Duck hunt
jowo.yn.lt
Bocah Sakti Oleh : Wang Yu Jilid 01 -- 1 -- Itulah malam menyeramkan......... Awan gelap menutupi bulan sisir. Kilat berkeredepan, diselingi oleh bunyinya guntur seolah-olah malam itu bakal turun hujan besar. Dalam suasana yang seram itu, ada terdengar percakapan ini : "In-ji, malam ini cuaca jelek. Kita tak usah latihan ilmu silat." "Terserah pada Liok Sinshe. Juga bukankah sinshe lagi sakit ?" "Sungguh terang otakmu, In-ji. Kau bakat menjadi seorang pandai yang selain mengerti ilmu surat juga silat sekaligus ! Ha ha ha......." "Terima kasih. Semua ini atas didikan Liok sinshe." Percakapan ini keluar dari sebuah rumah tua yang mencil sendirian di atas jurang Tong-hong gay, sebelah barat gunung Hengsan di propinsi Ouwlam. Dalam rumah itu yang diterangi dengan dua batang lilin, cukup terang, tampak duduk menghadapi meja seorang anak kirakira umur 12 tahun tengah menulis. Tidak jauh dari padanya, diatas sebuah kursi malas, ada rebah seorang laki-laki dari usia pertengahan. Kepalanya diikat setangan dan pada kedua belah pilingannya ada ditempel koyo. Orang sakit itu yang dipanggil Liok Sinshe, tabib Liok, tiba-tiba bangun dari rebahannya, jalan menghampiri si anak kecil, duduk di bangku di depannya. Anak kecil itu hentikan tulisannya, bangkit dari duduknya, mendekati Liok sinshe. "Sinshe lagi sakit, sebaiknya Sinshe rebahan saja." kata si anak dengan roman aleman. Liok Sinshe ketawa. Ia pegang kedua tangan si bocah, lalu ditarik dan dipeluk dengan rupa yang sangat menyayang. "In-ji..." bisiknya di telinga si anak. "Ya, Sinshe," jawabnya pelan. Hening sejenak........ Lama ditunggu, belum juga Liok Sinshe menyambung katakatanya. Lo In, si anak kecil menjadi heran. Lebih terperanjat pula di kala ia merasakan pipinya hangat. Itulah air, ketika ia meraba pipinya. Dengan pelan ia melepaskan diri dari peluknya Liok sinshe. Hatinya dirasakan mencelos ketika ia mengawasi Liok Sinshe bercucuran air mata. Tapi air mukanya tetap bersenyum halus. Senyuman penuh kesayangan, yang biasa Lo In hadapi sehari-hari selama ia berkumpul denganLiok Sinshe. "Liok Sinshe, kau kenapa ?" tanyanya cepat. "Anak In (In-ji)...." kaat Liok sinshe, tidak lampias suaranya, "Sebenarnya, malam ini ingin aku menuturkan suatu kisah......." Baru sampai di perkataan 'kisah', tiba-tiba saja Liok Sinshe meniup padam api lilin hingga dalam ruangan itu menjadi gelap gulita. Segera terdengar menyambarnya beberapa senjata rahasia, disusul oleh suara ketawa : "Ha ha ha, Liok sinshe mau menutur kisah si bangsat Kwee Cu Gie ! Keluar ! Mari keluar Liok sinshe, kita bikin perhitungan hutang jiwa dua belas tahun yang lampau. Ha ha ha, Kwee Cu Gie...... !" Liok Sinshe dan Lo In saat itu sembunyi di bawah meja hingga terhindar dari serentetan serangan senjata rahasia musuh yang dilepas dari jendela. Dalam keadaan biasa, musuh tidak mudah menyatroni rumahnya, membokong dengan senjata rahasia. Malam itu rupanya Liok sinshe dipengaruhi oleh cuaca buruk, membikin kupingnya yang biasanya tajam menjadi puntul. "In-ji," bisik Liok sinshe, "Yang datang itu Siauwsan Ngo-ok. Mereka punya piauw yang direndam racun yang dinamai 'Ngotok piauw', sangat berbahaya. Juga mereka sangat kejam dan telengas, maka itu, kalau sebentar aku keluar, harap kau lari selamatkan diri !" Si bocah tidak menjawab. Hanya ia pegangi kencang lengannya Liok sinshe seperti juga ia tidak ijinkan sinshe itu keluar. "Liok sinshe, lekas keluar. Apa kau takut ? Hmmm... malam ini kau harus bayar jiwanya Ngo-te. Kau sembunyi........" Tiba-tiba dari dalam rumah melesat satu tubuh keluar. Dalam sekejapan sudah berdiri berhadapan dengan si penantang yang tidak melanjutkan kata-katanya sampai di perkataan "sembunyikan......", saking kaget nampak kegesitannya orang itu. "Aku sudah ada disini, buat apa kau begini bawel ?" kata Liok sinshe jenaka. "Bagus, kau harus bayar jiwanya Ngo-te kami !" kata si penantang. "Kau ini aneh," sahut Liok sinshe. "Memangnya kau sudah linglung ?" Orang itu melengak dikatakan linglung. Liok Sinshe ketawa geli dalam hatinya, nampak orang itu melengak heran. "Sam-ok Cui Seng," menyambung Liok Sinshe, "aku hanya hutang satu jiwa. Kau masih ngerembengi minta ganti. Sedang kalian huta pada mereka yang anggauta keluarganya dibunuh, entah berapa puluh, tidak mau ambil pusing. Apa ini bukannya linglung perhitunganmu ? Ha ha ha........" Si Jahat ketiga, Cui Seng mendelu hatinya mendengar katakata Liok Sinshe, tajam menyindir atas kelakuan mereka yang jahat. "Sam-to, kekas beresi saja !" teriak Toa-ok Cui Peng (si Jahat no. 1). "Jangan kasih calon bangkai itu banyak omong !" sambung Jiok Cui Kin (si jahat ke-2). Liok Sinshe awas matanya, ia perhatikan sekitarnya. Nyata selain empat musuhnya yang sudah mengurung, ia dapat lihat masih ada beberapa orang lagi yang berdiri sedikit jauh dari mereka. Kalau tadi ia bersenyum-senyum saja menghadapi empat lawannya, kini setelah dapat tahu musuhnya ada bawa bala bantuan, tampak ia kerutkan keningnya. "Pantas kalian berani datang, kalau kalian bawa bala bantuan" kata Liok Sinshe jenaka. Ia sama sekali tidak gentar kelihatannya. "Hm !" Toa-ok Cui Peng mendengus. "Kau takut ? Aku bisa kasih kelonggaran padamu. Nah, kau berlutut sekarang, mengangguk sepuluh kali dihadapan kami kemudian membunuh diri sendiri. Dengan demikian, kau dapat selamatkan kematianmu dengan tubuh utuh.........: "Kentut busuk !" memotong Liok Sinshe. "Dengan turutnya dua ekor imam busuk dan sebuah kepala gundul bau dalam keramaian malam ini, apa kalian kira aku tinggal lari ? Kalian salah hitung, Siauwsan Ngo-ok !" Suaranya Liok Sinshe dibikin nyaring ketika menyebutkan 'dua ekor imam busuk' dan 'sebuah kepala gundul', hingga orangorang yang bersangkutan mendelik matanya saking menahan amarahnya. Memang, malam itu kedatangan Siauwsan Ngo-ok (Lima orang jahat dari gunung Siauw san) dikawal oleh Tiat Cie Hweshio Hong Hui (si Hweshio Jari besi) dan Tui-Beng Kiam Siong Leng Tojin (si pedang Pengejar Jiwa) bersama adik seperguruannya, Jin Leng Tojin yang bergelar Pek-houw-kiam atau si Pedang Macan Putih. Ketiga orang suci ini, ada jago-jago kelas satu dalam rimba persilatan. Cuma sayang sekali, mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang nyeleweng dari tujuan agama hingga menimbulkan kemarahan diantara jago-jago pembela keadilan. Diantaranya mereka bentrok dengan Liok Sinshe dimana telah terjadi pertarungan hebat. Kesudahannya mereka dapat dipecundangai. Sejak mana mereka menaruh dendaman hati, mereka meningkatkan kepandaiannya untuk mencari balas pada lawannya. Kawanan orang-orang jahat dari Siauwsan habis sabar mendengar kata-katanya Liok Sinshe. Mereka anggap orang terlalu menganggap enteng. Lekas juga Toa-ok Cui Peng hunus goloknya dan mulai buka penyerangan. Tadinya Liok Sinshe hendak melayani si Empat Jahat dengan tangan kosong, tapi melihat ada backingnya, tiga jago kelas berat, maka ia rubah niatnya semula. Maka begitu Toa-ok membabat goloknya mengarah leher, ia mendak berkelit. Ia tidak balas menyerang, sebaliknya ia lompat menerjang pada Su-ok (si Jahat ke-4) yang baru saja akan menghunus pedangnya. Gerakan Liok Sinshe gagal untuk merampas pedang Su-ok Cui Tie. Sebab barusan saja ulur tangannya, tiba-tiba goloknya Cui Seng menyelak, membacok untuk tolong saudaranya. Su-ok Cui Tie yang mencekal pedang dengan tangan kiri karena lengan kanannya kutung tempo hari ditabas pedangnya Liok Sinshe menjadi sangat gusar. Musuhnya mau merampas senjatanya. Sambil putar pedang, ia menyerang hebat membantu saudarasaudaranya yang mengepung Liok Sinshe. Ia sangat gemas pada musuhnya yang sudah membuat dirinya cacad. Nekad ia untuk menuntut balas. Dengan jurusnya 'Tong-cu-ci-louw' -- 'Bocah menunjukkan jalan', pedangnya menyambar ke arah tenggorokan orang. Hebat serangan ini karena dilakukan dengan cepat. Tapi Liok Sinshe ada lebih cepat pula, ia berkelit sambil memutar tubuh untuk terus lompat tinggi menghindarkan serangan Toa-ok Cui Peng yang menggunakan tipu 'Hui-hong-sauw-yap'--'Angin puyuh menyapu dedaunan'. Goloknya yang tajam dua muka, membabat kaki Liok Sinshe dari kiri ke kanan. Sungguh mengerikan. Kalau saja Liok Sinshe tidak sangat gesit, kakinya akan tertabas kuntung tanpa ampun lagi. Belum kakinya Liok Sinshe menginjak tanah, sudah datang serangan golok Sam-ok Cui Seng yang mengarah kaki lagi. Si jahat ketiga itu pikir kali ini ia tidak bakal luput goloknya membacok kai musuh sebab Liok Sinshe masih belum menginjakkan kakinya ditanah. Cara bagaimana ia dapat berkelit ? Tapi perhitungan Cui Seng meleset. Tampak tubuhnya Liok Sinshe berputar, berkelit tanpa menginjak tanah hingga ia lolos dari bahaya. Suatu gerakan yang indah sekali yang dinamani 'Yan-cu-tengkong' atau 'Burung walet mumbul di udara' yang membuat empat lawannya menjadi melongo saking heran. Pikirnya, musuh begini liehai, apa mereka nanti berhasil menuntut balas untuk menuntut kematian saudaranya yang kelima ? Hanya sejenak mereka bersangsi, sebab mereka segera mengurung lagi. Liok Sinshe yang perhatikan gerak gerik orang, dapat tahu lawan-lawannya agak jeri untuk melangsungkan pertandingan. Inilah suatu keuntungan bagi lawan yang sudah unggul. Ia tertawa gelak-gelak, lalu berkata : "Kalian percuma mengepung aku. Hayo undang itu si kepala gundul bau dan dua imam busuk, bantu kalian mengerubuti aku !" "Sungguh temberang !" terdengar suaranya Tui-beng-kiam Siong Leng Tojin. "Undangan sudah datang, tidak baik kalau ditempuh. Mari, mari kita maju !" Ajakan itu disusul dengan majunya ia dalam kalangan pertempuran, diikuti oleh Pek-houw-kiam Jin Leng Tojin. "Ha ha ha ! Kwee Cu Gie, saat mampusmu sudah diambang pintu. Masih bersikap jumawa ? Ha ha ha h...!" teriak si Hweshio (pendeta) Jari Besi Hong Hui sambil jalan mengikuti di belakang dua imam kawannya. Di lain saat, tampak Liok Sinshe sudah dikepung oleh tujuh musuhnya. "Liok Sinshe," kata Siong Leng Tojin, suaranya mengejeki, "Kau mau tinggalkan pesan apa, sebelum berangkat mati ?" Liok Sinshe tidak menjawab, ia hanya kerutkan keningnya. Otaknya bekerja, pikirnya, menghadapi Siauw San Ngo-ok, meskipun dengan tangan kosong tidak menjadi soal baginya. Tapi sekarang ia harus menggempur tujuh musuh, tiga diantaranya ada jago-jago keals berat. Tanpa senjata bagaimana ia dapat melayani mereka ? Diantara empat pengepungnya tadi, Ji-ok Cui Kin kelihatan agak jeri terhadapnya. Sedang senjata pedangnya itulah yang paling tajam diantara senjata-senjata saudaranya. Mungkinkah karena kakinya tinggal sebelah, sebab dahulu dikutungi olehnya hingga ia tidak dapat leluasa bergerak ? Bagaimanapun, pikir Liok Sinshe, ia harus waspada terhadap Ji-ok yang cara melepas piauw beracunnya paling pandai diantara saudara-saudaranya yang lain. Matanya melirik pada Ji-ok yang berdiri di samping kirinya Toa-ok. "Bagaimana ?" tegur Siong Leng Tojin, sikapnya jumawa. "Memang aku mau tinggalkan pesanan," sahut Liok Sinshe. "Nah, lekas bicara !" girang Siong Leng Tojin. "Sebentar, kalau tanganmu putus, harap kau jadi orang baik selanjutnya......" Liok Sinshe berkata seraya tersenyum. "Sret !" tiba-tiba Siong Leng Tojin menghunus pedangnya. "Kurang ajar, kau berani main gila ? Rasakan pedangku ini ?" teriak Siong Leng Tojin, hatinya panas. Ingin sekali ia tabas tubuhnya Liok Sinshe kutung dua. "Eh, nanti dahulu !" kata Liok Sinshe, sambil berkelit dari tikaman pedang Siong Leng Tojin, "Aku masih belum bicara habis." "Manusia hina, tak usah kau banyak pernik !" teriak Siong Leng Tojin penuh kemurkaan. Serangannya pun dilakukan saling susul tidak memberikan ketika kepada lawannya yang melayani ia dengan tangan kosong. Liok Sinshe berlaku tenang, meskipun kelihatannya ia repot menghindari serangan lawan yang bertubi-tubi. Dengan mengandalkan kegesitannya, Liok Sinshe melayani Siong Leng Tojin. Dalam tempo singkat saja, pertempuran sudah berjalan tiga puluh jurus tetapi Siong Leng Tojin masih belum bisa berbuat apa-apa atas lawannya yang bertangan kosong. Diam-diam ia kagumi ilmu entengi tubuh musuh yang sampai sebegitu jauh ia belum dapat menyentuh walaupun hanya bajunya saja. Kenapa yang lain-lain berdiri diam saja, tidak datang mengeroyok ? Itu ada sebabnya. Siong Leng Tojin orangnya sangat temberang, memandang rendah siapa juga. Ia anggap dirinya adalah jago pedang nomor wahid di dunia. Apalagi sekrang ilmu pedangnya sudah meningkat, sejak pada dua belas tahun yang lalu dipecundangi Liok Sinshe. Ia anggap sekarang Liok Sinshe sudah bukan tandingannya lagi. Maka ketika Siauw-san Ngo-ok minta bantuannya, ia majukan satu syarat ialah kalau ia bertempur dengan Liok Sinshe, yang lainnya berdiri menonton saja dahulu sampai ia kasih kode "turun tangan", barulah dilakukan pengeroyokan. Imam sombong ini ingin menjatuhkan Liok Sinshe dengan kepandaiannya sendiri. Kalau tadi ia mendesak lawannya, selewatnya tiga puluh jurus, pelan-pelan ia berbalik kedesak hingga si Pedang Pengejar Jiwa jadi kelabakan. Melihat si iman sudah kedesak, kawan-kawannya ingin lantas turun tangan. Tapi masih juga belum dapat tanda dari Siong Leng Tojin. Sampai kemudian terdengar suara 'prang !', pedangnya si imam jatuh ke tanah, sedang Liok Sinshe lompat mundur jumpalitan dengan gerakan 'Kera tua jatuh dari pohon'. "Maaf Tui-beng-kiam !" kata Liok Sinshe seraya kedua tangannya diangkat menyoja kepada Siong Leng Tojin yang saat itu berdiri bagaikan patung. Tak dapat ia berkata-kata, hanya matanya saja melotot mengawasi musuhnya. Semua orang tercengang dengan kesudahan pertempuran itu. Meskipun sudah terdesak, tidak semudah itu Siong Leng Tojin dijatuhkan lawannya. Ini karena salahnya sendiri. Adatnya yang berangasan tak dapat mengendalikan kemarahannya, ingin cepat-cepat ia menjatuhkan lawannya. Ia menggunakan jurusnya yang paling baharu, 'Ouw in hoan hui' --'Awan hitam bergulung-gulung', pedangnya dibulang baling cepat ke arah muka lawan untuk membuat mata orang kabur penglihatannya, kemudian menusuk laksana kilat ke arah tenggorokan. Sudah berapa banyak ia bikin terjungkal lawannya dengan ilmu pedangnya ini. Tapi menghadapi Liok Sinshe ia mesti bayar mahal. Liok Sinshe ada terlalu gesit, hebat ilmu entengi tubuhnya, penglihatannya tidak jadi kabur oleh bulang baling pedangnya. Maka ketika pedang menikam ke arah tenggorokannya, dengan sebat Liok Sinshe berkelit sambil lompat nyamping ke kiri, akan dari mana sebelum Tui-bengkiam sempat menarik pulang pedangnya yang mendapat sasaran kosong, dua jari tangan kiri Liok Sinshe dengan totokan 'hong-bun-hiat', menotok jalan darah di bagian pundak lawan hingga si imam gemetaran tangannya dan dengan sendirinya, pedangnya juga jatuh ke tanah. Dengan angkat kedua tangan, Liok Sinshe bersoja pada Siong Leng Tojin, sebenarnya Liok Sinshe ingin mengadakan perdamaian, pemusuhan sebaiknya disudahi saja, jangan ditarik panjang berlarut-larut tidak habisnya. Pikirnya, jagonya yang paling lihay sudah ia jatuhkan yang lainnya pasti akan menurut dan hentikan nafsunya untuk menuntut balas. Tapi sebelum ia membuka suara lebih jauh, tiba-tiba ia rasakan ada angin menyambar dari belakang. Cepat ia buang diri ke kanan, sambil bergulingan ia menyelamatkan diri dari serangan piauw beracun Ji-ok Cui Kin yang datang saling susul, dibarengi oleh teriakan Pek-houw-kiam Jin Leng Tojin, "Turun tangan ! Semua maju, habiskan jiwa keparat itu !" Mereka ramai-ramai memburu Liok Sinshe yang bergulingan. Dengan beberapa lompatan enteng, mereka sudah datang dekat dan hujani tubuh lawan alot itu dengan bacokan, tusukan dan kemplangan. Sementara itu........ Awan gelap dari setadian, kini semakin gelap dan..... turunlah hujan besar. Orang-orang jahat itu tidak hiraukan lebatnya turun hujan, mereka bernapsu besar untuk menghabiskan jiwa musuhnya. Apalagi, musuhnya itu kini sudah mandi darah, lengan kirinya sudah kena kebacok, mereka jadi beringas ! Ia kumpul tenaganya, kemudian melejit bangun. Dengan gerakan 'Elang lapar menyambar kelinci', ia menerjang pada Ji-ok Cui Kin yang berada paling dekat padanya. Cepat Ji-ok Cui Kin menyambut dengan pedangnya. Tapi ia kalah cepat sebab Liok Sinshe punya dua jari dari tangan tangan kiri sudah menotok dengan totokan 'thian-ki-hiat', jalan darah di iga kanannya, sedang pedangnya pun lantas pindah tangan Liok Sinshe. Bagaikan harimau tumbuh sayap, Liok Sinshe sudah menyerang musuh-musuhnya tanpa ampun lagi. Ia naik pitam melihat kekejaman dan ketelengasan kawanan jahat itu ketika menghujani ia dengan berbagai senjata. Pedangnya berkelebatan di antara sinar kilat dan lebatnya hujan. Segera juga terdengar jeritan saling susul, Ji-ok Cui Kin lehernya kesabat pedang, hampir putus, Sam-ok Cui Seng rebah dengan kaki kanannya kutung, Pek-houw-kiam Jin Leng Tojin terkulai, mendeprok di tanah, pundak kanannya berlumuran darah. Hanya ketinggalan tiga musuhnya, Tiat Cie Hweshio, Toa-ok Cui Peng dan Su-ok Cui Tie. Mereka ciut nyalinya, nampak kawan-kawannya rubuh saling susul sedang Tui-beng-kiam Siong Leng Tojin masih dalam keadaan tertotok, tak bisa diharapkan bantuannya. Hampir berbareng muncul dalam pikiran mereka, "Lari, paling selamat !" Demikian, mereka bertempur sambil melihat kesempatan. Dalam keadaan murka hingga kecerdasannya meningkat, Liok Sinshe sebenarnya tidak sukar untuk menjatuhkan tiga musuhnya. Sayang, dari lukanya di lengan kiri, muka dan punggung banyak mengeluarkan darah membuat ia letih dan tenaganya menurun banyak, kegesitannya pun dengan sendirinya agak kurang. Untung musuh-musuhnya tidak perhatikan itu. Mereka hanya memikirkan 'jalan lari' saja hingga perlawanan mereka juga tidak sepenuh tenaga. Meskipun sudah lelah, Liok Sinshe ingin takluki tiga musuhnya itu. Demikian, ketika goloknya Toa-ok Cui Peng membacok, ia tidak menangkis, hanya elakan pundaknya yang diarah. Berbareng dengan itu, pedangnya meluncur ke muka lawan dengan gerakan 'Giok li tek hoa' -- 'Bidadari petik kembang'. Satu jurus yang lihay sekali sebab sebelum Toa-ok Cui Peng dapat selamatkan mukanya, hidungnya copot kena disentak ujung pedang. Ia berkaok-kaok sambil tangan kirinya menekap hidungnya yang gerumpung lumuran darah. Si hweshio Jari Besi merasa tidak ungkulan layani musuhnya yang lihai. Ia coba angkat kaki, tapi ia juga tidak luput dikasih persen tanda mata, kupingnya yang kiri di papas pedangnya Lok Sinshe. Su-ok Cui Tie dari pada ia turut lari, malah jadi lemas kakinya dan jatuh duduk. Matanya meram, mulutnya kemak-kemik seperti yang memohon Malaikat Elmaut tidak mencabut jiwanya. Sesaat kemudian ia raba lehernya, masih utuh. Ia heran, lalu membuka matanya. Kiranya Liok Sinshe sudah tidak ada disitu, ia sedang menguber si Hweshio Jari Besi yang lari ke tepi jurang. Tiat Ci Hweshio berlarian di tepi jurang dikejar dari belakang oleh Liok Sinshe. Keduanya menggunakan lari cepat (enteng tubuh). Hujan sementara itu masih turun dengan lebatnya. "Kepala gundul bau, apa kau bisa naik ke la..... Ayo !" Tiba-tiba saja Liok Sinshe berteriak, tubuhnya menyusul rubuh dan......... tergelincir masuk ke dalam jurang yang curam. Tiat Cie Hweshio heran, lalu hentikan larinya, balik menghampiri tempat dimana Liok Sinshe berteriak dan jatuh ke dalam jurang. Ia lihat jurang ada demikian dalam, diukur dari sudut ketika ia dengan kawan-kawannya mendaki Tonghong- gay, ia yakin Liok Sinshe pasti menemui ajalnya. Girang bukan main hatinya si Hweshio Jari Besi. "Hahaha !! Hahaha !" ia tertawa gelak-gelak sendirian seperti orang gila. "Hai, kepala gundul ! Kau jangan girang dahulu.....!" tiba-tiba suara orang menyelusup ke dalam kupingnya. Mungkinkah itu ada setannya Liok Sinshe ? Tiba-tiba bayangan berkelebat, keluar dari balik pohon. Tiat Cie Hweshio makin ketakutan, tubuhnya menggigil seperti yang diserang penyakit malaria. Hujan mulai berhenti, cuaca agak terang tapi suasana tetap sunyi menyeramkan dalam daerah pegunungan itu. Si kepala gundul makin menggigil, kapan pundaknya berasa ada yang tepuk dari belakang, ketakutannya meningkat dan si Hweshio Jari Besi bisa jatuh semaput kalau ia tidak mendengar suara ketawa terkekeh-kekeh, seraya berkata : "Hweshio pecundang, kau ketakutan ?" "Ah, Kim Popo, kau bikin aku kaget setengah mati. Hahaha !" tertawa si kepala gundul sambil putar tubuhnya, menghadapi orang yang jail tadi. "Apa kalian lupa dengan pesanku ?" tanya Kim Popo. Sejenak Tiat-ci Hweshio mengingat-ingat, "Ah, benar-benar aku harus mati. Aku lupa benar akan pesan Kim Popo", katanya sambil tepuk-tepuk pahanya. "Coba kalau kalian tidak mengabaikan pesanku, siang-siang si keparat itu sudah menjadi makanannya kawanan ular dibawah jurang. Hihihi......." Kim Popo temberang. Adalah ketika mendamaikan pengeroyokan atas dirinya Liok Sinshe, Kim Popo diminta bantuannya juga. Ia bersedia membantu, tapi tidak mau terang-terangan menggempur Liok Sinshe, hanya dengan cara gelap ia akan menghajar musuh. Kim Popo memang ada satu nenek jagoan. Selain ilmu silatnya tinggi, orang takuti senjata rahasia beracunnya yang dinamai "touw-kut-tok-ciam' atau jarum berbisa menembus tulang' yang jarang gagal mengambil korban diwaktu ia menggunakannya. Jarum itu disimpan dalam satu bungbung mungil, ada alat rahasianya yang membikin jarum melesat. Keluarnya tidak satu-satu, tapi lima batang sekaligus, mengarah bagian tubuh si korban, atas, tengah, bawah, kiri dan kanan, hingga korbannya sukar meloloskan diri. Asal usulnya Kim Popo tidak seorang yang tahu, sekalipun siauw San Ngo-ok yang menjadi anak-anak angkatnya. Tentang cara bagaimana si Lima Jahat bisa jadi anak-anak angkatnya Kim Popo, akan dituturkan di sebelah belakang cerita ini. Kelupaan akan pesan Kim Popo sebenarnya si Hweshio Jari Besi ngebohong. Tui-beng-kiam Siong Leng Tojin, sewaktu mereka mendaki jurang Tong-hong-gay mengajari kawan-kawannya jangan meladeni pesan Kim Popo memancing Liok Sinshe ke tempat sembunyinya si nenek yang hendak membokong. Katanya itu tidak perlu, malah akan merendahkan derajat mereka yang sudah ada nama dalam kalangan kang-ouw. Dengan mereka bertujuh, sudah cukup untuk membinasakan Liok SInshe, malah dianggap kelebihan oleh imam itu, kapan ia ingat dirinya sendiri punya kepandaian sudah meningkat banyak. Tidak tahunya mereka dibikin kucar kacir dan Liok Sinshe binasa ditangannya si nenek tua yang membokong dengan jarum jahatnya. Liok Sinshe lihai, tidak mudah ia kena dibokong orang. Kalau saja saat itu turunnya hujan tidak mengganggu pendengarannya yang tajam. Tiat Ci Hweshio ajak Kim Popo untuk melihat kawankawannya. Sesampainya di tempat pertempuran tadi, tampak Siong Leng Tojin dan Su-ok Cui Tie tengah repot menolongi kawan-kawannya yang luka. Si imam mukanya merah, bahkan malu ketika menyambut kedatangannya Kim Popo. "Maafkan, aku sudah berlaku ceroboh, melupakan pesan Popo." Siong Leng Tojin sembari angkat tangannya memberi hormat. "Kalau tidak, tidak sampai kejadian begini," ia menyambung, matanya mengawasi kepada korban-korban yang pada rebah sambil keluarkan rintihannya, menahan rasa sakit. Tui-beng-kiam Siong Leng Tojin belum lama ia dapat membebaskan dirinya dari totokan Liok Sinshe, setelah berkali-kali ia memeras tenaga