapat tertolong jiwanya, ia masih akan dapat
keterangan tentang siapa dirinya si kakek, manakala ia dapat
menyadarkannya dengan pertolongan obatnya.
Ketika tangannya hendak merogoh sakunya, tiba-tiba matanya
si kakek dibuka. Liok Sinshe kegirangan.
"Terima kasih atas pertolonganmu." berkata si kakek,
suaranya lemah.
"Kau siapa, lotiang ?" tanya Liok Sinshe.
"Kau kenal dengan Kwee Cu Gie ?" kakek itu tidak menjawab
pertanyaan Liok Sinshe, ia balik menanya malah.
Liok Sinshe kerutkan keningnya.
"Dia ada satu tayhiap." kata si kakek lagi, tidak menanti
jawabannya Liok Sinshe.
"Dia seharusnya memiliki barang mustika yang kubawa.
Tolong kau kasihkan ini padanya."
Tangan kanannya digerakin, maksudnya hendak merogoh
kantongnya. Tapi sia-sia ia gerakan karena tangan itu sudah
lumpuh.
"Kau siapa, lotiang ?" Liok Sinshe ulangi pertanyaannya.
"Aku....aku... She Kong..... ah....." kepalanya lantas saja
terkulai.
Liok Sinshe terharu menyaksikan kematiannya si kakek she
Kong, air matanya mengembang. Pikirnya, si kakek ini
menyebut nama Kwee Cu Gie, dimana ia kenal Kwee Cu Gie ?
Barang apakah yang hendak dihadiahkan kepada Kwee Cu
Gie ?
Pelan-pelan tangannya Liok Sinshe merogoh kantongnya si
kakek. Ia keluarkan isinya. Tidak ada apa-apa selain perak
hancur dan sebuah buku kecil yang sudah kumal. Kapan ia
baca kalimat di buku itu, tertulis empat huruf yang sudah
banyak luntur. 'Tiam hiat pit koat', terkejut hatinya Liok Sinshe.
"Tiam hiat pit koat......' katanya, tidak tegas. "Dari mana si
kakek dapatkan buku yang sangat berharga itu ?" ia menanya
pada dirinya sendiri.
Liok Sinshe bengong sejenak. Kembali dalam benaknya
muncul pertanyaan, "Ada hubungan apa dia dengan Kwee Cu
Gie ? Begitu sangat dia menghargakan si orang she Kwee,
dengan suka rela ia menghadiahkan buku pelajaran ilmu
menotok jalan darah, suatu buku 'Tiam hiat' yang menjadi
rebutan masa itu dalam Bu-lim (dunia persilatan). Dan apa
hubungannya si nenek dan si kakek, mengingat si kakek
dalam kewalahan bertempur ada mengucapkan kata-kata,
'Apa kau sudah tidak kenal persaudaraan ? Siapa Kim Popo ?
Ia tersadar dalam renungannya, ketika ia meraba si kakek
tubuhnya sudah mulai dingin. Cepat ia masukkan ke sakunya
buku mungil itu, uang perak ancur ia masukkan pula ke dalam
kantongnya si kakek. Setelah mana, dengan menggunakan
pedangnya almarhum ia mulai menggali lubang, ke dalam
mana di lain saat mayatnya si orang she Kong dimasukkan
dan dikubur rapi.
Liok Sinshe gantung pedang si kakek di pinggangnya.
Pikirnya, pelan-pelan ia mau selidiki si kakek dan akan
mengembalikannya. Sebelum angkat kaki, ia soja depan
kuburan si kakek, mulutnya kemak kemik, entah apa yang
dikatakannya.
Setelah mana, ia mendengak. Lihat cuaca memburuk dan
segera akan turun hujan kelihatannya. Ia lalu gerakan kakinya
untuk dengan ilmu entengi tubuh 'Pat pou kan siam' atau
'Delapan tindak mengejar tenggeret', ia meninggalkan tempat
itu.
Liok Sinshe tidak tahu kalau gerak geriknya diintip orang.
Itulah Kim Popo yang balik lagi dengan diam-diam. Ia
penasaran untuk dapatkan barang dari tangan si kakek
diganggu orang. Lari belum jauh, ia putar tubuhnya kembali ke
tempat tadi. Cuma ia tidak berani datang dekat. Diatas, dari
jarak beberapa tombak, ia memasang mata atas gerak gerik
Liok Sinshe.
Gusar bukan main si nenek di waktu melihat Liok Sinshe
memegang buku yang bentuknya mungil yang kemudian
dimasukkan ke dalam sakunya. Itulah justru barang yang ia
arah dari si kakek.
Sekarang barang itu sudah berada di tangan orang lihai.
Bagaimana ia dapat mengambilnya pulang ? Dari marah ia
menjadi lesu, hanya melongo mengawasi orang berlalu
dengan ilmu entengi tubuh. Untuk menyusul, menguntit, ilmu
entengi tubuhnya dibawah Liok Sinshe.
Dengan perasaan sakit hati, ia turun ke bawah untuk ambil
pulang tongkatnya kembali. Mulutnya bergerak-gerak dan
matanya melotot pada kuburannya si kakek seolah-olah ia
sedang mencaci maki si orang she Kong. Saking gemas
malah, ia sudah kemplang tiga kali kuburannya si kakek, akan
kemudian dengan uring-uringan ia berlalu dari tempat itu.
Belum berapa jauh, ia rasakan hujan mulai gerimis. Ia cepati
jalannya untuk mencari tempat meneduh. Dari kejauhan,
jalannya ke selatan. Ia melihat ada bangunan rumah berhala.
Ia lari ke sana, untuk meneduh, menyingkir dari serangan
hujan besar yang saat itu sudah mulai turun dengan lebatnya.
Ketika ia datang dekat, hatinya merasa heran melihat rumah
berhala itu dijaga oleh banyak orang yang bersenjata tajam.
Orang yang keluar masuk juga pada bawa senjata masingmasing.
Ada apa gerangan disitu.
Ia jalan terus ke sana, sampai tiba-tiba ada yang menegur
dibalik satu pohon, "Hei, nenek tua, kau mau kemana ?"
Kim Popo menoleh, dilihatnya ada dua orang bermuka bengis
tengah mengawasi kepadanya. Kim Popo yang adatnya aneh,
cepat marah, menjadi tidak senang.
"Apa mentang-mentang kalian bawa golok, begini caranya
menegur seorang tua ?' sahutn si nenek, tidak enak dilihat
mukanya yang kehujanan.
Dua orang jaga itu, yang satu tinggi kurus, temannya gemuk
pendek berewokan.
"Kita tanya benar-benar, bolehnya dia marah. Hahaha !" kata
si gemuk pada kawannya.
"Hmm !" mendengus Kim Popo.
Matanya pelototi si gemuk, kakinya bergerak. Ia mau jalan
terus, tapi si kurus menghadang cepat-cepat. "Nenek tua, kau
jangan tidak tahu diri !" bentaknya, seraya goloknya
dilintangkan di depan Kim Popo, menghalangi untuk berjalan.
"Trang !" segera terdengar golok di kemplang tongkat.
"Aiyoo !" si kurus berteriak, sambil tangan kirinya memegangi
lengan kanannya yang dirasakan sakit bukan main, goloknya
jatuh nancap di tanah. Ia merintih teraduh-aduh, mukanya
pucat mengawasi Kim Popo yang tampak tertawa terkokohkokoh.
Si gemuk bengong sejenak, melihat kawannya dikerjai si
nenek. Dengan gusar ia menyerang Kim Popo dengan
goloknya. Sayang, tenaganya besar tapi tidak ada 'isi' (pandai
silat). Maka satu tangkisa keras dari tongkatnya Kim Popo
cukup bikin ia berkaok-kaok persis macam kawannya tadi.
Lengannya gemetaran, sakitnya bukan main nyelusup ke
jantung.
Si nenek setelah mendupak si gemuk, sampai meloso
mencium lumpur, lalu angkat kaki pergi. Melihat itu, si kurus
masih sempat kasih tanda 'bahaya' pada kawan-kawannya
dengan suitannya.
Sebentar saja dari balik beberapa pohon keluar orang-orang
jaga dengan golok terhunus, mencegat jalannya Kim Popo.
"Kurang ajar !" maki Kim Popo dalam hatinya. "Kalian kalau
tidak dikasih hajaran, memang tidak kenal kelihaian aku si
nenek."
Lalu dengan ilmu entengi tubuh, ia kelit sana sini dari bacokan
orang-orang yang merintangi jalannya. Tongkatnya yang berat
enam puluh kati berkelebatan diantara hujan lebat. Teriakanteriakan
mengerikan terdengar saling susul dari orang-orang
yang menjadi korban tongkatnya yang berat itu.
Banyak korban jatuh, sedang si nenek dengan seenaknya
jalan berlenggang menghampiri kuil yang dijaga ketat. Orangorang
jeri melihat si nenek demikian lihai, maka mereka pada
minggir dan di lain saat si nenek sudah ada dalam kuil. Tapi,
sebelum ia bertindak lebih jauh, dari jurusan pintu, satu orang
tinggi besar menghadang di depannya.
"Hehe ! Masih ada juga yang minta dikemplang !" jengek Kim
Popo.
"Kau boleh bertingkah di antara orang-orang kami yang tidak
berguna, tapi di depanku, hmm !" kata si orang tinggi besar,
sikapnya jumawa.
Kim Popo sebal melihat tingkahnya.
"Jadi, kau mau apa ?" bentaknya keras.
Sementara menanya, matanya Kim Popo jelalatan melihat ke
sekitar ruangan.
Kiranya kuil itu adalah rumah berhala tua, rupanya sudah tidak
diurus lagi karena disana sini tampak banyak rusak dan bocor.
Sejauh yang dapat ia lihat, di sebelah dalam ada duduk dua
orang menghadapi meja, satu bermuka berewokan, tengah
mengusap-usap brewoknya yang tebal, satunya lagi bermuka
bengis, berhidung panjang. Di samping dan belakang mereka
ada berdiri beberapa orang dengan senjata di tangan masingTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
masing, siap untuk digunakan.
Di depan mereka ada dua orang tengah berlutut dengan
masing-masing kedua tangannya di ikat ke belakang.
Entahlah, apa yang sudah terjadi. Tapi dari pemandangannya,
Kim Popo dapat menduga bahwa si berewokan dan si hidung
panjang tengah memeriksa dua orang yang berlutut dengan
tangan ditelikung.
Si orang tinggi besar yang mencegat Kim Popo tertawa gelakgelak,
sebelum menjawab pertanyaan Kim Popo yang
menantang.
"Nenek tua, kau kenali aku siapa ?" ia malah balik menanya.
"Di lihat romanmu, kau ini bukan orang baik-baik". jengek Kim
Popo ketus.
"Nenek celaka !" teriak si tinggi besar. "Buka matamu dan
kenali, aku ada sam-taunia dari gunung Siauw-san !"
Dengan menyebut 'sam-taunia (pemimpin ketiga) dari
Siauwsan' si orang tinggi besar kira orang akan jadi kaget,
tubuhnya gemeteran karena itulah Sam-ok Cui Seng, si Jahat
ketiga yang tersohor paling bengis dan telengas diantara si
Lima Jahat dari Siauwsan (Siauwsan Ngo-ok).
Sam-ok Cui Seng ternyata salah hitung.
Si nenek bukan gemetaran, sebaliknya tertawa terpingkalpingkal.
Mendelu bukan main hatinya Sam-ok Cui Seng.
"Apa yang kau ketawai, nenek gendeng ?" bentaknya.
"Tepat dugaanku, kau ini orang jahat !" sahutnya kontan.
Sam-ok Cui Seng tidak tahan meluap amarahnya. Dengan
'Elang lapar menyambar kelinci', ia menubruk Kim Popo.
Tangan kanannya mencengkeram dada, sedang tangan kiri
bekerja untuk merebut tongkat si nenek.
Cepat gerakan itu dilakukan Sam-ok Cui Seng hanya sayang
ia kalah cepat. Bukan saja tongkat si nenek gagal direbut,
malah kepalanya hampir pecah digaplok tangan Kim Popo
yang keras, kalau saja ia tidak keburu mengelakkan
kepalanya.
Sam-ok Cui Seng terkejut serangannya gagal, malah
kepalanya hampir digempur pecah. Ia lompat mundur,
mengawasi si nenek yang ketawa haha hihi.
Sambil menunjuk dengan tongkatnya, Kim Popo berkata,
"Badanmu memang tinggi besar, menyeramkan tapi tidak ada
'isi'. Buat main-main dengan Kim Popo, kau bukan
tandinganku. Lekas kumpulkan saudara-saudaramu untuk
mengerubuti aku !"
Bukan main gusarnya Sam-ok Cui Seng ditantang demikian.
Pikirnya, mungkin barusan ia kurang cepat gerakannya
lantaran terlalu enteng memandang lawan.
Ia penasaran, cuma sangsi kalau ia lawan si nenek dengan
tangan kosong. Maka itu ia mencabut goloknya, berkata,
"Jangan temberang. Lihat golok !"
Perkataan Sam-ok Cui Seng disusul dengan satu sabatan
golok pada pinggang.
Kim Popo ketawa terkekeh-kekeh sambil tubuhnya dengan
enteng lompat tinggi mengelakkan serangan, terputar
sebentaran baru turun menginjak lantai lagi. Sam-ok Cui Seng
merangsek, goloknya menyerang bertubi-tubi. Ia mainkan ilmu
goloknya 'Ngo-houw-toan-bun-to' atau 'Lima macan menjaga
pintu'. Tidak ia memberi kesempatan untuk Kim Popo perbaiki
posisinya.
Tapi pengalaman bertempur, Kim Popo jauh diatas Sam-ok
Cui Seng. Ilmu goloknya 'Lima macan menjaga pintu' yang
belum tamat, mana dapat membuat susah pada si nenek
kosen yang menggunakan ilmu entengi tubuhnya baik sekali.
Kim Popo ingin mencoba tenaga dalamnya si Jahat ketiga.
Golok lawan yang mengarah dadanya, ia kelit nyamping ke
kanan, dari mana tongkatnya digeraki menangkis golok dari
bawah ke atas dengan tipu "Lutung hitam petik buah'. "Trang !"
terdengar suara bentrokan dua senjata, goloknya Sam-ok Cui
Seng terlempar jauh ke atas kemudain turun lagi menghajar
lantai, sehingga menerbitkan suara keras.
Sam-ok Cui Seng tampak berdiri menjublak, lengannya yang
barusan mencekal golok gemetaran, sakit bukan main.
Matanya melotot mengawasi Kim Popo yang tengah terkekehkekeh
tertawa.
Sekonyong-konyong si nenek merasa ada angin menyambar
dari belakang.
Ia duga akan datangnya senjata rahasia. Cepat ia lompat
nyamping ke kiri. Benar saja, itulah piauw beracun yang
dilepas oleh Ji-ok Cui Kin. Kalau si nenek selamat dari piauw
beracun, adalah orangnya Siauwsan Ngo-ok yang berdiri di
depan Kim Popo menjerit dan jatuh rubuh. Ia terkena senjata
piauwnya Ji-ok Cui Kin tepat sekali, tidak ampun lagi, ia roboh
tidak berapa lama. Tubuhnya berkelojotan dan rohnya segera
terbang.
Berbareng dengan dilepas senjata rahasianya, Ji-ok Cui Kin
enjot tubuhnya melesat, tancap kaki didepannya Kim Popo
yang barusan saja memutar tubuhnya untuk melihat siapa
yang melepas senjata rahasia tadi.
"Nenek tua !" bentak Ji-ok Cui Kin gusar. "Kau datang menhina
kami, apa maksudmu ? Apa kau kira mudah keluar dari kuil ini
setelah kau mengacau ?"
Kim Popo awasi orang di depannya. Ternyata ia tidak lain
adalah si hidung panjang yang duduk berduaan dengan si
berewokan di sebelah dalam. Ia berdiri diatas sebelah kakinya
yang kanan karena kaki kirinya kutung sebatas dengkul.
"Kau yang melepaskan piauw barusan ?" tanya Kim Popo,
keningnya mengkerut.
"Tidak salah !" sahut Ji-ok sambil menepuk-nepuk dadanya.
"Bagus !" teriak Kim Popo, tongkatnya berbareng diangkat
untuk mengemplang batok kepala Ji-ok Cui Kin, tetapi Ji-ok
cepat menangkis dengan pedangnya. Dua senjata saling
bentur hingga meletikkan bunga-bunga api.
"He he, boleh juga tenagamu," kata Kim Popo ketika melihat
pedang lawannya masih tetap tercekal ditangannya.
"Sambutlah ini !" si nenek melanjutkan kata-katanya seraya
gerakkan tongkatnya menyodok ke arah punya 'gudang
makanan' (perut), menuju jalan darah "Liong-kek-hiat'.
Ji-ok Cui Kin tidak takut. Ketika ujung tongkat sampai ia
mengegos, pedangnya dipakai menekan. Kemudian
diserosotin untuk memapas tangan yang mencekal senjata
berat itu. Inilah gerakan yang dinamai 'Tok coa poan cu' atau
'Ular berbisa melilit tiang', satu jurus yang berbahaya sekali
bagi lawannya, ialah akan terpapasnya tangannya.
Melihat gelagat jelek, Kim Popo cepat tarik pulang tongkatnya,
lompat ke samping kiri musuhnya, akan dari mana tongkatnya
bekerja menotok pada jalan darah di iga. Serangan ini
dilakukan cepat sekali hingga Ji-ok Cui Kin gugup untuk
menangkisnya. Dalam bahaya dia. Tapi ada bintang penolong
yang datang tiba-tiba. Itulah Toa-ok Cui Ping, si berewok tadi
yang menolongi saudaranya menangkis tongkat Kim Popo
dengan goloknya. Sementara itu Ji-ok Cui Kin sudah lompat
menjauhkan diri.
Kim Popo marah, alisnya berdiri. Ia penasaran sekali pada
orang yang sudah gagalkan serangannya yang hampir
berhasil Ia mengawasi Toa-ok dengan roman yang geregetan
sekali. Maka tidak banyak omong lagi, ia angkat tongkatnya
menyerang si berewok.
"Tahan !" kata Toa-ok Cui Peng sambil berkelit dari serangan
dan lompat mundur empat tindak.
"Binatang, kau mau omong apa lagi ?" bentak Kim Popo kasar.
Toa-ok Cui Peng angkat tanganya bersoja, katanya, "Maafkan,
aku Cui Peng kurang hormat. Tapi tolong jelaskan apa sebab
kau orang tua datang mengacau disini ?"
"Aku mengacau ? Hm ! Kau tanya orang-orangmu sendiri
tanpa sebab sudah datang mengeroyok padaku, memangnya
aku orang apa ?" jawab si nenek mendongkol.
Cui Peng dapat memahami duduknya kejadian. Memang
kesalahan dipihaknya, orang-orangnya suka berlaku
sewenang-wenang dan perbuatan meraka justru kali ini 'kena
batunya' menemui si nenek kosen.
Ia tidak menjawab si nenek yang balik menanya, sebaliknya ia
berkata lagi, "Aku mengagumi kepandaianmu, orang tua !
Untuk menyingkat waktu, bagaimana kalau pertempuran
dengan senjata dirubah dengan pertaruhan ?"
"Kau mau bertaruh apa ?" tanya Kim Popo, suaranya tidak
sekasar tadi. Rupanya ia measa si berewokan ini, meskipun
kelihatannya bengis kasar, tiap pertanyaannya diucapkan
dengan sopan santun.
"Begini saja," sahut Cui Peng, "kita bertaruh dalam dua babak.
Kalau aku menang, kau harus meninggalkan kuil ini tanpa
syarat."
"Kalau aku yang menang ?" Kim Popo memotong
pembicaraan orang yang belum habis.
"Kalau yang yang menangi, kami tiga saudara akan berlutut di
depanmu dan angkat kau orang tua menjadi ibu angkat kami.
Akur !" sahut Cui Peng ketawa.
Si nenek termenung sebentar.
"Baiklah, bagaimana caranya bertaruh ?" Kim Popo menanya.
"Babak pertama, kita masing-masing menghadapi batu besar.
Siapa yang memukul lebih patah pada batunya masingmasing,
dialah yang menang." menerangkan Toa-ok Cui Peng.
Dan babak yang kedua, kita masing-masing menghadapi dua
batang besi. Siapa yang dapat menekuk atau mematahkan,
dia yang menang."
Kim Popo kembali temenung. Ia tidak sadar bahwa ia tengah
diliciki oleh Toa-ok Cui Peng. Si berewok memang ada ahli
'Gwakang' (tenaga luar) disamping ia mempelajari juga
lwekang (tenaga dalam). Ia sangat andalkan tenaganya yang
seperti raksasa. Pikirnya, si nenek yang kurus kering seperti
yang kurang makan itu, pasti dengan mudah dikalahkan
olehnya.
Si berewok sangat licin. Ia tahu kepandaiannya Kim Popo ada
di atas mereka tiga saudara dan bila si nenek dikerubuti,
belum tentu mereka akan peroleh kemenangan. Pikirnya dari
pada buang tempo, malah bisa-bisa mendapat celaka, lebih
baik si nenek ia ajak bertaruhan untuk jurusan yang ia
andalkan, yang ia percaya seratus persen Kim Popo akan
tergelincir kalah hingga ia boleh angkat kaki dari kuil itu tanpa
adu senjata lagi.
Setelah termenung, Kim Popo berkata lagi, "Kalau kau kalah,
tak usah ganti berbahasa pakai ibu segala, cukup kau orang
memanggil 'Popo' (nenek) saja."
"Bagus, kami menurut saja kau orang tua punya kemauan."
jawab Cui Peng merendah sambil anggukan kepala.
"Nah, kau unjukkan dimana barangnya yang hendak
digunakan sebagai sasaran bertaruh." tanya Kim Popo.
"Oh, itu ada di belakang kuil ini. Mari turut aku ke sana !" sahut
Cui Peng.
Berbareng ia berjalan diikuti oleh dua saudaranya Ji-ok Cui
Kin dan Sam-ok Cui Seng, sedang Su-ok Cui Tie ada di
markas besarnya, gunung Siauw-san, tidak ikut hadir dalam
keramaian dalam kuil tua itu.
Kim Popo turut dari belakang.
Kemudian yang lain-lainnya, jagoan dibawahnya Siauw-san
Ngo-ok menyusul mengikuti. Mereka kegirangan akan
menyaksikan keramaian yang bakal dilihat.
Sesampainya dibelakang ruangan kuil, Toa-ok dengan muka
bersenyum ramah mengunjukan pada Kim Popo dimana
letaknya dua barang yang bakal dipakai sasaran itu. Tampak
di depan agak sebelah kiri, ada dua buah batu besar
sepelukan orang. Entah berapa ratus kati beratnya. Di sebelah
kanannya di satu pojokan, ada menyandar dua batang besi
dari ukuran tengah dua dim dan panjangnya kurang lebih dua
setengah meter.
Setelah mengawasi sejenak, si nenek tampak kerutkan
keningnya.