dalamnya. "Tidak apa, ini barangkali sudah takdir." sahut Kim Popo acuh tak acuh. Tui-beng-kiam dalam hatinya mendongkol melihat sikap sombong si nenek tua. Tiba-tiba Su-ok Cui Tie menghampiri Kim Popo, di depan siapa ia tekuk lututnya berkata : "Popo, sakit hati ini laksana dalamnya lautan, kalau Popo tidak tolong balaskan, bagaimana kami......." "Anak tolol !" potong Kim Popo. "Apa yang dibalas ? Musuhmu sudah mampus masuk ke jurang, sekarang barangkali tubuhnya tengah dikerubuti oleh ular-ular penghuni disitu. Hihihi !" Kaget Su-ok Cui Tie mendengar kabar itu sampai ia lompat bangun dari berlututnya. "Apa ini benar ?" ia cepat menanya. Siong Leng Tojin pun turut kaget, tidak terkecuali Toa-ok Cui Peng dan Jin Leng Tojin yang sedang merintih-rintih. "Kalau tidak percaya, kau tanya saja si kepala gundul !" jawab Kim Popo, sikapnya bangga sambil menunjuk kepada si Hweshio Jari Besi. Mereka lalu minta keterangan kepada si Hweshio, lalu ia menuturkan ketika ia diuber-uber Liok Sinshe hampir kecandak, tiba-tiba ia dengar musuh berteriak dan tubuhnya roboh tergelincir ke jurang, akibat bokongan Kim Popo dengan senjata rahasianya yang lihai. Semua jadi kegirangan, Siong Leng Tojin sambil bersenyum berkata, "Dengan mampusnya si keparat itu, kerugian kita sekarang ini sudah dibayar lunas. Hahaha !" Disamping kegirangan dan rasa puas dari kawanan penjahat itu, ada yang menceles hatinya dan mengucurkan air mata mendengar berita kematiannya Liok Sinshe. Siapa gerangan orang itu ? Itulah si bocah Lo In yang saat itu mencuri dengar dibelakang sebuah batu besar, dimana ia mengumpat, menonton pertandingan yang menegangkan hatinya, Liok Sinshe dikeroyok orang banyak. Menggunakan kesempatan orang tidak memperhatikan dirinya, karena perhatian kawanan penjahat itu tengah dipusatkan pada Liok Sinshe, diam-diam Lo In sudah menyelinap di balik batu besar dimana dengan aman ia sembunyi. Dengan begitu, Lo In sudah tidak menurut nasehatnya Liok Sinshe supaya ia lari untuk menyelamatkan dirinya. Anak ini besar nyalinya. Ia sebenarnya ingin membantu Liok Sinshe, melihat orang dikeroyok. Tapi mengingat kepandaiannya masih rendah, terpaksa ia harus menahan napsu amarahnya. Lo In sudah kegirangan melihat Liok Sinshe menjatuhkan musuh-musuhnya satu per satu. Hampir ia melompat keluar dari tempat persembunyiannya, kalau ia tidak ingat akan pesanan Liok Sinshe supaya ia kabur untuk menyelamatkan diri. Lo In tidak melihat dengan mata sendiri bagaimana Liok SInshe dirobohkan musuhnya dan tergelincir masuk ke dalam jurang sebab letak tempat kejadian itu ada jauh dari ia dan juga teraling oleh pohon-pohon. Meskipun ia menangis, ia masih sangsikan kebinasaannya Liok Sinshe. "Ah, dia lihai. Tidak mungkin dia binasa cuma tergelincir saja ke dalam jurang." pikir si bocah yang percaya akan kepandaian Liok SInshe. Sama dengan pikiran Lo In, terdengar Siong Leng Tojin menanya, "Popo, dia sangat lihai, mungkinkah dia menemukan ajalnya ?' "Hehehe !" Kim Popo ketawa. "Dia boleh lihai tapi racun jarum mautku, dalam tempo satu jam akan antar dia menghadap Giam-lo-ong !" Giam-lo-ong dimaksudkan adalah raja akherat. Kata-kata Kim Popo membuat Lo In kembali sedih. Air matanya yang barusan sudah berhenti, kembali mengucur. Suatu kedukaan yang belum pernah ia alami. Liok Sinshe ada terlalu baik, ramah, sangat memperhatikan sekali paanya. Sejak ia mengetahui dirinya tak berayah ibu, ia pandang Liok Sinshe adalah pelindungnya, sebagai gantinya orang tua. Sementara itu angin pegunungan meniup agak keras. Baru sekarang Lo In sadar, bahwa pakaiannya basah kuyup. Ia merasa kedinginan, tapi ia tidak menggubrisnya. Ia ingin menyaksikan lebih jauh tindak tanduknya kawanan jahat itu. Untuk memberikan pertolongan lebih jauh, korban-korbah pedangnya Liok Sinshe diangkut masuk ke dalam rumah. Suok Cui Tie segera pasang lilin penerangan. Dalam pemeriksaan, Ji-ok Cui Kin sudah mati dengan leher hampir putus. Entah dengan Sam-ok Cui Seng yang keadaannya tidak sadarkan diri akibat terlalu banyak mengeluarkan darah dari kaki kanannya yang tertebas buntung. Pek-houw-kiam Jin Leng Tojin masih merintih, sambungan tulang pundaknya yang kanan putus hingga selanjutnya ia tak dapat gunakan lengan kanannya ini. Toa-ok Cui Peng amat berduka, Siong Leng Tojin kertak gigi, menampak pemandangan yang mengharukan itu. Sebaliknya, Kim Popo acuh tak acuh sikapnya. Rupanya ia mendongkol pada Siong Leng Tojin yang tak mau perhatikan pesannya sehingga terjadi mala petaka itu. "Hei, kemana dia ?" berkata Siong Leng Tojin tiba-tiba, agak kaget romannya. "Siapa ?" tanya Su-ok Cui TIe. "Si bocah ! Hayo, lekas cari !" sahut Tui-beng-kiam, seraya ia sendiri lantas bertindak melakukan penggeledahan. Sementara orang repot mencari Lo In, adalah Kim Popo menggeledah orang punya laci, meja, rak, buku-buku, kopor dan lain-lain. Kim Popo seperti lagi mencari sesuatu barang. Siong Leng Tojin merasa heran, lalu menanya, "Popo, kau lagi cari apa ?" "Urusanku aku urus sendiri, urusanmu kau urus sendiri. Buat apa banyak tanya !" sahut Kim Popo, suaranya tidak enak didengar. Siong Leng Tojin cuma bisa nyengir. Dalam hatinya ia amat mendongkol, pikirnya, "Nenek gila. Kau terlalu menghina ! Tunggu, ada satu tempo, aku bikin kau tahu rasa kelihayannya Tui-beng-kiam !" Ia kemudian keluar untuk hindarkan bentrokan dengan Kim Popo, pura-pura turut kawan-kawannya mencari Lo In sebab di dalam rumah anak itu tidak diketemukan. Kim Popo memang memandang rendah pada siapa juga, bukan hanya pada Siong Leng Tojin seorang. Adatnya aneh, cepat amrah, sedang kata-katanya kasar. Orang yang tidak mengimbangi adatnya, bicara beberapa patah dengannya, akan lantas merasa dihinakan dan menaruh dendam hati. Kim Popo aduk-aduk lagi apa yang sudah diperiksa waktu Siong Leng Tojin sudah keluar. Rupanya ia penasaran barang yang dicari belum diketemukan. "Celaka !" katanya perlahan, alisnya berdiri, marah rupanya. "Tidak mungkin bangsat itu bawa ke dalam jurang !" ia meneruskan berkata-kata sendirian. Itulah Kim Popo yang kelihatannya putus asa, tak menemui barang yang dicari. Lalu ia jalan keluar, akan dari depan pintu dengan beberapa kali lompatan saja ia sudah menghilang meninggalkan rumah Liok Sinshe. Apa sebenarnya yang dicari oleh Kim Popo ? Ini, kejadian pada lima tahun yang lampau. Pada hari itu lepas lohor, cuaca agak mendung. Liok Sinshe jalan terburu-buru, habis mencari akar-akaran obat di sekitar Siauw-san, kuatir nanti keburu turun hujan. Ketika ia lewati pohon cemara yang besar, tiba-tiba ia merandek. Ia berdiri sejenak sambil pasang kuping. Ia dengar suara beradunya senjata, seperti ada orang yang tengah bertempur. Setelah memperhatikan sekian lama, lalu ia menghampiri tepi jurang, tidak jauh dari ia berdiri barusan. Ia melongok ke bawah, tampak sebuah lembah datar dimana ada kelihatan dua orang sedang bertempur seru. Dengan menggunakan ilmu entengi tubuhnya, ia lompat ke bawah mendekati tempat pertempuran untuk menyelidiki siapa mereka yang bertempur itu. Kiranya mereka itu ada satu nenek dan satu kakek. Si nenek menggunakan tongkat sebagai senjatanya, sedang si kakek bersenjata sebilah pedang panjang. Kenapa mereka jadi bertempur, itulah ia ingin tahu. Tapi tidak menanti lama, Liok Sinshe lantas mendengar si kakek buka suara, "Apa kau sudah tidak kenal persaudaraan ?" katanya, seperti yang sudah kewalahan. "Hm !" mendengus si nenek. "Baru ada persaudaraan kalau kau serahkan barang itu !" "Itu toh bukannya hakmu ?" kata lagi si kakek. "Aku tidak perduli punya siapa, barang itu harus aku punyai !" teriak si nenek. "Ah, kau benar-benar telengas !" si kakek mengeluh. Kelihatannya ia mulai keteter, permainan pedangnya mulai kalut hingga si nenek dapat kesempatan untuk merangsek lawannya dengan serangan-serangan tongkatnya yang hebat. Melihat gelagat jelek, si kakek mecari kesempatan untuk angkat kaki. Pada saat si nenek menusuk dengan tongkatnya, si kakek menyampok, kakinya menjejak tanah akan lompat mundur, kemudian putar tubuh dan ............ lari. "Hm ! mau lari ? Lebih sukar lolos dari Kim Popo dari pada naik ke langit !" si nenek berseru, tangannya merogoh sakunya, kemudian dari tangan tangan itu melesat senjata rahasianya, lima jarum beracun menyambar berbareng. Segera teriakan ngeri terdengar, si kakek roboh ditanah, pedangnya terlempar jauh, sementara itu Kim Popo sudah berdiri di depannya. -- 2 -- "Kau mau lari dari tanganku ? Hm !" mengejek Kim Popo. "Tidak rela aku mati ditanganmu, perempuan jahat !" memaki si kakek. "Kau berani maki aku ? Nih, rasai........" sambil angkat tongkatnya hendak dipukulkan pada batok kepala orang. "Tring !" tiba-tiba terdengar suara. Tongkat besinya Kim Popo terdorong nyamping, mengemplang tanah hingga berhamburan. Selamatlah batok kepala si kakek dengan kejadian ini, tadinya ia sudah meremkan matanya untuk terima kematian. Sebaliknya Kim Popo bukan main marahnya, ia berteriak seperti orang gila, "Manusia usilan, siapa kau, lekas unjuk diri di depan Popo !" "Aku disini, Popo." Kim Popo dengar suara di belakangnya. Kaget ia, cepat ia putar tubuhnya. Di depannya tampak seorang laki-laki dengan usia kurang lebih empat puluh tahun. Mukanya putih, cakap, di atas alis kirinya ada codet sebesar jari kelingking. Rupanya bekas barang tajam mampir disitu. "Kau yang barusan main-main ?" tanya Kim Popo gemas. "Benar," sahut orang itu, sambil soja mulutnya bersenyum. "Siapa kau ?" tanya lagi Kim Popo, sikapnya galak, tangannya sudah siap dengan tongkat besinya untuk menghajar orang usilan yang berdiri di depannya. "Aku yang rendah si orang she Liok," sahutnya tenang. Kiranya Liok Sinshe yang menolok si kakek dari bahaya pecah kepalanya. "Binatang !" teriak Kim Popo kalap. "Terimalah hadiah ini dari Popo !" Mulutnya berkata, tongkat besinya bekerja. Ia menyerang lawannya tidak tanggung-tanggung. Dengan tipu 'Tay-san-ap-teng' -- 'Gunung Agung menimpa kepala', ia kemplang batok kepala orang dengan tongkat besinya. Tapi bukan main terkejutnya si nenek. Serangannya gagal, musuhnya menghilang dari depannya. Ia celigukan mencari, panas hatinya. "Aku disini, Popo," suara halus terdengar di belakangnya. Kaget Kim Popo. Pikirnya, setan barangkali orang ini, yang bisa menghilang. Ia penasaran, tongkat besinya sudah banyak makan korban. Masa sekarang ia mesti jatuh dalam segebrakan saja ? Ia harus jaga nama, jangan sampai dikalahkan. Sebenarnya, Kim Popo sudha harus tahu diri. Ia sudah kalah jauh. Kalau lawan memang kejam, ditepuk jalan darah di bebokongnya, ia mesti terkulai jatuh duduk. Dasar Kim Popo bandel, ia masih mau nekad-nekadan. Dengan jurusnya "In-li-yu-liong' atau 'Naga melayang di awan', sambil berputar tubuh, tongkatnya menyabat ke belakang mengarah iga orang. Serangan ini dilakukan dengan cepat, lincah. Tapi Liok Sinshe lebih cepat dna gesit akan lompat tinggi, mundur satu tombak. Melihat kembali sasarannya menghilang bagai setan, Kim Popo gemas. Ia lompat menyerang lagi, tongkatnya menyodok ke arah perut. Liok Sinshe berkelit sambil geser kaki kanannya, tangan kanannya berbareng menepuk tongkat yang nyelonong lewat. Tergetar lengannya Kim Popo. Ia rasakan nyeri. Hampirhampir terlepas tongkat dari cekalannya, itulah tepukan Liok Sinshe yang menggunakan tenaga dalamnya. Cepat Kim Popo empos tenaga dalamnya, untuk menghilangkan rasa nyeri. "Hehe, binatang kau, boleh jgua !" kata si nenek, seraya kerjakan lagi tongkatnya. Kali ini hendak nenamu ke arah dada. Liok Sinshe bersenyum, ia tidak berkelit, sebaliknya ketika ujung tongkat hampir sampai sasarannya, tiba-tiba ia mengebut dengan lengan bajunya yang kanan, dari bawah ke atas. Liok Sinshe hanya gunakan tenaganya tiga bagian, tapi sudah cukup membuat tongkatnya si nenek hampir terlepas lagi dari cekalannya. Angin kebutan lengan baju dirasakan si nenek menumbuk dadanya sampai rasanya susah bernapas, lengannya juga kembali dirasakan nyeri. Lawan terlalu alot, sudah seharusnya Kim Popo terima kalah. Namun, dasar si nenek keras kepala. Ia masih mau coba dengan serangannya yang terakhir. Tampak ia melemparkan tongkatnya, matanya mendelik seram, rambutnya yang kasar hampir pada berdiri, rupanya ia sedang mengerahkan lwekang (tenaga dalam). Kemudian, kedua tangannya yang kurus macam cakar bebek diangkat, tampak kukunya seperti memanjang. Benar-benar dalam sikapnya yang menyeramkan itu, Kim Popo bisa membikin anak kecil yang melihatnya menjerit nangis dan jatuh pingsan. Liok Sinshe air mukanya tetap bersenyum-senyum, tapi ia waspada akan serangan lawan yang hebat dengan pengerahan tenaga dalam sepenuhnya. Si kakek yang rebah di tanah empas empis, masih sempat membuka matanya, kaget bukan main ia melihat si nenek kerahkan tenaganya untuk melakukan serangan maut. "Awas !" teriaknya kepada Liok Sinshe. Berbareng dengan perkataan "Awas !", Kim Popo sudah menerjang sambil berseru menyeramkan, "Binatang, aku akan adu jiwa denganmu !" Dengan gerakan 'Beng-houw-pok-ye' -- "Harimau liar menerkam kambing', ia lompat menerjang musuhnya. Kedua tangannya mencengkeram kepada lawan, dadanya Liok Sinshe pasti remuk oleh karenanya kalau serangan itu menemui sasarannya. Si orang she Liok tidak takut. Ia bergerak sedikit, kedua tangannya diulur untuk menyambuti. Ia gunakan tenaganya empat bagian yang keras untuk lawan keras. Kim Popo tahu juga bahaya. Cepat ia tarik pulang kedua tangannya untuk mencegah bentrokan. Ia tidak mau tangannya bentrok dengan tangan musuh yang unggul banyak tenaga dalamnya. Serangannya berganti, tangan kanannya diputar lalu dua jarinya, telunjuk dan tengah bagaikan kilat nyelonong hendak mengorek sepasang mata lawannya. Namun, Liok Sinshe sekarang tidak mau kasih si nenek banyak tingkah lagi. Sambil elakkan kepalanya ke kanan, tangan kirinya bekerja. Jarinya menyentil dua jari si nenek di bagian jalan darah tiong-ciong dan siang-yang. Segera terdengar jeritan melengking, mengalun di sekitar lembah itu. Itulah jeritan Kim Popo yang kesakitan, jari telunjuknya kena disentil. Ia rasakan sakit sekali menyelusup ke ulu hati, panas rasanya. Berbareng dengan melengking jeritannya, kakinya menjejak tanah, lompat ke belakang, menjauhkan diri dari lawannya, kemudian berkata, "Binatang, lain kali kita jumpa lagi." Setelah mengucap demikian, Kim Popo putar tubuhnya. Dengan beberapa lompatan tubuhnya sudah menghilang dari pemandangan. Oleh karena jeri terhadap kelihaiannya Liok Sinshe, maka ketika Kim Popo diminta bantuannya oleh Siauw-san Ngo-ok dan kawan-kawannya untuk mengeroyok si orang she Liok, ia tidak mau menempur orang dengan berterang, hanya bersedia membantu dengan jarum mautnya, membokong dari tempat sembunyi. Tidak ia sangka bahwa rencananya itu dibikin kacau oleh si imam sombong Siong Leng Tojin. Kenapa dalam pertempuran satu sama satu tadi dengan Liok Sinshe si nenek tidak menggunakan jarum mautnya ? Meskipun keras kepala, Kim Popo punya perhitungan akan untung rugi. Demikian ia lihat musuh sangat lihai, juga tidak mencelakakan dirinya, ia sangsi untuk menggunakan senjata mautnya. Pikirnya kalau ia berhasil, tidak jadi soal. Tapi kalau gagal, apakah Liok Sinshe tidak jadi naik pitam ? Ia sadar, kalau mau dengan mudah Liok Sinshe dapat ambil jiwanya bagaikan orang yang membalik tangannya. Kalau si nenek tinggalkan perkataan 'lain kali kita jumpa pula', itulah hanya untuk tolong mukanya dari perasaan malu. Liok Sinshe melambaikan tangannya dengan senyum dikulum, ketika Kim Popo ambil 'selamat berpisah', kemudian putar tubuhnya menghampiri si kakek dalam keadaan dekat mati. Terkejut Liok Sinshe ketika memeriksa si kakek, dua jarum beracun sudah menembusi bagian pundak dan bebokongnya. Pada bagian-bagain itu sudah jadi hitam, menjalar ke bagian lagin dari tubuhnya, mungkin racun jarum sudah menembusi tulang. Ketika Liok Sinshe celentangi si kakek, sesudah periksa bebokongnya, kepalanya rebah dilengannya. Keadaannya sudah payah. Matanya meram terus. Liok Sinshe terharu melihatnya. "Kejam...." Liok Sinshe kata dalam hatinya. Ingin ia menolongi si kakek, namun apa daya ? Racun jahat sudah menjadi satu dengan darahnya. Tapi bagaimana pun juga, ia ingin coba dengan obat pilnya yang mustajab. Taruh kata si korban tak dapat tertolong jiwanya, ia masih akan dapat keterangan tentang siapa dirinya si kakek, manakala ia dapat menyadarkannya dengan pertolongan obatnya. Ketika tangannya hendak merogoh sakunya, tiba-tiba matanya si kakek dibuka. Liok Sinshe kegirangan. "Terima kasih atas pertolonganmu." berkata si kakek, suaranya lemah. "Kau siapa, lotiang ?" tanya Liok Sinshe. "Kau kenal dengan Kwee Cu Gie ?" kakek itu tidak menjawab pertanyaan Liok Sinshe, ia balik menanya malah. Liok Sinshe kerutkan keningnya. "Dia ada satu tayhiap." kata si kakek lagi, tidak menanti jawabannya Liok Sinshe. "Dia seharusnya memiliki barang mustika yang kubawa. Tolong kau kasihkan ini padanya." Tangan kanannya digerakin, maksudnya hendak merogoh kantongnya. Tapi sia-sia ia gerakan karena tangan itu sudah lumpuh. "Kau siapa, lotiang ?" Liok Sinshe ulangi pertanyaannya. "Aku....aku... She Kong..... ah....." kepalanya lantas saja terkulai. Liok Sinshe terharu menyaksikan kematiannya si kakek she Kong, air matanya mengembang. Pikirnya, si kakek ini menyebut nama Kwee Cu Gie, dimana ia kenal Kwee Cu Gie ? Barang apakah yang hendak dihadiahkan kepada Kwee Cu Gie ? Pelan-pelan tangannya Liok Sinshe merogoh kantongnya si kakek. Ia keluarkan isinya. Tidak ada apa-apa selain perak hancur dan sebuah buku kecil yang sudah kumal. Kapan ia baca kalimat di buku itu, tertulis empat huruf yang sudah banyak luntur. 'Tiam hiat pit koat', terkejut hatinya Liok Sinshe. "Tiam hiat pit koat......' katanya, tidak tegas. "Dari mana si kakek dapatkan buku yang sangat berharga itu ?" ia menanya pada dirinya sendiri. Liok Sinshe bengong sejenak. Kembali dalam benaknya muncul pertanyaan, "Ada hubungan apa dia dengan Kwee Cu Gie ? Begitu sangat dia menghargakan si orang she Kwee, dengan suka rela ia menghadiahkan buku pelajaran ilmu menotok jalan darah, suatu buku 'Tiam hiat' yang menjadi rebutan masa itu dalam Bu-lim (dunia persilatan). Dan apa hubungannya si nenek dan si kakek, mengingat si kakek dalam kewalahan bertempur ada mengucapkan kata-kata, 'Apa kau sudah tidak kenal persaudaraan ? Siapa Kim Popo ? Ia tersadar dalam renungannya, ketika ia meraba si kakek tubuhnya sudah mulai dingin. Cepat ia masukkan ke sakunya buku mungil itu, uang perak ancur ia masukkan pula ke dalam kantongnya si kakek. Setelah mana, dengan menggunakan pedangnya almarhum ia mulai menggali lubang, ke dalam mana di lain saat mayatnya si orang she Kong dimasukkan dan dikubur rapi. Liok Sinshe gantung pedang si kakek di pinggangnya. Pikirnya, pelan-pelan ia mau selidiki si kakek dan akan mengembalikannya. Sebelum angkat kaki, ia soja depan kuburan si kakek, mulutnya kemak kemik, entah apa yang dikatakannya. Setelah mana, ia mendengak. Lihat cuaca memburuk dan segera akan turun hujan kelihatannya. Ia lalu gerakan kakinya untuk dengan ilmu entengi tubuh 'Pat pou kan siam' atau 'Delapan tindak mengejar tenggeret', ia meninggalkan tempat itu. Liok Sinshe tidak tahu kalau gerak geriknya diintip orang. Itulah Kim Popo yang balik lagi dengan diam-diam. Ia penasaran untuk dapatkan barang dari tangan si kakek diganggu orang. Lari belum jauh, ia putar tubuhnya kembali ke tempat tadi. Cuma ia tidak berani datang dekat. Diatas, dari jarak beberapa tombak, ia memasang mata atas gerak gerik Liok Sinshe. Gusar bukan main si nenek di waktu melihat Liok Sinshe memegang buku yang bentuknya mungil yang kemudian dimasukkan ke dalam sakunya. Itulah justru barang yang ia arah dari si kakek. Sekarang barang itu sudah berada di tangan orang lihai. Bagaimana ia dapat mengambilnya pulang ? Dari marah ia menjadi lesu, hanya melongo mengawasi orang berlalu dengan ilmu entengi tubuh. Untuk menyusul, menguntit, ilmu entengi tubuhnya dibawah Liok Sinshe. Dengan perasaan sakit hati, ia turun ke bawah untuk ambil pulang tongkatnya kembali. Mulutnya bergerak-gerak dan matanya melotot pada kuburannya si kakek seolah-olah ia sedang mencaci maki si orang she Kong. Saking gemas malah, ia sudah kemplang tiga kali kuburannya si kakek, akan kemudian dengan uring-uringan ia berlalu dari tempat itu. Belum berapa jauh, ia rasakan hujan mulai gerimis. Ia cepati jalannya untuk mencari tempat meneduh. Dari kejauhan, jalannya ke selatan. Ia melihat ada bangunan rumah berhala. Ia lari ke sana, untuk meneduh, menyingkir dari serangan hujan besar yang saat itu sudah mulai turun dengan lebatnya. Ketika ia datang dekat, hatinya merasa heran melihat rumah berhala itu dijaga oleh banyak orang yang bersenjata tajam. Orang yang keluar masuk juga pada bawa senjata masingmasing. Ada apa gerangan disitu. Ia jalan terus ke sana, sampai tiba-tiba ada yang menegur dibalik satu pohon, "Hei, nenek tua, kau mau kemana ?" Kim Popo menoleh, dilihatnya ada dua orang bermuka bengis tengah mengawasi kepadanya. Kim Popo yang adatnya aneh, cepat marah, menjadi tidak senang. "Apa mentang-mentang kalian bawa golok, begini caranya menegur seorang tua ?' sahutn si nenek, tidak enak dilihat mukanya yang kehujanan. Dua orang jaga itu, yang satu tinggi kurus, temannya gemuk pendek berewokan. "Kita tanya benar-benar, bolehnya dia marah. Hahaha !" kata si gemuk pada kawannya. "Hmm !" mendengus Kim Popo. Matanya pelototi si gemuk, kakinya bergerak. Ia mau jalan terus, tapi si kurus menghadang cepat-cepat. "Nenek tua, kau jangan tidak tahu diri !" bentaknya, seraya goloknya dilintangkan di depan Kim Popo, menghalangi untuk berjalan. "Trang !" segera terdengar golok di kemplang tongkat. "Aiyoo !" si kurus berteriak, sambil tangan kirinya memegangi lengan kanannya yang dirasakan sakit bukan main, goloknya jatuh nancap di tanah. Ia merintih teraduh-aduh, mukanya pucat mengawasi Kim Popo yang tampak tertawa terkokohkokoh. Si gemuk bengong sejenak, melihat kawannya dikerjai si nenek. Dengan gusar ia menyerang Kim Popo dengan goloknya. Sayang, tenaganya besar tapi tidak ada 'isi' (pandai silat). Maka satu tangkisa keras dari tongkatnya Kim Popo cukup bikin ia berkaok-kaok persis macam kawannya tadi. Lengannya gemetaran, sakitnya bukan main nyelusup ke jantung. Si nenek setelah mendupak si gemuk, sampai meloso mencium lumpur, lalu angkat kaki pergi. Melihat itu, si kurus masih sempat kasih tanda 'bahaya' pada kawan-kawannya dengan suitannya. Sebentar saja dari balik beberapa pohon keluar orang-orang jaga dengan golok terhunus, mencegat jalannya Kim Popo. "Kurang ajar !" maki Kim Popo dalam hatinya. "Kalian kalau tidak dikasih hajaran, memang tidak kenal kelihaian aku si nenek." Lalu dengan ilmu entengi tubuh, ia kelit sana sini dari bacokan orang-orang yang merintangi jalannya. Tongkatnya yang berat enam puluh kati berkelebatan diantara hujan lebat. Teriakanteriakan mengerikan terdengar saling susul dari orang-orang yang menjadi korban tongkatnya yang berat itu. Banyak korban jatuh, sedang si nenek dengan seenaknya jalan berlenggang menghampiri kuil yang dijaga ketat. Orangorang jeri melihat si nenek demikian lihai, maka mereka pada minggir dan di lain saat si nenek sudah ada dalam kuil. Tapi, sebelum ia bertindak lebih jauh, dari jurusan pintu, satu orang tinggi besar menghadang di depannya. "Hehe ! Masih ada juga yang minta dikemplang !" jengek Kim Popo. "Kau boleh bertingkah di antara orang-orang kami yang tidak berguna, tapi di depanku, hmm !" kata si orang tinggi besar, sikapnya jumawa. Kim Popo sebal melihat tingkahnya. "Jadi, kau mau apa ?" bentaknya keras. Sementara menanya, matanya Kim Popo jelalatan melihat ke sekitar ruangan. Kiranya kuil itu adalah rumah berhala tua, rupanya sudah tidak diurus lagi karena disana sini tampak banyak rusak dan bocor. Sejauh yang dapat ia lihat, di sebelah dalam ada duduk dua orang menghadapi meja, satu bermuka berewokan, tengah mengusap-usap brewoknya yang tebal, satunya lagi bermuka bengis, berhidung panjang. Di samping dan belakang mereka ada berdiri beberapa orang dengan senjata di tangan masingTIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ masing, siap untuk digunakan. Di depan mereka ada dua orang tengah berlutut dengan masing-masing kedua tangannya di ikat ke belakang. Entahlah, apa yang sudah terjadi. Tapi dari pemandangannya, Kim Popo dapat menduga bahwa si berewokan dan si hidung panjang tengah memeriksa dua orang yang berlutut dengan tangan ditelikung. Si orang tinggi besar yang mencegat Kim Popo tertawa gelakgelak, sebelum menjawab pertanyaan Kim Popo yang menantang. "Nenek tua, kau kenali aku siapa ?" ia malah balik menanya. "Di lihat romanmu, kau ini bukan orang baik-baik". jengek Kim Popo ketus. "Nenek celaka !" teriak si tinggi besar. "Buka matamu dan kenali, aku ada sam-taunia dari gunung Siauw-san !" Dengan menyebut 'sam-taunia (pemimpin ketiga) dari Siauwsan' si orang tinggi besar kira orang akan jadi kaget, tubuhnya gemeteran karena itulah Sam-ok Cui Seng, si Jahat ketiga yang tersohor paling bengis dan telengas diantara si Lima Jahat dari Siauwsan (Siauwsan Ngo-ok). Sam-ok Cui Seng ternyata salah hitung. Si nenek bukan gemetaran, sebaliknya tertawa terpingkalpingkal. Mendelu bukan main hatinya Sam-ok Cui Seng. "Apa yang kau ketawai, nenek gendeng ?" bentaknya. "Tepat dugaanku, kau ini orang jahat !" sahutnya kontan. Sam-ok Cui Seng tidak tahan meluap amarahnya. Dengan 'Elang lapar menyambar kelinci', ia menubruk Kim Popo. Tangan kanannya mencengkeram dada, sedang tangan kiri bekerja untuk merebut tongkat si nenek. Cepat gerakan itu dilakukan Sam-ok Cui Seng hanya sayang ia kalah cepat. Bukan saja tongkat si nenek gagal direbut, malah kepalanya hampir pecah digaplok tangan Kim Popo yang keras, kalau saja ia tidak keburu mengelakkan kepalanya. Sam-ok Cui Seng terkejut serangannya gagal, malah kepalanya hampir digempur pecah. Ia lompat mundur, mengawasi si nenek yang ketawa haha hihi. Sambil menunjuk dengan tongkatnya, Kim Popo berkata, "Badanmu memang tinggi besar, menyeramkan tapi tidak ada 'isi'. Buat main-main dengan Kim Popo, kau bukan tandinganku. Lekas kumpulkan saudara-saudaramu untuk mengerubuti aku !" Bukan main gusarnya Sam-ok Cui Seng ditantang demikian. Pikirnya, mungkin barusan ia kurang cepat gerakannya lantaran terlalu enteng memandang lawan. Ia penasaran, cuma sangsi kalau ia lawan si nenek dengan tangan kosong. Maka itu ia mencabut goloknya, berkata, "Jangan temberang. Lihat golok !" Perkataan Sam-ok Cui Seng disusul dengan satu sabatan golok pada pinggang. Kim Popo ketawa terkekeh-kekeh sambil tubuhnya dengan enteng lompat tinggi mengelakkan serangan, terputar sebentaran baru turun menginjak lantai lagi. Sam-ok Cui Seng merangsek, goloknya menyerang bertubi-tubi. Ia mainkan ilmu goloknya 'Ngo-houw-toan-bun-to' atau 'Lima macan menjaga pintu'. Tidak ia memberi kesempatan untuk Kim Popo perbaiki posisinya. Tapi pengalaman bertempur, Kim Popo jauh diatas Sam-ok Cui Seng. Ilmu goloknya 'Lima macan menjaga pintu' yang belum tamat, mana dapat membuat susah pada si nenek kosen yang menggunakan ilmu entengi tubuhnya baik sekali. Kim Popo ingin mencoba tenaga dalamnya si Jahat ketiga. Golok lawan yang mengarah dadanya, ia kelit nyamping ke kanan, dari mana tongkatnya digeraki menangkis golok dari bawah ke atas dengan tipu "Lutung hitam petik buah'. "Trang !" terdengar suara bentrokan dua senjata, goloknya Sam-ok Cui Seng terlempar jauh ke atas kemudain turun lagi menghajar lantai, sehingga menerbitkan suara keras. Sam-ok Cui Seng tampak berdiri menjublak, lengannya yang barusan mencekal golok gemetaran, sakit bukan main. Matanya melotot mengawasi Kim Popo yang tengah terkekehkekeh tertawa. Sekonyong-konyong si nenek merasa ada angin menyambar dari belakang. Ia duga akan datangnya senjata rahasia. Cepat ia lompat nyamping ke kiri. Benar saja, itulah piauw beracun yang dilepas oleh Ji-ok Cui Kin. Kalau si nenek selamat dari piauw beracun, adalah orangnya Siauwsan Ngo-ok yang berdiri di depan Kim Popo menjerit dan jatuh rubuh. Ia terkena senjata piauwnya Ji-ok Cui Kin tepat sekali, tidak ampun lagi, ia roboh tidak berapa lama. Tubuhnya berkelojotan dan rohnya segera terbang. Berbareng dengan dilepas senjata rahasianya, Ji-ok Cui Kin enjot tubuhnya melesat, tancap kaki didepannya Kim Popo yang barusan saja memutar tubuhnya untuk melihat siapa yang melepas senjata rahasia tadi. "Nenek tua !" bentak Ji-ok Cui Kin gusar. "Kau datang menhina kami, apa maksudmu ? Apa kau kira mudah keluar dari kuil ini setelah kau mengacau ?" Kim Popo awasi orang di depannya. Ternyata ia tidak lain adalah si hidung panjang yang duduk berduaan dengan si berewokan di sebelah dalam. Ia berdiri diatas sebelah kakinya yang kanan karena kaki kirinya kutung sebatas dengkul. "Kau yang melepaskan piauw barusan ?" tanya Kim Popo, keningnya mengkerut. "Tidak salah !" sahut Ji-ok sambil menepuk-nepuk dadanya. "Bagus !" teriak Kim Popo, tongkatnya berbareng diangkat untuk mengemplang batok kepala Ji-ok Cui Kin, tetapi Ji-ok cepat menangkis dengan pedangnya. Dua senjata saling bentur hingga meletikkan bunga-bunga api. "He he, boleh juga tenagamu," kata Kim Popo ketika melihat pedang lawannya masih tetap tercekal ditangannya. "Sambutlah ini !" si nenek melanjutkan kata-katanya seraya gerakkan tongkatnya menyodok ke arah punya 'gudang makanan' (perut), menuju jalan darah "Liong-kek-hiat'. Ji-ok Cui Kin tidak takut. Ketika ujung tongkat sampai ia mengegos, pedangnya dipakai menekan. Kemudian diserosotin untuk memapas tangan yang mencekal senjata berat itu. Inilah gerakan yang dinamai 'Tok coa poan cu' atau 'Ular berbisa melilit tiang', satu jurus yang berbahaya sekali bagi lawannya, ialah akan terpapasnya tangannya. Melihat gelagat jelek, Kim Popo cepat tarik pulang tongkatnya, lompat ke samping kiri musuhnya, akan dari mana tongkatnya bekerja menotok pada jalan darah di iga. Serangan ini dilakukan cepat sekali hingga Ji-ok Cui Kin gugup untuk menangkisnya. Dalam bahaya dia. Tapi ada bintang penolong yang datang tiba-tiba. Itulah Toa-ok Cui Ping, si berewok tadi yang menolongi saudaranya menangkis tongkat Kim Popo dengan goloknya. Sementara itu Ji-ok Cui Kin sudah lompat menjauhkan diri. Kim Popo marah, alisnya berdiri. Ia penasaran sekali pada orang yang sudah gagalkan serangannya yang hampir berhasil Ia mengawasi Toa-ok dengan roman yang geregetan sekali. Maka tidak banyak omong lagi, ia angkat tongkatnya menyerang si berewok. "Tahan !" kata Toa-ok Cui Peng sambil berkelit dari serangan dan lompat mundur empat tindak. "Binatang, kau mau omong apa lagi ?" bentak Kim Popo kasar. Toa-ok Cui Peng angkat tanganya bersoja, katanya, "Maafkan, aku Cui Peng kurang hormat. Tapi tolong jelaskan apa sebab kau orang tua datang mengacau disini ?" "Aku mengacau ? Hm ! Kau tanya orang-orangmu sendiri tanpa sebab sudah datang mengeroyok padaku, memangnya aku orang apa ?" jawab si nenek mendongkol. Cui Peng dapat memahami duduknya kejadian. Memang kesalahan dipihaknya, orang-orangnya suka berlaku sewenang-wenang dan perbuatan meraka justru kali ini 'kena batunya' menemui si nenek kosen. Ia tidak menjawab si nenek yang balik menanya, sebaliknya ia berkata lagi, "Aku mengagumi kepandaianmu, orang tua ! Untuk menyingkat waktu, bagaimana kalau pertempuran dengan senjata dirubah dengan pertaruhan ?" "Kau mau bertaruh apa ?" tanya Kim Popo, suaranya tidak sekasar tadi. Rupanya ia measa si berewokan ini, meskipun kelihatannya bengis kasar, tiap pertanyaannya diucapkan dengan sopan santun. "Begini saja," sahut Cui Peng, "kita bertaruh dalam dua babak. Kalau aku menang, kau harus meninggalkan kuil ini tanpa syarat." "Kalau aku yang menang ?" Kim Popo memotong pembicaraan orang yang belum habis. "Kalau yang yang menangi, kami tiga saudara akan berlutut di depanmu dan angkat kau orang tua menjadi ibu angkat kami. Akur !" sahut Cui Peng ketawa. Si nenek termenung sebentar. "Baiklah, bagaimana caranya bertaruh ?" Kim Popo menanya. "Babak pertama, kita masing-masing menghadapi batu besar. Siapa yang memukul lebih patah pada batunya masingmasing, dialah yang menang." menerangkan Toa-ok Cui Peng. Dan babak yang kedua, kita masing-masing menghadapi dua batang besi. Siapa yang dapat menekuk atau mematahkan, dia yang menang." Kim Popo kembali temenung. Ia tidak sadar bahwa ia tengah diliciki oleh Toa-ok Cui Peng. Si berewok memang ada ahli 'Gwakang' (tenaga luar) disamping ia mempelajari juga lwekang (tenaga dalam). Ia sangat andalkan tenaganya yang seperti raksasa. Pikirnya, si nenek yang kurus kering seperti yang kurang makan itu, pasti dengan mudah dikalahkan olehnya. Si berewok sangat licin. Ia tahu kepandaiannya Kim Popo ada di atas mereka tiga saudara dan bila si nenek dikerubuti, belum tentu mereka akan peroleh kemenangan. Pikirnya dari pada buang tempo, malah bisa-bisa mendapat celaka, lebih baik si nenek ia ajak bertaruhan untuk jurusan yang ia andalkan, yang ia percaya seratus persen Kim Popo akan tergelincir kalah hingga ia boleh angkat kaki dari kuil itu tanpa adu senjata lagi. Setelah termenung, Kim Popo berkata lagi, "Kalau kau kalah, tak usah ganti berbahasa pakai ibu segala, cukup kau orang memanggil 'Popo' (nenek) saja." "Bagus, kami menurut saja kau orang tua punya kemauan." jawab Cui Peng merendah sambil anggukan kepala. "Nah, kau unjukkan dimana barangnya yang hendak digunakan sebagai sasaran bertaruh." tanya Kim Popo. "Oh, itu ada di belakang kuil ini. Mari turut aku ke sana !" sahut Cui Peng. Berbareng ia berjalan diikuti oleh dua saudaranya Ji-ok Cui Kin dan Sam-ok Cui Seng, sedang Su-ok Cui Tie ada di markas besarnya, gunung Siauw-san, tidak ikut hadir dalam keramaian dalam kuil tua itu. Kim Popo turut dari belakang. Kemudian yang lain-lainnya, jagoan dibawahnya Siauw-san Ngo-ok menyusul mengikuti. Mereka kegirangan akan menyaksikan keramaian yang bakal dilihat. Sesampainya dibelakang ruangan kuil, Toa-ok dengan muka bersenyum ramah mengunjukan pada Kim Popo dimana letaknya dua barang yang bakal dipakai sasaran itu. Tampak di depan agak sebelah kiri, ada dua buah batu besar sepelukan orang. Entah berapa ratus kati beratnya. Di sebelah kanannya di satu pojokan, ada menyandar dua batang besi dari ukuran tengah dua dim dan panjangnya kurang lebih dua setengah meter. Setelah mengawasi sejenak, si nenek tampak kerutkan keningnya. Matanya Toa-ok yang awas, dapat melihat perubahan ini. Dalam hatinya amat kegirangan. Sebab dengan mengunjuk sikap demikian, kelihatannya si nenek tidak mungkin akan menang dalam pertaruhannya. "Bagaimana, apakah kita boleh mulai ?" tanya si berewok. "Boleh saja, kau boleh mulai. Tapi tunggu dahulu." kata Kim Popo seraya berjalan menghampiri dua batu besar bakal sasaran itu. Ia memeriksa sambil pegang-pegang. Benarbenar batu itu kelihatannya alot. Lalu ia jalan menghampiri dua batang besi yang merupakan toya besar. Juga disini ia pegang-pegang barang itu dan memeriksa dengan teliti. Mulutnya kemak kemik seperti ada yang dikatakan tapi tidak kedengaran oleh siapa pun juga disitu. Makin kegirangan Toa-ok melihat gerak geriknya si nenek. "Marilah kita mulai." kata si berewok sambil maju menghampiri satu diantara dua batu besar itu. "Jangan sungkan, kau boleh mulai !" kata Kim Popo yang melihat Toa-ok unjuk laga seperti yang pasti akan dapat memukul belah batu itu. "Baiklah," sahutnya. Lalu dikerahkanlah tenaga luar. Kecuali Kim Popo yang sikapnya acuh tak acuh, semua orang yang ada menyaksikan disitu dan tegang hatinya, masingmasing kuatir kepala pemimpinnya gagal dalam pertaruhannya. Setelah mengerahkan tenaganya, tampak Toa-ok Cui Peng mengangkat tangannya yang kanan, dibeber macam golok lalu dengan tiba-tiba tubuhnya mendak, tangannya membacok. Segera terdengar suara terbelahnya batu. Batu besar itu terbelah dua. Di susul oleh sorak ramai, gegap gempita dan seruan "Hidup pemimpin kita !". Kemudian Toa-ok Cui Peng jalan menghampiri para penonton dengan roman tertawa-tawa. Disambut oleh orang-orangnya sambil tampik sorak ramai. "Bagus." memuji Kim Popo. "Toa-taunia, hampir kau bikin aku jeri dan terima kalah. Kalau hatiku tidak mendesak untuk cobacoba." "Ah, kau terlalu merendah, orang tua." sahut Cui Peng ketawa. Kim Popo pun tertawa. Lalu ia minta salah seorang pegangi tongkatnya. Ia sendiri jalannya mendekati batu besar bagian sasarannya. Setelah datang dekat, ia berdiri sejenak lalu berpaling ke arah orang banyak. Kepalanya manggut-manggut lalu entah bagaimana ia bergerak, tangannya yang kanan tiba-tiba menggaplok batu besar itu. Terdengar suara gemuruh, batu itu ternyata hancur berantakan. Orang banyak jadi terkesima melihatnya. Mereka sangat tertegun sampai lupa bersorak sorai. Suasana menjadi sunyi sebentaran sampai kemudian Toa-ok Cui Peng yang juga terbelalak matanya keheranan sudah bisa menghilangkan rasa cemasnya dan dengan muka tertawa, ia menyambut Kim Popo yang sudah balik lagi ke tempat orang banyak berkumpul. "Orang tua, kau hebat sekali ! Kali ini kau menang. Marilah kita mulai dengan babak yang kedua." si berewok menantang seraya menghampiri dua lonjoran besi berat yang menyandar di tembok. Ia ambil satu antaranya. Besi yang berat itu ditangannya seolah-olah bambu saja entengnya. Ia putar-putar sebentar lalu berkata pada Kim Popo, "Bolehkah aku mulai, orang tua ?" Kim Popo manggut. "Kau boleh mulai, Toa-taunia." Ia menyilahkan. Toa-ok Cui Peng gunakan dengkulnya sebagai penahan besi. Tenaganya dikerahkan pada kedua tangannya dan dengkul, lalu...... besi lonjoran itu pelan-pelan melengkung dan mulai jadi bundar. Kembali terdengar tampik sorak riuh rendah dan ucapan bersemangat "Hidup pemimpin kita" beberapa kali. Malah ada yang berjingkrakan kegirangan. Ji-ok dan Sam-ok berseri-seri mengawasi Kim Popo yang tengah mengerutkan keningnya. Pikir mereka, kali ini Toakonya bakal menang hingga stand menjadi seri 1-1. Setelah melengkung hampir bundar, besi itu dilemparkan oleh Toa-ok Cui Peng dan ia kembali ke rombongannya, mukanya tersungging senyuman puas. Ia kemudian berkata pada Kim Popo, "Silahkan orang tua !" Si nenek tanpa dipersilahkan kedua kalinya, ia sudah lantas menghampiri besi berat itu. Ia pegang kemudian diputar-putar seperti Toa-ok tadi berbuat. Setelah mana, ia pegang dengan kedua tangannya. Ia timbang-timbang, akan sebentar lagi orang lihat besi itu dilemparkan ke atas dengan kedua tangannya, terputar sebentar kemudian jatuh turun dalam keadaan melintang. Inilah ada suatu demonstrasi yang mempersonakan. Penonton tidak tahu apa yang akan dilakukan Kim Popp atas besi yang berat itu, yang jatuh turun dengan melintang. Toa-ok Cui Peng dengan dua saudaranya saling mengawasi, mata seperti saling menanya. Tidak menanti lama keputusan, sebab tiba-tiba si nenek berseru keras. Sambil lompat memapaki besi yang jatuh turun, lengan kanannya menghajar keras persis di tengah-tengah lonjoran besi itu. "Peletak !" terdengar suara barang patah. Itulah toya besar yang patah jadi dua turun jatuh ke tanah. Kali ini, saking heran dan gembiranya menyaksikan kepandaiannya Kim Popo yang istimewa, penonton bersorak riuh. Teriakan terdengar, "Hidup, hidup......." "Hidup Popo !" Toa-ok tambahkan teriakan kawan-kawannya yang kelihatan ragu-ragu untuk menyebutkan "Popo". Maka, setelah diberi contoh, lalu teriakan "Hidup Popo, hidup Popo" menggema dalam ruangan di belakang kuil tua itu yang tidak seberapa besarnya. Kini dengan hati rela, Siauw-san Ngo-ok menyerah kalah. Ketika Kim Popo balik ke tempat rombongan, tanpa ditegur, Toa-ok dan dua saudaranya yang lain telah menekuk lututnya sambil menyebut, "Popo, anak-anakmu memberi hormat dan mengucapkan selamat panjang umur !" "Bangunlah Toa..... eh, anak-anak. Aku paling tidak suka banyak peradatan !" kata Kim Popo yang menyilakan anakanak angkatnya bangun dari berlututnya. Demikianlah ada kejadian cara bagaimana Siauw-san Ngo-ok menjadi anak-anak angkatnya dari Kim Popo. Toa-ok Cui Peng dan saudara-saudaranya kegirangan mendapat ibu angkat yang demikian kosen. Segera mereka menyuruh orang-orangnya menyiapkan satu meja makanan untuk mereka berpesta pora menghormati Kim Popo. Ketika rombongan kembali masuk ke ruangan dalam pula, Kim Popo dapatkan dua orang yang ditelikung tangannya masih ada. Ia lalu minta keterangan dari Toa-ok, siapa mereka itu. Kiranya mereka itu ada dua orang piauwsu dari Sam Seng Piauw Kiok di kota Tongkwan propinsi Siamsay. Satu perusahaan pengawalan barang yang sangat terkenal, karena pengiriman-pengiriman yang diurus oleh Sam Seng Piauw Kok hampir belum pernah gagal atau mendapat halangan di jalanan. Kim Popo tampak kerutkan keningnya setelah mendengar keterangan Toa-ok Cui Peng. Kemudian mengawasi kedua piauwsu yang berlutut sambil tundukan kepala. "Hehe, kenapa si orang she Liong pakai dua orang tidak berguna begini ?" kata Kim Popo, suaranya pelan tapi cukup kedengaran oleh dua piauwsu itu. Berbareng mereka angkat kepalanya, mengawasi pada si nenek. "Kami sudah kena ditawan. mau dibunuh, boleh bunuh. Untuk apa banyak rewel ?" berkata satu diantara piauwsu itu yang mukanya persegi. Kawannya yang jenggotnya jarang, sambil tertawa sini berkata, "Tanpa perangkap belum tentu dapat merobohkan kami berdua !" "Kau bernama apa ?" tanya Kim Popo kepada si muka persegi. "Aku bernama Liok Tek Kim. Belum pernah aku menukar nama !" sahutnya. "Dan kau ?" tanya Kim Popo pada si jenggot jarang. "Aku Tan Kim Tie." jawabnya gagah. "Kau pernah apa dengan Liong Seng, pemimpin dari Sam Seng Piauw Kiok ?" si nenek tanya Liong Tek Kim. "Aku adalah keponakannya." sahutnya singkat. "Bagus." kata Kim Popo. "Sekarang bagaimana kehendak kau orang ?" "Sudah kukatakan, mau bunuh boleh bunuh. Tak usah banyak cingcong !" sahut si muka persegi, suaranya keras, hatinya tidak gentar. "Hehe." Kim Popo tertawa. "Anak-anakku, merdekakan dua orang ini." Toa-ok dan saudara-saudaranya melenggak mendengar katakata Kim Popo. Tidak kecuali dengan dua orang tawanan yang ditelikung tangannya. "Tapi......ah, Popo........" kata Sam-ok Cui Seng gugup. "Merdekakan !" potong si nenek. "Aku bilang merdekakan harus turut !" Sam-ok Cui Seng melirik pada saudara tuanya seperti minta pendapat. Toa-ok Cui Peng mengedipkan matanya, kepalanya manggut sedikit, suatu pertanda saudara ketiga itu bolhe lakukan perintah si nenek. Tanpa sangsi, Sam-ok Cui Seng perintahkan orang-orangnya untuk memerdekakan dua orang tawanannya. Sekejapan saja tangan mereka sudah merdeka, tapi mereka masih tetap berlutut. "Bangun !" kata Kim Popo. "Kenapa kalian masih tetap berlutut ?' Dua piauwsu itu tidak menyahut, hanya keduanya pada tundukkan kepala. Kim Popo heran. Ketika diselidiknya, kiranya mereka sudah tidak dapat bangkit dari berlututnya karena dengkul masingmasing lemas akibat hajaran (siksaan) pada kakinya dipaksa mereka berlutut oleh Sam-ok Cui Seng. Kim Popo kerutkan keningnya. Kemudian ia suruh orang periksa lukanya dan diberi obat lalu diangkut ke lain ruangan dimana mereka direbahkan dan diberi pertolongan lebih jauh. "Apa memangnya Popo kenal dengan Liong Seng, pemimpin dari Sam Seng Piauw Kiok ?" tanya Toa-ok Cui Peng setelah dua piauwsu itu digotong ke lain ruangan. Kim Popo anggukan kepalanya. "Orang she Liong itu yang bergelar Tiat-gee (Si Kerbau Besi), selain ilmu silatnya lihai, dia juga ada seorang yang peramah." menutur si nenek. "Luhur budinya, suka tolong orang yang dalam kesusahan hingga dia sangat dihormati oleh lawan dan kawan. Pun pergaulannya ada sangat luas, banyak kawan-kawan atau sahabat-sahabatnya yang berkepandaian tingi di kalangan putih maupun hitam (baik dan jahat) hingga Piauw kioknya mendapat banyak kemajuan.........' "Dia toh tidak punya hubungan penting dengan Popo." memotong Sam-ok Cui Seng tidak sabaran. Rupanya ia masih menyesal dua tawanannya dimerdekakan. Kim Popo pelototi matanya pada si jahat ketiga itu. Toa-ok dilain pihak mengedipi saudaranya, hingga Cui Seng tundukkan kepala. "Aku belum bicara habis, kau sudah main potong saja !" kata Kim Popo, suaranya kaku. "Aku paling tidak suka orang potong bicaraku !" -- 3 -- Si nenek yang adatnya cepat ngambul dan cepat marah, hampir tidak mau melanjutkan penuturannya kalau tidak Toaok yang membujuknya dengan sabar. Kiranya si nenek itu hutang budi pada Tiat-gu Liong Seng yang memberikan pertolongan di waktu ia sakit dalam sebuah hotel di Tongkwan. Si Kerbau Besi bukan saja menolong dalam hal keuangan dan pengobatan, malah dengan ramah tamah mengundang ia tinggal dalam rumahnya yang besar untuk beristirahat sampai ia sehat dan segar benar, baharu dilepaskan ia merantau lagi. Dilihat romannya yang jelek dan keriputan, ditaksir usianya Kim Popo sudah dekat mencapai tujuh puluh tahun. Namun, sebenarnya ia baharu lima puluhan. Kenapa kelihatannya jadi begitu tua, itu ada sebabnya. Mukanya yang bagus cantik telah berubah jelek keriputan akibat ia masak obat beracun yang tiba-tiba meledak menyambar ke mukanya. Mendengar ceritanya Kim Popo, Toa-ok Cui Peng manggutmanggut kepalanya. Ia merasa bertindak keliru dengan merampas barang-barang antarannya Sam Seng Piauw Kiok di bawah pimpinannya Tiatgu Liong Seng yang mulia hatinya. Di samping jeri menghadapi pembalasannya si Kerbau Besi yang banyak kawannya yang lihai, juga Ketua dari si Lima Jahat itu merasa segan pada ibu angkatnya. Maka barangbarang rampasan dikembalikan pada Liok Tek Kim dan Tan Kim Tie dengan tidak kurang suatu apa. Dua piauwsu itu mengucapkan terima kasih terutama pada Kim Popo sebab dengan datangnya si nenek itu telah membuat perubahan yang mereka tidak sangka-sangka. Ketika Liong Tek Kim menanya hal hubungannya si nenek dengan pemimpinnya, Kim Popo hanya ketawa haha hihi saja, akan kemudian ia berkata juga, "Tak usah banyak tanya. Kau nanti akan dapat tahu dari si Kerbau Besi kalau kau sudah kembali di Tongkwan." Liong Tek Kim tidak berani banyak tanya pula. Maka ia lalu siapkan orang-orangnya untuk berangkat lebih jauh, ke tempat barang-barang kiriman itu dialamatkan. Ia dan kawannya masih belum bisa jalan atau naik kuda karena kakinya masih lumpuh. Maka terpaksa ikut naik dalam kereta piauw yang mereka kawal. Sementara itu, hujan lebat pun sudah berhenti. Kim Popo diundang Toa-ok Cui Peng sama-sama pulang ke markasnya di Siauw san, tapi Kim Popo