Matanya Toa-ok yang awas, dapat melihat perubahan ini.
Dalam hatinya amat kegirangan. Sebab dengan mengunjuk
sikap demikian, kelihatannya si nenek tidak mungkin akan
menang dalam pertaruhannya.
"Bagaimana, apakah kita boleh mulai ?" tanya si berewok.
"Boleh saja, kau boleh mulai. Tapi tunggu dahulu." kata Kim
Popo seraya berjalan menghampiri dua batu besar bakal
sasaran itu. Ia memeriksa sambil pegang-pegang. Benarbenar
batu itu kelihatannya alot. Lalu ia jalan menghampiri dua
batang besi yang merupakan toya besar. Juga disini ia
pegang-pegang barang itu dan memeriksa dengan teliti.
Mulutnya kemak kemik seperti ada yang dikatakan tapi tidak
kedengaran oleh siapa pun juga disitu.
Makin kegirangan Toa-ok melihat gerak geriknya si nenek.
"Marilah kita mulai." kata si berewok sambil maju menghampiri
satu diantara dua batu besar itu.
"Jangan sungkan, kau boleh mulai !" kata Kim Popo yang
melihat Toa-ok unjuk laga seperti yang pasti akan dapat
memukul belah batu itu.
"Baiklah," sahutnya. Lalu dikerahkanlah tenaga luar.
Kecuali Kim Popo yang sikapnya acuh tak acuh, semua orang
yang ada menyaksikan disitu dan tegang hatinya, masingmasing
kuatir kepala pemimpinnya gagal dalam
pertaruhannya. Setelah mengerahkan tenaganya, tampak
Toa-ok Cui Peng mengangkat tangannya yang kanan, dibeber
macam golok lalu dengan tiba-tiba tubuhnya mendak,
tangannya membacok. Segera terdengar suara terbelahnya
batu. Batu besar itu terbelah dua.
Di susul oleh sorak ramai, gegap gempita dan seruan "Hidup
pemimpin kita !".
Kemudian Toa-ok Cui Peng jalan menghampiri para penonton
dengan roman tertawa-tawa. Disambut oleh orang-orangnya
sambil tampik sorak ramai.
"Bagus." memuji Kim Popo. "Toa-taunia, hampir kau bikin aku
jeri dan terima kalah. Kalau hatiku tidak mendesak untuk cobacoba."
"Ah, kau terlalu merendah, orang tua." sahut Cui Peng ketawa.
Kim Popo pun tertawa. Lalu ia minta salah seorang pegangi
tongkatnya. Ia sendiri jalannya mendekati batu besar bagian
sasarannya.
Setelah datang dekat, ia berdiri sejenak lalu berpaling ke arah
orang banyak. Kepalanya manggut-manggut lalu entah
bagaimana ia bergerak, tangannya yang kanan tiba-tiba
menggaplok batu besar itu. Terdengar suara gemuruh, batu itu
ternyata hancur berantakan.
Orang banyak jadi terkesima melihatnya. Mereka sangat
tertegun sampai lupa bersorak sorai. Suasana menjadi sunyi
sebentaran sampai kemudian Toa-ok Cui Peng yang juga
terbelalak matanya keheranan sudah bisa menghilangkan rasa
cemasnya dan dengan muka tertawa, ia menyambut Kim Popo
yang sudah balik lagi ke tempat orang banyak berkumpul.
"Orang tua, kau hebat sekali ! Kali ini kau menang. Marilah kita
mulai dengan babak yang kedua." si berewok menantang
seraya menghampiri dua lonjoran besi berat yang menyandar
di tembok.
Ia ambil satu antaranya. Besi yang berat itu ditangannya
seolah-olah bambu saja entengnya. Ia putar-putar sebentar
lalu berkata pada Kim Popo, "Bolehkah aku mulai, orang tua ?"
Kim Popo manggut. "Kau boleh mulai, Toa-taunia." Ia
menyilahkan.
Toa-ok Cui Peng gunakan dengkulnya sebagai penahan besi.
Tenaganya dikerahkan pada kedua tangannya dan dengkul,
lalu...... besi lonjoran itu pelan-pelan melengkung dan mulai
jadi bundar.
Kembali terdengar tampik sorak riuh rendah dan ucapan
bersemangat "Hidup pemimpin kita" beberapa kali. Malah ada
yang berjingkrakan kegirangan. Ji-ok dan Sam-ok berseri-seri
mengawasi Kim Popo yang tengah mengerutkan keningnya.
Pikir mereka, kali ini Toakonya bakal menang hingga stand
menjadi seri 1-1.
Setelah melengkung hampir bundar, besi itu dilemparkan oleh
Toa-ok Cui Peng dan ia kembali ke rombongannya, mukanya
tersungging senyuman puas. Ia kemudian berkata pada Kim
Popo, "Silahkan orang tua !"
Si nenek tanpa dipersilahkan kedua kalinya, ia sudah lantas
menghampiri besi berat itu. Ia pegang kemudian diputar-putar
seperti Toa-ok tadi berbuat. Setelah mana, ia pegang dengan
kedua tangannya. Ia timbang-timbang, akan sebentar lagi
orang lihat besi itu dilemparkan ke atas dengan kedua
tangannya, terputar sebentar kemudian jatuh turun dalam
keadaan melintang.
Inilah ada suatu demonstrasi yang mempersonakan. Penonton
tidak tahu apa yang akan dilakukan Kim Popp atas besi yang
berat itu, yang jatuh turun dengan melintang.
Toa-ok Cui Peng dengan dua saudaranya saling mengawasi,
mata seperti saling menanya. Tidak menanti lama keputusan,
sebab tiba-tiba si nenek berseru keras. Sambil lompat
memapaki besi yang jatuh turun, lengan kanannya menghajar
keras persis di tengah-tengah lonjoran besi itu. "Peletak !"
terdengar suara barang patah. Itulah toya besar yang patah
jadi dua turun jatuh ke tanah.
Kali ini, saking heran dan gembiranya menyaksikan
kepandaiannya Kim Popo yang istimewa, penonton bersorak
riuh. Teriakan terdengar, "Hidup, hidup......."
"Hidup Popo !" Toa-ok tambahkan teriakan kawan-kawannya
yang kelihatan ragu-ragu untuk menyebutkan "Popo".
Maka, setelah diberi contoh, lalu teriakan "Hidup Popo, hidup
Popo" menggema dalam ruangan di belakang kuil tua itu yang
tidak seberapa besarnya.
Kini dengan hati rela, Siauw-san Ngo-ok menyerah kalah.
Ketika Kim Popo balik ke tempat rombongan, tanpa ditegur,
Toa-ok dan dua saudaranya yang lain telah menekuk lututnya
sambil menyebut, "Popo, anak-anakmu memberi hormat dan
mengucapkan selamat panjang umur !"
"Bangunlah Toa..... eh, anak-anak. Aku paling tidak suka
banyak peradatan !" kata Kim Popo yang menyilakan anakanak
angkatnya bangun dari berlututnya.
Demikianlah ada kejadian cara bagaimana Siauw-san Ngo-ok
menjadi anak-anak angkatnya dari Kim Popo.
Toa-ok Cui Peng dan saudara-saudaranya kegirangan
mendapat ibu angkat yang demikian kosen. Segera mereka
menyuruh orang-orangnya menyiapkan satu meja makanan
untuk mereka berpesta pora menghormati Kim Popo.
Ketika rombongan kembali masuk ke ruangan dalam pula, Kim
Popo dapatkan dua orang yang ditelikung tangannya masih
ada. Ia lalu minta keterangan dari Toa-ok, siapa mereka itu.
Kiranya mereka itu ada dua orang piauwsu dari Sam Seng
Piauw Kiok di kota Tongkwan propinsi Siamsay. Satu
perusahaan pengawalan barang yang sangat terkenal, karena
pengiriman-pengiriman yang diurus oleh Sam Seng Piauw Kok
hampir belum pernah gagal atau mendapat halangan di
jalanan.
Kim Popo tampak kerutkan keningnya setelah mendengar
keterangan Toa-ok Cui Peng. Kemudian mengawasi kedua
piauwsu yang berlutut sambil tundukan kepala.
"Hehe, kenapa si orang she Liong pakai dua orang tidak
berguna begini ?" kata Kim Popo, suaranya pelan tapi cukup
kedengaran oleh dua piauwsu itu.
Berbareng mereka angkat kepalanya, mengawasi pada si
nenek.
"Kami sudah kena ditawan. mau dibunuh, boleh bunuh. Untuk
apa banyak rewel ?" berkata satu diantara piauwsu itu yang
mukanya persegi.
Kawannya yang jenggotnya jarang, sambil tertawa sini
berkata, "Tanpa perangkap belum tentu dapat merobohkan
kami berdua !"
"Kau bernama apa ?" tanya Kim Popo kepada si muka
persegi.
"Aku bernama Liok Tek Kim. Belum pernah aku menukar
nama !" sahutnya.
"Dan kau ?" tanya Kim Popo pada si jenggot jarang.
"Aku Tan Kim Tie." jawabnya gagah.
"Kau pernah apa dengan Liong Seng, pemimpin dari Sam
Seng Piauw Kiok ?" si nenek tanya Liong Tek Kim.
"Aku adalah keponakannya." sahutnya singkat.
"Bagus." kata Kim Popo. "Sekarang bagaimana kehendak kau
orang ?"
"Sudah kukatakan, mau bunuh boleh bunuh. Tak usah banyak
cingcong !" sahut si muka persegi, suaranya keras, hatinya
tidak gentar.
"Hehe." Kim Popo tertawa. "Anak-anakku, merdekakan dua
orang ini."
Toa-ok dan saudara-saudaranya melenggak mendengar katakata
Kim Popo. Tidak kecuali dengan dua orang tawanan yang
ditelikung tangannya.
"Tapi......ah, Popo........" kata Sam-ok Cui Seng gugup.
"Merdekakan !" potong si nenek. "Aku bilang merdekakan
harus turut !"
Sam-ok Cui Seng melirik pada saudara tuanya seperti minta
pendapat. Toa-ok Cui Peng mengedipkan matanya, kepalanya
manggut sedikit, suatu pertanda saudara ketiga itu bolhe
lakukan perintah si nenek.
Tanpa sangsi, Sam-ok Cui Seng perintahkan orang-orangnya
untuk memerdekakan dua orang tawanannya. Sekejapan saja
tangan mereka sudah merdeka, tapi mereka masih tetap
berlutut.
"Bangun !" kata Kim Popo. "Kenapa kalian masih tetap berlutut
?'
Dua piauwsu itu tidak menyahut, hanya keduanya pada
tundukkan kepala.
Kim Popo heran. Ketika diselidiknya, kiranya mereka sudah
tidak dapat bangkit dari berlututnya karena dengkul masingmasing
lemas akibat hajaran (siksaan) pada kakinya dipaksa
mereka berlutut oleh Sam-ok Cui Seng.
Kim Popo kerutkan keningnya. Kemudian ia suruh orang
periksa lukanya dan diberi obat lalu diangkut ke lain ruangan
dimana mereka direbahkan dan diberi pertolongan lebih jauh.
"Apa memangnya Popo kenal dengan Liong Seng, pemimpin
dari Sam Seng Piauw Kiok ?" tanya Toa-ok Cui Peng setelah
dua piauwsu itu digotong ke lain ruangan.
Kim Popo anggukan kepalanya. "Orang she Liong itu yang
bergelar Tiat-gee (Si Kerbau Besi), selain ilmu silatnya lihai,
dia juga ada seorang yang peramah." menutur si nenek.
"Luhur budinya, suka tolong orang yang dalam kesusahan
hingga dia sangat dihormati oleh lawan dan kawan. Pun
pergaulannya ada sangat luas, banyak kawan-kawan atau
sahabat-sahabatnya yang berkepandaian tingi di kalangan
putih maupun hitam (baik dan jahat) hingga Piauw kioknya
mendapat banyak kemajuan.........'
"Dia toh tidak punya hubungan penting dengan Popo."
memotong Sam-ok Cui Seng tidak sabaran. Rupanya ia masih
menyesal dua tawanannya dimerdekakan.
Kim Popo pelototi matanya pada si jahat ketiga itu.
Toa-ok dilain pihak mengedipi saudaranya, hingga Cui Seng
tundukkan kepala.
"Aku belum bicara habis, kau sudah main potong saja !" kata
Kim Popo, suaranya kaku. "Aku paling tidak suka orang
potong bicaraku !"
-- 3 --
Si nenek yang adatnya cepat ngambul dan cepat marah,
hampir tidak mau melanjutkan penuturannya kalau tidak Toaok
yang membujuknya dengan sabar.
Kiranya si nenek itu hutang budi pada Tiat-gu Liong Seng yang
memberikan pertolongan di waktu ia sakit dalam sebuah hotel
di Tongkwan. Si Kerbau Besi bukan saja menolong dalam hal
keuangan dan pengobatan, malah dengan ramah tamah
mengundang ia tinggal dalam rumahnya yang besar untuk
beristirahat sampai ia sehat dan segar benar, baharu
dilepaskan ia merantau lagi.
Dilihat romannya yang jelek dan keriputan, ditaksir usianya
Kim Popo sudah dekat mencapai tujuh puluh tahun. Namun,
sebenarnya ia baharu lima puluhan.
Kenapa kelihatannya jadi begitu tua, itu ada sebabnya.
Mukanya yang bagus cantik telah berubah jelek keriputan
akibat ia masak obat beracun yang tiba-tiba meledak
menyambar ke mukanya.
Mendengar ceritanya Kim Popo, Toa-ok Cui Peng manggutmanggut
kepalanya.
Ia merasa bertindak keliru dengan merampas barang-barang
antarannya Sam Seng Piauw Kiok di bawah pimpinannya Tiatgu
Liong Seng yang mulia hatinya.
Di samping jeri menghadapi pembalasannya si Kerbau Besi
yang banyak kawannya yang lihai, juga Ketua dari si Lima
Jahat itu merasa segan pada ibu angkatnya. Maka barangbarang
rampasan dikembalikan pada Liok Tek Kim dan Tan
Kim Tie dengan tidak kurang suatu apa.
Dua piauwsu itu mengucapkan terima kasih terutama pada
Kim Popo sebab dengan datangnya si nenek itu telah
membuat perubahan yang mereka tidak sangka-sangka.
Ketika Liong Tek Kim menanya hal hubungannya si nenek
dengan pemimpinnya, Kim Popo hanya ketawa haha hihi saja,
akan kemudian ia berkata juga, "Tak usah banyak tanya. Kau
nanti akan dapat tahu dari si Kerbau Besi kalau kau sudah
kembali di Tongkwan."
Liong Tek Kim tidak berani banyak tanya pula. Maka ia lalu
siapkan orang-orangnya untuk berangkat lebih jauh, ke tempat
barang-barang kiriman itu dialamatkan. Ia dan kawannya
masih belum bisa jalan atau naik kuda karena kakinya masih
lumpuh. Maka terpaksa ikut naik dalam kereta piauw yang
mereka kawal.
Sementara itu, hujan lebat pun sudah berhenti.
Kim Popo diundang Toa-ok Cui Peng sama-sama pulang ke
markasnya di Siauw san, tapi Kim Popo menolak dengan
alasan bahwa ia masih banyak urusan yang perlu diselesaikan
dan berjanji begitu sudah ada ketikanya, ia akan datang ke
sana menyambang anak-anak angkatnya.
Demikianlah, setelah menjamu Kim Popo sebagai kehormatan
menjadi ibu angkat Siauw-san Ngo-ok, maka mereka telah
berpisahan satu dengan lain.
Mari kita lihat Lo In, si bocah yang dicari oleh Siong Leng Tojin
dan kawan-kawannya yang dianggap ada bibit bencana kalau
tidak dibinasakan.
Ketika Siong Leng Tojin ingat Lo In, si bocah itu waktu sedang
mengintip jendela. Cepat-cepat ia jauhkan diri waktu ia dengar
dirinya akan dicari di sebelah luar, menyelingkar dibaliknya
sebuah pohon besar.
Pemeriksaan dilakukan sangat teliti, bukan saja diatas pohonpohon
karena di duga Lo In ngumpat di atas pohon, juga batu
besar itu, dibelakang mana Lo In pernah mengumpat telah
diselidiki dengan seksama.
"Untung aku sudah tidak sembunyi disitu." kata Lo In dalam
hati kecilnya, waktu melihat batu besar itu diperiksa keras.
Hasilnya mereka laporkan pada Siong Leng Tojin, tak dapat
mencari Lo In setelah uber-uberan dicari.
Setelah mayat Ji-ok Cui Kin ditanam, mereka lalu
meninggalkan tempat itu pada esok paginya terang tanah.
Toa-ok jalan sambil panggul tubuhnya Sam-ok Cui Seng yang
kutung kaki kanannya.
Mereka tidak memusingkan kemana perginya Kim Popo sebab
mereka masing-masing sudah tahu adatnya si nenek yang
angin-anginan, setiap waktu ia pergi tak pernah
memberitahukan bahwa ia akan pergi ke mana.
Setelah keadaan aman, barulah Lo In berani memasuki
rumahnya.
Tampak olehnya, keadaan dalam rumah morat marit, bekas
diaduk-aduk kawanan penjahat, hatinya bukan main sedihnya.
Lo In dijatuhkan diri di kursi malas, yang biasa Liok Sinshe
rebahan, otaknya berputar, memikirkan hidupnya yang
seterusnya tanpa orang melindungi dirinya.
Air matanya mengembeng, sakit hatinya, tangannya
dikepalkan.
"Aku akan membalas dendam akan kematiannya Liok Sinshe
!" ia berkata sendirian, matanya beringas dan tangannya
dikepal-kepalkan.
Lucu kelihatannya kalau anak kecil lagi lagi.
Kapan ia ingat akan nasehat Liok Sinshe bahwa ia harus
berlaku tenang jika menghadapi sesuatu urusan, biar
bagaimana besar pun, maka amarahnya menjadi reda.
Sebagai gantinya, kembali ia menangis, menangis terisakisak.
Lo In terkenang pada masa lampau, lima tahun berselang
hidup terlunta-lunta diantara anak-anak gembel di kota
Lamkoan. Pada hari itu tengah bermain-main di pekarangan
kuil Thian-ong-sie. Tiba-tiba pundaknya ada yang tepuk.
Ketika ia menoleh, tampak seorang laki-laki berparas cakap
menatap kepadanya. Di atas alis kirinya ada tanda codet
seperti bekas barang tajam. Senyumannya yang menawan,
telah menarik sekali hatinya. Itulah orang yang belakangan ia
kenal sebagai Liok Sinshe, yang telah angkat ia dari dunia
gelandangan menjadi seorang anak yang cerdas tangkas,
yang melindungi dan mencintainya sebagai ganti ayahnya.
Masih berbayang saat itu, mula-mula ia ketika ia bertemu Liok
Sinshe.
"Anak, apa kau sudah makan ?" tanyanya Liok Sinshe diwaktu
itu.
Lo In menggelengkan kepala.
"Apa mau makan ?" tanya Liok Sinshe.
Lo In mengangguk.
"Mari ikut aku !" kata Liok Sinshe berbareng tangannya Lo In
dipegang, diajak berlalu dari situ untuk kemudian mereka
memasuki sebuah rumah makan.
Lo In menurut disuruh duduk diatas bangku yang kitari meja
makan. Setelah pesan makanan, Liok Sinshe berkata lagi
pada Lo In, "Anak, kau begini kurus."
Lo In tidak menjawab. Kepalanya nunduk, mengawasi bajunya
yang kumel dan robek disana sini.
"Ayah dan ibumu ada dimana ?" tanya Liok Sinshe memancing
si bocah bicara.
Lo In geleng kepala. "Akut idak tahu ayah dan ibu dimana."
sahutnya kemudian.
Sementara itu, pelayan sudah siapkan hidangan di atas meja.
Lo In awasi makanan di depannya. Ia menelan ludah, mengilar
dia rupanya.
Liok Sinshe memperhatikan anak gembel itu, kurus dan pucat
mukanya. Pakaiannya compang camping, hatinya merasa
sangat kasihan.
"Mari kita makan !" mengajak Liok Sinshe seraya mulai
pegang sumpitnya.
Lo In tidak perlu diundang dua kali, sebab segera ia pegang
sumpit dan mulai cobai makanan yang barusan membuat ia
menelan ludah saking kepingin cicipi. Ia makan banyak, malah
dua kai ia minta tambah nasi.
Liok Sinshe ketawa menampak perbuatan Lo In yang lucu,
simpati serta gerakannya ada cekatan sekali.
"Eh, namamu siapa ?" tanya Liok Sinshe.
"Namaku In, orang bila aku she Lo" jawabnya, mulutnya penuh
nasi.
Geli hatinya Liok Sinshe melihat Lo In yang gembul
makannya.
"Bagus," kata Liok Sinshe. "Kau mau ikut aku ?"
"Kemana ?" Lo In balik menanya.
"Kemana saja." sahut Liok Sinshe. "Kita jalan-jalan melihatlihat
keramaian kota diberbagai tempat."
Lo In meletakkan sumpitnya, mengawasi sebentar pada orang
didepannya.
"Mau, aku mau !" katanya kegirangan.
Demikian, sejak itu Lo In ikut mengembara dengan Liok
Sinshe ke berbagai tempat, kemudian menetap diatas jurang
Tong-hong-gay.
Melebihi dari dugaannya sendiri, Liok Sinshe lihat kecerdikan
dan ketajaman otaknya Lo In ada luar biasa. Tiap pelajaran
baik surat maupun ilmu silat, belum pernah diulang sampai
tiga empat kali. Paling banyak dua kali sudah cukup, ini juga
kalau ruwet.
Lo In ternyata ada satu anak yang jenaka, banyak menghibur
hatinya Liok Sinshe dikala dalam kesunyian merenungkan
nasibnya yang terumbang ambing.
Semakin Lo In tambah umur, Liok Sinshe tampaknya semakin
sayang pada si bocah hingga Lo In dapat mewariskan
kepandaiannya Liok Sinshe salam ilmu surat dan ilmu silat
yang lihai. Sayang ia masih anak-anak hingga belum dapat
digembleng tenaga dalamnya, kalau tidak, ia sudah selihai
Liok Sinshe, malah ada kemungkinan ia lebih gesir dan cepat
lagi.
Meskipun demikian, pelan-pelan Liok Sinshe memulai dengan
gemblengannya tenaga dalam (lwekang). Dimulai ketika
umurnya Lo In meningkat sepuluh tahun. Maka ketika ada
penyerbuan dari Siauw-san Ngo-ok dengan kawan-kawannya
itu adalah dikala Lo In baru dapat gemblengan lwekang dua
tahun lamanya.
Sebenarnya Lo In ingin membantu Liok Sinshe waktu
dikerubuti. Cuma saja, selain ia ragu-ragu akan
kepandaiannya sendiri, yang terutama ia takuti Liok Sinshe
tegur dan marahi padanya, tidak menurut perintah untuk lari
menyelamatkan diri.