menolak dengan alasan bahwa ia masih banyak urusan yang perlu diselesaikan dan berjanji begitu sudah ada ketikanya, ia akan datang ke sana menyambang anak-anak angkatnya. Demikianlah, setelah menjamu Kim Popo sebagai kehormatan menjadi ibu angkat Siauw-san Ngo-ok, maka mereka telah berpisahan satu dengan lain. Mari kita lihat Lo In, si bocah yang dicari oleh Siong Leng Tojin dan kawan-kawannya yang dianggap ada bibit bencana kalau tidak dibinasakan. Ketika Siong Leng Tojin ingat Lo In, si bocah itu waktu sedang mengintip jendela. Cepat-cepat ia jauhkan diri waktu ia dengar dirinya akan dicari di sebelah luar, menyelingkar dibaliknya sebuah pohon besar. Pemeriksaan dilakukan sangat teliti, bukan saja diatas pohonpohon karena di duga Lo In ngumpat di atas pohon, juga batu besar itu, dibelakang mana Lo In pernah mengumpat telah diselidiki dengan seksama. "Untung aku sudah tidak sembunyi disitu." kata Lo In dalam hati kecilnya, waktu melihat batu besar itu diperiksa keras. Hasilnya mereka laporkan pada Siong Leng Tojin, tak dapat mencari Lo In setelah uber-uberan dicari. Setelah mayat Ji-ok Cui Kin ditanam, mereka lalu meninggalkan tempat itu pada esok paginya terang tanah. Toa-ok jalan sambil panggul tubuhnya Sam-ok Cui Seng yang kutung kaki kanannya. Mereka tidak memusingkan kemana perginya Kim Popo sebab mereka masing-masing sudah tahu adatnya si nenek yang angin-anginan, setiap waktu ia pergi tak pernah memberitahukan bahwa ia akan pergi ke mana. Setelah keadaan aman, barulah Lo In berani memasuki rumahnya. Tampak olehnya, keadaan dalam rumah morat marit, bekas diaduk-aduk kawanan penjahat, hatinya bukan main sedihnya. Lo In dijatuhkan diri di kursi malas, yang biasa Liok Sinshe rebahan, otaknya berputar, memikirkan hidupnya yang seterusnya tanpa orang melindungi dirinya. Air matanya mengembeng, sakit hatinya, tangannya dikepalkan. "Aku akan membalas dendam akan kematiannya Liok Sinshe !" ia berkata sendirian, matanya beringas dan tangannya dikepal-kepalkan. Lucu kelihatannya kalau anak kecil lagi lagi. Kapan ia ingat akan nasehat Liok Sinshe bahwa ia harus berlaku tenang jika menghadapi sesuatu urusan, biar bagaimana besar pun, maka amarahnya menjadi reda. Sebagai gantinya, kembali ia menangis, menangis terisakisak. Lo In terkenang pada masa lampau, lima tahun berselang hidup terlunta-lunta diantara anak-anak gembel di kota Lamkoan. Pada hari itu tengah bermain-main di pekarangan kuil Thian-ong-sie. Tiba-tiba pundaknya ada yang tepuk. Ketika ia menoleh, tampak seorang laki-laki berparas cakap menatap kepadanya. Di atas alis kirinya ada tanda codet seperti bekas barang tajam. Senyumannya yang menawan, telah menarik sekali hatinya. Itulah orang yang belakangan ia kenal sebagai Liok Sinshe, yang telah angkat ia dari dunia gelandangan menjadi seorang anak yang cerdas tangkas, yang melindungi dan mencintainya sebagai ganti ayahnya. Masih berbayang saat itu, mula-mula ia ketika ia bertemu Liok Sinshe. "Anak, apa kau sudah makan ?" tanyanya Liok Sinshe diwaktu itu. Lo In menggelengkan kepala. "Apa mau makan ?" tanya Liok Sinshe. Lo In mengangguk. "Mari ikut aku !" kata Liok Sinshe berbareng tangannya Lo In dipegang, diajak berlalu dari situ untuk kemudian mereka memasuki sebuah rumah makan. Lo In menurut disuruh duduk diatas bangku yang kitari meja makan. Setelah pesan makanan, Liok Sinshe berkata lagi pada Lo In, "Anak, kau begini kurus." Lo In tidak menjawab. Kepalanya nunduk, mengawasi bajunya yang kumel dan robek disana sini. "Ayah dan ibumu ada dimana ?" tanya Liok Sinshe memancing si bocah bicara. Lo In geleng kepala. "Akut idak tahu ayah dan ibu dimana." sahutnya kemudian. Sementara itu, pelayan sudah siapkan hidangan di atas meja. Lo In awasi makanan di depannya. Ia menelan ludah, mengilar dia rupanya. Liok Sinshe memperhatikan anak gembel itu, kurus dan pucat mukanya. Pakaiannya compang camping, hatinya merasa sangat kasihan. "Mari kita makan !" mengajak Liok Sinshe seraya mulai pegang sumpitnya. Lo In tidak perlu diundang dua kali, sebab segera ia pegang sumpit dan mulai cobai makanan yang barusan membuat ia menelan ludah saking kepingin cicipi. Ia makan banyak, malah dua kai ia minta tambah nasi. Liok Sinshe ketawa menampak perbuatan Lo In yang lucu, simpati serta gerakannya ada cekatan sekali. "Eh, namamu siapa ?" tanya Liok Sinshe. "Namaku In, orang bila aku she Lo" jawabnya, mulutnya penuh nasi. Geli hatinya Liok Sinshe melihat Lo In yang gembul makannya. "Bagus," kata Liok Sinshe. "Kau mau ikut aku ?" "Kemana ?" Lo In balik menanya. "Kemana saja." sahut Liok Sinshe. "Kita jalan-jalan melihatlihat keramaian kota diberbagai tempat." Lo In meletakkan sumpitnya, mengawasi sebentar pada orang didepannya. "Mau, aku mau !" katanya kegirangan. Demikian, sejak itu Lo In ikut mengembara dengan Liok Sinshe ke berbagai tempat, kemudian menetap diatas jurang Tong-hong-gay. Melebihi dari dugaannya sendiri, Liok Sinshe lihat kecerdikan dan ketajaman otaknya Lo In ada luar biasa. Tiap pelajaran baik surat maupun ilmu silat, belum pernah diulang sampai tiga empat kali. Paling banyak dua kali sudah cukup, ini juga kalau ruwet. Lo In ternyata ada satu anak yang jenaka, banyak menghibur hatinya Liok Sinshe dikala dalam kesunyian merenungkan nasibnya yang terumbang ambing. Semakin Lo In tambah umur, Liok Sinshe tampaknya semakin sayang pada si bocah hingga Lo In dapat mewariskan kepandaiannya Liok Sinshe salam ilmu surat dan ilmu silat yang lihai. Sayang ia masih anak-anak hingga belum dapat digembleng tenaga dalamnya, kalau tidak, ia sudah selihai Liok Sinshe, malah ada kemungkinan ia lebih gesir dan cepat lagi. Meskipun demikian, pelan-pelan Liok Sinshe memulai dengan gemblengannya tenaga dalam (lwekang). Dimulai ketika umurnya Lo In meningkat sepuluh tahun. Maka ketika ada penyerbuan dari Siauw-san Ngo-ok dengan kawan-kawannya itu adalah dikala Lo In baru dapat gemblengan lwekang dua tahun lamanya. Sebenarnya Lo In ingin membantu Liok Sinshe waktu dikerubuti. Cuma saja, selain ia ragu-ragu akan kepandaiannya sendiri, yang terutama ia takuti Liok Sinshe tegur dan marahi padanya, tidak menurut perintah untuk lari menyelamatkan diri. Maka juga ia tinggal mengintip nonton saja pertarungan seru itu. Ia perhatikan betul gerak gerik Liok Sinshe mempraktekkan kepandaian yang telah diajarkan padanya. Inilah yang membangkitkan nyalinya jadi besar, untuk dalam usia yang masih anak-anak kelak ia dapat menjatuhkan lawanlawan dari penolongnya (Liok Sinshe). Sekarang Liok Sinshe sudah tidak ada lagi dalam dunia, kemana Lo In harus pergi ? Apakah ia tinggal tetap saja di atas jurang Tong-hong-gay untuk meyakinkan ilmu tenaga dalamnya lebih jauh ? Pusing kepalanya Lo In memikirkan itu semua. Tiba-tiba ia rasakan perutnya bergeruyukan minta makan. "Kurang ajar, orang sedang kesusahan, ada-ada saja !" ia berkata sendirian, menyesalkan perutnya yang menyelak diantara alunan ngelamunnya. Sambil berkata begitu, Lo In bangkit dari duduknya, masuk ke ruang belakang untuk cari makanan. Sebentar lagi tampak ia sudah pegang satu potong besar kue. Sambil mengganyang ransum kering itu ia berjalan keluar. Maksud Lo In mau duduk ngelamun di atas kursi malasnya Liok Sinshe tapi sekonyong-konyong ia merandak jalan dan berdiri terpaku seperti ada apa-apa yang tiba-tiba mundul dalam ingatannya. Matahari pagi sudah mulai naik tinggi, sementara Lo In berdiri terpaku. "Tidak, tidak. Aku tidak percaya dia mati !" ia menggumam. Lo In tidak jadi menghampiri kursi malas. Sebaliknya, ia putar tubuhnya dan jalan mendekati peti obat-obatan. Ia periksa di dalamnya sudah berantakan. Rupaynya peti itu tidak menjadi kekecualian diaduk-aduk oleh Kim Popo yang mencari buku ilmu menotok jalan darah, Tiam-hiat Pit-koat. Meskipun berantakan, botol-botol kecil yang terisi obat-obat pil dan puder (bubuk) tidak sampai berceceran, semuanya masih utuh. Lalu ia ambil botol-botol terisi obat itu, semuanya ada enam botol, dimasukkan ke dalam kantongnya. Sebelum Lo In bertindak, tangannya yang kanan dimasukkan pula ke dalam sakunya dari mana ia keluarkan dua botol yang berisi pil dan puder. Tangannya diangkat tinggi-tinggi, matanya memandang tajam pada dua botol itu. Tiba-tiba ia berteriak kegirangan, "Hidup, hidup. Dia masih hidup. Ha ha ha !" Tampak si bocah berjingkrakan seperti orang gila. Apakah Lo In sudah hilang ingatannya ? Apa ia sudah jadi gila mendadak ? Kalau tidak, kenapa ia berjingkrakan sekonyongkonyong ? Tidak, Lo In tidak gila. Saking girangnya, setelah ia berpikir bahwa Liok Sinshe akan ketolongan dengan dua rupa obat ditangannya tadi, maka ia jadi berjingkrak-jingkrak. Maklumlah anak masih kecil yang kegirangannya meluap-luap. Di lain saat, kelihatan ia sudah berlari-larian menuju ke tepi jurang. Tapi di tengah jalan tiba-tiba ia rem larinya, lalu putar tubuh dan balik kembali. Benar-benar lucu kelakuannya si bocah Lo In. Apa maunya Lo In balik lagi ? Oh, kiranya ia balik ke rumahnya mengambil pedangnya Liok Sinshe yang disimpan rapi di balik pintu. Itu adalah satu pedang pendek, hanya kira-kira dua kaki panjangnya ketika Lo In hunus dari sarungnya. Pedang itu tidak mengkilap sinarnya, seperti kebanyakan pedang-pedang dari jago-jago Sungai Telaga (kang-ouw), hanya kebiru-biruan kalau terkena sinar matahari. Bentuknya tidak menarik, hingga pantas sekali kalau ia menjadi penghuni dalam sarung yang sudah kumel. Entah sudah berapa puluh tahun pedang itu dipakai oleh Liok Sinshe dalam hidupnya malang melintang dalam dunia Sungai Telaga. Siong Leng Tojin dan kawan-kawannya ketika melewatkan sang malam dalam rumah itu dengan pintu terpentang. Coba kalau ketika itu, pintu itu ditutup. Pasti senjata tajam Liok Sinshe akan dibeslag, meskipun bentuknya jelek, demikian pandangan Lo In si bocah. "Kenapa Liok Sinshe pakai pedang beginian ?" tanya Lo In pada dirinya sendiri, seraya membulak balik memeriksa. Ia baru pertama kali melihat senjatanya Liok Sinshe, selama ia ikuti penolongnya itu. Yang menarik hatinya si bocah adalah bobotnya pedang itu enteng sekali, maka ia memasuki pula ke dalam sarungnya, ia gantung di pinggangnya lalu jalan mundar mandir dengan sikap perwira. Sok aksi anak itu, tapi lucu laga lagunya dasar anak-anak. Sayang Liok Sinshe tidak ada. Coba ada, tentu akan terpingkal-pingkal melihat Lo In dalam gayanya sendiri menjual aksi. Lo In dilain saat sudah berada diluar rumah, dengan di pinggangnya menyandang pedang. Bocah itu dalam usia meningkat dua belas tahun, tubuhnya kurus dan lebih tinggi dari anak-anak biasa dalam usia pantarannya. Maka, kelihatan pantas sekali pedang warisan Liok Sinshe itu tergantung di pinggangnya yang ceking. Ia berdiri sejenak di depan rumah. Matanya memandang ke sekitarnya, kemudian gerakin kakinya melangkah. Ternyata kali ini ia bukannya lari ke tepi jurang, hanya ia lari menghampiri batu besar yang semalam ia pakai sembunyikan diri. Di depan batu mana kira-kira satu tindak jauhnya, ia hunus pedangnya lalu jongkok untuk menggali tanah. Sebentar lagi, ditangannya sudah terpegang satu kotak persegi empat dari ukuran empat cun dan tinggi dua cun. Setelah dipandang, ia mau masukkan barang itu ke dalam sakunya tapi berbarang pada saat itu ia kaget dan lompat mundur mendengar suara orang ketawa di balik batu. "Hi hi hi ! Anak kecil, serahkan barang itu pada nenekmu." demikian Lo In dengar orang berkata, segera berkelebat tubuh dari balik batu, siapa ternyata ada si nenek jelek Kim Popo. Lo In kenali si nenek yang mengaku membokong Liok Sinshe. Amarahnya timbul seketika. "Nenek jahat, kau mau apa ?" tegurnya kasar. "Begini caranya kau sambut nenekmu ?" kata Kim Popo seraya tertawa haha-hihi. "Mana aku ada punya nenek jahat sepertimu." ejek Lo In. "Jangan banyak cakap, bocah ! Lekas serahkan barang ditanganmu !" teriak si nenek. Kelihatannya marah bila dikatakan nenek jahat. "Kau mau ini ?" Lo In tanya sambil angkat kotak tadi ditangannya. "Mari kasih aku." Kim Popo sambil sodorkan tangannya untuk menjambret. Lo In tarik pulang tangannya. "Hmm ! Nenek jahat, tidak semudah itu !" katanya. Kim Popo rada-rada heran melihat jambretannya gagal. Sebab menurut pendapatnya, ia sudah bergerak cepat. Tapi si bocah kelihatan lebih cepat pula menarik tangannya. Ia penasaran. Ia lompat menubruk untuk merampas barang ditangannya Lo In, tapi untuk kedua kalinya ia dibuat gregetan karena Lo In sudah dapat berkelit dengan manis dari terkaman. "Bocah ini licin seperti si tabib busuk. Aku tidak boleh sungkan-sungkan lagi !" dmeikian pikirnya Kim Popo dalam hati. Segera ia gunakan tipu Ki ong pek touw atau elang lapar menyambar kelinci, dua tangannya yang berkuku runcing menyambar berbareng mencengkeram dada Lo In. Satu jurus yang agak ganas untuk digunakan terhadap anak kecil. Namun si nenek tidak memikir ke situ, ia hanya ingin menyingkat waktu, barang yang diingini itu lekas pindah dalam tangannya. Lo In tahu bahayanya serangan itu, tapi ia tidak takut. Pikirnya denagn ia majukan dua tangan menangkis, keras lawan keras, rasanya serangan si nenek dapat dipatahkan. Tapi Lo In lupa memperhitungkan bahwa tenaga dalamnya kalah jauh di banding dengan si nenek. Maka tidak heran ia segera rasakan kelalaiannya, ketika tangannya bentrok dengan tangan si nenek, ia rasakan dadanya tergentar dan tubuhnya terlempar jumpalitan sampai sepuluh tindak. Cepat Lo In bangun tapi dadanya dirasakan masih sesak. Si nenek, sementara itu sudah lompat maju, berdiri di depannya. "Bocah bau, kau rasakan nenekmu punya lihai,ya ?" katanya dengan suara menjengeki. Lo In tidak berani menjawab sebab ia tengah coba memeras tenaga dalamnya untuk mendorong pergi rasa sesak dalam dadanya. Begitu ia rasakan enak dadanya, tiba-tiba ia rasakan tangannya dicekal orang. "Keluarkan hayo keluarkan barang itu !" perintah Kim Popo. Tangannya si nenek yang mencekal tangannya dirasakan Lo In seperti sepitan besi. Lo In mengawasi Kim Popo dengan sorot mata benci. Melihat anak kecil itu membandel, Kim Popo tidak sabaran. "Kau masih belum mau keluarkan ?" katanya. Tangannya dipakai memencet lebih keras hingga butiran-butiran keringat pada merembes keluar dari lubang-lubang tubuhnya Lo In, saking ia menahan sakit. Bandel dan keras kepala anak itu. Ia lebih suka menahan rasa sakit dari pada menangis keluarkan air mata. Matanya menyala seperti berapi, tapi meluanpnya napsu membunuh ini hanya sejenak sebab segera tampak ia kalem lagi. Pelanpelan ia merogoh sakunya dan dikeluarkan kotak yang barusan ia gali. "Nenek jahat, tuh kau boleh gegares !" kata Lo In kasar sambil melemparkan kotak yang dipegangnya. Kim Popo lepaskan cekalannya lalu memungut barang yang ia impi-impikan itu ialah buku mungil 'Tiam-hiat Pit-koat' di dalam kotak itu. "Hehe, akhirnya kau menyerah juga bocah !" kata si nenek sambil coba buka kotak tadi tapi susah terbuka seperti ada kuncinya. "Hahaha !" kedengaran Lo In tertawa tiba-tiba. "Kau ketawai apa ? Lekas serahkan anak kuncinya !" bentak si nenek. "Hahaha !" kembali Lo In tertawa. Kim Popo naik pitam. "Binatang cilik, kau main gila........!" bentaknya. "Kau kira hanya kita berdua disini ?" potong Lo In, air mukanya bersenyum. Kim Popo sudah siap menyerang Lo In tapi hatinya gentar mendengar kata-katanya si bocah, memotong bicaranya. "Memangnya ada siapa lagi ?" ia menanya. "Masih ada yang belum mati dibokong olehmu. Hahaha, si nenek jahat kena perangkap." Lo In tertawa terbahak-bahak hingga menimbulkan rasa takut si nenek meningkat. Pikirnya, apa benar Liok Sinshe tidak mati ? Celaka ia kalau benar-benar mereka menggunakan perangkap. Liok Sinshe sudah pasti tak dapat mengampuni perbuatannya yang telengas membokong orang. Melihat Kim Popo seperti yang ketakutan, menengok sana sini sambil memegangi kotak lebih erat, seolah-olah yang takut dirampas orang. Lo In berkata pula, "Nenek jahat. Kau masih tunggu apa lagi. Tidak mau lepaskan kotak ditanganmu itu ?" "Kau mau mempermainkan aku ? Kau membokong orang. Apa Liok Sinshe tidak akan menagih ?" sahut Lo In dan ia tekankan suaranya menjadi keras diwaktu menyebut 'Liok Sinshe'. Justru tekanan suara 'Liok Sinshe' itu yang membikin semangatnya Kim Popo hampir terbang seketika. Maka lantas saja ia geraki kakinya melompat kabur. Sebelum jauh, Lo In yang jail sudah ambil batu kecil dan disentilkannya, jitu mengenakan sasaran diarah atas sedikit dari kibulnya hingga dirasakan sangat sakit. Dan ini dianggap Kim Popo ada Liok Sinshe yang melakukannya hingga ia lari lebih kencang lagi. Lo In tertawa geli menyaksikan Kim Popo lari terbirit-birit ketakutan. Sebenarnya tidak ada Liok Sinshe. Si nenek hanya takut bayangannya sendiri saja lari ketakutan. Tadi, ketika dipencet tangannya oleh Kim Popo, Lo In menyala matanya seperti yang mengeluarkan apai, napsu dari pembunuhan. Tapi hanya sejenak ia sudah jadi sabar lagi. Itulah ia ingat akan pesan Liok Sinshe yang berkata kepadanya, "Anak In, jika kau menghadapi sesuatu yang genting, harus berlaku tenang. Sebab ketenangan yang menimbulkan jalan pemecahan !" Kata-kata Liok Sinshe ini yang mengiang ditelinganya waktu itu hingga dari meluap amarahnya ia menjadi kalem dengan tiba-tiba. Dan kemudian timbul dalam otaknya yang cerdik suatu pikiran yang baik untuk menggertak si nenek lari tunggang langgang dengan cuma menyebut namanya Liok Sinshe. Kejadian itu ialah begitu mudah si nenek kena digertak, sungguh diluar dugaan Lo In. Sebab ia tidak tahu memang si nenek jeri betul-betul pada Liok Sinshe sebagai akibat kesudahannya pertempuran pada lima tahun berselang dimana Kim Popo dipecundangi dengan sangat mudahnya ketika si nenek hendak merampas buku rahasia ilmu menotok jalan darah 'Tiam-hiat Pit-koat' dari tangannya si kakek she Kong. Lo In kemudian menghampiri pedangnya yang menggeletak ditanah lalu memungutnya, disorong lagi di pinggangnya yang ceking. Kali ini ia tidak balik ke rumahnya hanya memutar tubuh lari ke jurusan tepi jurang. Ia berlari-larian di tepi jurang yang curam itu sampai kemudian ia berhenti disuatu tempat yang ada bekas-bekas seperti disitulah Liok Sinshe sudah tergelincir masuk ke dalam jurang. Ia melongok ke bawah. Benar-benar jurang sangat curam. Entah berapa dalamnya dan didasarnya yang merupakan lembah, apa tidak ada banyak binatang buasnya. Tapi Lo In adalah lanak yang besar nyalinya. Ia tidak takut. Ia lebih perhatikan keselamatan Liok Sinshe dari pada bahaya yang bisa mengancam pada dirinya sendiri. Dengan berani Lo In merosot turun sambil memegangi pada akar-akar rotan yang tumbuh merembet di sana sini. Pelanpelan ia terus turun ke bawah. Dengan kepandaian entengi tubuh ajarannya Liok Sinshe, ia lompat sana sini dan akhirnya sampai juga ia pada tujuannya, di dasarnya jurang. Ia celigukan ke sekitarnya. Ia dapatkan banyak pepohonan yang rindang. Mendengak ke atas, tampak tebing jurang ada sangat curam. "Bagaimana aku bisa naik ke atas nanti ?" tanyanya pada diri sendiri, melihat tepi jurang ada demikian tinggi kelihatan dari sebelah bawah. Tapi Lo In tidak mau ambil pusing hal kembali naik keatas. Yang penting ia harus mencari Liok Sinshe. Tapi dimana ia harus mencarinya ? Lekas ia gerakin kakinya, mulai mencari Liok Sinshe, orang yang sangat cintai. Pikirnya, bagaimana pun ia harus ketemukan tubuhnya Liok Sinshe, baik dalam keadaan selamat maupun sudah mati. Kita balik sebentar, melihat Kim Popo yang lari tunggang langgang ketakutan. Setelah lari jauh, ia berhenti di bawah sebuah pohon besar yang rindang daunnya, dimana ia meneduh dengan adem, menyingkir dari terik panasnya matahari yang waktu itu tengah mencorong menerangi jagat. Ia taruh tongkatnya yang berat disampingnya. Lewat sesaat ia duduk, lantas tangan kirinya merogoh kantongnya. Dikeluarkan kotak yang ia rampas dari tangan Lo In. Mukanya berseri-seri, rupanya ia sangat puas dengan pekerjaannya yang berhasil. Entah terbuat dari apa, kotak itu kelihatannya sangat kuat tapi bobotnya enteng sekali. Ia periksa dengan seksama, karena kotak itu tak dapat dibuka, ia lantas dapatkan ada sebuah lubang kecil. Pikirnya, disinilah ada lubang kuncinya. Harus ia dapatkan anak kuncinya. Kalau tidak, cara bagaimana ia bisa membukanya. Di samping kegirangan, ia mendongkol dan penasaran. Ia coba membukanya dengan paksa tapi bagaimana juga kotak tak dapat dibuka. "Sialan !" ia mengeluh. "Dengan begini aku mesti kerja lagi untuk dapatkan anak kuncinya." ia meneruskan kata-katanya sambil membanting kotak itu sekerasnya. Justru dibanting, kotak itu menjadi terbuka sendirinya. Dari dalam lompat keluar sebuah buku yang bentuknya mungil. Matanya Kim Popo terbelalak saking heran. Ia tertegun sejenak. Karena ini, ia terlambat mengambil buku yang diimpi-impikan sebab lain tangan sudah mencomotnya lebih dahulu. Itulah tangan orang yang lompat dari atas pohon, dengan sebat sekali sudah dahului Kim Popo mencomot buku mungil yang mencelat keluar dari kotaknya. Kim Popo tercengang oleh karenanya. Kapan ia mengawasi orang di depannya, kiranya ia ada satu thauto (pendeta yang piara rambut panjang) bermuka bengis. Dua anting-anting besar yang menghias di telinganya berkerincingan kalau ia geleng-geleng kepalanya, ramai kedengarannya. Si nenek menjadi sangat gusar. "Binatang, kau berani rampas barangku ?" ia membentak sambil lompat menubruk si thauto untuk merampas pulang buku yang dicomot si thauto tadi. Tapi tubrukannyaKim Popo kecele sebab dengan elakan badannya sedikit saja, Kim Popo telah menubruk angin. Gesit sekali caranya si thauto bergerak. Tentu saja Kim Popo yang adatnya angin-anginan, marahnya menjadi-jadi. "Binatang, kembalikan barangku ! Kalau tidak, hmm !" bentak Kim Popo, hatinya penasaran barusan tubrukannya gagal. "Kau ingin dapat pulang barangmu, harus tanya dulu orangku." sahut si thauto. Kim Popo kertak gigi, meskipun giginya sudah sisa tidak seberapa lagi. "Mana dia orangmu ?" bentaknya sengit. "Ini dianya..... ha ha !" sahut si thauto seraya unjuk dua kepalannya yang besar, mirip buah kelapa kata bohongnya. "Bagus !" kata Kim Popo mendelu, dadanya dirasakan hampir meledak. "Siapa bilang jelek ?" menggoda si thauto. Rupanya orang jenaka juga. Habis sabarnya Kim Popo, matanya mendelik hingga romannya tambah jelek. "Binatang, lihat seranganku !" serunya, sambil menerjang dengan tipu pukulan 'Hui heng tong lay' -- 'Angin taufan menghembus dari Timur', kepalan tangan kanannya mengarah dada disusul dengan tangan kirinya menyamber orang punya iga kanan. Cepat serangan saling susul ini datangnya tapi si thauto tidak gugup. Tangannya yang besar dibuka untuk menangkap kepalang lawan, sedang iga kanannya yang diarah dibiarkan saja menjadi sasaran totokan jarinya Kim Popo. "Aiyoo !" teriak si nenek tiba-tiba sambil lompat mundur. Si thauto tidak balas menyerang, hanya berdiri sambil terbahak-bahak ketawa mengawasi Kim Popo yang teraduhaduh seraya tangan kanannya memegangi dua jari tangan kirinya yang barusan dipakai menotok. Dengan tipu pukulan 'Angin taufan menghembus dari Timur', Kim Popo ingin sekali gebrak saja menjatuhkan si thauto yang kurang ajar. Ketika kepalannya hendak disambut dengan tangan si thauto yang besar, ia melihat bahaya, maka ia cepat tarik pulang. Tapi tangan kirinya ia teruskan nyelonong ke iga musuh. Pikirnya, si thauto tidak membuat penjagaan pada bagian ini, sudah pasti totokannya akan berhasil membikin lawannya terkulai rubuh. Tapi kesudahannya ada lain, si nenek telah menelan pil pahit. Dua jarinya yang dipakai menotok iga musuh dirasakan seperti menotok tiang besi, sakitnya bukan main sampai menyusup di ulu hati. Melihat serangannya gagal, maka cepat ia lompat mundur sambil berteriak "Aiyoo !", saking tak tahan menahan sakitnya. Tapi Kim Popo, dasar si nenek bandel. Kalau hanya begitu saja ia sudah mesti jadi pecundang, maka sebentar lagi setelah ia memeras tenaga dalamnya buat usir rasa sakit tadi, segera ia kembali lakukan penyerangan. "Hahaha, nenek jelek !" goda si thauto. "Masih berani melawan ?" "Kiramu mukamu bagus ?" sahutnya menjerit saking mendongkol. Kata-katanya Kim Popo disusul dengan serangan gesit. Ia keluarkan ilmu entengi tubuhnya untuk melayani si thauto yang bertubuh tinggi besar. Pikirnya, si thauto rupanya ada punya ilmu 'tiang-pou-san' (ilmu kebal). Tubuhnya keras laksana besi, maka ia harus mencari kelemahannya yaitu dibagian matanya. Demikian, setelah bertempur sepuluh jurus, Kim Popo gunakan kepalannya yang kiri pura-pura menjotos ke arah perut, sedang sasarannya yang sebenarnya adalah sepasang matanya lawan. dua jari tangan kanannya, telunjuk dan tengah dengan sebat meluncur akan mengorek sepasang biji mata si thauto. Serangannya ini yang dinamai 'Lo wan tou ko' atau 'Lutung tua mencuri buah'. Cepat sih memang cepat gerakannya Kim Popo, cuma sayang, kembali ia dapat kerugian. Kepalan kirinya yang purapura menjotos kena ditangkap tangan si thauto, sedang dua jari tangan kanannya belum sampai pada sasarannya, ia rasakan tenaga dorongan yang keras pada kepalannya yang kena dipegang lawan. Tenaga dorongan itu benar-benar hebat sampai ia perpelanting dan jungkir balik ke belakang. Di lain saat, ketika ia sudah dapat tancap pula kakinya ditanah, ia rasakan sekujur tubuhnya gemetaran dan dadanya sesak. Untung lwekangnya cukup tinggi hingga tidak sampai mendapat luka di dalam. Meskipun demikian, nyalinya ciut seketika. Untuk melawan lagi si thauto jagoan itu, pikirnya tidak mungkin. Maka setelah ia rasakan badannya kembali normal, ia lantas saja putar tubuhnya dan lari. Persis seperti tempo hari ia tunggang langgang dipecundangi Liok Sinshe. "Haha, nenek jelek, kau mau lari !" Kim Popo dengar suaranya si thauto. Berbareng dengan ditutup kata-katanya, tampak si thauto geleng-geleng kepalanya. Sepasang antingnya segera melesat berbareng menyusul Kim Popo. Si nenek hanya berkaok satu kali lantas kelihatan tubuhnya terkulai dan mendeprok di tanah. Seluruh tubuhnya dirasakan lemas. Kiranya, sepasang anting-anting dikedua telinganya itu adalah senjata rahasianya si thauto. Sungguh lihai senjata rahasia itu. Cuma dengan geleng-geleng saja, sepasang anting-anting itu meleset laksana kilat hingga membuat Kim Popo semaput jatuh di tanah. Tidak mudah menggunakan senjata rahasia yang aneh itu kalau lwekang pemiliknya tidak tinggi. Sebab barang itu baru dapat melesat dari kuping di dorong oleh tenaga dalam yang istimewa. Si thauto tertawa gelak-gelak melihat si nenek sudah tidak berdaya. Ketika matanya melirik ke tanah, ia melihat kotak tempat buku menarik perhatiannya. Maka ia lantas pungut dan diperiksa. Kemudian rogoh sakunya, keluarkan itu buku mungil, dipaskan dalam kotak. Tiba-tiba kotak itu menutup seketika hingga si thauto kaget bukan main. Entah bagaimana rupanya ada alat rahasianya yang ketekan. Maka kotak itu otomatis menutup buku yang ditaruh di dalamnya. Si thauto dari kaget menjadi ketawa girang melihat kemujijatan kotak dapat menutup sendiri. Maka ia lalu masukan kotak itu ke dalam sakunya. Pikirnya, pada suatu kesempatan ia akan membukannya nanti. Setelah mana ia menghampiri Kim Popo, memungut sepasang anting-antingnya yang jatuh tidak jauh dari si nenek dan dipakainya kembali. Thauto itu bengis romannya, menakuti tapi orangnya benarbenar jenaka. "Nenek bagus, bagaimana sekarang ?" ia menanya dengan senyum dikulum. Ia godai Kim Popo tidak lagi ia menyebut 'nenek jelek' tapi diganti jadi 'nenek bagus'. Enak kedengarannya tapi tidak enak berkumandang ditelinganya si nenek. Anggapnya ia telah disindir, maka matanya jadi mendelik. "Sudah aku berlaku murah barusan, tidak mengambil jiwamu, apa kau masih kurang terima ?" berkata si thauto. "Hmm ! Murah hati !" menggerutu Kim Popo. "Memang," berkata lagi si thauto. "Kalau aku berlaku kejam, barusan anting-antingku mengarah pada jalan darah kematian di bebokongmu. Apa ini aku sudah tidak berlaku murah ?" "Hmm !" mendengus si nenek. "AKu Kim Popo tidak rela dijatuhkan oleh lawan dengan jalan membokong." "Habis kau mau apa ? tanya si thauto, geli hatinya nampak orang kepala batu. "Kalau kau berani, merdekakan aku sekarang !" sahutnya ketus. "Jadi ? Kau mau bertempur lagi ?" tanya lagi si thauto. "Tidak ! Saat ini aku terima kalah. Tapi lihat, tiga tahun lagi akan kucari kau untuk menetapkan siapa unggul !" sahut Kim Popo tengik laganya. Si thauto tertawa terbahak-bahak lalu tanpa menghiraukan Kim Popo yang masih duduk mendeprok, ia tinggal pergi. "Binatang, kau mau siksa aku dengan cara begini !" teriak Kim Popo, matanya terbelalak keheranan melihat dengan begitu saja meninggalkan dirinya. "Lagi dua jam totokan pada jalan darahmu akan hilang sendirinya. Kau nenek bandel, mesti dihukum dijemur dipanasnya matahari dua jam. Hahaha !" demikian terdengar kata-kata si thauto, meskipun sudah jalan jauh kedengarannya tegas sekali kuping Kim Popo hingga ia jadi terkejut. Pikirnya, thauto itu hebat sekali tenaga dalamnya sampai bisa mengirim suara dari jauh. Terpaksa Kim Popo, si bandel, mesti menanti dua jam dibawah panasnya matahari untuk mendapat kebebasannya..... Kita kembali kepada Lo In yang tengah mencari Liok Sinshe di lembah dari jurang Tong-hong-gay. Dengan hati-hati ia mencari dipinggir-pinggiran lalu pelanpelan sedikit ke tengah, tapi belum juga ia dapatkan tandatanda yang mengunjuk dimana adanya Liok Sinshe. Kadangkadang ia mendongak ke atas mengawasi diantara tebingtebing dengan pengharapan matanya akan bentrok dengan gerakan sesuatu disana. Tapi sia-sia saja pengharapannya, malah cuaca pelan-pelan tanpa disadari sudah mulai gelap. Bermula Lo In kebingungan, bagaimana ia dapat naik pula ke atas, sedang hari sudah berubah menjadi malam ? Tapi belakangan hatinya menjadi senang. Lo In tidak memikirkan untuk kembali ke rumahnya lagi. Yang penting, ia harus cari terus Liok Sinshe sampai dapat diketemukan. Untuk mengisi perutnya yang lapar, Lo In sudah banyak petik buah-buahan dimasukkan dalam perutnya. Ia rasakan lebih segar dan nyaman perutnya diisi buah-buahan dari pada diisi kue atau nasi. Untuk menghindarkan gangguan dari binatang buas maka malam itu Lo In tidur diatasnya sebuah pohon yang banyak cabang dahannya. Di atas dahan yang merupakan pembaringan baru, mana Lo In dapat cepat-cepat pulas. Pikirannya melayang-layang, mengingat-ingat tempat-tempat yang dijelajahinya dalam menemui Liok Sinshe, ia harus mencari suatu tempat yagn aman. Dimana ia bisa bersemedhi setiap malam untuk meyakinkan tenaga dalamnya. Sebagai satu anak yagn bernyali besar Lo In merasa penasaran Kim Popo yang sudah memencet tangannya sampai ia mengeluarkan keringat dingin. (Bersambung) Jilid 02 Pikirnya, nanti suatu waktu kalau lwekangnya sudah mahir ia akan cari si nenek buat diajak berkelahi lagi. Sebenarnya Lo In belum tentu kalah kalau ia layani si nenek dengan kegesitanya, jangan mengadu tenaga. Yang membuat ia pecundang adalah karena ia coba-coba adu tenaga dengan Kim Popo, yang sudah tentu bukan tandingannya. Dalam keadaan tiduran, kupingnya tiba-tiba mendengar suara gedebukan, datangnya dari sebelah selatan. Suara apa itu ? Ia pasang telinganya lagi, saban kira 1-2 menit ia degnar suara gedebukan itu. Di dorong oleh perasaan ingin tahu, ia turun dari atas pohon. Pelan-pelan ia hampiri tempat dimana ada suara gedebukan tadi. Setelah jalan beberapa lama, suara gedebukan itu makin nyata. Rupanya jaraknya sudah tidak jauh lagi. Maka Lo In rada cepatin jalannya. Segera dari kejauhan ia nampak seperti ada dua sinar menyorot ke arahnya. "Apa itu ?" tanyanya pada diri sendiri. Ia menduga akan binatang macan. Sebab menurut Liok Sinshe, matanya macan suka mencorong kalau diwaktu malam. Hati Lo In tabah, nyalinya besar, ia tidak takut. Ia menghampiri lebih dekat. Kiranya itu bukannya macan hanya seekor burung yang luar biasa besarnya, tengah kebut-kebutkan sayapnya ke tanah. Suaran gedebukan itu tiada lain dari pada sayapnya si burung tadi yang dihantamkan ke tanah. Lo In terus mengintip, ingin tahu apa maunya si burung yang besar luar biasa itu mengebut-ngebutkan sayapnya ke tanah. Ia ingat, kalau ia sedang main di tepi jurang sering melihat ada burung yang luar biasa besarnya melayang-layang diatas lembah. "Apakah bukan dianya ini ? " tanya Lo In pada dirinya sendiri. Menurut katanya Liok Sinshe, burung sebesar itu adalah burung rajawali yang biasa jinak dimiliki orang pandai yang menyepi tinggalnya di pegunungan. Malah Liok Sinshe namakan burung itu 'Kim-tiauw' atau 'Rajawali Emas' karena patuk dan kedua kakinya kekuning-kuningan seperti emas yang Liok Sinshe dapat lihat sendiri dari dekat pada suatu hari ia sedang mencari daun obat-obatan di lembah itu. Apa dia itu benar Kim-tiauw. Ingin Lo In menyaksikan dari dekat, tapi tak dapat ia lakukan itu. Sayapnya yang memukulmukul tanah bukan saja menerbitkan suara gedebukan tapi juga menerbitkan angin keras menderu. Kalau Lo In berani datang dekat, sekali dikibas sama sayapnya, pasti tubuhnya akan melayang entah berapa jauhnya. Setelah memperhatikan agak lama, Lo In berpendapat si rajawali hanya mengibaskan sayapnya yang kanan saja, sedang yang kiri diam saja. Ia seperti mau terbang tapi tak bisa kalau cuma satu sayap. Pikir Lo In tentu rajawali ini mendapat luka parah pada sayap kirinya. Hatinya merasa kasihan, ingin ia periksa lukanya. Tapi bagaimana mendekatinya ? Otaknya lantas bekerja mencari akal. Matanya memandang ke sekitarnya tapi agaknya ia cemas tidak melihat jalan untuk pemecahan. Sebenrar lagi, setelah ia tundukkan kepala ia menengadah melihat keadaan diatasnya si rajawali. Tiba-tiba mulutnya bersenyum, rupanya ia sudah dapat akal untuk mendekati si rajawali yang dalam kesukaran. Bagaimana ? Dengan gunakan gerakan ilmu entengi tubuh 'Burung walet tembusi mega', ia enjot tubuhnya mencelat dan di lain detik sudah tampak ia berloncatan dari satu dahan ke lain dahan pohon. Dalam tempo pendek saja, ia sudah berada di atas pohon yang dekat sekali pada si burung rajawali. Si burung rajawali sama sekali engan kalau ada orang yang datang dekatinya. Ia masih sibuk gedebukan dengan sayapnya yang kanan. Lo In menunggu sampai sayap itu berhenti dikebaskan, pada saat mana enteng sekali tubuhnya melayang dan mencolok di punggungnya si rajawali yang ketika sadar ada orang menyerang, ia sudah tidak berdaya karena jalan darah di bagian sayap dan lehernya sudah kena ditotok oleh si bocah yang besar nyalinya. Ketika itu sayapnya yang kanan berhenti mengebas-ngebas sedang lehernya sudah menjadi kaku, tak dapat digeraki hingga ia tak dapat mematuk lawan yang berada di atas pungggungnya. Hanya sinar matanya saja mencorong seperti yang sedang gusar sekali. Meskipun mendapat kesukaran karena beratnya sayap si rajawali, juga dibawah sayapnya terdapat lukanya yang berat, Lo In dengan gembira sudah dapat mengobati lukanya itu memakai obatnya Liok Sinshe yang amat mustajab. Selain obat bubuk ditabur di tempat luka, juga Lo In paksa si rajawali menelan pilnya, setelah berkutatan lama ia membuka patuknya. "Tiauw-heng" kata si bocah pada si rajawali. "Aku ini temanmu, jangan takut. Maaf, kalau aku sudah berbuat sedikit kasar menolong kamu !" Gerak gerik Lo In lucu. Ia memanggil 'Tiauw-heng' atau 'Kanda rajawali' kepada si burung garuda yang tinggal membisu saja. Kuatir totokannya kurang kuat hingga si rajawali dapat geraki pula sayapnya, yang menyebabkan lukanya tidak bisa rapat, maka Lo In memberikan pula beberapa totokan sehingga betul-betul tenaganya si burung garuda menjadi lumpuh. Lukanya si rajawali ternyata kena panah beracun. Untung tenaganya si burung garuda sangat kuat hingga menjalarnya racun berjalan dengan perlahan dan keburu mendapat obatnya Liok Sinshe yang mustajab. Kalau saja sampai menanti besoknya lagi, terang jiwanya si rajawali tak akan ketolongan. Entah siapa yang begitu kejam melepaskan panah beracunnya. Lo In malam itu tidak jadi nginap di atas pohon yang banyak dahannya, yang ia tinggalkan. Sebaliknya ia tidur diatas pohon, tidak jauh dari mendekamnya si rajawali. Diam-diam ia siap sedia menghadapi kemungkinan datangnya orang jahat yang hendak mencelakakan si rajawali. Tapi syukur sampai hari sudah terang tanah, tidak ada kejadian apa-apa. Lo In merosot turun dari atas pohon. Ia lihat si rajawali tengah memejamkan matanya. Rupanya ia juga bisa tidur karena tidak merasakan sakit lagi pada sayapnya yang kiri. Matanya dibuka ketika ia mendengar Lo In berkata, "Tiauw-heng, kau diam-diam saja mengaso. Tunggu aku akan mencari makanan untuk kau makan." Ia berkata sambil anggukan kepalanya seperti yang memberi hormat kepada saudara yang tuaan. Ah, benar-benar lucu kelakuannya Lo In. Kemudian ia putar tubuh dan meninggalkan tempat itu. Berkat kepandaiannya menyentil dengan batu kecil, maka dalam tempo pendek saja Lo In sudah dapat menyentil jatuh tiga ekor ayam hutan. Ketiga ekor ayam itu hendak ia bawa ke tempatnya. Pikirnya, Tiauw-heng tentu gembul makannya, tidak cukup kalau hanya 2-3 ekor ayam saja. Maka ia lalu mencari pula ayam di lain tempat dan segera ia sudah dapatkan lagi. Empat dari lima ekor ayam itu, Lo In taruh di depannya si rajawali, sedang yang seekor ia potong dan bersihkan dalam selokan jernih, karena air gunung mengalir disitu. Kemudian ia nyalakan api dan memanggang hasil buruannya. Sambil panggang ayam, matanya Lo In memandang pada si rajawali yang tinggal melotot saja mengawasi empat ekor ayam yang ada di depannya. Ia tak dapat kerjakan patuknya untuk menerkam hidangan didepannya itu sebab lehernya masih belum bisa digeraki karena pengaruh totokan Lo In. "Tiauw-heng." kata Lo In seraya bersenyum. "Kau tunggu sebentar. Kita nanti makan sama-sama. Bukankah itu ada lebih menyenangkan sebagai tanda terjalinnya persahabatan diantara kita ?" Si rajawali yang diajak bicara hanya matanya saja yang melotot sebagai jawaban, tapi kali ini sinarnya tidak bermusuhan. Setelah beres memanggang ayamnya, Lo In mendekati si rajawali. "Tiauw-heng, kau jangan marah. Lantaran aku ingin menolong jiwamu maka terpaksa dalam dua tiga hari ini aku bikin kau tidak berdaya. Kau sabarlah !" berkata Lo In sambil kemudian dengan sebat ia menotok bebas lehernya si rajawali berbareng ia lompat mundur takut dipatuk. Rupanya burung itu memahami akan kebaikan hatinya si anak kecil sebab ia tidak perhatikan Lo In lompat tapi terus saja ia gasak empat ekor burung itu satu persatu hingga dalam sekejapan saja telah hilang lenyap dalam perutnya. Lo In tertawa ngakak melihat kecepatan si rajawali memindahkan empat ekor ayam ke dalam perutnya. Hari itu usaha Lo In tidak memberikan hasil dalam mencari Liok Sinshe. Pada hari ketiga, ia datang dengan roman lesu mendekati si rajawali yang sekarang menjadi jinak. Barani ia memeluk lehernya dan menciumi patuknya yang indah seperti emas. "Tiauw-heng, aku mencari Liok Sinshe." ia kata pada si rajawali. "Apa kau lihat dia ada dimana ?" Seperti yang mengerti akan kata-kata manusia, burung itu geleng kepalanya. Lo In makin sayang pada burung itu yang rupanya mengerti akan omongan orang. Setelah menggelendoti tubuhnya burung yang seperti raksasa itu, Lo In ingat akan kewajibannya untuk memeriksa lukanya. "Tiauw-heng, mari aku periksa lukamu." ia berkata seraya dengan sebatnya ia menyingkap sayap burung itu, dibawah mana ada terdapat lukanya yang parah. Lo In kerutkan keningnya. "Kau masih belum dapat geraki sayapmu yang terluka, Tiauwheng." katanya. Sementara itu, ia keluarkan obatnya dan mulai beri obat baru pada luka si rajawali, patuknya Lo In buka dengan tangannya yang kecil untuk dimasukan pil mujarabnya. Sungguh heran, burung itu menurut saja, jinak sekali dan pasrah apa yang diperbuat Lo In. Rupanya ia mengerti akan kebaikan orang. "Tiauw-heng, mulai saat kita ketemu, aku sudah tahu kau akan menjadi teman sebagai gantinya Liok Sinshe. Maka selanjutnya, harap kau selalu jangan meninggalkan aku, ya !" berkata Lo In sambil mengelus-elus sayapnya si rajawali. Burung itu angguk-anggukkan kepalanya, matanya merem melek, girang rupanya ia diusap-usap Lo In dengan kesayangan. Pada hari keenam si rajawali sudah sembuh benar-benar dari luka parahnya. Ia sudah dapat geraki kedua sayapnya seperti sedia kala. Setelah terbang beberapa putaran, ia turun di depan Lo In lalu mendekam dan kepalanya dianggukanggukkan seperti yang menghaturkan terima kasih atas pertolongannya si bocah. Lo In dapat memahami gerak gerik si burung garuda, maka sambil menubruk dan menciumi ia berbisik, "Tiauw-heng, kita sudah jadi saudara. Tak usah kau mengucap terima kasih segala." Tangannya mengelus-elus kepalanya si rajawali, ketika ia mau mengusap-usap patuknya tiba-tiba Lo In merasa heran. Dari matanya burung itu ada melelehkan air mata. Entahlah, kenapa burung itu menangis. Lo In terharu, bukan karena apa. Ia hanya terkenang akan dirinya Liok Sinshe. Dimanakah adanya penolong itu. Apakah dia masih hidup atau sudah mati ? Sebab sudah hampir seminggu ia mencari jejaknya belum juga berhasil menemuinya. Siapakah Liok Sinshe itu ? Apa dia Kwee Cu Gie ? Siapakah Kwee Cu Gie itu ? Dimana adanya kedua orang tuanya ? Mati sudah atau masih ada dalam dunia ini ? Kenapa Liok Sinshe begitu sayang dan memperhatikan dirinya begitu rupa ? Apa hubungan ia dengan Liok Sinshe ? Pusing Lo In memikirkannya itu semua. Malah jadi bertambah sedih hingga saling peluk dengan si rajawali, menangis sampai terdengar suaranya Lo In terisak-isak. Sang burung, rupanya ingin menghibur Lo In. Kemudian ia mementang sayapnya akan terbang ke atas pohonjauh disana, terpisah dari Lo In. Lo In yang cerdik mengerti maksudnya si rajawali. Maka ia juga telah berhenti menangis, ia gosok air matanya dengan tangan bajunya. Dalam hari-hari berikutnya dalam usaha mencari Liok Sinshe, Lo In dikawal oleh si rajawali. Senang hati Lo In. Sering ia ajak si rajawali bercanda. Hari-hari demikian mereka bergaul, hingga keakrabannya meningkat. Sering atau hampir saban hari, tampak Lo In pesiar di atas lembah sambil menunggang rajawali yang merupakan kapal terbangnya. Dasar anak-anak menghadapi apa yang baru, lupa pada yang lama. Ditemani si burung raksasa, Lo In merasa aman. Betah ia tinggal dalam lembah itu, lupa pulang ke rumahnya di atas jurang Tong-hong-gay yang sebenarnya ia bisa pergi ke sana dengan mudah dengan menunggang kapal udaranya 'si rajawai'. Soal makanan Lo In tidak kekurangan, mau ikan ia dapat di sungai-sungai kecil yang banyak terdapat disitu. Mau daging ayam, kelinci, babi, mudah sekali ia dapat. Cuma tinggal perintah si rajawali yang pergi menangkapnya. Tapi Lo In lebih senang makan buah-buahan yang terdapat disitu. Ia rasakan badannya lebih segar dan nyaman dari pada makan ikan dan daging. Yang lucu, Lo In sudah dapat tundukkan kawanan kera liar dalam lembah itu. Mereka kelihatan sangat berterima kasih dan menganggap Lo In sbagai rajanya. Dengan begitu, Lo In bertambah banyak kawan. Bagaimana Lo In dapat tundukkan kawanan kera liar, kecil besar ? Itulah kejadian pada suatu hari ketika cuaca mendung. Selagi ia tiduran celentang di bawah sebuah pohon, tiba-tiba ia dikurung oleh kawanan monyet liar, bukan satu dua tapi adalah puluhan hingga ia merasa amat heran. Lo In bangkit, duduk, sambil kedua tangannya memeluk kedua dengkulnya yang ditekuk. Kepalanya menunduk seolah-olah yang tidak memperhatikan dirinya tengah dikurung oleh kawanan monyet galak. Suara cetcowetan yang ramai dari kawanan monyet itu tidak dihiraukan oleh Lo In. Terus saja ia berpura-pura mati ular. Kelihatannya kera-kera itu amat gusar pada si bocah. Bisa dilihat dari sikap dan gerakan mereka yang keluarkan suara 'her ! her !' sambil mulutnya nyengir-nyengir menakuti. Entahlah, kenapa mereka demikian benci pada Lo In. Mungkinkah karena perbuatannya Lo In ? Untuk melatih ginkang (ilmu entengi tubuh), Lo In saban hari melatih diri dengan mencelat sana sini di atas pohon. Gesit luar biasa hingga mengalahkan jauh dari kepandaian keraTIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ kera yang ada disitu. Rupanya hal inilah yang menyebabkan kawanan kera itu membenci Lo In. Mereka yang bermula merasa kagum melihat kegesitannya Lo In, belakangan merasa mengeri dan anggap Lo In adalah suatu saingan berat dalam dunianya. Lama juga sudah Lo In perhatikan sikap permusuhan dari mereka itu. Tapi Lo In tidak memperdulikan sampai pada saat itu baharu berasa bahwa dirinya benar-benar dibenci. Tapi Lo In tidak takut. Pikirnya kawanan kera itu tak dapat membuat susah dirinya. Ia mau lihat apa mereka bisa bikin terhadapnya. Tak perlu ia minta bantuan si rajawali yang dengan sayap raksasanya, sekali mengebas saja membuat puluhan kera itu akan sungsang sumbel dan terbang kemana tahu. Ia mau taklukan kawanan kera itu dengan usahanya sendiri. Dua yang paling besar diantara kawanan monyet itu, perdengarkan cetcewetannya lebih keras. Rupanya berupa bentakan-bentakan, memerintah pada kawan-kawannya untuk segera menggempur Lo In yang tinggal anteng-anteng saja. Memang dua kera besar itu adalah yang paling pandai dalam hal meloncat dari satu ke lain cabang pohon. Kawankawannya mengagumi kepandaiannya itu. Merekalah yang paling menaruh dendam pada Lo In, yang dianggap saingan alot. Meskipun bentak-bentakannya makin keras, kawanan kera itu masih belum berani menerjang Lo In. Rupanya mereka jeri sebab Lo In ada backingnya si rajawali. Mereka sambil cetcowetan, celigukan sana sini seakan-akan mengamat-amati apakah si burung raksasa ada di sekitar situ mengawal si bocah. Si rajawali ternyata tidak ada. Memang tidak ada. Ia lagi terbang ke lain tempat untuk mencari makanan. Hatinya kawanan kera liar itu rupanya jadi berani, sebab suara 'hor, hor !' dari dua pimpinannya paling akhir dibarengi dengan menyerbunya mereka. Yang diserbu tiba-tiba saja lenyap dari pandangan mereka. Terdengar ramai-ramai suara cetcowetan kawanan kera itu. Sambil kepalanya pada mendongak ke atas dimana mereka lihat Lo In sedang bercokol di atas dahan sambil ketawaketawa. Kiranya diwaktu kawanan monyet itu melakukan penyerbuan serentak, dengan gerakan 'Walet terbang menembusi awan', tubuhnya Lo In mencelat ke atas, mencelok diatasnya sebatang dahan pohon, dimana si bocah sambil uncanguncang kaki mentertawakan lawan-lawannya yang ribut cetcowetan di sebelah bawah. Hanya dua tahun Lo In mendapat gemblengan tenaga dalam dari Liok Sinshe, ia sudah memanfaatkan sebaik-baiknya dalam