Maka juga ia tinggal mengintip nonton saja pertarungan seru
itu. Ia perhatikan betul gerak gerik Liok Sinshe
mempraktekkan kepandaian yang telah diajarkan padanya.
Inilah yang membangkitkan nyalinya jadi besar, untuk dalam
usia yang masih anak-anak kelak ia dapat menjatuhkan lawanlawan
dari penolongnya (Liok Sinshe).
Sekarang Liok Sinshe sudah tidak ada lagi dalam dunia,
kemana Lo In harus pergi ? Apakah ia tinggal tetap saja di
atas jurang Tong-hong-gay untuk meyakinkan ilmu tenaga
dalamnya lebih jauh ?
Pusing kepalanya Lo In memikirkan itu semua.
Tiba-tiba ia rasakan perutnya bergeruyukan minta makan.
"Kurang ajar, orang sedang kesusahan, ada-ada saja !" ia
berkata sendirian, menyesalkan perutnya yang menyelak
diantara alunan ngelamunnya.
Sambil berkata begitu, Lo In bangkit dari duduknya, masuk ke
ruang belakang untuk cari makanan. Sebentar lagi tampak ia
sudah pegang satu potong besar kue. Sambil mengganyang
ransum kering itu ia berjalan keluar.
Maksud Lo In mau duduk ngelamun di atas kursi malasnya
Liok Sinshe tapi sekonyong-konyong ia merandak jalan dan
berdiri terpaku seperti ada apa-apa yang tiba-tiba mundul
dalam ingatannya.
Matahari pagi sudah mulai naik tinggi, sementara Lo In berdiri
terpaku. "Tidak, tidak. Aku tidak percaya dia mati !" ia
menggumam.
Lo In tidak jadi menghampiri kursi malas. Sebaliknya, ia putar
tubuhnya dan jalan mendekati peti obat-obatan. Ia periksa di
dalamnya sudah berantakan. Rupaynya peti itu tidak menjadi
kekecualian diaduk-aduk oleh Kim Popo yang mencari buku
ilmu menotok jalan darah, Tiam-hiat Pit-koat.
Meskipun berantakan, botol-botol kecil yang terisi obat-obat pil
dan puder (bubuk) tidak sampai berceceran, semuanya masih
utuh. Lalu ia ambil botol-botol terisi obat itu, semuanya ada
enam botol, dimasukkan ke dalam kantongnya.
Sebelum Lo In bertindak, tangannya yang kanan dimasukkan
pula ke dalam sakunya dari mana ia keluarkan dua botol yang
berisi pil dan puder. Tangannya diangkat tinggi-tinggi, matanya
memandang tajam pada dua botol itu. Tiba-tiba ia berteriak
kegirangan, "Hidup, hidup. Dia masih hidup. Ha ha ha !"
Tampak si bocah berjingkrakan seperti orang gila.
Apakah Lo In sudah hilang ingatannya ? Apa ia sudah jadi gila
mendadak ? Kalau tidak, kenapa ia berjingkrakan sekonyongkonyong
?
Tidak, Lo In tidak gila. Saking girangnya, setelah ia berpikir
bahwa Liok Sinshe akan ketolongan dengan dua rupa obat
ditangannya tadi, maka ia jadi berjingkrak-jingkrak. Maklumlah
anak masih kecil yang kegirangannya meluap-luap.
Di lain saat, kelihatan ia sudah berlari-larian menuju ke tepi
jurang. Tapi di tengah jalan tiba-tiba ia rem larinya, lalu putar
tubuh dan balik kembali.
Benar-benar lucu kelakuannya si bocah Lo In. Apa maunya Lo
In balik lagi ? Oh, kiranya ia balik ke rumahnya mengambil
pedangnya Liok Sinshe yang disimpan rapi di balik pintu. Itu
adalah satu pedang pendek, hanya kira-kira dua kaki
panjangnya ketika Lo In hunus dari sarungnya.
Pedang itu tidak mengkilap sinarnya, seperti kebanyakan
pedang-pedang dari jago-jago Sungai Telaga (kang-ouw),
hanya kebiru-biruan kalau terkena sinar matahari. Bentuknya
tidak menarik, hingga pantas sekali kalau ia menjadi penghuni
dalam sarung yang sudah kumel. Entah sudah berapa puluh
tahun pedang itu dipakai oleh Liok Sinshe dalam hidupnya
malang melintang dalam dunia Sungai Telaga.
Siong Leng Tojin dan kawan-kawannya ketika melewatkan
sang malam dalam rumah itu dengan pintu terpentang. Coba
kalau ketika itu, pintu itu ditutup. Pasti senjata tajam Liok
Sinshe akan dibeslag, meskipun bentuknya jelek, demikian
pandangan Lo In si bocah.
"Kenapa Liok Sinshe pakai pedang beginian ?" tanya Lo In
pada dirinya sendiri, seraya membulak balik memeriksa.
Ia baru pertama kali melihat senjatanya Liok Sinshe, selama ia
ikuti penolongnya itu. Yang menarik hatinya si bocah adalah
bobotnya pedang itu enteng sekali, maka ia memasuki pula ke
dalam sarungnya, ia gantung di pinggangnya lalu jalan mundar
mandir dengan sikap perwira.
Sok aksi anak itu, tapi lucu laga lagunya dasar anak-anak.
Sayang Liok Sinshe tidak ada. Coba ada, tentu akan
terpingkal-pingkal melihat Lo In dalam gayanya sendiri
menjual aksi.
Lo In dilain saat sudah berada diluar rumah, dengan di
pinggangnya menyandang pedang. Bocah itu dalam usia
meningkat dua belas tahun, tubuhnya kurus dan lebih tinggi
dari anak-anak biasa dalam usia pantarannya. Maka, kelihatan
pantas sekali pedang warisan Liok Sinshe itu tergantung di
pinggangnya yang ceking.
Ia berdiri sejenak di depan rumah. Matanya memandang ke
sekitarnya, kemudian gerakin kakinya melangkah. Ternyata
kali ini ia bukannya lari ke tepi jurang, hanya ia lari
menghampiri batu besar yang semalam ia pakai sembunyikan
diri. Di depan batu mana kira-kira satu tindak jauhnya, ia
hunus pedangnya lalu jongkok untuk menggali tanah.
Sebentar lagi, ditangannya sudah terpegang satu kotak
persegi empat dari ukuran empat cun dan tinggi dua cun.
Setelah dipandang, ia mau masukkan barang itu ke dalam
sakunya tapi berbarang pada saat itu ia kaget dan lompat
mundur mendengar suara orang ketawa di balik batu.
"Hi hi hi ! Anak kecil, serahkan barang itu pada nenekmu."
demikian Lo In dengar orang berkata, segera berkelebat tubuh
dari balik batu, siapa ternyata ada si nenek jelek Kim Popo.
Lo In kenali si nenek yang mengaku membokong Liok Sinshe.
Amarahnya timbul seketika. "Nenek jahat, kau mau apa ?"
tegurnya kasar.
"Begini caranya kau sambut nenekmu ?" kata Kim Popo
seraya tertawa haha-hihi.
"Mana aku ada punya nenek jahat sepertimu." ejek Lo In.
"Jangan banyak cakap, bocah ! Lekas serahkan barang
ditanganmu !" teriak si nenek. Kelihatannya marah bila
dikatakan nenek jahat.
"Kau mau ini ?" Lo In tanya sambil angkat kotak tadi
ditangannya.
"Mari kasih aku." Kim Popo sambil sodorkan tangannya untuk
menjambret.
Lo In tarik pulang tangannya. "Hmm ! Nenek jahat, tidak
semudah itu !" katanya.
Kim Popo rada-rada heran melihat jambretannya gagal. Sebab
menurut pendapatnya, ia sudah bergerak cepat. Tapi si bocah
kelihatan lebih cepat pula menarik tangannya. Ia penasaran. Ia
lompat menubruk untuk merampas barang ditangannya Lo In,
tapi untuk kedua kalinya ia dibuat gregetan karena Lo In sudah
dapat berkelit dengan manis dari terkaman.
"Bocah ini licin seperti si tabib busuk. Aku tidak boleh
sungkan-sungkan lagi !" dmeikian pikirnya Kim Popo dalam
hati. Segera ia gunakan tipu Ki ong pek touw atau elang lapar
menyambar kelinci, dua tangannya yang berkuku runcing
menyambar berbareng mencengkeram dada Lo In. Satu jurus
yang agak ganas untuk digunakan terhadap anak kecil.
Namun si nenek tidak memikir ke situ, ia hanya ingin
menyingkat waktu, barang yang diingini itu lekas pindah dalam
tangannya.
Lo In tahu bahayanya serangan itu, tapi ia tidak takut. Pikirnya
denagn ia majukan dua tangan menangkis, keras lawan keras,
rasanya serangan si nenek dapat dipatahkan. Tapi Lo In lupa
memperhitungkan bahwa tenaga dalamnya kalah jauh di
banding dengan si nenek. Maka tidak heran ia segera rasakan
kelalaiannya, ketika tangannya bentrok dengan tangan si
nenek, ia rasakan dadanya tergentar dan tubuhnya terlempar
jumpalitan sampai sepuluh tindak.
Cepat Lo In bangun tapi dadanya dirasakan masih sesak. Si
nenek, sementara itu sudah lompat maju, berdiri di depannya.
"Bocah bau, kau rasakan nenekmu punya lihai,ya ?" katanya
dengan suara menjengeki.
Lo In tidak berani menjawab sebab ia tengah coba memeras
tenaga dalamnya untuk mendorong pergi rasa sesak dalam
dadanya.
Begitu ia rasakan enak dadanya, tiba-tiba ia rasakan
tangannya dicekal orang.
"Keluarkan hayo keluarkan barang itu !" perintah Kim Popo.
Tangannya si nenek yang mencekal tangannya dirasakan Lo
In seperti sepitan besi.
Lo In mengawasi Kim Popo dengan sorot mata benci.
Melihat anak kecil itu membandel, Kim Popo tidak sabaran.
"Kau masih belum mau keluarkan ?" katanya. Tangannya
dipakai memencet lebih keras hingga butiran-butiran keringat
pada merembes keluar dari lubang-lubang tubuhnya Lo In,
saking ia menahan sakit.
Bandel dan keras kepala anak itu. Ia lebih suka menahan rasa
sakit dari pada menangis keluarkan air mata. Matanya
menyala seperti berapi, tapi meluanpnya napsu membunuh ini
hanya sejenak sebab segera tampak ia kalem lagi. Pelanpelan
ia merogoh sakunya dan dikeluarkan kotak yang
barusan ia gali.
"Nenek jahat, tuh kau boleh gegares !" kata Lo In kasar sambil
melemparkan kotak yang dipegangnya.
Kim Popo lepaskan cekalannya lalu memungut barang yang ia
impi-impikan itu ialah buku mungil 'Tiam-hiat Pit-koat' di dalam
kotak itu.
"Hehe, akhirnya kau menyerah juga bocah !" kata si nenek
sambil coba buka kotak tadi tapi susah terbuka seperti ada
kuncinya.
"Hahaha !" kedengaran Lo In tertawa tiba-tiba.
"Kau ketawai apa ? Lekas serahkan anak kuncinya !" bentak si
nenek.
"Hahaha !" kembali Lo In tertawa.
Kim Popo naik pitam. "Binatang cilik, kau main gila........!"
bentaknya.
"Kau kira hanya kita berdua disini ?" potong Lo In, air mukanya
bersenyum.
Kim Popo sudah siap menyerang Lo In tapi hatinya gentar
mendengar kata-katanya si bocah, memotong bicaranya.
"Memangnya ada siapa lagi ?" ia menanya.
"Masih ada yang belum mati dibokong olehmu. Hahaha, si
nenek jahat kena perangkap." Lo In tertawa terbahak-bahak
hingga menimbulkan rasa takut si nenek meningkat.
Pikirnya, apa benar Liok Sinshe tidak mati ? Celaka ia kalau
benar-benar mereka menggunakan perangkap. Liok Sinshe
sudah pasti tak dapat mengampuni perbuatannya yang
telengas membokong orang.
Melihat Kim Popo seperti yang ketakutan, menengok sana sini
sambil memegangi kotak lebih erat, seolah-olah yang takut
dirampas orang. Lo In berkata pula, "Nenek jahat. Kau masih
tunggu apa lagi. Tidak mau lepaskan kotak ditanganmu itu ?"
"Kau mau mempermainkan aku ? Kau membokong orang. Apa
Liok Sinshe tidak akan menagih ?" sahut Lo In dan ia tekankan
suaranya menjadi keras diwaktu menyebut 'Liok Sinshe'.
Justru tekanan suara 'Liok Sinshe' itu yang membikin
semangatnya Kim Popo hampir terbang seketika. Maka lantas
saja ia geraki kakinya melompat kabur. Sebelum jauh, Lo In
yang jail sudah ambil batu kecil dan disentilkannya, jitu
mengenakan sasaran diarah atas sedikit dari kibulnya hingga
dirasakan sangat sakit. Dan ini dianggap Kim Popo ada Liok
Sinshe yang melakukannya hingga ia lari lebih kencang lagi.
Lo In tertawa geli menyaksikan Kim Popo lari terbirit-birit
ketakutan.
Sebenarnya tidak ada Liok Sinshe. Si nenek hanya takut
bayangannya sendiri saja lari ketakutan. Tadi, ketika dipencet
tangannya oleh Kim Popo, Lo In menyala matanya seperti
yang mengeluarkan apai, napsu dari pembunuhan. Tapi hanya
sejenak ia sudah jadi sabar lagi. Itulah ia ingat akan pesan
Liok Sinshe yang berkata kepadanya, "Anak In, jika kau
menghadapi sesuatu yang genting, harus berlaku tenang.
Sebab ketenangan yang menimbulkan jalan pemecahan !"
Kata-kata Liok Sinshe ini yang mengiang ditelinganya waktu
itu hingga dari meluap amarahnya ia menjadi kalem dengan
tiba-tiba. Dan kemudian timbul dalam otaknya yang cerdik
suatu pikiran yang baik untuk menggertak si nenek lari
tunggang langgang dengan cuma menyebut namanya Liok
Sinshe.
Kejadian itu ialah begitu mudah si nenek kena digertak,
sungguh diluar dugaan Lo In. Sebab ia tidak tahu memang si
nenek jeri betul-betul pada Liok Sinshe sebagai akibat
kesudahannya pertempuran pada lima tahun berselang
dimana Kim Popo dipecundangi dengan sangat mudahnya
ketika si nenek hendak merampas buku rahasia ilmu menotok
jalan darah 'Tiam-hiat Pit-koat' dari tangannya si kakek she
Kong.
Lo In kemudian menghampiri pedangnya yang menggeletak
ditanah lalu memungutnya, disorong lagi di pinggangnya yang
ceking. Kali ini ia tidak balik ke rumahnya hanya memutar
tubuh lari ke jurusan tepi jurang. Ia berlari-larian di tepi jurang
yang curam itu sampai kemudian ia berhenti disuatu tempat
yang ada bekas-bekas seperti disitulah Liok Sinshe sudah
tergelincir masuk ke dalam jurang.
Ia melongok ke bawah. Benar-benar jurang sangat curam.
Entah berapa dalamnya dan didasarnya yang merupakan
lembah, apa tidak ada banyak binatang buasnya.
Tapi Lo In adalah lanak yang besar nyalinya. Ia tidak takut. Ia
lebih perhatikan keselamatan Liok Sinshe dari pada bahaya
yang bisa mengancam pada dirinya sendiri.
Dengan berani Lo In merosot turun sambil memegangi pada
akar-akar rotan yang tumbuh merembet di sana sini. Pelanpelan
ia terus turun ke bawah. Dengan kepandaian entengi
tubuh ajarannya Liok Sinshe, ia lompat sana sini dan akhirnya
sampai juga ia pada tujuannya, di dasarnya jurang. Ia
celigukan ke sekitarnya. Ia dapatkan banyak pepohonan yang
rindang. Mendengak ke atas, tampak tebing jurang ada sangat
curam.
"Bagaimana aku bisa naik ke atas nanti ?" tanyanya pada diri
sendiri, melihat tepi jurang ada demikian tinggi kelihatan dari
sebelah bawah.
Tapi Lo In tidak mau ambil pusing hal kembali naik keatas.
Yang penting ia harus mencari Liok Sinshe. Tapi dimana ia
harus mencarinya ?
Lekas ia gerakin kakinya, mulai mencari Liok Sinshe, orang
yang sangat cintai. Pikirnya, bagaimana pun ia harus
ketemukan tubuhnya Liok Sinshe, baik dalam keadaan
selamat maupun sudah mati.
Kita balik sebentar, melihat Kim Popo yang lari tunggang
langgang ketakutan.
Setelah lari jauh, ia berhenti di bawah sebuah pohon besar
yang rindang daunnya, dimana ia meneduh dengan adem,
menyingkir dari terik panasnya matahari yang waktu itu tengah
mencorong menerangi jagat.
Ia taruh tongkatnya yang berat disampingnya.
Lewat sesaat ia duduk, lantas tangan kirinya merogoh
kantongnya. Dikeluarkan kotak yang ia rampas dari tangan Lo
In. Mukanya berseri-seri, rupanya ia sangat puas dengan
pekerjaannya yang berhasil.
Entah terbuat dari apa, kotak itu kelihatannya sangat kuat tapi
bobotnya enteng sekali. Ia periksa dengan seksama, karena
kotak itu tak dapat dibuka, ia lantas dapatkan ada sebuah
lubang kecil. Pikirnya, disinilah ada lubang kuncinya. Harus ia
dapatkan anak kuncinya. Kalau tidak, cara bagaimana ia bisa
membukanya. Di samping kegirangan, ia mendongkol dan
penasaran. Ia coba membukanya dengan paksa tapi
bagaimana juga kotak tak dapat dibuka.
"Sialan !" ia mengeluh. "Dengan begini aku mesti kerja lagi
untuk dapatkan anak kuncinya." ia meneruskan kata-katanya
sambil membanting kotak itu sekerasnya.
Justru dibanting, kotak itu menjadi terbuka sendirinya. Dari
dalam lompat keluar sebuah buku yang bentuknya mungil.
Matanya Kim Popo terbelalak saking heran. Ia tertegun
sejenak.
Karena ini, ia terlambat mengambil buku yang diimpi-impikan
sebab lain tangan sudah mencomotnya lebih dahulu. Itulah
tangan orang yang lompat dari atas pohon, dengan sebat
sekali sudah dahului Kim Popo mencomot buku mungil yang
mencelat keluar dari kotaknya. Kim Popo tercengang oleh
karenanya.
Kapan ia mengawasi orang di depannya, kiranya ia ada satu
thauto (pendeta yang piara rambut panjang) bermuka bengis.
Dua anting-anting besar yang menghias di telinganya
berkerincingan kalau ia geleng-geleng kepalanya, ramai
kedengarannya.
Si nenek menjadi sangat gusar. "Binatang, kau berani rampas
barangku ?" ia membentak sambil lompat menubruk si thauto
untuk merampas pulang buku yang dicomot si thauto tadi.
Tapi tubrukannyaKim Popo kecele sebab dengan elakan
badannya sedikit saja, Kim Popo telah menubruk angin. Gesit
sekali caranya si thauto bergerak.
Tentu saja Kim Popo yang adatnya angin-anginan, marahnya
menjadi-jadi.
"Binatang, kembalikan barangku ! Kalau tidak, hmm !" bentak
Kim Popo, hatinya penasaran barusan tubrukannya gagal.
"Kau ingin dapat pulang barangmu, harus tanya dulu orangku."
sahut si thauto.
Kim Popo kertak gigi, meskipun giginya sudah sisa tidak
seberapa lagi.
"Mana dia orangmu ?" bentaknya sengit.
"Ini dianya..... ha ha !" sahut si thauto seraya unjuk dua
kepalannya yang besar, mirip buah kelapa kata bohongnya.
"Bagus !" kata Kim Popo mendelu, dadanya dirasakan hampir
meledak.
"Siapa bilang jelek ?" menggoda si thauto. Rupanya orang
jenaka juga.
Habis sabarnya Kim Popo, matanya mendelik hingga
romannya tambah jelek.
"Binatang, lihat seranganku !" serunya, sambil menerjang
dengan tipu pukulan 'Hui heng tong lay' -- 'Angin taufan
menghembus dari Timur', kepalan tangan kanannya mengarah
dada disusul dengan tangan kirinya menyamber orang punya
iga kanan. Cepat serangan saling susul ini datangnya tapi si
thauto tidak gugup. Tangannya yang besar dibuka untuk
menangkap kepalang lawan, sedang iga kanannya yang
diarah dibiarkan saja menjadi sasaran totokan jarinya Kim
Popo.
"Aiyoo !" teriak si nenek tiba-tiba sambil lompat mundur.
Si thauto tidak balas menyerang, hanya berdiri sambil
terbahak-bahak ketawa mengawasi Kim Popo yang teraduhaduh
seraya tangan kanannya memegangi dua jari tangan
kirinya yang barusan dipakai menotok.
Dengan tipu pukulan 'Angin taufan menghembus dari Timur',
Kim Popo ingin sekali gebrak saja menjatuhkan si thauto yang
kurang ajar. Ketika kepalannya hendak disambut dengan
tangan si thauto yang besar, ia melihat bahaya, maka ia cepat
tarik pulang. Tapi tangan kirinya ia teruskan nyelonong ke iga
musuh.
Pikirnya, si thauto tidak membuat penjagaan pada bagian ini,
sudah pasti totokannya akan berhasil membikin lawannya
terkulai rubuh. Tapi kesudahannya ada lain, si nenek telah
menelan pil pahit. Dua jarinya yang dipakai menotok iga
musuh dirasakan seperti menotok tiang besi, sakitnya bukan
main sampai menyusup di ulu hati.
Melihat serangannya gagal, maka cepat ia lompat mundur
sambil berteriak "Aiyoo !", saking tak tahan menahan sakitnya.
Tapi Kim Popo, dasar si nenek bandel. Kalau hanya begitu
saja ia sudah mesti jadi pecundang, maka sebentar lagi
setelah ia memeras tenaga dalamnya buat usir rasa sakit tadi,
segera ia kembali lakukan penyerangan.
"Hahaha, nenek jelek !" goda si thauto. "Masih berani melawan
?"
"Kiramu mukamu bagus ?" sahutnya menjerit saking
mendongkol.
Kata-katanya Kim Popo disusul dengan serangan gesit. Ia
keluarkan ilmu entengi tubuhnya untuk melayani si thauto
yang bertubuh tinggi besar. Pikirnya, si thauto rupanya ada
punya ilmu 'tiang-pou-san' (ilmu kebal). Tubuhnya keras
laksana besi, maka ia harus mencari kelemahannya yaitu
dibagian matanya.
Demikian, setelah bertempur sepuluh jurus, Kim Popo
gunakan kepalannya yang kiri pura-pura menjotos ke arah
perut, sedang sasarannya yang sebenarnya adalah sepasang
matanya lawan. dua jari tangan kanannya, telunjuk dan tengah
dengan sebat meluncur akan mengorek sepasang biji mata si
thauto. Serangannya ini yang dinamai 'Lo wan tou ko' atau
'Lutung tua mencuri buah'.