latihan ginkeng (entengi tubuh), cukup untuk melayani kawanan kera yang menyerang dirinya dengan penuh kebencian. Degnan dikepalai oleh dua monyet besar tadi, kawanan monyet itu segera juga pada menaiki pohon, lelompatan mengepung Lo In yang segera unjuk kegesitannya untuk meloloskan diri dari kepungan mereka. Tampak Lo In loncat ke atas sebatang dahan yang lebih tinggi. Selag ia terbahak-bahak ketawa, sembari kedua tangannya bertepuk-tepuk keras menggodai kawanan monyet yang mengubar dirinya, tiba-tiba terdengar suara 'hor ! hor !' agaknya keras dan lebih bengis di atas kepalanya. Ketika ia mendongak, kiranya diatasnya ada dua kera lebih besar lagi dari dua kera besar tadi, yang ia lihat menjadi pemimpinnya. Itulah sepasang orang utan hitam legam, lengannya besarbesar, matanya tajam mengawasi Lo In seraya perdengarkan suara 'hor ! hor !' menakutkan. Diam-diam Lo In perhatikan, rupanya dua orang utan itu suami istri. Yang lelaki kepalanya hampir botak, yang perempuan matanya tertutup satu disebelah kiri, sedang dibelakangnya ada menggemblok anaknya, mulutnya ramai cetcewetan. Lo In hendak enjot tubuhnya menyingkir, tapi sudah terlambat. Si orang utan yang lelaki menyambar dari atas dan tepat dapat mencekal lengan Lo In. Sakit rasanya cekalan si orang utan, lebih-lebih Lo In kaget, tenaganya seperti lenyap oleh pengaruh cekalan itu hingga ia tak dapat berkutik. Celaka, pikirnya, apa ia bakalan mati ditangannya si orang utan ? Tengah hatinya berkuatir, sekonyong-konyong terdengar suaranya si rajawali dari jauh tengah mendatangi hingga ia jadi sangat kegirangan. Rupanya si orang utan sudah kenali suaranya si rajawali, tahu juga Lo In ada kawannya, maka ia jadi ketakutan. Dengan sendirinya, cekalannya yang melumpuhkan itu terlepas. Ia lompat pula ke atas, ajak bininya ikut lari. Angin seperti menderu kedengarannya ketika si rajawali sampai dengan kebasan sayapnya. Ia mencelok disatu dahan dekat Lo In. Saking berat badannya membuat pohon sampai tergetar rasanya. "Tiauw-heng, syukur kau datang. Kalau lambat sedikit saja, aku kena dicelakai si orang utan !" Lo In berkata pada kawannya. Seperti yang mengerti, si rajawali tampak beringas romannya ketika mendengar ada makhluk yang mau bikin celaka kawannya. Lo In berbareng lompat mendekati si rajawali, ia usap-usap sayapnya. Tiba-tiba Lo In mendengar suara teriakan. Matanya yang awas segera dapat lihat si orang utan yang perempuan terpeleset jatuh. Ia sendiri dapat tolong dirinya karena sudah menjambret cabang pohon. Tapi anaknya, dalam kaget sudah melepaskan cekelan pada leheer ibunya hingga tidak ampun lagi anak orang utan itu meluncur jatuh terbanting di tanah dan pingsan. Dalam ketakutannya atas kedatangan si rajawali, dua orang utan itu sudah terbirit-birit lari, lompat dari satu ke lain cabang pohon. Rupanya yang perempuan kurang hati-hati memilih cabang pohon, maka ketika ia loncat ke cabang yang lapuk, ia kaget. Cepat lompat lagi ke lain cabang cuma saja saking gugupnya ia terpeleset dan menjerit ketika terpelanting. Yang lelaki berada beberapa tindak disebelah depan, ia kaget bukan main mendengar jeritan sang istri. Cepat ia putar tubuhnya tapi sudah tak dapat menolong anaknya yang terpelanting jatuh dari gendongan ibunya. Mulutnya cetcowetan ramai. Bersama istrinya, ia cepat-cepat turun ke bawah, lari menghampiri anaknya yang sudah tidak sadarkan diri. Sang ibu menubruk anaknya sambil menggoyang-goyang tubuh si orang utan kecil, mulutnya cetcowetan menangis. Segera banyak monyet-monyet yang datang merubung. Lo In yang melihat dan menyaksikan kejadian yang hebat itu, tidak tega hatinya. Entahlah, bagaimana keadaannya si anak orang utan itu. "Tiauw-heng, mari kita tolong dia." ia berkata pada si rajawali. Berbareng, ia geraki kakinya berloncatan ke bawah yang diikuti oleh si rajawali. Dengan hanya sekali kibasan sayapnya sudah sampai ditempat banyak kera berkumpul. Lo In tidak tahu bagaimana caranya memberi pertolongan. Sebab kalau ia dengan begitu saja datang dekat, tentu tidak dapat dipahami maksud baiknya. Apa lagi si orang utan sudah pernah memencet lengannya, tentu kedatangan Lo In dianggap akan menuntut balas, menggunakan kesempatan ketika mereka sedang kesusahan anaknya mendapat kecelakaan. Baik juga tongkrongan si rajawali dibuat jeri oleh kawanan kera itu. Ketika rajawali itu sampai, mendahului Lo In. Kawanan monyet itu sudah simpang siur lari. Malah dua orang utan itu, saking ketakutannya sudah lupa akan anaknya dan lari terbirit-birit. Anak orang utan itu jadi ditinggalkan sendirian. Lo In girang menampak kejadian itu diluar perhitungannya. Cepat ia dekati si anak orang utan, ia periksa, meraba-raba dadanya, pegang nadinya. Lucu, persis lagaknya seorang tabib. Ini, Lo In bukannya menjual aksi. Kelakuan ini meniru Liok Sinshe jika si tabib Liok diundang untuk mengobati orang sakit, ia suka turut dan menyaksikan caranya Liok Sinshe berbuat atas dirinya si pasien. Lo In girang karena si orang utan kecil tidak putus jiwanya. Ia hanya tidak berkutik karena pingsan, kaget jatuh dari tempat yang demikian tinggi. Kelakuan Lo In itu disaksikan oleh banyak kera dari kejauhan, terutama oleh dua orang utan dengan penuh rasa kuatir, apakah anaknya akan dibunuh mati Lo In. Buat merebut anaknya dari tangan Lo In, mereka tak berani lakukan, melihat si rajawali tengah mendekam didekatnya. Melihat keadaan anak orang utan itu berat juga, tak dapat disembuhkan dengan seketika, maka ia lalu angkat tubuhnya, diempo lantas menghampiri si rajawali, ke atas punggung Lo In loncat. "Tiauw-heng, mari kita pergi !" kata Lo In. Berbareng si rajawali bangkit lalu mengebaskan kedua sayapnya akan kemudian terbang mumbul. Tinggal dua orang utan itu berteriak-teriak dengan cara dia sendiri. Rupanya mereka sangat gusar pada Lo In yang sudah merampas anaknya. Lo In ditempatnya sebuah gubuk yang dibangun diatas sebuah pohon besar. Memakan waktu juga menolong anak orang utan itu. Sebab anak orang utan itu kecuali mendapat luka dalam, juga tangannya yang sebelah kiri keseleo yang perlu ditolong dengan jalan mengurut tiap hari tiga kali. Selang empat hari, Lo In sudah bikin anak orang utan itu sembuh benar. Ia kelihatan suka pada Lo In yagn tadinya ditakuti. Dalam tempo empat hari mereka berkumpul, anak orang utan itu menjadi jinak, sering menggelendoti Lo In. Mulutnya cetcowetan seakan-akan mengajak bercakap-cakap. Tapi sayang Lo In tidak mengerti akan percakapannya. Meskipun begitu, Lo In suka pada anak orang utan itu. Sering ia ajak main, diajak bercakap dengan gerakan mulut dan tangan. Gembira kelihatannya anak orang utan itu. Pada hari yang keenam, Lo In berkata pada si anak orang utan, "Adikku, hari ini kau harus pulang menemui ayah ibumu. Harap selanjutnya kau akan menjadi sahabatku yang baik seperti aku punya Tiauw-heng." Sambil berkata, Lo In empo anak orang itu lalu keluar dari gubuknya. Dengan sekali suitan, segera kapal udaranya sudah datang. Dengan menumpang si rajawali, Lo In pergi ke tempat dimana ia telah dikeroyok kawanan monyet liar. Sesampainya disana, ia dapatkan keadaan sepi. Cuma ada beberapa kera yang lelompatan sana sini. Melihat Lo In datang dengan mengempo anak orang utan, monyet-monyet itu menjadi heran rupanya. Tapi sebentar lagi, tampak mereka datang lagi membawa kawan-kawannya. Diantaranya tampak itu sepasang orang utan. Mereka tidak berani datang dekat pada Lo In karena si rajawali mendekam di dekatnya. Bagaimana pun, dua orang utan itu terbelalak matanya melihat Lo In tengah mengempo anaknya yang cetcowetan menciumi pipinya si bocah. Lo In dapat melihat pada mereka, maka cepat ia turunkan anak orang utan itu dari empoannya sambil berkata, "Adikku, pergi kau ketemui ayah bundamu !" Lo In sambil menunjukkan kejurusan orang utan yang berada diatas pohon, yang tengah keheran-heranan mengawasi kejadian itu. Anak orang utan itu melihat ke jurusan yang ditunjuk oleh Lo In. Ia melihat pada ayah bundanya. Cepat ia lari sambil mulutnya cetcowetan. Sang ibu bapak juga tidak tinggal diam. Mereka loncat-loncat turun dari pohon dan memapaki anaknya yang lantas diempo oleh si ibu, diciumi dengan penuh kesayangan. Dalam empoan ibunya, sang anak cetcowetan sambil menunjuk-nunjuk kejurusan Lo In. Rupanya ia sedang bercerita tentang pertolongan yang diberikan Lo In dan kebaikannya si bocah hingga kelihatannya si ibu merasa sangat gegetun sekali, sedang si ayah angguk-anggukkan kepalanya yang botak. Lo In menyaksikan itu semua dengan bersenyum. Kemudian putar tubuhnya menyamperi si rajawali, loncat ke punggungnya. "Mari kita pergi, Tiauw-heng !" katanya sambil tepok pundaknya si rajawali. Sebentar saja, Lo In sudah ada di udara bersama kapal terbangnya. Meskipun binatang, kawanan kera itu tahu akan kebaikan orang. Maka sejak itu, mereka telah menghapuskan kebenciannya dan tidak berani mengganggu lagi Lo In yang semula dianggap saingan alot. Malah yang lucu, sejak itu, Lo In boleh dikata tak usah susahsusah mencari buah-buahan lagi untuk makannya. Karena setiap pagi, ia dapatkan banyak buah-buahan berserakan di bawah pohon diatas mana ia tidur. Rupanya ini ada kiriman dari kawanan keras yang merasa berterima kasih, anak rajanya sudah ditolongi. Bebuahan itu ditaruh berserakan. Rupanya kera-kera itu takuti si rajawali. Maka seenaknya saja mereka melemparkan dan lari pergi. Lo In memahami ini, maka kepada rajawalinya ia memesan supaya ia tidak ganggu kera-kera yang mengantarkan bebuahan itu. Kawanan kera itu belakangan jadi berani karena melihat si rajawali tidak apa-apa. Maka buah-buah yang diantarnya, mereka tumpuk dengan rapih. Malah ada yang berani naik di pohon dan meletakan buahnya di depan gubuknya Lo In. Lo In terharu melihat kecintaannya kawanan kera itu. Maka terjalinlah persahabatan diantara kawanan kera itu dengan Lo In. Dalam pertemuan pertama dua orang utan, seperti manusia, mereka berlutut dihadapan Lo In sambil manggut-manggut. Di sampingnya ada anaknya yang juga turut berlutut. Mereka sangat berterima kasih atas pertolongannya Lo In sehingga anaknya selamat dari cengkeraman maut. Lo In ketawa. "Toa-hek, Ji-hek dan adikku," kata Lo In. "Kita orang sendiri, tak usah banyak pakai peradatan. Kalian bangunlah. Selanjutnya kita menjadi sahabat saling tolong !" Seperti yang mengerti omongan Lo In, mereka semua bangkit. Lo In tatkala itu duduk diatas sebuah batu, tengah menikmati mengalirnya air sungai, dalam mana banyak terdapat ikan-ikan yang sedang main-main. Lo In memanggil Toa-hek (si hitam kesatu) dan Ji-hek (si hitam kedua) kepada dua orang utan itu adalah panggilan dari keakraban persahabatan. Toa-hek dan Ji-hek serta anaknya menghampiri Lo In. Toa-hek mengusap-usap tangan, Ji-hek mengusap-usap pipi, sementara Siauw-hek (si kecil) lompat kepangkuan Lo In sambil cowet-cowetan ngomong dalam bahasanya sendiri. Lo In suka dan sayang pada Siauw-hek, maka ia elus-elus kepalanya, sambil katanya, "Siauw-hek, kau lekas gede. Nanti bisa bantu aku mencari Liok Sinshe." Sejak itulah mereka bergaul rapat. Supaya pergaulannya lebih leluasa lagi, maka pelan-pelan Lo In ada pelajari gerak gerik dan suaranya kera-kera diwaktu mereka berloncatan di pohon-pohon sambil cetcowetan. Berkat kecerdasan otaknya yang luar biasa, ia dapat kemajuan banyak dalam bahasa monyet, meskipun tidak seluruhnya. Cukup dengan membuka mulutnya, cowet-cowet, ia dapat memerintahkan kera-kera yang diajak bicara olehnya untuk melaksanakan titahnya dengan baik. Kawanan kera itu semakin menghargai dan menjunjung tinggi Lo In. Boleh dikatakan ia adalah raja monyet, karena tiap titahnya dilaksanakan dengan kontan. Dengan adanya Toa-hek sebagai teman berlatih, lwekangnya Lo In meningkat. Kalau mula-mula satu kali pegang saja Lo In tak dapat berontak dari cekalan Toa-hek, pelan-pelan tangannya makin kuat hingga dari kewalahan Toa-hek menjadi pecundang. Dalam latihan tenaga, jangan bicara ilmu silat, sudah tentu Lo In ada di pihak unggul. Girang hatinya Lo In dengan kemajuan yang diluar perhitungannya itu. Maka pada suatu hari si rajawali ia ajak berlatih. "Tiauw-heng, tenagamu sangat hebat. Aku ingin sepertimu. Coba, mari kita berlatih !" Lo In menantang. "Mari !" si bocah mengundang lagi ketika melihat si rajawali tinggal diam mendekam saja. Ia pasang kuda-kuda untuk menerima serangan si rajawali. Sesudah kedap kedip matanya, si burung raksasa pelangpelan bangkit. Ketika Lo In menyambar dengan tangannya yang kuat sekarang, pikirnya, si rajawali tak kuat menahan serangannya. Tapi si bocah salah hitung. Sebab cuma sekali kebas saja dengan sayap kirinya, Lo In terdampar oleh angin kebasan hingga ia jatuh duduk. "Itu hebat, Tiauw-heng." ia berkata sambil nyengir dan rasakan pantatnya sakit juga bekas jatuh barusan. "Kau pelan-pelan dahulu. Jangan terlalu kuat mengebaskan sayapmu !" Lo In bicara seperti saja terhadap seorang partner, kawan selatihan. Tapi si burung raksasa seperti yang mengerti akan maksud Lo In. Benar saja kebasan yang selanjutnya dilakukan perlahan. Lo In menjadi girang. Sejak itu ia terus ajak si rajawali berlatih. Saban hari tenaganya Lo In meningkat an kegesitannya bertambah. Maka setelah lewat dua bulan, betul-betul luar biasa tenaga dalamnya si bocah. Ia sudah dapat menahan kebasan sayap si burung raksasa yang bagaimana keras juga. Hal mana membuat si rajawali juga merasa heran kelihatannya. Lo In bangga dengan latihannya. Ia kira semua itu dari tenaganya yang meningkat demikian hebatnya. Tapi ia tidak sadar bahwa tenaga dalamnya itu bisa demikian kokoh lantaran ia memakan buah Jit-goat-ko atau 'Buah bulan matahari' yang ia dapatkan diantara buah-buah yang diantar oleh kawan-kawannya. Buah itu bentuknya mungil, tidak besar, hanya sebesar telur angsa. Warnanya separuh merah dan separuh putih. Kapan buah itu dibelah, segera menyiarkan bau harum yang lama sekali memenuhi hidung. Kalau disedot, rasanya nyaman dan segar seluruh badannya. Ini baharu harumnya saja, apalagi buahnya kalau dimakan rasanya lezat sekali. Tenggorokan yang dilewati oleh buah itu, selama lima menit terus menerus akan mengeluarkan hawa wangi yang menyegarkan. Seluruh badan rasanya kaku sejenak tapi kemudian tangkas lagi. Tindakan berubah menjadi enteng, sedang tenaga entah dari mana sudah berlipat tambahnya. Buah itu Lo In dapatkan dua biji. Entah dari mana sang kera dapatkan ini, dua-duanya ia sikat habis setelah ia rasakan bagaimana harum dan enaknya buah itu, dimasukkan ke mulut lewat tenggorokannya. Di permulaan cerita dilukiskan bagaimana girang dan bangga Liok Sinshe menampak kecerdasannya Lo In. Si bocah bukan saja sudah mewariskan semua kepandaian Liok Sinshe yang dicatat dalam otaknya, juga rahasia dari ilmu menotok jalan darah yang terdapat dalam buku 'Tiam-hiat Pit-koat' sudah jadi miliknya Lo In. Anak kecil itu tinggal memerlukan gemblengan tenaga alam yang sempurna, lantas ia akan berubah menjadi satu pendekar yang sukar menemui tandingan. Tapi peryakinan lwekang (tenaga dalam) yang sempurna bukannya gampang. Itu harus meminta bukan satu dua tahun tempo, tapi makan puluhan tahun. Meskipun demikian, Liok Sinshe yakin, dalam bimbingannya dalam waktu tidak sampai sepuluh tahun, ia bisa bikin Lo In menjadi jago tak terkalahkan. -- 5 -- Hanya sayang sekali, Liok Sinshe yang mengasuh Lo In sampai setengah jalan, baru saja ia menggembleng lwekang Lo In dua tahun lamanya, tiba-tiba ada bencana dengan kedatangannya Siauw-san Ngo-ok dan kawan-kawannya. Liok Sinshe jatuh tergelincir ke dalam jurang yang jejaknya tak dapat diketemukan oleh Lo In yang berusaha mencarinya siang malam. Setelah dapat menahan kibasan sayap si rajawali yang demikian dahsyatnya, diam-diam Lo In merasa sangat geregetan. Ia sendiri merasa tenaga dalamnya ada hebat, tidak berani ia balas menyerang pada burung kesayangannya, kuatir nanti si rajawali terluka oleh karenanya. Sekarang, siapa yang ia dapat ajak berlatih setelah si burung raksasa tak berdaya menghadapi ia ? Pada suatu malam, ia keluar dari gubuknya. Tidak lagi ia leloncatan dari satu ke lain dahan pohon untuk turun ke bawah, meniru si burung raksasa. Benar-benar hebat ilmu entengi tubuhnya. Bagaimana ia dapat demikian hebat ginkangnya ? Inilah justru menjadi pertanyaan yang sampai sebegitu jauh belum dapat dijawab olehnya sendiri. Tidak jauh dari situ ada terdapat satu lapangan, cukup besar untuk berlatih silat. Di sekitarnya banyak tumbuh pohon, tinggi dan rendah, tidak rata. Dan ini semua bagi Lo In merupakan lapangan untuk melatih ginkangnya. Di bawah terangnya sang rembulan, Lo In tampak melatih ilmu silatnya ajaran Liok Sinshe dengan tangan kosong mula-mula. Pukulan-pukulannya ternyata luar biasa, semua menerbitkan angin menderu. Kapan ia tujukan pukulannya ke atas, cabangcabang pohon yang jaraknya dua tombak pada bergoyang dan daun-daunnya pada berjatuhan ke tanah. Gerakannya gesit luar biasa hingga yang tak melihat dengan mata kepala sendiri tentu akan tidak percaya Lo In mempunyai tenaga yang sempurna dan ilmu silat yang aneh-aneh melihat usianya baru masuk empat belas tahun. Lo In tidak merasa kalau ia dalam lembah itu diam-diam sudah melewatkan waktunya hampir 2 tahun. Pantas badannya makin tinggi, sedang romannya makin nyata kecakapannya. Sayang pakaiannya mulai compang camping. Maklumlah ia masuk ke dalam lembah itu tak membawa bekal pakaian. Jadi ia tiap hari mengenakan pakaian itu-itu juga. Setelah berlatih dengan tangan kosong, Lo In ganti berlatih dengan pedangnya, juga tidak kurang hebatnya. Kalau tak dapat dikatakan lebih hebat dan seram pula. Kecepatan memainkan pedang yang bobotnya sangat enteng, menimbulkan angin santar. Suaranya 'bat bet bat bet', bisa membuat musuh yang menghadapinya ciut nyalinya. Berhenti berlatih, Lo In duduk termenung di atas rumput. Ia masih penasaran, lalu bangkit dari duduknya menghampiri sebuah pohon siong (cemara) yang ukuran bulat batangnya sebesar betis orang gemuk. Ia pasang kuda-kudanya lalu kerahkan lwekangnya. Tampak seperti menghembus hawa putih dari embun-embunannya. Ia berdiri kira-kira satu tombak dari pohon yagn mau dibuat sasarannya. Setelah merasa cukup kekuatan untuk menyerang, kedua tangannya digeraki berbareng, diulur ke depan. Angin menghembus keluar hebat bukan main. Segera terdengar suara 'krak !'. Disana, pohon siong yang dipakai sasaran, kelihatan tumbang. Tidak dapat menahan serangan Lo In yang dahsyat itu. Lo In berdiri bengong. Ia kagum akan tenaganya sendiri, berbareng ia menanya dirinya sendiri, dari mana mendapat tenaga yang luar biasa itu. "Celaka." katanya dalam hati kecilnya. "Tenagaku begini dahsyat, aku tidak boleh sembarangan pukul orang !" Sebentar lagi ia akan meninggalkan tempat. Lo In kira tidak ada yang lihat perbuatannya. Tidak tahunya, diam-diam sambil mendekam di atas dahan pohon, si rajawali menonton ia tengah berlatih silat dan matanya si burung terbelalak kagum menyaksikan Lo In memukul tumbang pohon siong. Sampai dibawah pohon, dengan gerakan 'walet terbang menembusi awan', ilmu entengi tubuh yang paling ia suka, Lo In sebentar saja sudah ada didalam gubuknya lagi. Bulak balik ia di pembaringannya. Tidak bisa tidur memikirkan akan keanehan tenaganya yang luar biasa. Tiba-tiba berkelebat dalam benaknya tentang 'Jit-goat-ko', buah mujizat yagn ia makan demikian harum dan lezat rasanya. Pikirnya, apakah oleh karena makan itu ? Ia kemudian merasa sangsi lagi sebab setelah ia makan buah itu, ia lantas rasakan perubahan aneh dalam tubuhnya, enteng dan gesit dirasakan tubuhnya, tenaganya pun meningkat entah berapa puluh kali karean si burung raksasa kontan pada hari-hari berikutnya tidak berdaya menghadapi ia berlatih. Dari mana kawanan kera itu dapatkan buah ajaib itu ? Maka pada keesokan harinya, ia lantas kumpulkan kawankawan keranya. Ia majukan pertanyaan, siapa diantaranya yang membawakan buah yang bentuknya macam telur angsa dan warnanya merah putih. Lo In gunakan bahasa monyet menanyakannya hingga puluhan monyet yang hadir dalam pertemuan itu pada cetcowetan ramai. Rupanya satu dengan lainnya pada saling bertanya. Tidak lama, satu kera yang berpotongan kecil tapi gesit, lompat ke depan Lo In, berlutut sambil anggukanggukkan kepala. Lo In girang melihatnya. "Pek-gan, jadi kau yang membawakannya untukku ?" ia menanya seraya mengeluselus kepalanya si kera. Pek-gan, kera itu dipanggil Lo In, artinya 'Mata Putih'. Ia ada satu kera jantan yang bertubuh kecil, tapi kegesitannya melebihi kawan-kawannya. Dua matanya putih seperti mata yang terbalik, tapi ia melihat terang sebagaimana biasa. Malah ada keistimewaannya, dengan sepasang matanya yang aneh itu, pada malam hari gelap ia dapat melihat tegas terang bagaikan siang hari. Ia mempunyai teman yang hampir sama gesit dan cerdasnya dengan dia. Kera ini kepalanya putih dan lebih jangkung sedikit, tapi kurusnya sama. Ia dipanggil 'PekTIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ tauw' oleh Lo In, artinya 'Kepala Putih'. Dua kera ini paling disayang oleh Lo In karena gayanya yang lucu dan sering bikin ketawa, baik dalam percakapan maupun dalam kelakuannya. Hingga bagi Lo In, mereka itu ada dua penghibur yagn menyenangkan. Lain dari itu, dalam soal mengantar buah-buahan mereka tidak sembarangan asal petik saja. Selalu mereka pilih buah-buah yang istimewa untuk dipersembahkanpada junjungannya. Oleh karenanya Lo In sangat menghargakan mereka. Pek-gan senang kepalanya diusap-usap Lo In, matanya melirik bangga pada kawan-kawannya. "Pek-gan, coba kau terangkan dari mana kau dapatnya. Apa kau masih bisa dapatkan pula beberapa buah untukku ?" demikian kata Lo In dalam bahasa kera. Pek-gan geleng-geleng kepala. Mulutnya kemudian cetcowetan sambil tangannya menunjuk-nunjuk. Rupanya ia sedang cerita menuturkan pengalamannya. Lo In mengerti cerita Pek-gan. Kiranya buah mujizat itu si kera dapatkan pada satu tebing yang curam disebelah barat mereka sedang berkumpul. Pohonnya hanya mengeluarkan dua buah. Malah setelah dipetik buahnya, pohon itu lantas layu, daun-daunnya pada kuncup. "Tidak apa." kata Lo In. "Lain kali kau boleh bawakan lagi buah-buah lain yang sama baiknya. Nah, kau boleh kumpul lagi dengan teman-temanmu !" Lo In sambil tepuk-tepuk pundaknya si kera. Berbareng dengan ini, tiba-tiba Lo In dan kawanan kera menjadi kaget mendengar suara monyet berteriak-teriak minta tolong Lo In dan yang lain-lain pasang kuping untuk menegasi dari mana datangnya suara minta tolong itu. "Ah, itu suaranya Ji-hek !" kata Lo In sambil lompat dari duduknya. Terus ia gunakan ilmu entengi tubuhnya, memburu ke selatan. Semua kera paling kalut, masing-masing gunakan kecepatan lari menyusul Lo In. Sedang si rajawali juga tidak ketinggalan, pentang sayapnya dan terbang mendahului Lo In. Lo In tidak minta 'kapal terbangnya' stop dahulu untuk membawa dia, sebab ia tahu Ji-hek lebih perlu lekas ditolong, jikalau ia mendengar teriakannya yang menyayatkan hati. Ketika Lo In sampai disatu lapangan terbuka, ia lihat rajawalinya sedang bertempur dengan manusia, entah siapa dia. Tidak jauh dari mereka bertempur, tampak menggeletak Toa-hek, tengah dipeluki oleh Ji-hek sambil berteriak-teriak menangis minta pertolongan. Cepat Lo In menghampiri Ji-hek. Melihat Lo In datang, Ji-hek kegirangan. Mulutnya ramai menceritakan apa yang sudah terjadi. Kiranya Toa-hek sudah bertempur dengan orang yang sekarang lagi bertempur dengansi rajawali. Dalam keadaan tidak waspada, Toa-hek sudah dirubuhkan dengan senjata beracun. Lo In tidak perhatikan Ji-hek nyerocos cetcowetan. Ia terus saja memeriksa lukanya Toa-hek. Keadaannya parah juga, matanya meram saja ! Lo In girang sebab Toa-hek tidak terancam bahaya kematian karena lukanya. Cepat ia bersihkan darah di pundaknya Toa-hek. Dengan tangan bajunya lalu keluarkan obatnya, dioleskannya, sedang pil mustajabnya dimasukkan ke dalam mulutnya Toa-hek. Mustajab benar obatnya Lo In, warisan Liok Sinshe. Karena tidak lama setelah obat berjalan dalam perut dan pundaknya, Toa-hek sudah dapat membuka matanya dan merintih pelanpelan. Melihat Toa-hek sudah tertolong, maka Lo In bangun berdiri menyaksikan pertempuran si garuda dengan lawannya. Ia perhatikan musuhnya si garuda ternyata adalah seorang tua dengan hidung bengkok seperti patuk burung kakaktua, mulutnya lebar, jidatnya jantuk. Entah ada tanda apanya lagi di mukanya sebab hanya itu saja yang dapat dilihat dari kejauhan oleh Lo In. Ternyata orang tua itu ada punya lwekang hebat juga. Sebab samberan si rajawali terus dapat ditolak mundur. Tampak si rajawali napsu benar hendak membinasakan musuhnya. Angin pukulan si orang tua, seolah-olah tidak dihiraukan. Ia terus menyambar musuhnya sambil perdengarkan pekikan yang gusar sekali. Entah ada permusuhan apa si rajawali begitu marahnya. Lo In lihat, orang tua itu mulai keteter. Ia mulai gunakan senjata rahasianya. Ser ! Ser ! Lo In dengar suaranya senjata rahasia si orang tua menyambar pada si rajawali. Tapi sampai sebegitu jauh dengan kebasan sayapnya, saban kali senjata rahasianya si orang tua dapat dijatuhkan. Lo In kuatir akan keselamatan burung kesayangannya. Maka ia lalu bersuit, si rajawali masih bernapsu bertempur. Suitan tanda memanggil Lo In seperti juga ia tidak mendengarnya. Tapi, ketika suitan yang kedua nadanya agak keras, membuat si rajawali tak dapat membandal panggilan tuannya. Ia putar tubuh dan terbang menghampiri Lo In. Sementara itu, si orang tua sudah memburu datang. Kiranya dia itu seorang tua dari usia kira-kira 50 tahun. Selain tanda-tanda yag Lo In dapat lihat terlebih dahulu, ia saksikan lagi, orang tuaitu mulutnya dan giginya omping. Entah tinggal berapa giginya, yang terang di sebelah depannya, atas bawah sudah sungsang sumbel. Segera Lo In dan si orang tua sudah berhadap-hadapan, kira satu tombak jauhnya. Sambil menunjuk dengan jarinya, si orang tua berkata pada Lo In, "Em ! Jadi kau ini tuannya si burung celaka itu ?" Lo In merasa tidak senang burungnya dikatai 'si burung celaka'. "Lotiang (orang tua), kau sudah celakai Toa-hek, lantas kau mau celakai juga aku punya Tiauw-heng, apa maksudmu ?" Lo In balik menanya tanpa menjawab pertanyaan orang yang diajukan lebih dahulu. "Aku tidak peduli kau punya Toa-hek, Tiauw-heng, Sam-heng, apa hek apa heng kek ! Asal aku mau bunuh, tidak ada orang yang berani rintangi !" si orang tua nyerocos, kasar betul. Suaranya nyaring macam gembreng pecah. Lo In mendongkol hatinya. Tapi ia tidak berani kurang ajar. Ia tetap berlaku sopan terhadap orang asing itu. Selama hampir dua tahun dalam lembah, hari itu, Lo In untuk yang pertama kalinya ketemu lagi dengan manusia. Di samping ia suka berlaku jail, mengocok orang, juga perangainya halus dan ingin bersahabat sama siapa juga. "Jadi lotiang masih marah sekarang ?" tanyanya. Matanya si orang asing mendelik. "Aku mau bunuh orang utan dan burung busukmu. Kau mau apa ?" bentaknya. Lo In kedip-kedipkan matanya, seperti yang ketakutan. "Lotiang, kau sebenarnya siapa ? Apa namamu ?" tanya Lo In tenang. "Hahaha." si orang asing ketawa, seraya tepuk-tepuk dadanya. "Tidak perlu kau tahu siapa aku sebab kau masih bocah. Tapi tidak apa aku sebutkan supaya mati merem. Hahaha, aku ini Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng dari Coa-kok !" Lo In tidak kaget si orang asing sebutkan namanya, sekaligus dengan gelarnya 'Toan Bilo-mo' atau 'Si Iblis Alis Buntung'. Yang membikin ia heran, Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng macam orang edan. Apa dia setengah atau memang betul-betul sinting ? Lo In tanya dirinya sendiri. Kalau orang baik-baik, tidak semestinya ia menyebutkan namanya yang seram sambil tepuk-tepuk dada dihadapan seorang anak kecil seperti Lo In. Sebab Lo In belum tahu apaapa dengan dunia Kang-ouw. Yang lebih aneh pula, Siauw Cu Leng pakai mengatakan 'supaya kau mati merem' segala, apakah maksudnya ? Apa ia mau bunuh juga Lo In ? Ini pun menjadi pertanyaan dalam hatinya si bocah. Lo In memandang mukanya si iblis, benar-benar saja kedua alisnya pendek (kuntugn), cuma setengah dari alisnya orang biasa. Setelah menyebutkan nama dan gelarnya, Siauw Cu Leng jalan mau menghampiri Toa-hek sehingga Toa-hek mengerang gusar sedang Ji-hek tampak siap sedia buat menjaga kalau suaminya diserang. "Hei, kau mau apa ?" tanya Lo In. "Ah, kau anak bau, tau apa !" sahut Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng seraya mengebaskan lengan bajunya. Dari mana mengembus angin keras, menyerang Lo In. Si Iblis Alis Buntung berdiri heran melihat Lo In tidak apa-apa. Si bocah tinggal tetap berdiri ditempatnya. Biasanya, kalau orang akan jungkir balik, apalagi ini anak kecil yang dikebas, kenapa dia diam saja ? Demikian tanya si iblis dalam hatinya. Apa kurang kencang kebasannya ? Maka ia lalu mengebas sekali lagi dengan lwekan ditambah menjadi 7 bagian, tapi...... Lo In masih berdiri ditempatnya sambil bersenyum geli. Rupanya ia masih merasa lucu atas kelakuan si iblis. Memang, kalau anak kecil biasanya yang dikebut pasti akan jungkir balik dan mungkin jatuh pingsan. Tapi kali ini Lo In yang dikebas, tidak bisa mempan sebab tenaga dalam Lo In ada diatasnya si Iblis Alis Buntung. "Silahkan, kau mau bunuh Toa-hek ?" tanya Lo In ketika melihat si iblis berdiri tertegun. Sebagai tokoh iblis yang ditakuti sepak terjangnya, tentu saja Siauw Cu Leng tidak mengira dapat dijatuhkan demikian mudah oleh satu anak kecil yang masih ingusan, kata hati kecilnya. Ia lalu lompat menerjang, menghajar Lo In dengan kedua tangannya yang menghembuskan angin besar. Debu dan tanah berterbangan saking hebatnya dilanggar angin serangan Siauw Cu Leng. Tapi Lo In sudah menghilang dari depannya. Bukan main kagetnya, cepat ia putar tubuhnya. Dilihat Lo In sudah berada dibelakangnya sambil anteng-anteng saja menggendong tangan. "Tanah tidak berdosa kau hajar begitu bengis, lotiang !" Lo In kata dengan jenaka. Malu bukan main si Iblis Alis Buntung diejek si bocah, naik pitam dia. "Bagus, kau jaga pukulan mautku !" teriaknya nyaring. Pukulan yang dikerahkan dengan tenaga maksimum kalau kena tubuh Lo In bisa hancur lebur berkeping-keping, tapi lagiTIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ lagi pukulan si iblis cuma bisa menghajar tanah sebab Lo In sudah bisa menghilang lagi kemana tahu. "Anak busuk, kau berani permainkan aku, Toan Bilo-mo ?" bentaknya sambil celigukan, matanya mencari bayangan Lo In. SI iblis benar heran. Entah bagaimana Lo In bergerak sebab tahu-tahu ia hanya menghajar tanah lagi. Ia marah-marah hanya untuk menyimpan mukanya dari perasaan malu sebab sebenarnya telah takut bukan main dalam menghadapi si bocah punya kegesitan yang seperti setan saja bisa menghilang. Pikirnya, kalau tidak siang-siang angkat kaki, ia bisa susah. Ia tahu bahwa saat itu Lo in berada di samping kirinya. Ia bukan menyerang lagi, hanya ia lompat ke depan dan angkat kaki terbirit-birit lari. Lo In tidak mau tanam bibit permusuhan, makanya ia tadi hanya lawan si iblis dengan kelincahannya saja mengelakkan serangan-serangan. Ketika si iblis melarikan diri, ia hanya ketawa, tidak mengejar. Tapi tidak demikian dengan si rajawali, begitu meliaht Siauw Cu Leng lompat lari, ia juga gerakan sayapnya menyerang dari atas. Cakarnya yang bagaikan baja, nyaris mencomot hilang kepalanya si iblis, kalau Siauw Cu Leng tidak menggunakan tipu 'Keledai malas bergulingan diatas rumput', akan kemudian disusul dengan gerakan 'Lo hie ta teng' atau 'Ikan gabus meletik', untuk ia terus melarikan diri. Lo In tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan pertunjukan itu. ia tidak ijinkan si rajawali mengejar terus lawannya karena ia tahu orang itu sangat licik hingga mungkin burung kesayangannya nanti bisa dapat celaka oleh senjata rahasianya yang berbisa. Oleh karenanya ia lalu memperdengarkan suitannya memanggil si rajawali untuk terbang pulang. Tampak burung kesayangannya unjuk roman bengis dan penasaran. "Tiauw-heng, kau kenapa begitu marah pada dia ?" tanya Lo In seraya elus-elus sayapnya, sebagaimana biasa unjuk kesayangannya. Si rajawali tidak geleng atau anggukkan kepalanya, dia diam saja. Lo In mengerti burung kesayangannya sedang marah. Seketika itu ia ingat akan kejadian si burung raksasa menderita luka, ia terkena anak panah beracun. Maka cepat ia pungut anak panah yang barusan menancap dipundaknya Toa-hek. Ketika ia perhatikan dengan seksama, lantas ia mengerti bahwa yang memanah si rajawali adalah si Iblis Alis Buntung. Pantesan burung kesayangannya begitu marah pada Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng. "Tidak apa, lain kali kita ketemu, kita akan kasih hajaran padanya." menghibur Lo In pada burung garudanya. Si rajawali kali ini, mendengar Lo In mengucapkan kata-katanya telah memanggutkan kepalanya. Kenapa Toa-hek bertempur dengan Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng ? Itu adalah kebetulan kesompokan di jalanan. Ketika Siauw Cu Leng sedang jalan lewati pohon, tiba-tiba ada bayangan lompat dari atas. Ia kaget, cepat balik tubuhnya dan ia lantas berhadapan denga Toa hek sebab bayangan tadi memang Toa-hek yang barusan turun dari pohon. Sebenarnya, kalau Siauw Cu Leng tidak timbul niatan ingin menaluki si orang utan, ia teruskan jalannya, tentu tidak akan ada kejadian apa-apa, sebab Toa-hek juga tidak perdulikannya. Apa mau, Siauw Cu Leng ketarik dengan tubuhnya Toa-hek yang tegap dan kokoh kuat. Pikirnya, kalau ia bisa taluki orang utan ini dan dijadikan pembantunya, ada baiknya juga untuk disuruh-suruh. Segera ia datang mendekati, ia mulai mengganggu, mengundang kemarahan Toa-hek. Ia berhasil sebab Toa-hek lantas kedengaran menggerang gusar. Dengan gerakan 'Hek houw tam jiauw' atau 'Macan hitam mencengkeram', ia lompat menerjang. Tangan kanannya menyambar lengan kiri Toa-hek, sedang tangan kiri, dengan dua jarinya meluncur mau menotok 'hongbun-hiat', jalan darah di pundak kanan si orang utan. Inilah gerakan yang dilakukan dengan cepat. Pikirnya, dalam segebrakan itu ia akan bikin lawan tidak berdaya. Tapi perhitungan Siauw Cu Leng ternyata keliru sebab Toa-hek segera elakkan lengannya yang hendak dicekal sedang tangan kiri si iblis yang hendak menotok pundak sudah kena ditangkis keras sekali hingga si iblis lompat mundur saking kaget dan kesakitan. "Apa mungkin monyet ini bisa ilmu silat ?" ia menanya dirinya sendiri, sambil matanya mengawasi Toa-hek. Tapi si orang utan yang sudah marah, tak mengasih kesempatan untuk Siauw Cu Leng banyak menanya-nanya dalam hatinya karena segera ia menyerang dengan tangannya yang gede berbulu dan kepaksa si iblis harus keluarkan kegesitannya untuk menyelamatkan diri. Ia rada ngeri untuk kasih tangannya bentrok lagi dengan tangan Toa-hek sebab barusan ketika ditangkis, ia rasakan tangannya seperti ditangkis sepotong besi sampai ia rasakan kesemputan tangannya. Sebaliknya, ia mau menggunakan lwekang, menggempur rubuh Toa-hek, hatinya tidka mengirakan karena ia ingin taluki si orang utan, bukannya hendak membunuhnya. Jadi, bagaimana ia harus berbuat ? Dalam berkelit sana sini, menghindarkan sambarang tangan Toa-hek, si iblis putar otaknya mencari jalan merobohkan Toa-hek. Ia dapat jalan rupanya sebab sebentar kemudian ia lompat keluar dari pertempuran, lari dikejar oleh Toa-hek. Siauw Cu Leng menyelinap dibalik sebuah pohon besar hampir dua pelukan, disini dia ajak Toa-hek main petak, berputar ia disini sampai kemudian ia berada dibelakang si orang utan. Diam-diam ia keluarkan panah beraacunnya, terdengar Toa-hek menjerit roboh karena pundaknya kena dilanggar senjata rahasia si iblis. Siauw Cu Leng kegirangan. Tapi baru saja dengan terbahakbahak ia ketawa seraya mendekati Toa-hek, dari atas pohon menyambar satu bayangan. Untung ia awas. Cepat berkelit selamatkan diri dari serangan. "Bangsat pembokong !" bentaknya sambil memandang orang yang membokong tadi. Ia terkejut juga sebab yang menyerang dirinya bukanlah manusia, tapi orang utan lagi, orang utan betina. Memang Jihek yang datang hendak menolong suaminya yang terancam bahaya. Segera mukanya si iblis berubah. Napsu membunuhnya tampak dari romannya yang beringas. Ia kerahkan lwekangnya, maksudnya hendak menghajar Ji-hek dengan sekali pukul saja. Tapi pada saat Ji-hek terancam bahaya, tiba-tiba terdengar suara si rajawali mendatangi, bagaikan kapal terbang yang hendak mendarat saja, si burung raksasa menyambar Siauw Cu Leng. Pohon dimana si iblis berdiri ada merintangi si rajawali menyambar dengan leluasa. Maka ia serempet Siauw Cu Leng dengan sayapnya hingga si iblis terpental bergulingan, sebelum ia berdaya untuk menyelamatkan dirinya. Ia bergulingan menjauhi pohon kemudian ia lompat bangun, lebih jauh lagi jaraknya dari pohon yang membuat si rajawali tidak leluasa. Maka dengan enak saja Kim-tiauw permainkan Siauw Cu Leng dengan kebasan sayap dan cakaran kedua kakinya yang tajam-tajam. Tapi Siauw Cu Leng ada satu tokoh iblis yang sudah terkenal dalam kalangan Kang-ouw. Maka tidak mudah si rajawali mencomot kepalanya yang saban kali hampir tercakar sebab ketika si iblis dapat memperbaiki posisinya, segera juga serangan-serangan si rajawali di balas dengan serangan tangan yang menghembuskan angin santar. Itulah Pek-kong-ciang, pukulan udara kosong yang digunakan Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng. Si rajawali dengan demikian terus ketahuan tiap menyambarnya. Pertarungan dilakukan hebat sekali sebab si rajawali yang kenali musuhnya yang telah melukai ia, kelihatannya sangat bernapsu sekali hendak mencakar dan mematuk binasa musuhnya itu. Siauw Cu Leng menggempur dengan hati-hati, ia pun sudah siapkan panah beracunnya untuk merobohkan si rajawali. Justru ia sudah siap, tiba-tiba terdengar suitannya Lo In. Suitan pertama si rajawali belaga pilon, tapi suitan kedua yang nadanya agak keras, membuat si rajawali tak dapat meremehkan panggilan tuannya dan ia putar tubuh melayang balik menyampari Lo In. Siauw Cu Leng menyesal sekali ia terlambat melepas panah beracunnya karena gara-gara suitan Lo In. Oleh karena itu juga, maka Siauw Cu Leng sudah mendatangi Lo In dan marah-marah di depan si bocah seperti orang gila. Tapi kesudahannya ia kena dipecundangi si jago kecil dengan hanya menggunakan kegesitan entengi tubuhnya saja. Toa-hek sangat berterima kasih atas pertolongan Lo In. Tiba-tiba ia jatuhkan diri, menyembah di depan si jago cilik. "Kau terlalu menghargai aku, Toa-hek. Bangunlah !" berkata Lo In sambil tepuk-tepuk pundaknya Toa-hek. Lo In berjaln pulang dengan diiringi oleh tentara keranya. Dalam perjalanan, Lo In berpikir mungin dalam lembah itu bukan ia sendiri manusia yang menjadi penghuninya. Munculnya si Iblis Alis Buntung sudah tentu ada kawankawannya pula yang turut dengannya. Berpendapat bahwa disekitarnya lembah mesti ada orang-orang lainnya pula yang tinggal, maka dalam hatinya jago cilik kita ingin ia ketemukan mereka itu untuk menanyakan keterangan kalau-kalau diantaranya ada yang mengetahui tentang jejaknya Liok Sinshe. Meskipun hampir dua tahun sudah, Lo In menjadi penghuni lembah, belum pernah ia melupakan Liok Sinshe. Tiap hari ia masih terus mencari jejaknya Liok Sinshe. Malah tentara keranya dikerahkan untuk membantu mencarinya. Ia sangat mencintai Liok Sinshe yang ia anggap sebagai pengganti orang tuanya, yang ia tidak tahu siapa dan dimana adanya sekarang. Tiga hari sejak kejadian diatas, Lo In dengan sendirian coba melakukan pemeriksaan disekitarnya tempat dengan pengharapan ia akan bertemu dengan orang yang ia dapat ajak bicara. Ia menerobos sana menerobos sini, diantara pepohonan yang lebat sampai akhirnya ia mendekati satu rimba bambu. Tidak jauh dari sini, ia lihat ada sebuah sungai kecil. Ia datang mendekati, duduk ditepinya untuk melepaskan lelah. Belum lama ia duduk, terbawa oleh silirannya angin, sayupsayup ia seperti mendengar ada orang yang merintih. Ia kaget kapan ia tegasi, rintihan itu keluar dari jalanan masuk ke rimba bambu tadi. Siapakah gerangan yang merintih itu ? Dalam hatinya, ia girang dapat menemukan manusia disitu, tetapi juga kuatir bahwa ia akan terlambat dapat menolong orang yang dalam kesulitan itu sebab dari suara rintihannya, orang itu seperti mendapat luka berat. Dengan beberapa kali lompatan saja, Lo In sudha masuk ke dalam rimba bambu. Di pinggiran jalan ia nampak ada satu nenek yang sedang rebah merintih. Ia datang mendekati, ia pegang lengannya si nenek dari belakang sebab si nenek sedang rebah miring. "Kau kenapa, Popo ?" tanya Lo In. Lo In menduga si nenek bisa silat sebab dari dandanannya ada lain dari kebanyakan nenek-nenek. Juga ia lihat, tidak jauh dari si nenek, ada kedapatan sepotong besi, panjang tiga kaki. Rupanya potongan besi itu yang merupakan toya pendek, ada gegumamnya si nenek yang roboh merintih. Merasa lengannya dipegang orang, si nenek berbalik dan memandang Lo In. "Oh, anak." sahutnya. "Aku terluka berat oleh itu anjing keparat !" Paras mukanya si nenek kelihatan seperti yang marah dan penasaran. "Siapa yang lukai Popo ?" tanya Lo In. "Ah, kalau diceritakan, gemas sekali aku pada si keparat ! Aku hanya kalah sejurus saja, apa mau betisku kena ditendang oleh tendangan geledeknya hingga aku rubuh tidak ampun lagi. Untung dia tidak barengi mengemplang kepalaku dengan toyaku yang dia rampas. Kalau sampai begitu, celaka aku si nenek sekarang sudah mampus !" demikian si nenek menutur. Ia tidak menjawab langsung pertanyaan Lo In. Si nenek sambil bercerita, sembari bangkit dari rebahnya dan duduk. Lalu gulung kaki celananya yang kanan. "Nih, kau lihat. Bukankah orang itu amat kejam ?" si nenek sambung bicaranya sambil menunjuk pada lukanya. Lo In lihat, benar saja betisnya matang biru akibat tendangan lawannya. "Siapa yagn lukai Popo ?" Lo In ulangi pertanyaannya tadi. Si nenek mengawasi Lo In sebentar, lalu berkata, "Ah, kau masih kecil. Barangkali kau belum kenal dia. Dia itu ada satu iblis kejam. Namanya Siauw Cu Leng dengan gelarnya si 'Iblis Alis Buntung'. Anak, sebaiknya kau tolong aku dari pada kau tanyakan orang yang mencelakai aku sebab toh kau tidak bisa berbuat apa-apa untuk membalaskan sakit hatiku si nenek !" Lo In hanya mendehem. Lalu ia segera mau periksa lukanya si nenek, tapi ia urungkan ketika si nenek berkata lagi, "Eh, tunggu dulu. Kau tentu mau tahu juga aku berhantam dengan si iblis, bukan ?" Lo In hanya manggutkan kepala. "Lantarannya ia menuduh aku sudah menemukan buah 'Jitgoat- ko' dan aku sudah memakannya sendiri." kata pula si nenek. "Apa buah 'Jit-goat-ko' itu ?" tanya Lo In. "Jit-goat-ko," sahut si nenek. "Bentuknya mungil sebesar telur angsa, warnanya merah putih. Siapa makan ini, tubuhnya akan kuat luar biasa. Kalau yang pandai silat, lwekangnya meningkat. Makan satu seperti tambahan tenaga dalam dari latihan 5 tahun. Makan dua sebagai berlatih 10 tahun. Siapa yang dapat makan buah ini, rejekinya besar. Mana aku si nenek punya itu rejeki dapatkan buah yang demikian, tapi difitnah oleh si jahat itu sampai aku rasakan semaput betisku ditendang olehnya. Baik, nanti ada satu waktu, aku akan bikin perhitungan padanya. Ia tak nanti lolos dari pembalasanku !" Sementara si nenek nyerocos cerita, Lo In diam-diam merasa terkejut dalam hatinya. Ia tidak sangka buah 'Jit-goat-ko' ada demikian besar khasiatnya. Pantas dia makan dua buah itu, tenaganya tambah entah berapa puluh lipat hingga ia bikin tidak berkutik Toa-hek dan si rajawali, dua teman dalam latihannya. Kalau begitu, pikirnya, tenaganya meningkat seperti juga ia berlatih sepuluh tahun sudah lwekangnya. Parasnya si bocah yang terkejut, tidak lepas dari matanya si nenek yang berkilat sebentaran, lalu berkata pada Lo In, "Anak, coba kau tolong periksa lukaku. Aku rasakan sangat sakit !" Lo In menurut, ia tekuk lututnya dan memeriksa luka si nenek. Tiba-tiba terdengar suara 'buk !' disusul oleh jeritan 'aiyoo !' dari Lo In berbareng badan si bocah lantas rebah terkulai. Kiranya Lo In kena dibokong si nenek. Ia kena perangkap sebab si nenek sebenarnya bukan terluka. Betisnya yang matang biru hanya buatannya sendiri dengan mengerahkan tenaga dalamnya, disalurkan ke betisnya hingga timbullah itu tanda seperti yang benar kena ditendang orang. Lo In masih kecil, belum kenal kecurangan manusia. Ia masih belum berpengalaman dalam rimba persilatan yang banyak akal-akal busuk yang dilakukan orang-orang jahat. Ia percaya saja akan obrolannya si nenek. Ketika ia tekuk lutut, nunduk untuk periksa luka yang dikatakan si nenek jahat, tiba-tiba dengan kejam si nenek membokong Lo In dengan tenaga sepenuhnya. Tentu saja Lo In yang tidak berjaga-jaga, sekali digebuk ia jatuh setelah mengeluarkan jeritan 'Aiyoo !' yang mengenaskan. "Hehehe !" si nenek tertawa terkekeh-kekeh sambil bangkit dari duduknya dan mengawasi korbannya yang rebah tengkurup, tidak sadarkan diri. "Bagus !" tiba-tiba terdengar suara orang dari gerombolan pohon bambu, berbareng orangnya muncul. Siapa, ternyata bukan lain orang adalah Toan Bilo-mo Siauw Cu Leng sambil ketawa-ketawa datang menghampiri. "Anak bau !" katanya sambil menendang tubuhnya Lo In hingga terpental bergulingan setombak jauhnya. "Rasakan gempuran tangan ciciku !" si iblis menyerang gemas seraya memburu dan hendak menendang lagi. "Tahan !" kedengaran si nenek menyetop niatnya Siauw Cu Leng yang gemas sekali pada Lo In yang pernah bikin ia lari terbirit-birit. Siauw Cu Leng tidak jadi menendang. Ia jadi uring-uringan, ia berkata, "Anak bau ini, buat apa ditinggal hidup ? Mampusi saja, habis perkara !" Si nenek goyang-goyang tangannya sambil jalan menghampiri. Dekat tubuh Lo In, ia jongkok mengawasi parasnya si bocah yang cakap tengah telentang dengan tidak ingat orang, mungkin napasnya sudah berhenti. Pelan-pelan tangannya si nenek ditempelkan pada dadanya Lo In. Ia dapatkan Lo In masih bernapas meskipun sangat perlahan. Kembali ia mengawasi pada paras Lo In lalu menghela napas, "Musti anak ini turunannya dia........." ia berkata perlahan, tapi cukup nyata bagi telinganya Siauw Cu Leng. Si Iblis Alis Buntung juga turut jongkok. Sambil turut mengawasi si bocah yang seolah-olah sudah tidak ada napasnya, Siauw Cu Leng menanya, "Siapa yang kau maksudkan, cici ?" "Dia..........dia........" sahtu si nenek bengong. "Oh, aku tahu. Dia si orang she........." Siauw Cu Leng kata lagi. Ia tak dapat