Cepat sih memang cepat gerakannya Kim Popo, cuma
sayang, kembali ia dapat kerugian. Kepalan kirinya yang purapura
menjotos kena ditangkap tangan si thauto, sedang dua
jari tangan kanannya belum sampai pada sasarannya, ia
rasakan tenaga dorongan yang keras pada kepalannya yang
kena dipegang lawan. Tenaga dorongan itu benar-benar hebat
sampai ia perpelanting dan jungkir balik ke belakang. Di lain
saat, ketika ia sudah dapat tancap pula kakinya ditanah, ia
rasakan sekujur tubuhnya gemetaran dan dadanya sesak.
Untung lwekangnya cukup tinggi hingga tidak sampai
mendapat luka di dalam.
Meskipun demikian, nyalinya ciut seketika. Untuk melawan lagi
si thauto jagoan itu, pikirnya tidak mungkin. Maka setelah ia
rasakan badannya kembali normal, ia lantas saja putar
tubuhnya dan lari. Persis seperti tempo hari ia tunggang
langgang dipecundangi Liok Sinshe.
"Haha, nenek jelek, kau mau lari !" Kim Popo dengar suaranya
si thauto.
Berbareng dengan ditutup kata-katanya, tampak si thauto
geleng-geleng kepalanya. Sepasang antingnya segera
melesat berbareng menyusul Kim Popo.
Si nenek hanya berkaok satu kali lantas kelihatan tubuhnya
terkulai dan mendeprok di tanah. Seluruh tubuhnya dirasakan
lemas.
Kiranya, sepasang anting-anting dikedua telinganya itu adalah
senjata rahasianya si thauto. Sungguh lihai senjata rahasia itu.
Cuma dengan geleng-geleng saja, sepasang anting-anting itu
meleset laksana kilat hingga membuat Kim Popo semaput
jatuh di tanah. Tidak mudah menggunakan senjata rahasia
yang aneh itu kalau lwekang pemiliknya tidak tinggi. Sebab
barang itu baru dapat melesat dari kuping di dorong oleh
tenaga dalam yang istimewa.
Si thauto tertawa gelak-gelak melihat si nenek sudah tidak
berdaya.
Ketika matanya melirik ke tanah, ia melihat kotak tempat buku
menarik perhatiannya. Maka ia lantas pungut dan diperiksa.
Kemudian rogoh sakunya, keluarkan itu buku mungil, dipaskan
dalam kotak. Tiba-tiba kotak itu menutup seketika hingga si
thauto kaget bukan main. Entah bagaimana rupanya ada alat
rahasianya yang ketekan. Maka kotak itu otomatis menutup
buku yang ditaruh di dalamnya.
Si thauto dari kaget menjadi ketawa girang melihat kemujijatan
kotak dapat menutup sendiri. Maka ia lalu masukan kotak itu
ke dalam sakunya. Pikirnya, pada suatu kesempatan ia akan
membukannya nanti. Setelah mana ia menghampiri Kim Popo,
memungut sepasang anting-antingnya yang jatuh tidak jauh
dari si nenek dan dipakainya kembali.
Thauto itu bengis romannya, menakuti tapi orangnya benarbenar
jenaka.
"Nenek bagus, bagaimana sekarang ?" ia menanya dengan
senyum dikulum.
Ia godai Kim Popo tidak lagi ia menyebut 'nenek jelek' tapi
diganti jadi 'nenek bagus'. Enak kedengarannya tapi tidak
enak berkumandang ditelinganya si nenek. Anggapnya ia telah
disindir, maka matanya jadi mendelik.
"Sudah aku berlaku murah barusan, tidak mengambil jiwamu,
apa kau masih kurang terima ?" berkata si thauto.
"Hmm ! Murah hati !" menggerutu Kim Popo.
"Memang," berkata lagi si thauto. "Kalau aku berlaku kejam,
barusan anting-antingku mengarah pada jalan darah kematian
di bebokongmu. Apa ini aku sudah tidak berlaku murah ?"
"Hmm !" mendengus si nenek. "AKu Kim Popo tidak rela
dijatuhkan oleh lawan dengan jalan membokong."
"Habis kau mau apa ? tanya si thauto, geli hatinya nampak
orang kepala batu.
"Kalau kau berani, merdekakan aku sekarang !" sahutnya
ketus.
"Jadi ? Kau mau bertempur lagi ?" tanya lagi si thauto.
"Tidak ! Saat ini aku terima kalah. Tapi lihat, tiga tahun lagi
akan kucari kau untuk menetapkan siapa unggul !" sahut Kim
Popo tengik laganya.
Si thauto tertawa terbahak-bahak lalu tanpa menghiraukan
Kim Popo yang masih duduk mendeprok, ia tinggal pergi.
"Binatang, kau mau siksa aku dengan cara begini !" teriak Kim
Popo, matanya terbelalak keheranan melihat dengan begitu
saja meninggalkan dirinya.
"Lagi dua jam totokan pada jalan darahmu akan hilang
sendirinya. Kau nenek bandel, mesti dihukum dijemur
dipanasnya matahari dua jam. Hahaha !" demikian terdengar
kata-kata si thauto, meskipun sudah jalan jauh kedengarannya
tegas sekali kuping Kim Popo hingga ia jadi terkejut. Pikirnya,
thauto itu hebat sekali tenaga dalamnya sampai bisa mengirim
suara dari jauh.
Terpaksa Kim Popo, si bandel, mesti menanti dua jam
dibawah panasnya matahari untuk mendapat
kebebasannya.....
Kita kembali kepada Lo In yang tengah mencari Liok Sinshe di
lembah dari jurang Tong-hong-gay.
Dengan hati-hati ia mencari dipinggir-pinggiran lalu pelanpelan
sedikit ke tengah, tapi belum juga ia dapatkan tandatanda
yang mengunjuk dimana adanya Liok Sinshe. Kadangkadang
ia mendongak ke atas mengawasi diantara tebingtebing
dengan pengharapan matanya akan bentrok dengan
gerakan sesuatu disana. Tapi sia-sia saja pengharapannya,
malah cuaca pelan-pelan tanpa disadari sudah mulai gelap.
Bermula Lo In kebingungan, bagaimana ia dapat naik pula ke
atas, sedang hari sudah berubah menjadi malam ? Tapi
belakangan hatinya menjadi senang.
Lo In tidak memikirkan untuk kembali ke rumahnya lagi. Yang
penting, ia harus cari terus Liok Sinshe sampai dapat
diketemukan.
Untuk mengisi perutnya yang lapar, Lo In sudah banyak petik
buah-buahan dimasukkan dalam perutnya. Ia rasakan lebih
segar dan nyaman perutnya diisi buah-buahan dari pada diisi
kue atau nasi.
Untuk menghindarkan gangguan dari binatang buas maka
malam itu Lo In tidur diatasnya sebuah pohon yang banyak
cabang dahannya. Di atas dahan yang merupakan
pembaringan baru, mana Lo In dapat cepat-cepat pulas.
Pikirannya melayang-layang, mengingat-ingat tempat-tempat
yang dijelajahinya dalam menemui Liok Sinshe, ia harus
mencari suatu tempat yagn aman. Dimana ia bisa bersemedhi
setiap malam untuk meyakinkan tenaga dalamnya. Sebagai
satu anak yagn bernyali besar Lo In merasa penasaran Kim
Popo yang sudah memencet tangannya sampai ia
mengeluarkan keringat dingin.
(Bersambung)
Jilid 02
Pikirnya, nanti suatu waktu kalau lwekangnya sudah mahir ia
akan cari si nenek buat diajak berkelahi lagi. Sebenarnya Lo In
belum tentu kalah kalau ia layani si nenek dengan
kegesitanya, jangan mengadu tenaga. Yang membuat ia
pecundang adalah karena ia coba-coba adu tenaga dengan
Kim Popo, yang sudah tentu bukan tandingannya.
Dalam keadaan tiduran, kupingnya tiba-tiba mendengar suara
gedebukan, datangnya dari sebelah selatan. Suara apa itu ? Ia
pasang telinganya lagi, saban kira 1-2 menit ia degnar suara
gedebukan itu.
Di dorong oleh perasaan ingin tahu, ia turun dari atas pohon.
Pelan-pelan ia hampiri tempat dimana ada suara gedebukan
tadi.
Setelah jalan beberapa lama, suara gedebukan itu makin
nyata. Rupanya jaraknya sudah tidak jauh lagi. Maka Lo In
rada cepatin jalannya. Segera dari kejauhan ia nampak seperti
ada dua sinar menyorot ke arahnya.
"Apa itu ?" tanyanya pada diri sendiri.
Ia menduga akan binatang macan. Sebab menurut Liok
Sinshe, matanya macan suka mencorong kalau diwaktu
malam.
Hati Lo In tabah, nyalinya besar, ia tidak takut. Ia menghampiri
lebih dekat. Kiranya itu bukannya macan hanya seekor burung
yang luar biasa besarnya, tengah kebut-kebutkan sayapnya ke
tanah. Suaran gedebukan itu tiada lain dari pada sayapnya si
burung tadi yang dihantamkan ke tanah.
Lo In terus mengintip, ingin tahu apa maunya si burung yang
besar luar biasa itu mengebut-ngebutkan sayapnya ke tanah.
Ia ingat, kalau ia sedang main di tepi jurang sering melihat ada
burung yang luar biasa besarnya melayang-layang diatas
lembah. "Apakah bukan dianya ini ? " tanya Lo In pada dirinya
sendiri. Menurut katanya Liok Sinshe, burung sebesar itu
adalah burung rajawali yang biasa jinak dimiliki orang pandai
yang menyepi tinggalnya di pegunungan. Malah Liok Sinshe
namakan burung itu 'Kim-tiauw' atau 'Rajawali Emas' karena
patuk dan kedua kakinya kekuning-kuningan seperti emas
yang Liok Sinshe dapat lihat sendiri dari dekat pada suatu hari
ia sedang mencari daun obat-obatan di lembah itu.
Apa dia itu benar Kim-tiauw. Ingin Lo In menyaksikan dari
dekat, tapi tak dapat ia lakukan itu. Sayapnya yang memukulmukul
tanah bukan saja menerbitkan suara gedebukan tapi
juga menerbitkan angin keras menderu. Kalau Lo In berani
datang dekat, sekali dikibas sama sayapnya, pasti tubuhnya
akan melayang entah berapa jauhnya.
Setelah memperhatikan agak lama, Lo In berpendapat si
rajawali hanya mengibaskan sayapnya yang kanan saja,
sedang yang kiri diam saja. Ia seperti mau terbang tapi tak
bisa kalau cuma satu sayap. Pikir Lo In tentu rajawali ini
mendapat luka parah pada sayap kirinya.
Hatinya merasa kasihan, ingin ia periksa lukanya. Tapi
bagaimana mendekatinya ?
Otaknya lantas bekerja mencari akal. Matanya memandang ke
sekitarnya tapi agaknya ia cemas tidak melihat jalan untuk
pemecahan. Sebenrar lagi, setelah ia tundukkan kepala ia
menengadah melihat keadaan diatasnya si rajawali.
Tiba-tiba mulutnya bersenyum, rupanya ia sudah dapat akal
untuk mendekati si rajawali yang dalam kesukaran.
Bagaimana ? Dengan gunakan gerakan ilmu entengi tubuh
'Burung walet tembusi mega', ia enjot tubuhnya mencelat dan
di lain detik sudah tampak ia berloncatan dari satu dahan ke
lain dahan pohon. Dalam tempo pendek saja, ia sudah berada
di atas pohon yang dekat sekali pada si burung rajawali. Si
burung rajawali sama sekali engan kalau ada orang yang
datang dekatinya.
Ia masih sibuk gedebukan dengan sayapnya yang kanan.
Lo In menunggu sampai sayap itu berhenti dikebaskan, pada
saat mana enteng sekali tubuhnya melayang dan mencolok di
punggungnya si rajawali yang ketika sadar ada orang
menyerang, ia sudah tidak berdaya karena jalan darah di
bagian sayap dan lehernya sudah kena ditotok oleh si bocah
yang besar nyalinya.
Ketika itu sayapnya yang kanan berhenti mengebas-ngebas
sedang lehernya sudah menjadi kaku, tak dapat digeraki
hingga ia tak dapat mematuk lawan yang berada di atas
pungggungnya. Hanya sinar matanya saja mencorong seperti
yang sedang gusar sekali.
Meskipun mendapat kesukaran karena beratnya sayap si
rajawali, juga dibawah sayapnya terdapat lukanya yang berat,
Lo In dengan gembira sudah dapat mengobati lukanya itu
memakai obatnya Liok Sinshe yang amat mustajab.
Selain obat bubuk ditabur di tempat luka, juga Lo In paksa si
rajawali menelan pilnya, setelah berkutatan lama ia membuka
patuknya.
"Tiauw-heng" kata si bocah pada si rajawali. "Aku ini
temanmu, jangan takut. Maaf, kalau aku sudah berbuat sedikit
kasar menolong kamu !"
Gerak gerik Lo In lucu. Ia memanggil 'Tiauw-heng' atau 'Kanda
rajawali' kepada si burung garuda yang tinggal membisu saja.
Kuatir totokannya kurang kuat hingga si rajawali dapat geraki
pula sayapnya, yang menyebabkan lukanya tidak bisa rapat,
maka Lo In memberikan pula beberapa totokan sehingga
betul-betul tenaganya si burung garuda menjadi lumpuh.
Lukanya si rajawali ternyata kena panah beracun. Untung
tenaganya si burung garuda sangat kuat hingga menjalarnya
racun berjalan dengan perlahan dan keburu mendapat
obatnya Liok Sinshe yang mustajab. Kalau saja sampai
menanti besoknya lagi, terang jiwanya si rajawali tak akan
ketolongan.
Entah siapa yang begitu kejam melepaskan panah
beracunnya.
Lo In malam itu tidak jadi nginap di atas pohon yang banyak
dahannya, yang ia tinggalkan. Sebaliknya ia tidur diatas
pohon, tidak jauh dari mendekamnya si rajawali. Diam-diam ia
siap sedia menghadapi kemungkinan datangnya orang jahat
yang hendak mencelakakan si rajawali.
Tapi syukur sampai hari sudah terang tanah, tidak ada
kejadian apa-apa.
Lo In merosot turun dari atas pohon. Ia lihat si rajawali tengah
memejamkan matanya. Rupanya ia juga bisa tidur karena
tidak merasakan sakit lagi pada sayapnya yang kiri. Matanya
dibuka ketika ia mendengar Lo In berkata, "Tiauw-heng, kau
diam-diam saja mengaso. Tunggu aku akan mencari makanan
untuk kau makan."
Ia berkata sambil anggukan kepalanya seperti yang memberi
hormat kepada saudara yang tuaan. Ah, benar-benar lucu
kelakuannya Lo In.
Kemudian ia putar tubuh dan meninggalkan tempat itu.
Berkat kepandaiannya menyentil dengan batu kecil, maka
dalam tempo pendek saja Lo In sudah dapat menyentil jatuh
tiga ekor ayam hutan. Ketiga ekor ayam itu hendak ia bawa ke
tempatnya. Pikirnya, Tiauw-heng tentu gembul makannya,
tidak cukup kalau hanya 2-3 ekor ayam saja. Maka ia lalu
mencari pula ayam di lain tempat dan segera ia sudah
dapatkan lagi.
Empat dari lima ekor ayam itu, Lo In taruh di depannya si
rajawali, sedang yang seekor ia potong dan bersihkan dalam
selokan jernih, karena air gunung mengalir disitu. Kemudian ia
nyalakan api dan memanggang hasil buruannya.
Sambil panggang ayam, matanya Lo In memandang pada si
rajawali yang tinggal melotot saja mengawasi empat ekor
ayam yang ada di depannya. Ia tak dapat kerjakan patuknya
untuk menerkam hidangan didepannya itu sebab lehernya
masih belum bisa digeraki karena pengaruh totokan Lo In.
"Tiauw-heng." kata Lo In seraya bersenyum. "Kau tunggu
sebentar. Kita nanti makan sama-sama. Bukankah itu ada
lebih menyenangkan sebagai tanda terjalinnya persahabatan
diantara kita ?"
Si rajawali yang diajak bicara hanya matanya saja yang
melotot sebagai jawaban, tapi kali ini sinarnya tidak
bermusuhan.
Setelah beres memanggang ayamnya, Lo In mendekati si
rajawali.
"Tiauw-heng, kau jangan marah. Lantaran aku ingin menolong
jiwamu maka terpaksa dalam dua tiga hari ini aku bikin kau
tidak berdaya. Kau sabarlah !" berkata Lo In sambil kemudian
dengan sebat ia menotok bebas lehernya si rajawali berbareng
ia lompat mundur takut dipatuk.
Rupanya burung itu memahami akan kebaikan hatinya si anak
kecil sebab ia tidak perhatikan Lo In lompat tapi terus saja ia
gasak empat ekor burung itu satu persatu hingga dalam
sekejapan saja telah hilang lenyap dalam perutnya.
Lo In tertawa ngakak melihat kecepatan si rajawali
memindahkan empat ekor ayam ke dalam perutnya.
Hari itu usaha Lo In tidak memberikan hasil dalam mencari
Liok Sinshe.
Pada hari ketiga, ia datang dengan roman lesu mendekati si
rajawali yang sekarang menjadi jinak. Barani ia memeluk
lehernya dan menciumi patuknya yang indah seperti emas.
"Tiauw-heng, aku mencari Liok Sinshe." ia kata pada si
rajawali. "Apa kau lihat dia ada dimana ?"
Seperti yang mengerti akan kata-kata manusia, burung itu
geleng kepalanya.
Lo In makin sayang pada burung itu yang rupanya mengerti
akan omongan orang. Setelah menggelendoti tubuhnya
burung yang seperti raksasa itu, Lo In ingat akan
kewajibannya untuk memeriksa lukanya.
"Tiauw-heng, mari aku periksa lukamu." ia berkata seraya
dengan sebatnya ia menyingkap sayap burung itu, dibawah
mana ada terdapat lukanya yang parah.
Lo In kerutkan keningnya.
"Kau masih belum dapat geraki sayapmu yang terluka, Tiauwheng."
katanya.
Sementara itu, ia keluarkan obatnya dan mulai beri obat baru
pada luka si rajawali, patuknya Lo In buka dengan tangannya
yang kecil untuk dimasukan pil mujarabnya. Sungguh heran,
burung itu menurut saja, jinak sekali dan pasrah apa yang
diperbuat Lo In. Rupanya ia mengerti akan kebaikan orang.
"Tiauw-heng, mulai saat kita ketemu, aku sudah tahu kau akan
menjadi teman sebagai gantinya Liok Sinshe. Maka
selanjutnya, harap kau selalu jangan meninggalkan aku, ya !"
berkata Lo In sambil mengelus-elus sayapnya si rajawali.
Burung itu angguk-anggukkan kepalanya, matanya merem
melek, girang rupanya ia diusap-usap Lo In dengan
kesayangan.
Pada hari keenam si rajawali sudah sembuh benar-benar dari
luka parahnya. Ia sudah dapat geraki kedua sayapnya seperti
sedia kala. Setelah terbang beberapa putaran, ia turun di
depan Lo In lalu mendekam dan kepalanya dianggukanggukkan
seperti yang menghaturkan terima kasih atas
pertolongannya si bocah.
Lo In dapat memahami gerak gerik si burung garuda, maka
sambil menubruk dan menciumi ia berbisik, "Tiauw-heng, kita
sudah jadi saudara. Tak usah kau mengucap terima kasih
segala."
Tangannya mengelus-elus kepalanya si rajawali, ketika ia mau
mengusap-usap patuknya tiba-tiba Lo In merasa heran. Dari
matanya burung itu ada melelehkan air mata. Entahlah,
kenapa burung itu menangis.
Lo In terharu, bukan karena apa. Ia hanya terkenang akan
dirinya Liok Sinshe. Dimanakah adanya penolong itu. Apakah
dia masih hidup atau sudah mati ? Sebab sudah hampir
seminggu ia mencari jejaknya belum juga berhasil
menemuinya.
Siapakah Liok Sinshe itu ? Apa dia Kwee Cu Gie ? Siapakah
Kwee Cu Gie itu ?
Dimana adanya kedua orang tuanya ? Mati sudah atau masih
ada dalam dunia ini ?
Kenapa Liok Sinshe begitu sayang dan memperhatikan dirinya
begitu rupa ? Apa hubungan ia dengan Liok Sinshe ?
Pusing Lo In memikirkannya itu semua. Malah jadi bertambah
sedih hingga saling peluk dengan si rajawali, menangis
sampai terdengar suaranya Lo In terisak-isak.
Sang burung, rupanya ingin menghibur Lo In. Kemudian ia
mementang sayapnya akan terbang ke atas pohonjauh disana,
terpisah dari Lo In.
Lo In yang cerdik mengerti maksudnya si rajawali. Maka ia
juga telah berhenti menangis, ia gosok air matanya dengan
tangan bajunya.
Dalam hari-hari berikutnya dalam usaha mencari Liok Sinshe,
Lo In dikawal oleh si rajawali.
Senang hati Lo In. Sering ia ajak si rajawali bercanda.
Hari-hari demikian mereka bergaul, hingga keakrabannya
meningkat.
Sering atau hampir saban hari, tampak Lo In pesiar di atas
lembah sambil menunggang rajawali yang merupakan kapal
terbangnya.
Dasar anak-anak menghadapi apa yang baru, lupa pada yang
lama. Ditemani si burung raksasa, Lo In merasa aman. Betah
ia tinggal dalam lembah itu, lupa pulang ke rumahnya di atas
jurang Tong-hong-gay yang sebenarnya ia bisa pergi ke sana
dengan mudah dengan menunggang kapal udaranya 'si
rajawai'.
Soal makanan Lo In tidak kekurangan, mau ikan ia dapat di
sungai-sungai kecil yang banyak terdapat disitu. Mau daging
ayam, kelinci, babi, mudah sekali ia dapat. Cuma tinggal
perintah si rajawali yang pergi menangkapnya.
Tapi Lo In lebih senang makan buah-buahan yang terdapat
disitu. Ia rasakan badannya lebih segar dan nyaman dari pada
makan ikan dan daging.
Yang lucu, Lo In sudah dapat tundukkan kawanan kera liar
dalam lembah itu. Mereka kelihatan sangat berterima kasih
dan menganggap Lo In sbagai rajanya.
Dengan begitu, Lo In bertambah banyak kawan.
Bagaimana Lo In dapat tundukkan kawanan kera liar, kecil
besar ? Itulah kejadian pada suatu hari ketika cuaca mendung.
Selagi ia tiduran celentang di bawah sebuah pohon, tiba-tiba ia
dikurung oleh kawanan monyet liar, bukan satu dua tapi
adalah puluhan hingga ia merasa amat heran.
Lo In bangkit, duduk, sambil kedua tangannya memeluk kedua
dengkulnya yang ditekuk. Kepalanya menunduk seolah-olah
yang tidak memperhatikan dirinya tengah dikurung oleh
kawanan monyet galak.
Suara cetcowetan yang ramai dari kawanan monyet itu tidak
dihiraukan oleh Lo In. Terus saja ia berpura-pura mati ular.
Kelihatannya kera-kera itu amat gusar pada si bocah. Bisa
dilihat dari sikap dan gerakan mereka yang keluarkan suara
'her ! her !' sambil mulutnya nyengir-nyengir menakuti.
Entahlah, kenapa mereka demikian benci pada Lo In.
Mungkinkah karena perbuatannya Lo In ?
Untuk melatih ginkang (ilmu entengi tubuh), Lo In saban hari
melatih diri dengan mencelat sana sini di atas pohon. Gesit
luar biasa hingga mengalahkan jauh dari kepandaian keraTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
kera yang ada disitu.
Rupanya hal inilah yang menyebabkan kawanan kera itu
membenci Lo In.
Mereka yang bermula merasa kagum melihat kegesitannya Lo
In, belakangan merasa mengeri dan anggap Lo In adalah
suatu saingan berat dalam dunianya.
Lama juga sudah Lo In perhatikan sikap permusuhan dari
mereka itu. Tapi Lo In tidak memperdulikan sampai pada saat
itu baharu berasa bahwa dirinya benar-benar dibenci.
Tapi Lo In tidak takut. Pikirnya kawanan kera itu tak dapat
membuat susah dirinya. Ia mau lihat apa mereka bisa bikin
terhadapnya. Tak perlu ia minta bantuan si rajawali yang
dengan sayap raksasanya, sekali mengebas saja membuat
puluhan kera itu akan sungsang sumbel dan terbang kemana
tahu. Ia mau taklukan kawanan kera itu dengan usahanya
sendiri.
Dua yang paling besar diantara kawanan monyet itu,
perdengarkan cetcewetannya lebih keras. Rupanya berupa
bentakan-bentakan, memerintah pada kawan-kawannya untuk
segera menggempur Lo In yang tinggal anteng-anteng saja.
Memang dua kera besar itu adalah yang paling pandai dalam
hal meloncat dari satu ke lain cabang pohon. Kawankawannya
mengagumi kepandaiannya itu. Merekalah yang
paling menaruh dendam pada Lo In, yang dianggap saingan
alot.
Meskipun bentak-bentakannya makin keras, kawanan kera itu
masih belum berani menerjang Lo In. Rupanya mereka jeri
sebab Lo In ada backingnya si rajawali.
Mereka sambil cetcowetan, celigukan sana sini seakan-akan
mengamat-amati apakah si burung raksasa ada di sekitar situ
mengawal si bocah. Si rajawali ternyata tidak ada. Memang
tidak ada. Ia lagi terbang ke lain tempat untuk mencari
makanan.
Hatinya kawanan kera liar itu rupanya jadi berani, sebab suara
'hor, hor !' dari dua pimpinannya paling akhir dibarengi dengan
menyerbunya mereka.
Yang diserbu tiba-tiba saja lenyap dari pandangan mereka.
Terdengar ramai-ramai suara cetcowetan kawanan kera itu.
Sambil kepalanya pada mendongak ke atas dimana mereka
lihat Lo In sedang bercokol di atas dahan sambil ketawaketawa.
Kiranya diwaktu kawanan monyet itu melakukan penyerbuan
serentak, dengan gerakan 'Walet terbang menembusi awan',
tubuhnya Lo In mencelat ke atas, mencelok diatasnya
sebatang dahan pohon, dimana si bocah sambil uncanguncang
kaki mentertawakan lawan-lawannya yang ribut
cetcowetan di sebelah bawah.
Hanya dua tahun Lo In mendapat gemblengan tenaga dalam
dari Liok Sinshe, ia sudah memanfaatkan sebaik-baiknya
dalam latihan ginkeng (entengi tubuh), cukup untuk melayani
kawanan kera yang menyerang dirinya dengan penuh
kebencian.
Degnan dikepalai oleh dua monyet besar tadi, kawanan
monyet itu segera juga pada menaiki pohon, lelompatan
mengepung Lo In yang segera unjuk kegesitannya untuk
meloloskan diri dari kepungan mereka.
Tampak Lo In loncat ke atas sebatang dahan yang lebih tinggi.
Selag ia terbahak-bahak ketawa, sembari kedua tangannya
bertepuk-tepuk keras menggodai kawanan monyet yang
mengubar dirinya, tiba-tiba terdengar suara 'hor ! hor !'
agaknya keras dan lebih bengis di atas kepalanya. Ketika ia
mendongak, kiranya diatasnya ada dua kera lebih besar lagi
dari dua kera besar tadi, yang ia lihat menjadi pemimpinnya.
Itulah sepasang orang utan hitam legam, lengannya besarbesar,
matanya tajam mengawasi Lo In seraya perdengarkan
suara 'hor ! hor !' menakutkan.
Diam-diam Lo In perhatikan, rupanya dua orang utan itu suami
istri. Yang lelaki kepalanya hampir botak, yang perempuan
matanya tertutup satu disebelah kiri, sedang dibelakangnya
ada menggemblok anaknya, mulutnya ramai cetcewetan.
Lo In hendak enjot tubuhnya menyingkir, tapi sudah terlambat.
Si orang utan yang lelaki menyambar dari atas dan tepat dapat
mencekal lengan Lo In.
Sakit rasanya cekalan si orang utan, lebih-lebih Lo In kaget,
tenaganya seperti lenyap oleh pengaruh cekalan itu hingga ia
tak dapat berkutik.
Celaka, pikirnya, apa ia bakalan mati ditangannya si orang
utan ?
Tengah hatinya berkuatir, sekonyong-konyong terdengar
suaranya si rajawali dari jauh tengah mendatangi hingga ia
jadi sangat kegirangan.
Rupanya si orang utan sudah kenali suaranya si rajawali, tahu
juga Lo In ada kawannya, maka ia jadi ketakutan. Dengan
sendirinya, cekalannya yang melumpuhkan itu terlepas. Ia
lompat pula ke atas, ajak bininya ikut lari.
Angin seperti menderu kedengarannya ketika si rajawali
sampai dengan kebasan sayapnya. Ia mencelok disatu dahan
dekat Lo In. Saking berat badannya membuat pohon sampai
tergetar rasanya.
"Tiauw-heng, syukur kau datang. Kalau lambat sedikit saja,
aku kena dicelakai si orang utan !" Lo In berkata pada
kawannya.
Seperti yang mengerti, si rajawali tampak beringas romannya
ketika mendengar ada makhluk yang mau bikin celaka
kawannya.
Lo In berbareng lompat mendekati si rajawali, ia usap-usap
sayapnya.
Tiba-tiba Lo In mendengar suara teriakan. Matanya yang awas
segera dapat lihat si orang utan yang perempuan terpeleset
jatuh. Ia sendiri dapat tolong dirinya karena sudah menjambret
cabang pohon. Tapi anaknya, dalam kaget sudah melepaskan
cekelan pada leheer ibunya hingga tidak ampun lagi anak
orang utan itu meluncur jatuh terbanting di tanah dan pingsan.
Dalam ketakutannya atas kedatangan si rajawali, dua orang
utan itu sudah terbirit-birit lari, lompat dari satu ke lain cabang
pohon. Rupanya yang perempuan kurang hati-hati memilih
cabang pohon, maka ketika ia loncat ke cabang yang lapuk, ia
kaget. Cepat lompat lagi ke lain cabang cuma saja saking
gugupnya ia terpeleset dan menjerit ketika terpelanting.
Yang lelaki berada beberapa tindak disebelah depan, ia kaget
bukan main mendengar jeritan sang istri. Cepat ia putar
tubuhnya tapi sudah tak dapat menolong anaknya yang
terpelanting jatuh dari gendongan ibunya.
Mulutnya cetcowetan ramai. Bersama istrinya, ia cepat-cepat
turun ke bawah, lari menghampiri anaknya yang sudah tidak
sadarkan diri. Sang ibu menubruk anaknya sambil
menggoyang-goyang tubuh si orang utan kecil, mulutnya
cetcowetan menangis.
Segera banyak monyet-monyet yang datang merubung.
Lo In yang melihat dan menyaksikan kejadian yang hebat itu,
tidak tega hatinya. Entahlah, bagaimana keadaannya si anak
orang utan itu.
"Tiauw-heng, mari kita tolong dia." ia berkata pada si rajawali.
Berbareng, ia geraki kakinya berloncatan ke bawah yang
diikuti oleh si rajawali. Dengan hanya sekali kibasan sayapnya
sudah sampai ditempat banyak kera berkumpul. Lo In tidak
tahu bagaimana caranya memberi pertolongan. Sebab kalau
ia dengan begitu saja datang dekat, tentu tidak dapat dipahami
maksud baiknya. Apa lagi si orang utan sudah pernah
memencet lengannya, tentu kedatangan Lo In dianggap akan
menuntut balas, menggunakan kesempatan ketika mereka
sedang kesusahan anaknya mendapat kecelakaan.
Baik juga tongkrongan si rajawali dibuat jeri oleh kawanan
kera itu.
Ketika rajawali itu sampai, mendahului Lo In. Kawanan monyet
itu sudah simpang siur lari. Malah dua orang utan itu, saking
ketakutannya sudah lupa akan anaknya dan lari terbirit-birit.
Anak orang utan itu jadi ditinggalkan sendirian.
Lo In girang menampak kejadian itu diluar perhitungannya.
Cepat ia dekati si anak orang utan, ia periksa, meraba-raba
dadanya, pegang nadinya. Lucu, persis lagaknya seorang
tabib.
Ini, Lo In bukannya menjual aksi. Kelakuan ini meniru Liok
Sinshe jika si tabib Liok diundang untuk mengobati orang
sakit, ia suka turut dan menyaksikan caranya Liok Sinshe
berbuat atas dirinya si pasien.
Lo In girang karena si orang utan kecil tidak putus jiwanya. Ia
hanya tidak berkutik karena pingsan, kaget jatuh dari tempat
yang demikian tinggi.
Kelakuan Lo In itu disaksikan oleh banyak kera dari kejauhan,
terutama oleh dua orang utan dengan penuh rasa kuatir,
apakah anaknya akan dibunuh mati Lo In. Buat merebut
anaknya dari tangan Lo In, mereka tak berani lakukan, melihat
si rajawali tengah mendekam didekatnya.
Melihat keadaan anak orang utan itu berat juga, tak dapat
disembuhkan dengan seketika, maka ia lalu angkat tubuhnya,
diempo lantas menghampiri si rajawali, ke atas punggung Lo
In loncat.
"Tiauw-heng, mari kita pergi !" kata Lo In.
Berbareng si rajawali bangkit lalu mengebaskan kedua
sayapnya akan kemudian terbang mumbul. Tinggal dua orang
utan itu berteriak-teriak dengan cara dia sendiri. Rupanya
mereka sangat gusar pada Lo In yang sudah merampas
anaknya.
Lo In ditempatnya sebuah gubuk yang dibangun diatas sebuah
pohon besar. Memakan waktu juga menolong anak orang utan
itu. Sebab anak orang utan itu kecuali mendapat luka dalam,
juga tangannya yang sebelah kiri keseleo yang perlu ditolong
dengan jalan mengurut tiap hari tiga kali.
Selang empat hari, Lo In sudah bikin anak orang utan itu
sembuh benar. Ia kelihatan suka pada Lo In yagn tadinya
ditakuti. Dalam tempo empat hari mereka berkumpul, anak
orang utan itu menjadi jinak, sering menggelendoti Lo In.
Mulutnya cetcowetan seakan-akan mengajak bercakap-cakap.
Tapi sayang Lo In tidak mengerti akan percakapannya.
Meskipun begitu, Lo In suka pada anak orang utan itu. Sering
ia ajak main, diajak bercakap dengan gerakan mulut dan
tangan.
Gembira kelihatannya anak orang utan itu.
Pada hari yang keenam, Lo In berkata pada si anak orang
utan, "Adikku, hari ini kau harus pulang menemui ayah ibumu.
Harap selanjutnya kau akan menjadi sahabatku yang baik
seperti aku punya Tiauw-heng."
Sambil berkata, Lo In empo anak orang itu lalu keluar dari
gubuknya.
Dengan sekali suitan, segera kapal udaranya sudah datang.
Dengan menumpang si rajawali, Lo In pergi ke tempat dimana
ia telah dikeroyok kawanan monyet liar. Sesampainya disana,
ia dapatkan keadaan sepi. Cuma ada beberapa kera yang
lelompatan sana sini.
Melihat Lo In datang dengan mengempo anak orang utan,
monyet-monyet itu menjadi heran rupanya. Tapi sebentar lagi,
tampak mereka datang lagi membawa kawan-kawannya.
Diantaranya tampak itu sepasang orang utan.
Mereka tidak berani datang dekat pada Lo In karena si rajawali
mendekam di dekatnya. Bagaimana pun, dua orang utan itu
terbelalak matanya melihat Lo In tengah mengempo anaknya
yang cetcowetan menciumi pipinya si bocah.
Lo In dapat melihat pada mereka, maka cepat ia turunkan
anak orang utan itu dari empoannya sambil berkata, "Adikku,
pergi kau ketemui ayah bundamu !" Lo In sambil menunjukkan
kejurusan orang utan yang berada diatas pohon, yang tengah
keheran-heranan mengawasi kejadian itu.
Anak orang utan itu melihat ke jurusan yang ditunjuk oleh Lo
In. Ia melihat pada ayah bundanya. Cepat ia lari sambil
mulutnya cetcowetan. Sang ibu bapak juga tidak tinggal diam.
Mereka loncat-loncat turun dari pohon dan memapaki anaknya
yang lantas diempo oleh si ibu, diciumi dengan penuh
kesayangan.
Dalam empoan ibunya, sang anak cetcowetan sambil
menunjuk-nunjuk kejurusan Lo In. Rupanya ia sedang
bercerita tentang pertolongan yang diberikan Lo In dan
kebaikannya si bocah hingga kelihatannya si ibu merasa
sangat gegetun sekali, sedang si ayah angguk-anggukkan
kepalanya yang botak.
Lo In menyaksikan itu semua dengan bersenyum. Kemudian
putar tubuhnya menyamperi si rajawali, loncat ke
punggungnya. "Mari kita pergi, Tiauw-heng !" katanya sambil
tepok pundaknya si rajawali.
Sebentar saja, Lo In sudah ada di udara bersama kapal
terbangnya.
Meskipun binatang, kawanan kera itu tahu akan kebaikan
orang. Maka sejak itu, mereka telah menghapuskan
kebenciannya dan tidak berani mengganggu lagi Lo In yang
semula dianggap saingan alot.
Malah yang lucu, sejak itu, Lo In boleh dikata tak usah susahsusah
mencari buah-buahan lagi untuk makannya. Karena
setiap pagi, ia dapatkan banyak buah-buahan berserakan di
bawah pohon diatas mana ia tidur. Rupanya ini ada kiriman
dari kawanan keras yang merasa berterima kasih, anak
rajanya sudah ditolongi.
Bebuahan itu ditaruh berserakan. Rupanya kera-kera itu takuti
si rajawali. Maka seenaknya saja mereka melemparkan dan
lari pergi. Lo In memahami ini, maka kepada rajawalinya ia
memesan supaya ia tidak ganggu kera-kera yang
mengantarkan bebuahan itu. Kawanan kera itu belakangan
jadi berani karena melihat si rajawali tidak apa-apa. Maka
buah-buah yang diantarnya, mereka tumpuk dengan rapih.
Malah ada yang berani naik di pohon dan meletakan buahnya
di depan gubuknya Lo In.
Lo In terharu melihat kecintaannya kawanan kera itu.
Maka terjalinlah persahabatan diantara kawanan kera itu
dengan Lo In.
Dalam pertemuan pertama dua orang utan, seperti manusia,
mereka berlutut dihadapan Lo In sambil manggut-manggut. Di
sampingnya ada anaknya yang juga turut berlutut. Mereka
sangat berterima kasih atas pertolongannya Lo In sehingga
anaknya selamat dari cengkeraman maut.
Lo In ketawa. "Toa-hek, Ji-hek dan adikku," kata Lo In. "Kita
orang sendiri, tak usah banyak pakai peradatan. Kalian
bangunlah. Selanjutnya kita menjadi sahabat saling tolong !"
Seperti yang mengerti omongan Lo In, mereka semua bangkit.
Lo In tatkala itu duduk diatas sebuah batu, tengah menikmati
mengalirnya air sungai, dalam mana banyak terdapat ikan-ikan
yang sedang main-main.
Lo In memanggil Toa-hek (si hitam kesatu) dan Ji-hek (si hitam
kedua) kepada dua orang utan itu adalah panggilan dari
keakraban persahabatan.
Toa-hek dan Ji-hek serta anaknya menghampiri Lo In. Toa-hek
mengusap-usap tangan, Ji-hek mengusap-usap pipi,
sementara Siauw-hek (si kecil) lompat kepangkuan Lo In
sambil cowet-cowetan ngomong dalam bahasanya sendiri. Lo
In suka dan sayang pada Siauw-hek, maka ia elus-elus
kepalanya, sambil katanya, "Siauw-hek, kau lekas gede. Nanti
bisa bantu aku mencari Liok Sinshe."
Sejak itulah mereka bergaul rapat.
Supaya pergaulannya lebih leluasa lagi, maka pelan-pelan Lo
In ada pelajari gerak gerik dan suaranya kera-kera diwaktu
mereka berloncatan di pohon-pohon sambil cetcowetan.
Berkat kecerdasan otaknya yang luar biasa, ia dapat kemajuan
banyak dalam bahasa monyet, meskipun tidak seluruhnya.
Cukup dengan membuka mulutnya, cowet-cowet, ia dapat
memerintahkan kera-kera yang diajak bicara olehnya untuk
melaksanakan titahnya dengan baik.
Kawanan kera itu semakin menghargai dan menjunjung tinggi
Lo In. Boleh dikatakan ia adalah raja monyet, karena tiap
titahnya dilaksanakan dengan kontan.
Dengan adanya Toa-hek sebagai teman berlatih, lwekangnya
Lo In meningkat. Kalau mula-mula satu kali pegang saja Lo In
tak dapat berontak dari cekalan Toa-hek, pelan-pelan
tangannya makin kuat hingga dari kewalahan Toa-hek menjadi
pecundang. Dalam latihan tenaga, jangan bicara ilmu silat,
sudah tentu Lo In ada di pihak unggul. Girang hatinya Lo In
dengan kemajuan yang diluar perhitungannya itu. Maka pada
suatu hari si rajawali ia ajak berlatih.
"Tiauw-heng, tenagamu sangat hebat. Aku ingin sepertimu.
Coba, mari kita berlatih !" Lo In menantang.
"Mari !" si bocah mengundang lagi ketika melihat si rajawali
tinggal diam mendekam saja. Ia pasang kuda-kuda untuk
menerima serangan si rajawali.
Sesudah kedap kedip matanya, si burung raksasa pelangpelan
bangkit.
Ketika Lo In menyambar dengan tangannya yang kuat
sekarang, pikirnya, si rajawali tak kuat menahan serangannya.
Tapi si bocah salah hitung. Sebab cuma sekali kebas saja
dengan sayap kirinya, Lo In terdampar oleh angin kebasan
hingga ia jatuh duduk.
"Itu hebat, Tiauw-heng." ia berkata sambil nyengir dan rasakan
pantatnya sakit juga bekas jatuh barusan. "Kau pelan-pelan
dahulu. Jangan terlalu kuat mengebaskan sayapmu !"
Lo In bicara seperti saja terhadap seorang partner, kawan
selatihan. Tapi si burung raksasa seperti yang mengerti akan
maksud Lo In. Benar saja kebasan yang selanjutnya dilakukan
perlahan.
Lo In menjadi girang. Sejak itu ia terus ajak si rajawali berlatih.
Saban hari tenaganya Lo In meningkat an kegesitannya
bertambah. Maka setelah lewat dua bulan, betul-betul luar
biasa tenaga dalamnya si bocah. Ia sudah dapat menahan
kebasan sayap si burung raksasa yang bagaimana keras juga.
Hal mana membuat si rajawali juga merasa heran
kelihatannya.
Lo In bangga dengan latihannya. Ia kira semua itu dari
tenaganya yang meningkat demikian hebatnya. Tapi ia tidak
sadar bahwa tenaga dalamnya itu bisa demikian kokoh
lantaran ia memakan buah Jit-goat-ko atau 'Buah bulan
matahari' yang ia dapatkan diantara buah-buah yang diantar
oleh kawan-kawannya.
Buah itu bentuknya mungil, tidak besar, hanya sebesar telur
angsa. Warnanya separuh merah dan separuh putih. Kapan
buah itu dibelah, segera menyiarkan bau harum yang lama
sekali memenuhi hidung. Kalau disedot, rasanya nyaman dan
segar seluruh badannya. Ini baharu harumnya saja, apalagi
buahnya kalau dimakan rasanya lezat sekali. Tenggorokan
yang dilewati oleh buah itu, selama lima menit terus menerus
akan mengeluarkan hawa wangi yang menyegarkan. Seluruh
badan rasanya kaku sejenak tapi kemudian tangkas lagi.
Tindakan berubah menjadi enteng, sedang tenaga entah dari
mana sudah berlipat tambahnya.
Buah itu Lo In dapatkan dua biji. Entah dari mana sang kera
dapatkan ini, dua-duanya ia sikat habis setelah ia rasakan
bagaimana harum dan enaknya buah itu, dimasukkan ke mulut
lewat tenggorokannya.
Di permulaan cerita dilukiskan bagaimana girang dan bangga
Liok Sinshe menampak kecerdasannya Lo In. Si bocah bukan
saja sudah mewariskan semua kepandaian Liok Sinshe yang
dicatat dalam otaknya, juga rahasia dari ilmu menotok jalan
darah yang terdapat dalam buku 'Tiam-hiat Pit-koat' sudah jadi
miliknya Lo In.
Anak kecil itu tinggal memerlukan gemblengan tenaga alam
yang sempurna, lantas ia akan berubah menjadi satu
pendekar yang sukar menemui tandingan. Tapi peryakinan
lwekang (tenaga dalam) yang sempurna bukannya gampang.
Itu harus meminta bukan satu dua tahun tempo, tapi makan
puluhan tahun. Meskipun demikian, Liok Sinshe yakin, dalam
bimbingannya dalam waktu tidak sampai sepuluh tahun, ia
bisa bikin Lo In menjadi jago tak terkalahkan.
-- 5 --
Hanya sayang sekali, Liok Sinshe yang mengasuh Lo In
sampai setengah jalan, baru saja ia menggembleng lwekang
Lo In dua tahun lamanya, tiba-tiba ada bencana dengan
kedatangannya Siauw-san Ngo-ok dan kawan-kawannya. Liok
Sinshe jatuh tergelincir ke dalam jurang yang jejaknya tak
dapat diketemukan oleh Lo In yang berusaha mencarinya
siang malam.
Setelah dapat menahan kibasan sayap si rajawali yang
demikian dahsyatnya, diam-diam Lo In merasa sangat
geregetan. Ia sendiri merasa tenaga dalamnya ada hebat,
tidak berani ia balas menyerang pada burung kesayangannya,
kuatir nanti si rajawali terluka oleh karenanya. Sekarang, siapa
yang ia dapat ajak berlatih setelah si burung raksasa tak
berdaya menghadapi ia ?
Pada suatu malam, ia keluar dari gubuknya. Tidak lagi ia
leloncatan dari satu ke lain dahan pohon untuk turun ke
bawah, meniru si burung raksasa. Benar-benar hebat ilmu
entengi tubuhnya. Bagaimana ia dapat demikian hebat
ginkangnya ? Inilah justru menjadi pertanyaan yang sampai
sebegitu jauh belum dapat dijawab olehnya sendiri.
Tidak jauh dari situ ada terdapat satu lapangan, cukup besar
untuk berlatih silat. Di sekitarnya banyak tumbuh pohon, tinggi
dan rendah, tidak rata. Dan ini semua bagi Lo In merupakan
lapangan untuk melatih ginkangnya.
Di bawah terangnya sang rembulan, Lo In tampak melatih ilmu
silatnya ajaran Liok Sinshe dengan tangan kosong mula-mula.
Pukulan-pukulannya ternyata luar biasa, semua menerbitkan
angin menderu. Kapan ia tujukan pukulannya ke atas, cabangcabang
pohon yang jaraknya dua tombak pada bergoyang dan
daun-daunnya pada berjatuhan ke tanah. Gerakannya gesit
luar biasa hingga yang tak melihat dengan mata kepala sendiri
tentu akan tidak percaya Lo In mempunyai tenaga yang
sempurna dan ilmu silat yang aneh-aneh melihat usianya baru
masuk empat belas tahun.
Lo In tidak merasa kalau ia dalam lembah itu diam-diam sudah
melewatkan waktunya hampir 2 tahun. Pantas badannya
makin tinggi, sedang romannya makin nyata kecakapannya.
Sayang pakaiannya mulai compang camping. Maklumlah ia
masuk ke dalam lembah itu tak membawa bekal pakaian. Jadi
ia tiap hari mengenakan pakaian itu-itu juga.
Setelah berlatih dengan tangan kosong, Lo In ganti berlatih
dengan pedangnya, juga tidak kurang hebatnya. Kalau tak
dapat dikatakan lebih hebat dan seram pula. Kecepatan
memainkan pedang yang bobotnya sangat enteng,
menimbulkan angin santar. Suaranya 'bat bet bat bet', bisa
membuat musuh yang menghadapinya ciut nyalinya.
Berhenti berlatih, Lo In duduk termenung di atas rumput.
Ia masih penasaran, lalu bangkit dari duduknya menghampiri
sebuah pohon siong (cemara) yang ukuran bulat batangnya
sebesar betis orang gemuk. Ia pasang kuda-kudanya lalu
kerahkan lwekangnya. Tampak seperti menghembus hawa
putih dari embun-embunannya. Ia berdiri kira-kira satu tombak
dari pohon yagn mau dibuat sasarannya. Setelah merasa
cukup kekuatan untuk menyerang, kedua tangannya digeraki
berbareng, diulur ke depan. Angin menghembus keluar hebat
bukan main. Segera terdengar suara 'krak !'. Disana, pohon
siong yang dipakai sasaran, kelihatan tumbang. Tidak dapat
menahan serangan Lo In yang dahsyat itu.
Lo In berdiri bengong. Ia kagum akan tenaganya sendiri,
berbareng ia menanya dirinya sendiri, dari mana mendapat
tenaga yang luar biasa itu.
"Celaka." katanya dalam hati kecilnya. "Tenagaku begini
dahsyat, aku tidak boleh sembarangan pukul orang !"
Sebentar lagi ia akan meninggalkan tempat.
Lo In kira tidak ada yang lihat perbuatannya. Tidak tahunya,
diam-diam sambil mendekam di atas dahan pohon, si rajawali
menonton ia tengah berlatih silat dan matanya si burung
terbelalak kagum menyaksikan Lo In memukul tumbang pohon
siong.
Sampai dibawah pohon, dengan gerakan 'walet terbang
menembusi awan', ilmu entengi tubuh yang paling ia suka, Lo
In sebentar saja sudah ada didalam gubuknya lagi.
Bulak balik ia di pembaringannya. Tidak bisa tidur memikirkan
akan keanehan tenaganya yang luar biasa. Tiba-tiba
berkelebat dalam benaknya tentang 'Jit-goat-ko', buah mujizat
yagn ia makan demikian harum dan lezat rasanya.
Pikirnya, apakah oleh karena makan itu ? Ia kemudian merasa
sangsi lagi sebab setelah ia makan buah itu, ia lantas rasakan
perubahan aneh dalam tubuhnya, enteng dan gesit dirasakan
tubuhnya, tenaganya pun meningkat entah berapa puluh kali
karean si burung raksasa kontan pada hari-hari berikutnya
tidak berdaya menghadapi ia berlatih.
Dari mana kawanan kera itu dapatkan buah ajaib itu ?
Maka pada keesokan harinya, ia lantas kumpulkan kawankawan
keranya. Ia majukan pertanyaan, siapa diantaranya
yang membawakan buah yang bentuknya macam telur angsa
dan warnanya merah putih.
Lo In gunakan bahasa monyet menanyakannya hingga
puluhan monyet yang hadir dalam pertemuan itu pada
cetcowetan ramai. Rupanya satu dengan lainnya pada saling
bertanya. Tidak lama, satu kera yang berpotongan kecil tapi
gesit, lompat ke depan Lo In, berlutut sambil anggukanggukkan
kepala.
Lo In girang melihatnya. "Pek-gan, jadi kau yang
membawakannya untukku ?" ia menanya seraya mengeluselus
kepalanya si kera.
Pek-gan, kera itu dipanggil Lo In, artinya 'Mata Putih'.
Ia ada satu kera jantan yang bertubuh kecil, tapi kegesitannya
melebihi kawan-kawannya. Dua matanya putih seperti mata
yang terbalik, tapi ia melihat terang sebagaimana biasa. Malah
ada keistimewaannya, dengan sepasang matanya yang aneh
itu, pada malam hari gelap ia dapat melihat tegas terang
bagaikan siang hari. Ia mempunyai teman yang hampir sama
gesit dan cerdasnya dengan dia. Kera ini kepalanya putih dan
lebih jangkung sedikit, tapi kurusnya sama. Ia dipanggil 'PekTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
tauw' oleh Lo In, artinya 'Kepala Putih'.
Dua kera ini paling disayang oleh Lo In karena gayanya yang
lucu dan sering bikin ketawa, baik dalam percakapan maupun
dalam kelakuannya. Hingga bagi Lo In, mereka itu ada dua
penghibur yagn menyenangkan.
Lain dari itu, dalam soal mengantar buah-buahan mereka tidak
sembarangan asal petik saja. Selalu mereka pilih buah-buah
yang istimewa untuk dipersembahkanpada junjungannya. Oleh
karenanya Lo In sangat menghargakan mereka.
Pek-gan senang kepalanya diusap-usap Lo In, matanya
melirik bangga pada kawan-kawannya.
"Pek-gan, coba kau terangkan dari mana kau dapatnya. Apa
kau masih bisa dapatkan pula beberapa buah untukku ?"
demikian kata Lo In dalam bahasa kera.
Pek-gan geleng-geleng kepala. Mulutnya kemudian
cetcowetan sambil tangannya menunjuk-nunjuk. Rupanya ia
sedang cerita menuturkan pengalamannya.
Lo In mengerti cerita Pek-gan. Kiranya buah mujizat itu si kera
dapatkan pada satu tebing yang curam disebelah barat
mereka sedang berkumpul. Pohonnya hanya mengeluarkan
dua buah. Malah setelah dipetik buahnya, pohon itu lantas
layu, daun-daunnya pada kuncup.
"Tidak apa." kata Lo In. "Lain kali kau boleh bawakan lagi
buah-buah lain yang sama baiknya. Nah, kau boleh kumpul
lagi dengan teman-temanmu !" Lo In sambil tepuk-tepuk
pundaknya si kera.
Berbareng dengan ini, tiba-tiba Lo In dan kawanan kera
menjadi kaget mendengar suara monyet berteriak-teriak minta
tolong Lo In dan yang lain-lain pasang kuping untuk menegasi
dari mana datangnya suara minta tolong itu.
"Ah, itu suaranya Ji-hek !" kata Lo In sambil lompat dari
duduknya.
Terus ia gunakan ilmu entengi tubuhnya, memburu ke selatan.
Semua kera paling kalut, masing-masing gunakan kecepatan
lari menyusul Lo In. Sedang si rajawali juga tidak ketinggalan,
pentang sayapnya dan terbang mendahului Lo In.
Lo In tidak minta 'kapal terbangnya' stop dahulu untuk
membawa dia, sebab ia tahu Ji-hek lebih perlu lekas ditolong,
jikalau ia mendengar teriakannya yang menyayatkan hati.
Ketika Lo In sampai disatu lapangan terbuka, ia lihat
rajawalinya sedang bertempur dengan manusia, entah siapa
dia. Tidak jauh dari mereka bertempur, tampak menggeletak
Toa-hek, tengah dipeluki oleh Ji-hek sambil berteriak-teriak
menangis minta pertolongan.
Cepat Lo In menghampiri Ji-hek.
Melihat Lo In datang, Ji-hek kegirangan. Mulutnya ramai
menceritakan apa yang sudah terjadi. Kiranya Toa-hek sudah
bertempur dengan orang yang sekarang lagi bertempur
dengansi rajawali. Dalam keadaan tidak waspada, Toa-hek
sudah dirubuhkan dengan senjata beracun.
Lo In tidak perhatikan Ji-hek nyerocos cetcowetan. Ia terus
saja memeriksa lukanya Toa-hek. Keadaannya parah juga,
matanya meram saja ! Lo In girang sebab Toa-hek tidak
terancam bahaya kematian karena lukanya.
Cepat ia bersihkan darah di pundaknya Toa-hek. Dengan
tangan bajunya lalu keluarkan obatnya, dioleskannya, sedang
pil mustajabnya dimasukkan ke dalam mulutnya Toa-hek.
Mustajab benar obatnya Lo In, warisan Liok Sinshe. Karena
tidak lama setelah obat berjalan dalam perut dan pundaknya,
Toa-hek sudah dapat membuka matanya dan merintih pelanpelan.
Melihat Toa-hek sudah tertolong, maka Lo In bangun berdiri
menyaksikan pertempuran si garuda dengan lawannya. Ia
perhatikan musuhnya si garuda ternyata adalah seorang tua
dengan hidung bengkok seperti patuk burung kakaktua,
mulutnya lebar, jidatnya jantuk. Entah ada tanda apanya lagi di
mukanya sebab hanya itu saja yang dapat dilihat dari
kejauhan oleh Lo In.
Ternyata orang tua itu ada punya lwekang hebat juga. Sebab
samberan si rajawali terus dapat ditolak mundur. Tampak si
rajawali napsu benar hendak membinasakan musuhnya. Angin
pukulan si orang tua, seolah-olah tidak dihiraukan. Ia terus
menyambar musuhnya sambil perdengarkan pekikan yang
gusar sekali.
Entah ada permusuhan apa si rajawali begitu marahnya.
Lo In lihat, orang tua itu mulai keteter. Ia mulai gunakan
senjata rahasianya. Ser ! Ser ! Lo In dengar suaranya senjata
rahasia si orang tua menyambar pada si rajawali. Tapi sampai
sebegitu jauh dengan kebasan sayapnya, saban kali senjata
rahasianya si orang tua dapat dijatuhkan.
Lo In kuatir akan keselamatan burung kesayangannya. Maka
ia lalu bersuit, si rajawali masih bernapsu bertempur. Suitan
tanda memanggil Lo In seperti juga ia tidak mendengarnya.
Tapi, ketika suitan yang kedua nadanya agak keras, membuat
si rajawali tak dapat membandal panggilan tuannya.
Ia putar tubuh dan terbang menghampiri Lo In.
Sementara itu, si orang tua sudah memburu datang.
Kiranya dia itu seorang tua dari usia kira-kira 50 tahun. Selain
tanda-tanda yag Lo In dapat lihat terlebih dahulu, ia saksikan
lagi, orang tuaitu mulutnya dan giginya omping. Entah tinggal
berapa giginya, yang terang di sebelah depannya, atas bawah
sudah sungsang sumbel.
Segera Lo In dan si orang tua sudah berhadap-hadapan, kira
satu tombak jauhnya. Sambil menunjuk dengan jarinya, si
orang tua berkata pada Lo In, "Em ! Jadi kau ini tuannya si
burung celaka itu ?"
Lo In merasa tidak senang burungnya dikatai 'si burung
celaka'.
"Lotiang (orang tua), kau sudah celakai Toa-hek, lantas kau
mau celakai juga aku punya Tiauw-heng, apa maksudmu ?" Lo
In balik menanya tanpa menjawab pertanyaan orang yang
diajukan lebih dahulu.
"Aku tidak peduli kau punya Toa-hek, Tiauw-heng, Sam-heng,
apa hek apa heng kek ! Asal aku mau bunuh, tidak ada orang
yang berani rintangi !" si orang tua nyerocos, kasar betul.
Suaranya nyaring macam gembreng pecah.
Lo In mendongkol hatinya. Tapi ia tidak berani kurang ajar. Ia
tetap berlaku sopan terhadap orang asing itu. Selama hampir
dua tahun dalam lembah, hari itu, Lo In untuk yang pertama
kalinya ketemu lagi dengan manusia. Di samping ia suka
berlaku jail, mengocok orang, juga perangainya halus dan
ingin bersahabat sama siapa juga. "Jadi lotiang masih marah
sekarang ?" tanyanya.
Matanya si orang asing mendelik.
"Aku mau bunuh orang utan dan burung busukmu. Kau mau
apa ?" bentaknya.
Lo In kedip-kedipkan matanya, seperti yang ketakutan.
"Lotiang, kau sebenarnya siapa ? Apa namamu ?" tanya Lo In
tenang.
"Hahaha." si orang asing ketawa, seraya tepuk-tepuk dadanya.
"Tidak perlu kau tahu siapa aku sebab kau masih bocah. Tapi
tidak apa aku sebutkan supaya mati merem. Hahaha, aku ini
Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng dari Coa-kok !"
Lo In tidak kaget si orang asing sebutkan namanya, sekaligus
dengan gelarnya 'Toan Bilo-mo' atau 'Si Iblis Alis Buntung'.
Yang membikin ia heran, Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng macam
orang edan. Apa dia setengah atau memang betul-betul
sinting ? Lo In tanya dirinya sendiri.
Kalau orang baik-baik, tidak semestinya ia menyebutkan
namanya yang seram sambil tepuk-tepuk dada dihadapan
seorang anak kecil seperti Lo In. Sebab Lo In belum tahu apaapa
dengan dunia Kang-ouw.
Yang lebih aneh pula, Siauw Cu Leng pakai mengatakan
'supaya kau mati merem' segala, apakah maksudnya ? Apa ia
mau bunuh juga Lo In ? Ini pun menjadi pertanyaan dalam
hatinya si bocah.
Lo In memandang mukanya si iblis, benar-benar saja kedua
alisnya pendek (kuntugn), cuma setengah dari alisnya orang
biasa.
Setelah menyebutkan nama dan gelarnya, Siauw Cu Leng
jalan mau menghampiri Toa-hek sehingga Toa-hek
mengerang gusar sedang Ji-hek tampak siap sedia buat
menjaga kalau suaminya diserang.
"Hei, kau mau apa ?" tanya Lo In.
"Ah, kau anak bau, tau apa !" sahut Toan Bilo-mo Siauw Cu
Leng seraya mengebaskan lengan bajunya. Dari mana
mengembus angin keras, menyerang Lo In.
Si Iblis Alis Buntung berdiri heran melihat Lo In tidak apa-apa.
Si bocah tinggal tetap berdiri ditempatnya. Biasanya, kalau
orang akan jungkir balik, apalagi ini anak kecil yang dikebas,
kenapa dia diam saja ? Demikian tanya si iblis dalam hatinya.
Apa kurang kencang kebasannya ? Maka ia lalu mengebas
sekali lagi dengan lwekan ditambah menjadi 7 bagian, tapi......
Lo In masih berdiri ditempatnya sambil bersenyum geli.
Rupanya ia masih merasa lucu atas kelakuan si iblis.
Memang, kalau anak kecil biasanya yang dikebut pasti akan
jungkir balik dan mungkin jatuh pingsan. Tapi kali ini Lo In
yang dikebas, tidak bisa mempan sebab tenaga dalam Lo In
ada diatasnya si Iblis Alis Buntung.
"Silahkan, kau mau bunuh Toa-hek ?" tanya Lo In ketika
melihat si iblis berdiri tertegun.
Sebagai tokoh iblis yang ditakuti sepak terjangnya, tentu saja
Siauw Cu Leng tidak mengira dapat dijatuhkan demikian
mudah oleh satu anak kecil yang masih ingusan, kata hati
kecilnya.
Ia lalu lompat menerjang, menghajar Lo In dengan kedua
tangannya yang menghembuskan angin besar. Debu dan
tanah berterbangan saking hebatnya dilanggar angin serangan
Siauw Cu Leng. Tapi Lo In sudah menghilang dari depannya.
Bukan main kagetnya, cepat ia putar tubuhnya. Dilihat Lo In
sudah berada dibelakangnya sambil anteng-anteng saja
menggendong tangan.
"Tanah tidak berdosa kau hajar begitu bengis, lotiang !" Lo In
kata dengan jenaka.
Malu bukan main si Iblis Alis Buntung diejek si bocah, naik
pitam dia. "Bagus, kau jaga pukulan mautku !" teriaknya
nyaring.
Pukulan yang dikerahkan dengan tenaga maksimum kalau
kena tubuh Lo In bisa hancur lebur berkeping-keping, tapi lagiTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
lagi pukulan si iblis cuma bisa menghajar tanah sebab Lo In
sudah bisa menghilang lagi kemana tahu.
"Anak busuk, kau berani permainkan aku, Toan Bilo-mo ?"
bentaknya sambil celigukan, matanya mencari bayangan Lo
In.
SI iblis benar heran. Entah bagaimana Lo In bergerak sebab
tahu-tahu ia hanya menghajar tanah lagi. Ia marah-marah
hanya untuk menyimpan mukanya dari perasaan malu sebab
sebenarnya telah takut bukan main dalam menghadapi si
bocah punya kegesitan yang seperti setan saja bisa
menghilang.
Pikirnya, kalau tidak siang-siang angkat kaki, ia bisa susah.
Ia tahu bahwa saat itu Lo in berada di samping kirinya. Ia
bukan menyerang lagi, hanya ia lompat ke depan dan angkat
kaki terbirit-birit lari.
Lo In tidak mau tanam bibit permusuhan, makanya ia tadi
hanya lawan si iblis dengan kelincahannya saja mengelakkan
serangan-serangan. Ketika si iblis melarikan diri, ia hanya
ketawa, tidak mengejar. Tapi tidak demikian dengan si
rajawali, begitu meliaht Siauw Cu Leng lompat lari, ia juga
gerakan sayapnya menyerang dari atas. Cakarnya yang
bagaikan baja, nyaris mencomot hilang kepalanya si iblis,
kalau Siauw Cu Leng tidak menggunakan tipu 'Keledai malas
bergulingan diatas rumput', akan kemudian disusul dengan
gerakan 'Lo hie ta teng' atau 'Ikan gabus meletik', untuk ia
terus melarikan diri.
Lo In tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan pertunjukan itu.
ia tidak ijinkan si rajawali mengejar terus lawannya karena ia
tahu orang itu sangat licik hingga mungkin burung
kesayangannya nanti bisa dapat celaka oleh senjata
rahasianya yang berbisa. Oleh karenanya ia lalu
memperdengarkan suitannya memanggil si rajawali untuk
terbang pulang.
Tampak burung kesayangannya unjuk roman bengis dan
penasaran.
"Tiauw-heng, kau kenapa begitu marah pada dia ?" tanya Lo
In seraya elus-elus sayapnya, sebagaimana biasa unjuk
kesayangannya.
Si rajawali tidak geleng atau anggukkan kepalanya, dia diam
saja.
Lo In mengerti burung kesayangannya sedang marah.
Seketika itu ia ingat akan kejadian si burung raksasa
menderita luka, ia terkena anak panah beracun. Maka cepat ia
pungut anak panah yang barusan menancap dipundaknya
Toa-hek. Ketika ia perhatikan dengan seksama, lantas ia
mengerti bahwa yang memanah si rajawali adalah si Iblis Alis
Buntung. Pantesan burung kesayangannya begitu marah pada
Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng.
"Tidak apa, lain kali kita ketemu, kita akan kasih hajaran
padanya." menghibur Lo In pada burung garudanya. Si
rajawali kali ini, mendengar Lo In mengucapkan kata-katanya
telah memanggutkan kepalanya.
Kenapa Toa-hek bertempur dengan Toan Bilo-mo Siauw Cu
Leng ?
Itu adalah kebetulan kesompokan di jalanan. Ketika Siauw Cu
Leng sedang jalan lewati pohon, tiba-tiba ada bayangan
lompat dari atas. Ia kaget, cepat balik tubuhnya dan ia lantas
berhadapan denga Toa hek sebab bayangan tadi memang
Toa-hek yang barusan turun dari pohon.
Sebenarnya, kalau Siauw Cu Leng tidak timbul niatan ingin
menaluki si orang utan, ia teruskan jalannya, tentu tidak akan
ada kejadian apa-apa, sebab Toa-hek juga tidak
perdulikannya.
Apa mau, Siauw Cu Leng ketarik dengan tubuhnya Toa-hek
yang tegap dan kokoh kuat. Pikirnya, kalau ia bisa taluki orang
utan ini dan dijadikan pembantunya, ada baiknya juga untuk
disuruh-suruh. Segera ia datang mendekati, ia mulai
mengganggu, mengundang kemarahan Toa-hek. Ia berhasil
sebab Toa-hek lantas kedengaran menggerang gusar.
Dengan gerakan 'Hek houw tam jiauw' atau 'Macan hitam
mencengkeram', ia lompat menerjang. Tangan kanannya
menyambar lengan kiri Toa-hek, sedang tangan kiri, dengan
dua jarinya meluncur mau menotok 'hongbun-hiat', jalan darah
di pundak kanan si orang utan.
Inilah gerakan yang dilakukan dengan cepat. Pikirnya, dalam
segebrakan itu ia akan bikin lawan tidak berdaya. Tapi
perhitungan Siauw Cu Leng ternyata keliru sebab Toa-hek
segera elakkan lengannya yang hendak dicekal sedang
tangan kiri si iblis yang hendak menotok pundak sudah kena
ditangkis keras sekali hingga si iblis lompat mundur saking
kaget dan kesakitan.
"Apa mungkin monyet ini bisa ilmu silat ?" ia menanya dirinya
sendiri, sambil matanya mengawasi Toa-hek.
Tapi si orang utan yang sudah marah, tak mengasih
kesempatan untuk Siauw Cu Leng banyak menanya-nanya
dalam hatinya karena segera ia menyerang dengan tangannya
yang gede berbulu dan kepaksa si iblis harus keluarkan
kegesitannya untuk menyelamatkan diri.
Ia rada ngeri untuk kasih tangannya bentrok lagi dengan
tangan Toa-hek sebab barusan ketika ditangkis, ia rasakan
tangannya seperti ditangkis sepotong besi sampai ia rasakan
kesemputan tangannya. Sebaliknya, ia mau menggunakan
lwekang, menggempur rubuh Toa-hek, hatinya tidka
mengirakan karena ia ingin taluki si orang utan, bukannya
hendak membunuhnya.
Jadi, bagaimana ia harus berbuat ? Dalam berkelit sana sini,
menghindarkan sambarang tangan Toa-hek, si iblis putar
otaknya mencari jalan merobohkan Toa-hek.
Ia dapat jalan rupanya sebab sebentar kemudian ia lompat
keluar dari pertempuran, lari dikejar oleh Toa-hek.
Siauw Cu Leng menyelinap dibalik sebuah pohon besar
hampir dua pelukan, disini dia ajak Toa-hek main petak,
berputar ia disini sampai kemudian ia berada dibelakang si
orang utan. Diam-diam ia keluarkan panah beraacunnya,
terdengar Toa-hek menjerit roboh karena pundaknya kena
dilanggar senjata rahasia si iblis.
Siauw Cu Leng kegirangan. Tapi baru saja dengan terbahakbahak
ia ketawa seraya mendekati Toa-hek, dari atas pohon
menyambar satu bayangan. Untung ia awas. Cepat berkelit
selamatkan diri dari serangan. "Bangsat pembokong !"
bentaknya sambil memandang orang yang membokong tadi.
Ia terkejut juga sebab yang menyerang dirinya bukanlah
manusia, tapi orang utan lagi, orang utan betina. Memang Jihek
yang datang hendak menolong suaminya yang terancam
bahaya.
Segera mukanya si iblis berubah. Napsu membunuhnya
tampak dari romannya yang beringas. Ia kerahkan
lwekangnya, maksudnya hendak menghajar Ji-hek dengan
sekali pukul saja. Tapi pada saat Ji-hek terancam bahaya,
tiba-tiba terdengar suara si rajawali mendatangi, bagaikan
kapal terbang yang hendak mendarat saja, si burung raksasa
menyambar Siauw Cu Leng. Pohon dimana si iblis berdiri ada
merintangi si rajawali menyambar dengan leluasa. Maka ia
serempet Siauw Cu Leng dengan sayapnya hingga si iblis
terpental bergulingan, sebelum ia berdaya untuk
menyelamatkan dirinya.
Ia bergulingan menjauhi pohon kemudian ia lompat bangun,
lebih jauh lagi jaraknya dari pohon yang membuat si rajawali
tidak leluasa. Maka dengan enak saja Kim-tiauw permainkan
Siauw Cu Leng dengan kebasan sayap dan cakaran kedua
kakinya yang tajam-tajam. Tapi Siauw Cu Leng ada satu tokoh
iblis yang sudah terkenal dalam kalangan Kang-ouw. Maka
tidak mudah si rajawali mencomot kepalanya yang saban kali
hampir tercakar sebab ketika si iblis dapat memperbaiki
posisinya, segera juga serangan-serangan si rajawali di balas
dengan serangan tangan yang menghembuskan angin santar.
Itulah Pek-kong-ciang, pukulan udara kosong yang digunakan
Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng.
Si rajawali dengan demikian terus ketahuan tiap
menyambarnya. Pertarungan dilakukan hebat sekali sebab si
rajawali yang kenali musuhnya yang telah melukai ia,
kelihatannya sangat bernapsu sekali hendak mencakar dan
mematuk binasa musuhnya itu.
Siauw Cu Leng menggempur dengan hati-hati, ia pun sudah
siapkan panah beracunnya untuk merobohkan si rajawali.
Justru ia sudah siap, tiba-tiba terdengar suitannya Lo In.
Suitan pertama si rajawali belaga pilon, tapi suitan kedua yang
nadanya agak keras, membuat si rajawali tak dapat
meremehkan panggilan tuannya dan ia putar tubuh melayang
balik menyampari Lo In.
Siauw Cu Leng menyesal sekali ia terlambat melepas panah
beracunnya karena gara-gara suitan Lo In. Oleh karena itu
juga, maka Siauw Cu Leng sudah mendatangi Lo In dan
marah-marah di depan si bocah seperti orang gila. Tapi
kesudahannya ia kena dipecundangi si jago kecil dengan
hanya menggunakan kegesitan entengi tubuhnya saja.
Toa-hek sangat berterima kasih atas pertolongan Lo In.
Tiba-tiba ia jatuhkan diri, menyembah di depan si jago cilik.
"Kau terlalu menghargai aku, Toa-hek. Bangunlah !" berkata
Lo In sambil tepuk-tepuk pundaknya Toa-hek.
Lo In berjaln pulang dengan diiringi oleh tentara keranya.
Dalam perjalanan, Lo In berpikir mungin dalam lembah itu
bukan ia sendiri manusia yang menjadi penghuninya.
Munculnya si Iblis Alis Buntung sudah tentu ada kawankawannya
pula yang turut dengannya. Berpendapat bahwa
disekitarnya lembah mesti ada orang-orang lainnya pula yang
tinggal, maka dalam hatinya jago cilik kita ingin ia ketemukan
mereka itu untuk menanyakan keterangan kalau-kalau
diantaranya ada yang mengetahui tentang jejaknya Liok
Sinshe.
Meskipun hampir dua tahun sudah, Lo In menjadi penghuni
lembah, belum pernah ia melupakan Liok Sinshe. Tiap hari ia
masih terus mencari jejaknya Liok Sinshe. Malah tentara
keranya dikerahkan untuk membantu mencarinya. Ia sangat
mencintai Liok Sinshe yang ia anggap sebagai pengganti
orang tuanya, yang ia tidak tahu siapa dan dimana adanya
sekarang.
Tiga hari sejak kejadian diatas, Lo In dengan sendirian coba
melakukan pemeriksaan disekitarnya tempat dengan
pengharapan ia akan bertemu dengan orang yang ia dapat
ajak bicara. Ia menerobos sana menerobos sini, diantara
pepohonan yang lebat sampai akhirnya ia mendekati satu
rimba bambu. Tidak jauh dari sini, ia lihat ada sebuah sungai
kecil. Ia datang mendekati, duduk ditepinya untuk melepaskan
lelah.
Belum lama ia duduk, terbawa oleh silirannya angin, sayupsayup
ia seperti mendengar ada orang yang merintih. Ia kaget
kapan ia tegasi, rintihan itu keluar dari jalanan masuk ke rimba
bambu tadi.
Siapakah gerangan yang merintih itu ? Dalam hatinya, ia
girang dapat menemukan manusia disitu, tetapi juga kuatir
bahwa ia akan terlambat dapat menolong orang yang dalam
kesulitan itu sebab dari suara rintihannya, orang itu seperti
mendapat luka berat.
Dengan beberapa kali lompatan saja, Lo In sudha masuk ke
dalam rimba bambu.
Di pinggiran jalan ia nampak ada satu nenek yang sedang
rebah merintih.
Ia datang mendekati, ia pegang lengannya si nenek dari
belakang sebab si nenek sedang rebah miring. "Kau kenapa,
Popo ?" tanya Lo In.
Lo In menduga si nenek bisa silat sebab dari dandanannya
ada lain dari kebanyakan nenek-nenek. Juga ia lihat, tidak
jauh dari si nenek, ada kedapatan sepotong besi, panjang tiga
kaki. Rupanya potongan besi itu yang merupakan toya
pendek, ada gegumamnya si nenek yang roboh merintih.
Merasa lengannya dipegang orang, si nenek berbalik dan
memandang Lo In.
"Oh, anak." sahutnya. "Aku terluka berat oleh itu anjing keparat
!"
Paras mukanya si nenek kelihatan seperti yang marah dan
penasaran.
"Siapa yang lukai Popo ?" tanya Lo In.
"Ah, kalau diceritakan, gemas sekali aku pada si keparat ! Aku
hanya kalah sejurus saja, apa mau betisku kena ditendang
oleh tendangan geledeknya hingga aku rubuh tidak ampun
lagi. Untung dia tidak barengi mengemplang kepalaku dengan
toyaku yang dia rampas. Kalau sampai begitu, celaka aku si
nenek sekarang sudah mampus !" demikian si nenek menutur.
Ia tidak menjawab langsung pertanyaan Lo In.
Si nenek sambil bercerita, sembari bangkit dari rebahnya dan
duduk. Lalu gulung kaki celananya yang kanan. "Nih, kau lihat.
Bukankah orang itu amat kejam ?" si nenek sambung
bicaranya sambil menunjuk pada lukanya.
Lo In lihat, benar saja betisnya matang biru akibat tendangan
lawannya.
"Siapa yagn lukai Popo ?" Lo In ulangi pertanyaannya tadi.
Si nenek mengawasi Lo In sebentar, lalu berkata, "Ah, kau
masih kecil. Barangkali kau belum kenal dia. Dia itu ada satu
iblis kejam. Namanya Siauw Cu Leng dengan gelarnya si 'Iblis
Alis Buntung'. Anak, sebaiknya kau tolong aku dari pada kau
tanyakan orang yang mencelakai aku sebab toh kau tidak bisa
berbuat apa-apa untuk membalaskan sakit hatiku si nenek !"
Lo In hanya mendehem. Lalu ia segera mau periksa lukanya si
nenek, tapi ia urungkan ketika si nenek berkata lagi, "Eh,
tunggu dulu. Kau tentu mau tahu juga aku berhantam dengan
si iblis, bukan ?"
Lo In hanya manggutkan kepala.
"Lantarannya ia menuduh aku sudah menemukan buah 'Jitgoat-
ko' dan aku sudah memakannya sendiri." kata pula si
nenek.
"Apa buah 'Jit-goat-ko' itu ?" tanya Lo In.
"Jit-goat-ko," sahut si nenek. "Bentuknya mungil sebesar telur
angsa, warnanya merah putih. Siapa makan ini, tubuhnya
akan kuat luar biasa. Kalau yang pandai silat, lwekangnya
meningkat. Makan satu seperti tambahan tenaga dalam dari
latihan 5 tahun. Makan dua sebagai berlatih 10 tahun. Siapa
yang dapat makan buah ini, rejekinya besar. Mana aku si
nenek punya itu rejeki dapatkan buah yang demikian, tapi
difitnah oleh si jahat itu sampai aku rasakan semaput betisku
ditendang olehnya. Baik, nanti ada satu waktu, aku akan bikin
perhitungan padanya. Ia tak nanti lolos dari pembalasanku !"
Sementara si nenek nyerocos cerita, Lo In diam-diam merasa
terkejut dalam hatinya. Ia tidak sangka buah 'Jit-goat-ko' ada
demikian besar khasiatnya. Pantas dia makan dua buah itu,
tenaganya tambah entah berapa puluh lipat hingga ia bikin
tidak berkutik Toa-hek dan si rajawali, dua teman dalam
latihannya. Kalau begitu, pikirnya, tenaganya meningkat
seperti juga ia berlatih sepuluh tahun sudah lwekangnya.
Parasnya si bocah yang terkejut, tidak lepas dari matanya si
nenek yang berkilat sebentaran, lalu berkata pada Lo In,
"Anak, coba kau tolong periksa lukaku. Aku rasakan sangat
sakit !"
Lo In menurut, ia tekuk lututnya dan memeriksa luka si nenek.
Tiba-tiba terdengar suara 'buk !' disusul oleh jeritan 'aiyoo !'
dari Lo In berbareng badan si bocah lantas rebah terkulai.
Kiranya Lo In kena dibokong si nenek. Ia kena perangkap
sebab si nenek sebenarnya bukan terluka. Betisnya yang
matang biru hanya buatannya sendiri dengan mengerahkan
tenaga dalamnya, disalurkan ke betisnya hingga timbullah itu
tanda seperti yang benar kena ditendang orang.
Lo In masih kecil, belum kenal kecurangan manusia. Ia masih
belum berpengalaman dalam rimba persilatan yang banyak
akal-akal busuk yang dilakukan orang-orang jahat. Ia percaya
saja akan obrolannya si nenek. Ketika ia tekuk lutut, nunduk
untuk periksa luka yang dikatakan si nenek jahat, tiba-tiba
dengan kejam si nenek membokong Lo In dengan tenaga
sepenuhnya.
Tentu saja Lo In yang tidak berjaga-jaga, sekali digebuk ia
jatuh setelah mengeluarkan jeritan 'Aiyoo !' yang
mengenaskan.
"Hehehe !" si nenek tertawa terkekeh-kekeh sambil bangkit
dari duduknya dan mengawasi korbannya yang rebah
tengkurup, tidak sadarkan diri.
"Bagus !" tiba-tiba terdengar suara orang dari gerombolan
pohon bambu, berbareng orangnya muncul. Siapa, ternyata
bukan lain orang adalah Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng sambil
ketawa-ketawa datang menghampiri.
"Anak bau !" katanya sambil menendang tubuhnya Lo In
hingga terpental bergulingan setombak jauhnya. "Rasakan
gempuran tangan ciciku !" si iblis menyerang gemas seraya
memburu dan hendak menendang lagi.
"Tahan !" kedengaran si nenek menyetop niatnya Siauw Cu
Leng yang gemas sekali pada Lo In yang pernah bikin ia lari
terbirit-birit.
Siauw Cu Leng tidak jadi menendang. Ia jadi uring-uringan, ia
berkata, "Anak bau ini, buat apa ditinggal hidup ? Mampusi
saja, habis perkara !"
Si nenek goyang-goyang tangannya sambil jalan
menghampiri. Dekat tubuh Lo In, ia jongkok mengawasi
parasnya si bocah yang cakap tengah telentang dengan tidak
ingat orang, mungkin napasnya sudah berhenti.
Pelan-pelan tangannya si nenek ditempelkan pada dadanya
Lo In. Ia dapatkan Lo In masih bernapas meskipun sangat
perlahan. Kembali ia mengawasi pada paras Lo In lalu
menghela napas, "Musti anak ini turunannya dia........." ia
berkata perlahan, tapi cukup nyata bagi telinganya Siauw Cu
Leng.
Si Iblis Alis Buntung juga turut jongkok.
Sambil turut mengawasi si bocah yang seolah-olah sudah
tidak ada napasnya, Siauw Cu Leng menanya, "Siapa yang
kau maksudkan, cici ?"
"Dia..........dia........" sahtu si nenek bengong.
"Oh, aku tahu. Dia si orang she........." Siauw Cu Leng kata
lagi. Ia tak dapat meneruskan kata-katanya karena si nenek
tiba-tiba menaruh telunjuk di mulut, bersuara "sstt !"
Siauw Cu Leng celingukan sebab tanda dari kakaknya itu
menandakan ada orang yang mengintai. Tapi ia tidak lihat
apa-apa kecuali dua monyet kecil yang sedang lelompatan di
pohon bambu.
Yang satu kelihatan kepalanya putih sedang yang pendekan
matanya putih. Dua monyet itu kelihatan lucu sekali.
Setelah lama memperhatikan, mereka itu tidak mendengar
gerakan apa-apa lagi, maka Siauw Cu Leng sambil ketawa
berkata, "Ah, cici. Hanya dua binatang itu saja yang
mengagetkan kita." sambil ia menunjuk pada dua kera yang
seenaknya saja bermain lompat-lompatan saling kejar, malah
terkadang sampai mendekati mereka dengan aksinya masingmasing
yang lucu.
Siapa si nenek itu ? Ia bernama entah siapa, tapi ia terkenal
dalam kalangan kang-ouw dengan nama Ang Hoa Lobo atau
si nenek Kembang Merah. Rupanya nama ini diambil dari
kebiasaannya, pada rambutnya suka dicantum kembang yang
warnanya merah.
Kepandaiannya jauh diatas Siauw Cu Leng.
Namanya saja si iblis Siauw cu Leng memanggil cici (kakak).
Tapi sebenarnya mereka itu sudah menjadi laki bini diluar
kawin.
Ang Hoa Lobo 'jago racun', disamping kepandaian silatnya
tinggi hingga Siauw Cu Leng yang biasa tidak takuti siapa
juga, ia tunduk terhadap bininya diluar kawin itu. Ia pun juga
mempunyai panah beracun buatang Ang Hoa Lobo.
Demikian, tatkala mengetahui bahwa kecurigaannya tidak
beralasan, makan Ang Hoa Lobo suruh Siauw Cu Leng
pondong Lo In untuk dibawa pergi dari tempat itu.
Siauw Cu Leng benci pada Lo In tapi ia tak dapat menolak
perintah sang ratu. Terpaksa dengan uring-uringan ia angkat
si bocah, terus dipanggul di pundaknya.
Ang Hoa dan Kim Popo, jadi sudah dua-dua nenek yang
muncul dalam cerita. Sekarang, mari kita melihat perjalanan
Kim Popo dan asal usul dua nenek itu.
Kim Popo setelah dijemur selama dua jam dibawah terik
panasnya matahari, barulah dengan sendirinya totokan si
thauto bebas. Di samping sangat gusar, ia rasakan
tenggorokannya sangat kering. Cepat ia bangkit lalu
menghampiri tongkatnya dan dipungutnya. Ia meneduh
sebentar di bawah pohon kemudian ia mencari air, kalau-kalau
didekat situ ada kali kecil yang jernih airnya.
Keinginannya Kim Popo kesampaian, sebab tidak lama ia
jalan, ia menemui sebuah kali kecil yang airnya jernih
bagaikan kaca, keluar dari mata-mata air dari pegunungan.
Kegirangan dia sampai di tepi kali, ia rebahkan diri tengkurap,
tangan kanannya dipakai menyendok air. Dengan napsu, ia
minum sekenyangnya. Ia cuci muka dan cacapi kepalanya
yang barusan kena dijemur panasnya matahari.
Ia rasakan adem sekali ketika merasakan air kali itu meresap
di kepalanya.
"Hahaha ! Dia ada disini !" tiba-tiba Kim Popo dibikin kaget
oleh suara laki-laki dari belakangnya. Cepat ia bergulingan
untuk menyelamatkan diri dari serangan gelap kemudian
dengan gerakan 'Ikan gabus meletik', di lain saat ia sudah
tancap kakinya berdiri sambil pegangn kencang tongkatnya.
Ia menduga si thauto yagn datang lagi. Maka ia sudah siap
untuk menempur musuhnya dengan mati-matian. Tapi ketika
ia mengawasi orang yang tertawa tadi, amarahnya dengan
seketika lenyap dan malah ia ikut ketawa dan berkata : "Koko,
kau bikin kaget orang saja. Mengapa sih suka jail begitu ?"
Tidak biasanya Kim Popo keluarkan suara dengan nada begitu
empuk dan halus. Kiranya orang itu ada 'kenalan lama' dari
Kim Popo.
"Adik Kim, kau dari mana ?" tanya orang laki-laki itu.
"Kau sendiri, datang dari mana dan mau kemana ?" balik
tanya Kim Popo sambil melirikkan matanya.
"Ah, adik Kim. Kau belum jawab pertanyaanku." kata lagi
orang laki-laki itu sambil jalan menghampiri dekat pada si
nenek.
"Aku..... aku, eh......... kau........." sahut Kim Popo, agak gugup
suaranya.
Laki-laki itu telah mencekal tangannya Kim Popo yang kurus,
dengan tangan kanan ia mencekal, sedang tangan kirinya
memegang lengan kanan si nenek sehingga si nenek coba
berontak dari cekalan dan pegangan si lelaki sambil
mengucapkan kata-kata yang gugup tadi.
Berontaknya Kim Popo hanya 'aksi' atau pura-pura saja.
Sebab iahanya sebentaran saja beraksi demikian. Selanjutnya
ia jinak, antapkan perbuatannya si laki-laki tadi sambil
tundukkan kepala seperti anak dara yang malu-malu kucing.
Orang akan merasa geli dan lucu, melihat adegan yang 'luar
biasa' itu.
Kim Popo yang terkenal dengan adatnya yang angin-anginan
dan kepala batu, eh, bolehnya begini jinak pada lelaki yang
dihadapinya malah mengunjuk aksi manja aleman, bagaikan
anak perawan usia sweet-seventeen.
Siapakah lelaki itu ? Siapa Kim Popo itu ?
Marilah kita menuturkan 'kisah roman' dari mereka yang cukup
menarik.
Di sebelah barat kota Hoa-im dalam provinsi Siamcay, ada
tinggal bekas piauwsu (pengawal antaran barang) bernama
Kong Tek Liang. Ia terkenal dengan ilmu tongkatnya yang
dinamai 'Thian-lo Sin-kuay-hoat' atau 'Ilmu silat tongkat sakti
jatuh dari langit', terdiri dari 6 jalan dan masing-masing jalan
ada mempunyai 8 jurus, sama sekali jadi 48 jurus.
Dengan kepandaiannya ini, ia banyak taluki penjegal-penjegal
atau perampok-perampok besar, dalam perjalanan mengawal
barang-barang antaran. Ketika ia masih jadi piauwsu,
sehingga namanya terkenal dengan julukan Sin-kuay piauwsu
atau Piauwsu Tongkat Sakti. Setelah berusia tua, ia dengan
sendirinya mengundurkan diri dan menetap di sebelah barat
kota Hoa-im.
Kong Tek Liang mempunyai anak perempuan bernama Kong
Kim Nio, yang sangat dimanjakan karena ia hanya puteri satusatunya.
Di samping Kong Kim Nio, si Piauwsu Tongkat Sakti
mempunyai dua murid bernama Siauw Cu Leng dan The Sam.
Kim Nio ada berparas cantik menarik hingga Siauw Cu Leng
dan The Sam tergila-gila oleh kejelitaannya Kim Nio.
Siauw Cu Leng parasnya cakap tapi sifatnya licik dan agak
ceriwis. Sebaliknya The Sam, meskipun kalah cakap dari
Siauw Cu Leng, ia lebih pandai dalam merayu si dara. Hatinya
Kim Nio lebih mendoyong pada The Sam, pergaulan mereka
pun menjadi lebih erat oleh karenanya.
Pada suatu hari, Kim Nio duduk berduaan dengan The Sam
beromong-omong dalam sebuah taman bunga yang terdapat
dipekaranagn rumah Kong Tek Liang yang lebar luas. Mereka
begitu asyiknya ngobrol sampai tak disadari dua tangan
mereka saling pegang.
"Adik Kim," terdengar suara The Sam berkata dengan suara
perlahan. "Mungkinkah kita bisa jadi kawan seumur hidup ?"
"Kenapa tak mungkin, koko ?" sahut Kim Nio dengan mukanya
bersemu merah sebab seketika itu ia merasakan pegangan
tangannya The Sam makin erat dan duduknya menggeser
lebih dekat lagi.
"Aku kuatir kau tidak menjadi milikku, adik Kim." kata The
Sam, suaranyaagak gemetar.
"Kenapa kau memikir begitu, koko ?" tanya Kim Nio seraya
tarik tangannya yang dipegang erat-erat oleh The Sam.
Tapi The Sam tidak mau melepaskan tangan yang ditarik
pulang itu, malah ia menggunakan dua tangan menggenggam,
seolah-olah takut tangan si gadis yang lemas halus laksana
kapas itu terlepas. Kim Nio juga tidak memaksa, ia antapkan
tangannya dalam genggaman kedua tangan The Sam yang
kuat. Hatinya tiba-tiba memukul melihat The Sam duduknya
makin menggeser saja merapati tubuhnya.
"Adik Kim........" kata The Sam, suaranya hampir tidak
kedengaran.
"Kenapa, koko ?" tanya Kim Nio terkejut, melihat gerak gerik
The Sam.
Anak muda itu mengawasi parasnya si nona, dari sela-sela
matanya The Sam menetes air mata turun mengalir di kedua
pipinya.
"Kau kenapa, koko ?" Kim Nio ulangi pertanyaannya, heran
melihat The Sam menangis.
"Aku mencintai kau, tapi aku akan kehilangan kau......." sahut
The Sam. Ia menangis, seperti anak kecil.
-- 6 --
Kim Nio makin heran. Sambil tarik lepas tangannya dari
genggaman The Sam, ia berkata, "Koko, kau omonglah yang
jelas. Jangan kau menangis tidak karuan, membuat aku jadi
menghadapi teka teki."
"Adik Kim, boleh aku bicara terus terang ?" tanya The Sam
setelah menyusut air matanya.
"Kenapa tidak boleh." sahut Kim Nio. "Kau ceritalah dengan
tenang."
"Adik Kim, aku bakal kehilangan kau sebab kau sudah
ditunangi dengan Suheng Siauw Cu Leng dan...." sampai
disini bicara The Sam mandek karena dipotong oleh Kim Nio.
"Dari mana kau tahu ini ?" Kim Nio memotong, seraya bangkit
dari duduknya, berjingkrak saking kaget.
"Suhu yang ceritakan ini padaku." sahut The Sam.
"Kenapa ayah tidak cerita tentang ini padaku ? Aku heran !"
kata Kim Nio.
"Dengan pertunangan ini, hilanglah pengharapanku. Bukankah
itu berarti aku akan kehilangan kau, adik Kim ?" The Sam
berkata lagi sambil tundukkan kepala.
Kim Nio melihat si pemuda yang putus harapan, merasa amat
kasihan.
Hatinya, meskipun suka pada kecakapan Siauw Cu Leng,
sebanding kalau menjadi suami istri, tapi ia tak dapat melupai
Ji suhengnya (kakak kedua dalam perguruan), yang ia cintai
dengan hati murni. Sebagai tanda bahwa ia lebih mesra
terhadap The Sam, terbukti dari panggilannya. Ia seharusnya
memanggil Ji-suheng pada The Sam tapi ia hanya memanggil
'koko' saja. Sebab pikir Kim Nio, panggilan ini ada lebih mesra
kedengarannya.
Tangang Kim Nio yang halus tiba-tiba diangkat lalu memegang
dagu The Sam, diangkat hingga dua pasang mata bertemu
pandangan. "Koko, kau jangan kuatir. Aku akan menjadi
milikmu......." kata Kim Nio menghibur, mulutnya yang mungil
menyungging senyuman yang tak dapat dilupakan oleh si
pemuda yang kuatir kisah cintanya akan menjadi tamat.
Tampak The Sam pun bersenyum setelah mendengar katakata
Kim Nio. Badannya tiba-tiba bergerak maju dan dilain
saat tampak Kim Nio sudah berada dalam rangkulannya The
Sam, jinak sekali kelihatannya.
The Sam mencium pipi kanannya Kim Nio perlahan sambil
berbisik, "Adik Kim......"
"Ya....... koko........." sahut Kim Nio sambil merasakan ciuman
hangat dalam pelukan kekasih yang ia sangat cintai.
"Adik Kim, boleh aku menciummu lagi ?" bisik The Sam lagi.
Kim Nio hanya manggut, bersenyum dan segera ia merasakan
ciuman hangat di pipi kirinya. Keduanya saling peluk dengan
penuh kasih.
"Ha ha ha !" sekonyong-konyong terdengar suara ketawa
mengejek.
Dua makhluk yang sedang asyik dalam lautan asmara terkejut,
melepaskan pelukannya dan masing-masing lompat
menjauhkan diri satu sama lainnya.
Di situ tambah satu orang ialah Siauw Cu Leng. Dengan suara
sinis, Siauw Cu Leng berkata, "Bagus, bagus ya, perbuatan
bagus !"
Kim Nio berdiri tercengang, sedang The Sam tundukkan
kepala seakan-akan persakitan yang merasa bersalah.
Tampak Kim Nio tekap mukanya dengan kedua tangannya, ia
menangis saking malunya lalu lari masuk ke dalam rumah.
"The Sam !" bentak Siauw Cu Leng kasar.
"Apa kau tidak tahu adik Kim sudha menjadi milikku ? Apa kau
belaga pilon dengan perkataan suhu ?"
The Sam tidak menyahut, ia hanya tundukkan kepalanya.
Siauw Cu Leng sebenarnya bukanlah dengan sengaja
mengintip perbuatan mereka, tapi secara kebetulan saja.
Ketika ia ke belakang, ia masuk ke taman bunga mau memetik
sekuntum bunga untuk dihadiahkan pada Kim Nio, apabila
sebentar sore pertunangan mereka diberitahukan pada si jelita
oleh suhunya.
Kong Tek Liang mengambil keputusan Siauw Cu Leng
sebagai mantunya berdasarkan perhitungan bahwa Siauw Cu
Leng cakap parasnya, pintar mengambil hati sang suhu, juga
dengannya ada hubungan famili. Ibunya Siauw Cu Leng ada
adik piauwnya yang menikah dengan orang she Siauw. Atas
permufakatan kedua orang tua, ialah Kong Tek Liang dan
ibunya Siauw Cu Leng, bapaknya sudah mati, mereka setuju
merangkapkan jodoh anak-anaknya.
Kepada Kim Nio sendiri, Kong Tek Liang belum memberi
tahukan tentang pertunangan itu karena Sin-kuay Piauwsu
mau mencari kesempatan yang baik sehingga anaknya tidak
menjadi terkejut. Kong Tek Loang tahu bahwa anaknya ada
lebih mencintai The Sam, maka dengan perlahan ia
merenggangkan dahulu pergaulannya kedua orang muda itu.
Kepada The Sam ia sudah beritahukan. Maksudnya supaya
The sam mengundurkan diri karena Kim Nio sudah menjadi
miliknya Siauw Cu Leng. Si orang tua tidak mengira, bukannya
The Sam mundur, malah makin merapat hubungannya hingga
terjadi adegan yang dipergoki Siauw Cu Leng.
Siauw Cu Leng yang pergoki bakal istrinya dipeluki orang,
bukan main marahnya. Ia sudah lantas mau menerjang dan
gebuk mampus The Sam, tapi ia takut salah pukul sehingga
bukannya The Sam yang terpukul tetapi malah tunangannya.
Maka ia hanya perdengarkan suara ketawanya yang bernada
mengejek.
Sekarang mereka hanya berduaan saja, makin meluap
kegemasan Siauw Cu Leng.
"Bangsat she The, kau terlalu kurang ajar !" teriaknya. "Berani
kau merebut bakal istriku ? Nih, rasain !"
Berbareng ia menerjang. Kepalanya The Sam menjadi
sasaran dengan gerakan "Tok pek Hoasan' atau 'Menggempur
gunung Hoasan'. Serangan dilakukan dengan cepat luar biasa,
dibarengi dengan hawa amarah yang meluap-luap. Tidak
heran kalau kepalanya The Sam yang sedang nunduk bisa
berantakan otaknya kalau saja pukulan Siauw Cu Leng
mengenakan sasarannya.
The Sam tahu datangnya bahaya, cepat ia kelit ke kanan.
"Tahan !" serunya.
Siauw Cu Leng tarik pulagn tenaganya yang mengenakan
sasaran kosong. Lalu dengan mata melotot menanya, "Kau
mau bicara apa lagi ? Terima sajalah kematianmu ini hari !"
Berbareng dengan itu ia juga sudah lantas mau menyerang
lagi.
"Kau adalah suheng dan aku adalah sute. Tidak seharusnya
bila kakak adik mesti berkelahi. Maka haraplah suheng suka
bersabar." kata The Sam seraya mengelakan tubuhnya,
berkelit sana sini untuk menghindari serangan Siauw Cu Leng
yang dilancarkan bertubi-tubi.
"Hmm !" mendengus Siauw Cu Leng sambil serangannya tidak
ia hentikan.
"Maaf suheng kalau aku kurang ajar !" kata The Sam seraya
kali ini, ia tidak mau mengalah terus terusan.
Dua saudara dalam seperguruan itu jadi saling gasak dengan
serunya.
Dalam tempo pendek saja, sudah lewat 28 jurus. Siauw Cu
Leng sangat penasaran untuk dapat menjatuhkan saudara
mudanya.
Dua saudara itu, sebenarnya kepandaiannya tidak berimbang.
Dengan kata lain dapat dikatakan Siauw Cu Leng selangkah
lebih unggul sebagai saudara tua. Tapi oleh karena Siauw Cu
Leng berkelahinya dengan bernapsu, maka ia telah menelan
pil pahit dari The Sam.
Sehingga terbitlah suatu kejadian. Ketika ia menggunai tipu
'Hiu hi lian po' atau 'Ikan cucut menerjang gelombang'.
Kepalan kirinya menjotos muka, sedang tangan kanannya
dengan dua jarinya meluncur menotok 'hoa kay hiat', jalan
darah di pundak kiri The Sam.
Serangan cepat itu dilakukan hampir berbareng, tapi The Sam
juga tidak kurang cepatnya untuk menyelamatkan diri. Tangan
kanan menangkis jotosan ke muka sambil kelit miring ke kiri
berbareng ia menyambar lengan kanan lawan yang hendak
menotok pundaknya. Ia menggennak sejenak, kemudian
tangannya membalik, menghajar dada Siauw Cu Leng yang
terjerunuk ke depan.
Ini adalah jurus 'Sin-chiu Pa-houw' atau 'Tangan sakit
menggempur macan', jurus keempat dari jalan kelima dari
'Thian Lo Sin-kuay-hoat', ilmu silat tongkat sakti yang menjadi
kebanggaannya Sin-koay Piauwsu Kong Tek Liang.
Telak hajaran The Sam didadanya Siauw Cu Leng sehingga ia
rubuh seketika setelah mengeluarkan jeritan ngeri, dari
mulutnya kontan menyemburkan darah panas dan ia jatuh
pingsan.
The Sam jadi ketakutan. Ia bukannya datang menolong,
angkut sang suheng ke dalam rumah untuk minta pertolongan
suhunya, sebaliknya ia malah angkat kaki dari situ untuk
melenyapkan diri.
Siauw Cu Leng menggeletak dengan tak sadarkan diri.
Kong Tek Liang yang barusan pulang habis menamu ke rumah
temannya, diberitahukan oleh Kim Nio, dua suhengnya tengah
berkelahi. Lantas buru-buru melihat ke belakang dengan
maksud mau memisahkan, tapi sudah terlambat. Disitu ia
hanya dapatkan Siauw Cu Leng terlentang pingsan
berlumuran darah.
Bukan main kagetnya sang guru. Cepat-cepat ia memberikan
pertolongannya setelah memeriksa lukanya di dada, ia
pondong murid kepalanya itu dibawa masuk ke rumah.
Kim Nio mengikuti dari belakang sambil menangis
sesenggukan.
Si Tongkat Sakti marah-marah dan mengeluarkan ancaman
hendak menghukum The Sam tapi sejak itu tidak kelihatan
pula mata hidungnya sang murid, apalagi pulang ke rumah.
Hal mana sangat mendukakan hatinya Kim Nio.
Karena kejadian itu, karena gara-garanya Kim Nio, maka sang
ayah bertindak bengis menghukum Kim Nio disuruh merawati
dirinya Siauw Cu Leng sampai sembuh.
Mau tidak mau Kim Nio menurut, tidak berani ia
membangkang. Apalagi ia mengingat tiada orang lain yang
dapat merawati Siauw Cu Leng, selain ia berdua ayahnya
yang sudah lanjut usianya.
Dalam perawatan, Kim Nio bersungguh-sungguh sebab ia
merasa berdosa. Ia yang menyebabkan luka parahnya sang
suheng. Maka dengan berangsur-angsur Siauw Cu Leng mulai
sembuh dari luka parahnya.
Di waktu sakit tak dapat bangun, Siauw Cu Leng sering
ditolong Kim Nio, mengangkat bangun dari tidurnya untuk
minum obat. Pun sering membantu ayahnya mengurut-urut
jalan darahnya sang suheng supaya lancar lagi. Dengan
sering bersentuhan badan dan mata pandang memandang,
hatinya Kim Nio pelan-pelan terpikat juga pada Siauw Cu
Leng, lupa ia pada The Sam yang sekarang entah ada
dimana.
Sering Kim Nio menemani sang suheng duduk di tepi
pembaringannya, kasak kusuk mengobrol ketawa-tawa. Dari
memegang jari terus ia memegang tangan, lalu ke lengan. Kim
Nio antapkan tangan nakal si ceriwis, malah ia bersenyum.
Tapi alangkah kagetnya, tiba-tiba Siauw Cu Leng meniup
padam api lilin. Kim Nio rasakan tangannya ditarik hingga ia
terjerunuk menubruk badannya si bangor di atas pembaringan.
Kim Nio berontak tapi sudah terlambat, dua tangan yang kuat
telah memeluk dirinya.
Kim Nio memberontak, tapi tidak berdaya karena ciuman si
ceriwis Siauw Cu Leng yang bertubi-tubi membuat badannya
jadi lemas tak bertulang.
"Adik Kim,... oh...'
"Suheng.... ah...."
Hanya kata-kata ini yang terdengar sejenak dari lubang kunci
pintu kamar Siauw Cu Leng, sayup-sayup kedengarannya
seperti terbawa hembusannya angin.
Itulah kisah pada suatu malam, dimana si Tongkat Sakti Kong
Tek Liang tidak ada di rumah, lagi main tio-ki (catur Tionghoa)
di rumah tetangganya.
Masih terdengar suaranya Kim Nio, sayup-sayup jauh disana,
tapi tegas : "Jangan suheng, jangan........"
Lantas sang malam pun menjadi sunyi senyap.......
Sejak itu, dua minggu kemudian dalam rumah Sinkuay
Piauwsu Kong Tek Liang diadakan keramaian, pesta
pernikahan Kim Nio, puteri tunggalnya dengan Siauw Cu
Leng.
Banyak kawan-kawannya Kong Tek Liang yang datang
meramaikan pesta itu.
Diantara tetamunya yang kelihatan sangat dihormati adalah
Teng Siu bersama anak perempuannya bernama Teng Goat
Go yang tinggal di sebelah selatan rumahnya Kong Tek Liang.
Melihat dirinya dihormati lebih dari tetamu yang lainnya, Teng
Siu tampaknya amat angkuh, seakan-akan ia tidak
memandang mata pada banyak tetamu yang hadir dalam
pesta itu. Maka, untuk mereka yang gampang tersinggung
hatinya, tidak mau mendekatinya, kuatir nanti terbit urusan
yang tidak diingini.
Sebenarnya, memang Teng Siu orang takuti. Ditakuti bukan
kepandaian ilmu silatnya yang tinggi atau ia seorang hartawan
besar, ia disungkani kawan dan lawan karena 'racun'nya. Ia
sangat mahir membuat racun hingga dalam kalangan 'hitam'
(kawanan penjahat), ia sangat dihormati karena banyak
diantara kawanan jahat itu yang membuat senjata rahasianya
dengan bisa yang diperoleh dari Teng Siu. Dalam kalangan
jahat, orang hanya kenal nama julukannya Hoa-im, si orang
beracun dari Hoa-im.
Anak perempuannya, Goat Go yang umurnya 24 tahun sebaya
dengan Kim Nio, sudah mewarisi kepandaiannya sang ayah.
Dengan Kim Nio, Goat Go kenal baik sebab teman dalam satu
sekolahan.
Meskipun parasnya cantik, Goat Go hatinya tidak cantik. Jelus,
gampang mengiri. Maka tidak heran kalau ia mengiri pada Kim
Nio yang dapatkan Siauw Cu Leng sebagai suami yang
ganteng.
Seperti juga dengan Kim Nio, Goat Go siang-siang sudah
kehilangan ibu, meninggal dunia pada waktu ia berusia 8
tahun. Ia hidup bersama ayah dan Twa-ienya (kakak
perempuan ibunya) yang menggantikan sang ibu yang sudah
berada di alam baka.
Goat Go lebih dimanja oleh orang tuanya dibandingkan
dengan Kim Nio, kemerdekaannya tidak dikekang. Ia boleh
pergi melancong seharian atau satu malaman tidak pernah
ditegur oleh ayahnya, yang percaya penuh Goat Go bisa jaga
diri sendiri.
Begitulah, ketika ia habis pulang dari undangan, otaknya
bekerja untuk mencari pasangan yang lebih cakap dari
suaminya Kim Nio.
Ia memang cantik menarik, banyak pemuda yang incar dirinya
tapi tidak berani majukan lamaran karena pengaruh sang ayah
yang termashur biasanya.
Juga disekitar kampungnya, Goat Go tidak menemui orang
yang secakap suami Kim Nio. Mana ia mau ladeni mereka
yang mengincar dirinya. Ia justru ingin cari orang yang lebih
cakap dan ganteng dari Siauw Cu Leng.
Teng Siu tidak memikirkan akan jodohnya sang puteri. Ia
hanya menyerahkan atas pilihan anaknya, ia hanya akur saja.
Pikirnya, ini demi keberuntungna anak tunggalnya.
Pada suatu hari, selagi Goat Go ngelayap, ia mampir dalam
sebuah rumah makan hendak mengisi perutnya yang lapar.
Sikapnya galak betul, main bentak saja kepada pelayan yang
melayaninya. Tapi si pelayan melayani ia dengan ramah
tamah, meskipun dibentak-bentak. Ini karena si pelayan,
siang-siang sudah mendapat bisikan dari majikannya supaya
melayani si nona dengan baik dan manis budi meskipun si
nona berlaku galak kepadanya.
Majikan rumah makan itu sudah tahu ketika Goat Go masuk, ia
kenali itu ada puterinya Hoa-im Tok-jin, maka cepat-cepat ia
bisiki pelayan yang hendak melayaninya supaya layani
dengan baik sehingga tidak terbit onar.
Meskipun si pemilik rumah makan sudah atur demikian rapih,
toh terjadi juga keonaran, tak dapat dicegah. Sebabnya, Goat
Go marah-marah lantaran si pelayan salah membawakan
santapan yang ia pesan. Makanan itu semestinya dibawa ke
meja seorang tamu anak muda yang duduk di pojok, tapi ia
salah bawa ke mejanya si nona. Rupanya ia sangat bingung
karena dipesan lekas-lekas membawa makanan pesanannya
si nona. Dalam marahnya, Goat Go angkat mangkok sayur
yang masih mengepul panas lalu disiramkan ke mukanya si
pelayan. Siapa, sudah tentu saja menjadi gelagapan dan
berteriak-teriak kepanasan mukanya. Para tamu menjadi
tercengang melihat perbuatannya Goat Go.
Mereka yang kenali si nona, pada membayar uang makannya
di tempat kasir dan ngeloyor pergi. Sedang tamu-tamu yang
datang dari lain tempat pada berdiri dari bangkunya
mengawasi Goat Go. Mereka sangat tidak senang melihat
kelakuan si nona yang demikian keterlaluan.
Termasuk si anak muda yang duduk di pojok, yang sayurnya
disiramkan ke muka si pelayan. Merasa tidak puas, ia datang
menghampiri ke tempat Goat Go yang saat itu sedang
terpingkal-pingkal ketawai si pelayan yang gelagapan
kepanasan mukanya, sambil kedua tangannya dipakai
menekap muka.
Sambil tolak si pelayan minggir, anak muda itu maju
mendekati Goat Go berkata, "Cici, perbuatanmu sangat
keliwatan !"
Si nona heran ada orang berani menegur kelakuannya. Ia
angkat kepalanya memandang. Kiranya yang menegur itu
seorang anak muda, dandanannya sebagai pelajar, di
punggungnya ada terselip sebatang pedang pendek.
Pengawakannya tinggi kurus, gagah dan cakap tampangnya,
mengalahkan kecakapan Siauw Cu Leng dalam pandangan
Goat Go yang tengah mencari pasangan.
Diam-diam ia tertegun memandang si anak muda. Pikirnya,
pemuda itulah yang pantas menjadi pasangan dirinya. Tapi
Goat Go wataknya tinggi hati, tidak senang ada orang tegur
dirinya. Maka setelah mengerutkan keningnya, ia bangkit dari
duduknya, menghadapi si anak muda. "Habis kau mau apa ?"
ia jawab teguran si anak muda.
"Pelayan itu tidak berbuat kesalahan beasr, kenapa kau
sampai berbuat yang begitu keliwatan ?" kata si pemuda lagi.
"Ia, habis kau mau apa ?" tantang si nona.
Tidak marah dia, mukanya tampak berseri-seri seakan-akan
pandang remeh pada anak muda di depannya. Si anak muda
tidak takut, tapi si pemilik rumah makan sebaliknya yang
ketakutan setengah mati. Meskipun takut, ia coba maju dan
ingin melerai antara dua muda mudi yang kelihatannya hendak
bergerak.
"Sudah, sudah." katanya. "Kejadian itu tidak berarti, untuk apa
ditarik panjang. Sudah, sudahlah..........." sambil ajukan diri,
hendak memisahkan.
"Plak !" tiba-tiba terdengar suara, kiranya itu tangannya si
nona yang mampir ke pipinya si pemilik rumah makan.
"Jangan coba melerai, aku tidak suka cecongormu muncul
diantara kita !" bentak si gadis, matanya melotot gusar.
Sambil menekan pipinya yang panas bekas tamparan si nona,
pemilik rumah makan itu mundur teratur. Hanya matanya saja
kedap kedip sambil meringis-ringis kesakitan. Kelakuan mana
mengelitik urat ketawa Goat Go sebab ketika itu ia tertawa
cekikikan sambil matanya melirik pada si anak muda.
Dalam keadaan tertegun, si anak muda dengar Goat Go
berkata : "Apa kau juga ingin rasakan ini ?" seraya unjuk
telapak tangannya yang putih halus.
"Cobalah !" sahut si anak muda, dingin suaranya.
Goat Go memang kepingin usap muka orang yang cakap,
sekarang ada jalan untuk ia berbuat demikian. Maka dalam
girangnya, seketika ia lantas angkat tangannya dipakai