meneruskan kata-katanya karena si nenek tiba-tiba menaruh telunjuk di mulut, bersuara "sstt !" Siauw Cu Leng celingukan sebab tanda dari kakaknya itu menandakan ada orang yang mengintai. Tapi ia tidak lihat apa-apa kecuali dua monyet kecil yang sedang lelompatan di pohon bambu. Yang satu kelihatan kepalanya putih sedang yang pendekan matanya putih. Dua monyet itu kelihatan lucu sekali. Setelah lama memperhatikan, mereka itu tidak mendengar gerakan apa-apa lagi, maka Siauw Cu Leng sambil ketawa berkata, "Ah, cici. Hanya dua binatang itu saja yang mengagetkan kita." sambil ia menunjuk pada dua kera yang seenaknya saja bermain lompat-lompatan saling kejar, malah terkadang sampai mendekati mereka dengan aksinya masingmasing yang lucu. Siapa si nenek itu ? Ia bernama entah siapa, tapi ia terkenal dalam kalangan kang-ouw dengan nama Ang Hoa Lobo atau si nenek Kembang Merah. Rupanya nama ini diambil dari kebiasaannya, pada rambutnya suka dicantum kembang yang warnanya merah. Kepandaiannya jauh diatas Siauw Cu Leng. Namanya saja si iblis Siauw cu Leng memanggil cici (kakak). Tapi sebenarnya mereka itu sudah menjadi laki bini diluar kawin. Ang Hoa Lobo 'jago racun', disamping kepandaian silatnya tinggi hingga Siauw Cu Leng yang biasa tidak takuti siapa juga, ia tunduk terhadap bininya diluar kawin itu. Ia pun juga mempunyai panah beracun buatang Ang Hoa Lobo. Demikian, tatkala mengetahui bahwa kecurigaannya tidak beralasan, makan Ang Hoa Lobo suruh Siauw Cu Leng pondong Lo In untuk dibawa pergi dari tempat itu. Siauw Cu Leng benci pada Lo In tapi ia tak dapat menolak perintah sang ratu. Terpaksa dengan uring-uringan ia angkat si bocah, terus dipanggul di pundaknya. Ang Hoa dan Kim Popo, jadi sudah dua-dua nenek yang muncul dalam cerita. Sekarang, mari kita melihat perjalanan Kim Popo dan asal usul dua nenek itu. Kim Popo setelah dijemur selama dua jam dibawah terik panasnya matahari, barulah dengan sendirinya totokan si thauto bebas. Di samping sangat gusar, ia rasakan tenggorokannya sangat kering. Cepat ia bangkit lalu menghampiri tongkatnya dan dipungutnya. Ia meneduh sebentar di bawah pohon kemudian ia mencari air, kalau-kalau didekat situ ada kali kecil yang jernih airnya. Keinginannya Kim Popo kesampaian, sebab tidak lama ia jalan, ia menemui sebuah kali kecil yang airnya jernih bagaikan kaca, keluar dari mata-mata air dari pegunungan. Kegirangan dia sampai di tepi kali, ia rebahkan diri tengkurap, tangan kanannya dipakai menyendok air. Dengan napsu, ia minum sekenyangnya. Ia cuci muka dan cacapi kepalanya yang barusan kena dijemur panasnya matahari. Ia rasakan adem sekali ketika merasakan air kali itu meresap di kepalanya. "Hahaha ! Dia ada disini !" tiba-tiba Kim Popo dibikin kaget oleh suara laki-laki dari belakangnya. Cepat ia bergulingan untuk menyelamatkan diri dari serangan gelap kemudian dengan gerakan 'Ikan gabus meletik', di lain saat ia sudah tancap kakinya berdiri sambil pegangn kencang tongkatnya. Ia menduga si thauto yagn datang lagi. Maka ia sudah siap untuk menempur musuhnya dengan mati-matian. Tapi ketika ia mengawasi orang yang tertawa tadi, amarahnya dengan seketika lenyap dan malah ia ikut ketawa dan berkata : "Koko, kau bikin kaget orang saja. Mengapa sih suka jail begitu ?" Tidak biasanya Kim Popo keluarkan suara dengan nada begitu empuk dan halus. Kiranya orang itu ada 'kenalan lama' dari Kim Popo. "Adik Kim, kau dari mana ?" tanya orang laki-laki itu. "Kau sendiri, datang dari mana dan mau kemana ?" balik tanya Kim Popo sambil melirikkan matanya. "Ah, adik Kim. Kau belum jawab pertanyaanku." kata lagi orang laki-laki itu sambil jalan menghampiri dekat pada si nenek. "Aku..... aku, eh......... kau........." sahut Kim Popo, agak gugup suaranya. Laki-laki itu telah mencekal tangannya Kim Popo yang kurus, dengan tangan kanan ia mencekal, sedang tangan kirinya memegang lengan kanan si nenek sehingga si nenek coba berontak dari cekalan dan pegangan si lelaki sambil mengucapkan kata-kata yang gugup tadi. Berontaknya Kim Popo hanya 'aksi' atau pura-pura saja. Sebab iahanya sebentaran saja beraksi demikian. Selanjutnya ia jinak, antapkan perbuatannya si laki-laki tadi sambil tundukkan kepala seperti anak dara yang malu-malu kucing. Orang akan merasa geli dan lucu, melihat adegan yang 'luar biasa' itu. Kim Popo yang terkenal dengan adatnya yang angin-anginan dan kepala batu, eh, bolehnya begini jinak pada lelaki yang dihadapinya malah mengunjuk aksi manja aleman, bagaikan anak perawan usia sweet-seventeen. Siapakah lelaki itu ? Siapa Kim Popo itu ? Marilah kita menuturkan 'kisah roman' dari mereka yang cukup menarik. Di sebelah barat kota Hoa-im dalam provinsi Siamcay, ada tinggal bekas piauwsu (pengawal antaran barang) bernama Kong Tek Liang. Ia terkenal dengan ilmu tongkatnya yang dinamai 'Thian-lo Sin-kuay-hoat' atau 'Ilmu silat tongkat sakti jatuh dari langit', terdiri dari 6 jalan dan masing-masing jalan ada mempunyai 8 jurus, sama sekali jadi 48 jurus. Dengan kepandaiannya ini, ia banyak taluki penjegal-penjegal atau perampok-perampok besar, dalam perjalanan mengawal barang-barang antaran. Ketika ia masih jadi piauwsu, sehingga namanya terkenal dengan julukan Sin-kuay piauwsu atau Piauwsu Tongkat Sakti. Setelah berusia tua, ia dengan sendirinya mengundurkan diri dan menetap di sebelah barat kota Hoa-im. Kong Tek Liang mempunyai anak perempuan bernama Kong Kim Nio, yang sangat dimanjakan karena ia hanya puteri satusatunya. Di samping Kong Kim Nio, si Piauwsu Tongkat Sakti mempunyai dua murid bernama Siauw Cu Leng dan The Sam. Kim Nio ada berparas cantik menarik hingga Siauw Cu Leng dan The Sam tergila-gila oleh kejelitaannya Kim Nio. Siauw Cu Leng parasnya cakap tapi sifatnya licik dan agak ceriwis. Sebaliknya The Sam, meskipun kalah cakap dari Siauw Cu Leng, ia lebih pandai dalam merayu si dara. Hatinya Kim Nio lebih mendoyong pada The Sam, pergaulan mereka pun menjadi lebih erat oleh karenanya. Pada suatu hari, Kim Nio duduk berduaan dengan The Sam beromong-omong dalam sebuah taman bunga yang terdapat dipekaranagn rumah Kong Tek Liang yang lebar luas. Mereka begitu asyiknya ngobrol sampai tak disadari dua tangan mereka saling pegang. "Adik Kim," terdengar suara The Sam berkata dengan suara perlahan. "Mungkinkah kita bisa jadi kawan seumur hidup ?" "Kenapa tak mungkin, koko ?" sahut Kim Nio dengan mukanya bersemu merah sebab seketika itu ia merasakan pegangan tangannya The Sam makin erat dan duduknya menggeser lebih dekat lagi. "Aku kuatir kau tidak menjadi milikku, adik Kim." kata The Sam, suaranyaagak gemetar. "Kenapa kau memikir begitu, koko ?" tanya Kim Nio seraya tarik tangannya yang dipegang erat-erat oleh The Sam. Tapi The Sam tidak mau melepaskan tangan yang ditarik pulang itu, malah ia menggunakan dua tangan menggenggam, seolah-olah takut tangan si gadis yang lemas halus laksana kapas itu terlepas. Kim Nio juga tidak memaksa, ia antapkan tangannya dalam genggaman kedua tangan The Sam yang kuat. Hatinya tiba-tiba memukul melihat The Sam duduknya makin menggeser saja merapati tubuhnya. "Adik Kim........" kata The Sam, suaranya hampir tidak kedengaran. "Kenapa, koko ?" tanya Kim Nio terkejut, melihat gerak gerik The Sam. Anak muda itu mengawasi parasnya si nona, dari sela-sela matanya The Sam menetes air mata turun mengalir di kedua pipinya. "Kau kenapa, koko ?" Kim Nio ulangi pertanyaannya, heran melihat The Sam menangis. "Aku mencintai kau, tapi aku akan kehilangan kau......." sahut The Sam. Ia menangis, seperti anak kecil. -- 6 -- Kim Nio makin heran. Sambil tarik lepas tangannya dari genggaman The Sam, ia berkata, "Koko, kau omonglah yang jelas. Jangan kau menangis tidak karuan, membuat aku jadi menghadapi teka teki." "Adik Kim, boleh aku bicara terus terang ?" tanya The Sam setelah menyusut air matanya. "Kenapa tidak boleh." sahut Kim Nio. "Kau ceritalah dengan tenang." "Adik Kim, aku bakal kehilangan kau sebab kau sudah ditunangi dengan Suheng Siauw Cu Leng dan...." sampai disini bicara The Sam mandek karena dipotong oleh Kim Nio. "Dari mana kau tahu ini ?" Kim Nio memotong, seraya bangkit dari duduknya, berjingkrak saking kaget. "Suhu yang ceritakan ini padaku." sahut The Sam. "Kenapa ayah tidak cerita tentang ini padaku ? Aku heran !" kata Kim Nio. "Dengan pertunangan ini, hilanglah pengharapanku. Bukankah itu berarti aku akan kehilangan kau, adik Kim ?" The Sam berkata lagi sambil tundukkan kepala. Kim Nio melihat si pemuda yang putus harapan, merasa amat kasihan. Hatinya, meskipun suka pada kecakapan Siauw Cu Leng, sebanding kalau menjadi suami istri, tapi ia tak dapat melupai Ji suhengnya (kakak kedua dalam perguruan), yang ia cintai dengan hati murni. Sebagai tanda bahwa ia lebih mesra terhadap The Sam, terbukti dari panggilannya. Ia seharusnya memanggil Ji-suheng pada The Sam tapi ia hanya memanggil 'koko' saja. Sebab pikir Kim Nio, panggilan ini ada lebih mesra kedengarannya. Tangang Kim Nio yang halus tiba-tiba diangkat lalu memegang dagu The Sam, diangkat hingga dua pasang mata bertemu pandangan. "Koko, kau jangan kuatir. Aku akan menjadi milikmu......." kata Kim Nio menghibur, mulutnya yang mungil menyungging senyuman yang tak dapat dilupakan oleh si pemuda yang kuatir kisah cintanya akan menjadi tamat. Tampak The Sam pun bersenyum setelah mendengar katakata Kim Nio. Badannya tiba-tiba bergerak maju dan dilain saat tampak Kim Nio sudah berada dalam rangkulannya The Sam, jinak sekali kelihatannya. The Sam mencium pipi kanannya Kim Nio perlahan sambil berbisik, "Adik Kim......" "Ya....... koko........." sahut Kim Nio sambil merasakan ciuman hangat dalam pelukan kekasih yang ia sangat cintai. "Adik Kim, boleh aku menciummu lagi ?" bisik The Sam lagi. Kim Nio hanya manggut, bersenyum dan segera ia merasakan ciuman hangat di pipi kirinya. Keduanya saling peluk dengan penuh kasih. "Ha ha ha !" sekonyong-konyong terdengar suara ketawa mengejek. Dua makhluk yang sedang asyik dalam lautan asmara terkejut, melepaskan pelukannya dan masing-masing lompat menjauhkan diri satu sama lainnya. Di situ tambah satu orang ialah Siauw Cu Leng. Dengan suara sinis, Siauw Cu Leng berkata, "Bagus, bagus ya, perbuatan bagus !" Kim Nio berdiri tercengang, sedang The Sam tundukkan kepala seakan-akan persakitan yang merasa bersalah. Tampak Kim Nio tekap mukanya dengan kedua tangannya, ia menangis saking malunya lalu lari masuk ke dalam rumah. "The Sam !" bentak Siauw Cu Leng kasar. "Apa kau tidak tahu adik Kim sudha menjadi milikku ? Apa kau belaga pilon dengan perkataan suhu ?" The Sam tidak menyahut, ia hanya tundukkan kepalanya. Siauw Cu Leng sebenarnya bukanlah dengan sengaja mengintip perbuatan mereka, tapi secara kebetulan saja. Ketika ia ke belakang, ia masuk ke taman bunga mau memetik sekuntum bunga untuk dihadiahkan pada Kim Nio, apabila sebentar sore pertunangan mereka diberitahukan pada si jelita oleh suhunya. Kong Tek Liang mengambil keputusan Siauw Cu Leng sebagai mantunya berdasarkan perhitungan bahwa Siauw Cu Leng cakap parasnya, pintar mengambil hati sang suhu, juga dengannya ada hubungan famili. Ibunya Siauw Cu Leng ada adik piauwnya yang menikah dengan orang she Siauw. Atas permufakatan kedua orang tua, ialah Kong Tek Liang dan ibunya Siauw Cu Leng, bapaknya sudah mati, mereka setuju merangkapkan jodoh anak-anaknya. Kepada Kim Nio sendiri, Kong Tek Liang belum memberi tahukan tentang pertunangan itu karena Sin-kuay Piauwsu mau mencari kesempatan yang baik sehingga anaknya tidak menjadi terkejut. Kong Tek Loang tahu bahwa anaknya ada lebih mencintai The Sam, maka dengan perlahan ia merenggangkan dahulu pergaulannya kedua orang muda itu. Kepada The Sam ia sudah beritahukan. Maksudnya supaya The sam mengundurkan diri karena Kim Nio sudah menjadi miliknya Siauw Cu Leng. Si orang tua tidak mengira, bukannya The Sam mundur, malah makin merapat hubungannya hingga terjadi adegan yang dipergoki Siauw Cu Leng. Siauw Cu Leng yang pergoki bakal istrinya dipeluki orang, bukan main marahnya. Ia sudah lantas mau menerjang dan gebuk mampus The Sam, tapi ia takut salah pukul sehingga bukannya The Sam yang terpukul tetapi malah tunangannya. Maka ia hanya perdengarkan suara ketawanya yang bernada mengejek. Sekarang mereka hanya berduaan saja, makin meluap kegemasan Siauw Cu Leng. "Bangsat she The, kau terlalu kurang ajar !" teriaknya. "Berani kau merebut bakal istriku ? Nih, rasain !" Berbareng ia menerjang. Kepalanya The Sam menjadi sasaran dengan gerakan "Tok pek Hoasan' atau 'Menggempur gunung Hoasan'. Serangan dilakukan dengan cepat luar biasa, dibarengi dengan hawa amarah yang meluap-luap. Tidak heran kalau kepalanya The Sam yang sedang nunduk bisa berantakan otaknya kalau saja pukulan Siauw Cu Leng mengenakan sasarannya. The Sam tahu datangnya bahaya, cepat ia kelit ke kanan. "Tahan !" serunya. Siauw Cu Leng tarik pulagn tenaganya yang mengenakan sasaran kosong. Lalu dengan mata melotot menanya, "Kau mau bicara apa lagi ? Terima sajalah kematianmu ini hari !" Berbareng dengan itu ia juga sudah lantas mau menyerang lagi. "Kau adalah suheng dan aku adalah sute. Tidak seharusnya bila kakak adik mesti berkelahi. Maka haraplah suheng suka bersabar." kata The Sam seraya mengelakan tubuhnya, berkelit sana sini untuk menghindari serangan Siauw Cu Leng yang dilancarkan bertubi-tubi. "Hmm !" mendengus Siauw Cu Leng sambil serangannya tidak ia hentikan. "Maaf suheng kalau aku kurang ajar !" kata The Sam seraya kali ini, ia tidak mau mengalah terus terusan. Dua saudara dalam seperguruan itu jadi saling gasak dengan serunya. Dalam tempo pendek saja, sudah lewat 28 jurus. Siauw Cu Leng sangat penasaran untuk dapat menjatuhkan saudara mudanya. Dua saudara itu, sebenarnya kepandaiannya tidak berimbang. Dengan kata lain dapat dikatakan Siauw Cu Leng selangkah lebih unggul sebagai saudara tua. Tapi oleh karena Siauw Cu Leng berkelahinya dengan bernapsu, maka ia telah menelan pil pahit dari The Sam. Sehingga terbitlah suatu kejadian. Ketika ia menggunai tipu 'Hiu hi lian po' atau 'Ikan cucut menerjang gelombang'. Kepalan kirinya menjotos muka, sedang tangan kanannya dengan dua jarinya meluncur menotok 'hoa kay hiat', jalan darah di pundak kiri The Sam. Serangan cepat itu dilakukan hampir berbareng, tapi The Sam juga tidak kurang cepatnya untuk menyelamatkan diri. Tangan kanan menangkis jotosan ke muka sambil kelit miring ke kiri berbareng ia menyambar lengan kanan lawan yang hendak menotok pundaknya. Ia menggennak sejenak, kemudian tangannya membalik, menghajar dada Siauw Cu Leng yang terjerunuk ke depan. Ini adalah jurus 'Sin-chiu Pa-houw' atau 'Tangan sakit menggempur macan', jurus keempat dari jalan kelima dari 'Thian Lo Sin-kuay-hoat', ilmu silat tongkat sakti yang menjadi kebanggaannya Sin-koay Piauwsu Kong Tek Liang. Telak hajaran The Sam didadanya Siauw Cu Leng sehingga ia rubuh seketika setelah mengeluarkan jeritan ngeri, dari mulutnya kontan menyemburkan darah panas dan ia jatuh pingsan. The Sam jadi ketakutan. Ia bukannya datang menolong, angkut sang suheng ke dalam rumah untuk minta pertolongan suhunya, sebaliknya ia malah angkat kaki dari situ untuk melenyapkan diri. Siauw Cu Leng menggeletak dengan tak sadarkan diri. Kong Tek Liang yang barusan pulang habis menamu ke rumah temannya, diberitahukan oleh Kim Nio, dua suhengnya tengah berkelahi. Lantas buru-buru melihat ke belakang dengan maksud mau memisahkan, tapi sudah terlambat. Disitu ia hanya dapatkan Siauw Cu Leng terlentang pingsan berlumuran darah. Bukan main kagetnya sang guru. Cepat-cepat ia memberikan pertolongannya setelah memeriksa lukanya di dada, ia pondong murid kepalanya itu dibawa masuk ke rumah. Kim Nio mengikuti dari belakang sambil menangis sesenggukan. Si Tongkat Sakti marah-marah dan mengeluarkan ancaman hendak menghukum The Sam tapi sejak itu tidak kelihatan pula mata hidungnya sang murid, apalagi pulang ke rumah. Hal mana sangat mendukakan hatinya Kim Nio. Karena kejadian itu, karena gara-garanya Kim Nio, maka sang ayah bertindak bengis menghukum Kim Nio disuruh merawati dirinya Siauw Cu Leng sampai sembuh. Mau tidak mau Kim Nio menurut, tidak berani ia membangkang. Apalagi ia mengingat tiada orang lain yang dapat merawati Siauw Cu Leng, selain ia berdua ayahnya yang sudah lanjut usianya. Dalam perawatan, Kim Nio bersungguh-sungguh sebab ia merasa berdosa. Ia yang menyebabkan luka parahnya sang suheng. Maka dengan berangsur-angsur Siauw Cu Leng mulai sembuh dari luka parahnya. Di waktu sakit tak dapat bangun, Siauw Cu Leng sering ditolong Kim Nio, mengangkat bangun dari tidurnya untuk minum obat. Pun sering membantu ayahnya mengurut-urut jalan darahnya sang suheng supaya lancar lagi. Dengan sering bersentuhan badan dan mata pandang memandang, hatinya Kim Nio pelan-pelan terpikat juga pada Siauw Cu Leng, lupa ia pada The Sam yang sekarang entah ada dimana. Sering Kim Nio menemani sang suheng duduk di tepi pembaringannya, kasak kusuk mengobrol ketawa-tawa. Dari memegang jari terus ia memegang tangan, lalu ke lengan. Kim Nio antapkan tangan nakal si ceriwis, malah ia bersenyum. Tapi alangkah kagetnya, tiba-tiba Siauw Cu Leng meniup padam api lilin. Kim Nio rasakan tangannya ditarik hingga ia terjerunuk menubruk badannya si bangor di atas pembaringan. Kim Nio berontak tapi sudah terlambat, dua tangan yang kuat telah memeluk dirinya. Kim Nio memberontak, tapi tidak berdaya karena ciuman si ceriwis Siauw Cu Leng yang bertubi-tubi membuat badannya jadi lemas tak bertulang. "Adik Kim,... oh...' "Suheng.... ah...." Hanya kata-kata ini yang terdengar sejenak dari lubang kunci pintu kamar Siauw Cu Leng, sayup-sayup kedengarannya seperti terbawa hembusannya angin. Itulah kisah pada suatu malam, dimana si Tongkat Sakti Kong Tek Liang tidak ada di rumah, lagi main tio-ki (catur Tionghoa) di rumah tetangganya. Masih terdengar suaranya Kim Nio, sayup-sayup jauh disana, tapi tegas : "Jangan suheng, jangan........" Lantas sang malam pun menjadi sunyi senyap....... Sejak itu, dua minggu kemudian dalam rumah Sinkuay Piauwsu Kong Tek Liang diadakan keramaian, pesta pernikahan Kim Nio, puteri tunggalnya dengan Siauw Cu Leng. Banyak kawan-kawannya Kong Tek Liang yang datang meramaikan pesta itu. Diantara tetamunya yang kelihatan sangat dihormati adalah Teng Siu bersama anak perempuannya bernama Teng Goat Go yang tinggal di sebelah selatan rumahnya Kong Tek Liang. Melihat dirinya dihormati lebih dari tetamu yang lainnya, Teng Siu tampaknya amat angkuh, seakan-akan ia tidak memandang mata pada banyak tetamu yang hadir dalam pesta itu. Maka, untuk mereka yang gampang tersinggung hatinya, tidak mau mendekatinya, kuatir nanti terbit urusan yang tidak diingini. Sebenarnya, memang Teng Siu orang takuti. Ditakuti bukan kepandaian ilmu silatnya yang tinggi atau ia seorang hartawan besar, ia disungkani kawan dan lawan karena 'racun'nya. Ia sangat mahir membuat racun hingga dalam kalangan 'hitam' (kawanan penjahat), ia sangat dihormati karena banyak diantara kawanan jahat itu yang membuat senjata rahasianya dengan bisa yang diperoleh dari Teng Siu. Dalam kalangan jahat, orang hanya kenal nama julukannya Hoa-im, si orang beracun dari Hoa-im. Anak perempuannya, Goat Go yang umurnya 24 tahun sebaya dengan Kim Nio, sudah mewarisi kepandaiannya sang ayah. Dengan Kim Nio, Goat Go kenal baik sebab teman dalam satu sekolahan. Meskipun parasnya cantik, Goat Go hatinya tidak cantik. Jelus, gampang mengiri. Maka tidak heran kalau ia mengiri pada Kim Nio yang dapatkan Siauw Cu Leng sebagai suami yang ganteng. Seperti juga dengan Kim Nio, Goat Go siang-siang sudah kehilangan ibu, meninggal dunia pada waktu ia berusia 8 tahun. Ia hidup bersama ayah dan Twa-ienya (kakak perempuan ibunya) yang menggantikan sang ibu yang sudah berada di alam baka. Goat Go lebih dimanja oleh orang tuanya dibandingkan dengan Kim Nio, kemerdekaannya tidak dikekang. Ia boleh pergi melancong seharian atau satu malaman tidak pernah ditegur oleh ayahnya, yang percaya penuh Goat Go bisa jaga diri sendiri. Begitulah, ketika ia habis pulang dari undangan, otaknya bekerja untuk mencari pasangan yang lebih cakap dari suaminya Kim Nio. Ia memang cantik menarik, banyak pemuda yang incar dirinya tapi tidak berani majukan lamaran karena pengaruh sang ayah yang termashur biasanya. Juga disekitar kampungnya, Goat Go tidak menemui orang yang secakap suami Kim Nio. Mana ia mau ladeni mereka yang mengincar dirinya. Ia justru ingin cari orang yang lebih cakap dan ganteng dari Siauw Cu Leng. Teng Siu tidak memikirkan akan jodohnya sang puteri. Ia hanya menyerahkan atas pilihan anaknya, ia hanya akur saja. Pikirnya, ini demi keberuntungna anak tunggalnya. Pada suatu hari, selagi Goat Go ngelayap, ia mampir dalam sebuah rumah makan hendak mengisi perutnya yang lapar. Sikapnya galak betul, main bentak saja kepada pelayan yang melayaninya. Tapi si pelayan melayani ia dengan ramah tamah, meskipun dibentak-bentak. Ini karena si pelayan, siang-siang sudah mendapat bisikan dari majikannya supaya melayani si nona dengan baik dan manis budi meskipun si nona berlaku galak kepadanya. Majikan rumah makan itu sudah tahu ketika Goat Go masuk, ia kenali itu ada puterinya Hoa-im Tok-jin, maka cepat-cepat ia bisiki pelayan yang hendak melayaninya supaya layani dengan baik sehingga tidak terbit onar. Meskipun si pemilik rumah makan sudah atur demikian rapih, toh terjadi juga keonaran, tak dapat dicegah. Sebabnya, Goat Go marah-marah lantaran si pelayan salah membawakan santapan yang ia pesan. Makanan itu semestinya dibawa ke meja seorang tamu anak muda yang duduk di pojok, tapi ia salah bawa ke mejanya si nona. Rupanya ia sangat bingung karena dipesan lekas-lekas membawa makanan pesanannya si nona. Dalam marahnya, Goat Go angkat mangkok sayur yang masih mengepul panas lalu disiramkan ke mukanya si pelayan. Siapa, sudah tentu saja menjadi gelagapan dan berteriak-teriak kepanasan mukanya. Para tamu menjadi tercengang melihat perbuatannya Goat Go. Mereka yang kenali si nona, pada membayar uang makannya di tempat kasir dan ngeloyor pergi. Sedang tamu-tamu yang datang dari lain tempat pada berdiri dari bangkunya mengawasi Goat Go. Mereka sangat tidak senang melihat kelakuan si nona yang demikian keterlaluan. Termasuk si anak muda yang duduk di pojok, yang sayurnya disiramkan ke muka si pelayan. Merasa tidak puas, ia datang menghampiri ke tempat Goat Go yang saat itu sedang terpingkal-pingkal ketawai si pelayan yang gelagapan kepanasan mukanya, sambil kedua tangannya dipakai menekap muka. Sambil tolak si pelayan minggir, anak muda itu maju mendekati Goat Go berkata, "Cici, perbuatanmu sangat keliwatan !" Si nona heran ada orang berani menegur kelakuannya. Ia angkat kepalanya memandang. Kiranya yang menegur itu seorang anak muda, dandanannya sebagai pelajar, di punggungnya ada terselip sebatang pedang pendek. Pengawakannya tinggi kurus, gagah dan cakap tampangnya, mengalahkan kecakapan Siauw Cu Leng dalam pandangan Goat Go yang tengah mencari pasangan. Diam-diam ia tertegun memandang si anak muda. Pikirnya, pemuda itulah yang pantas menjadi pasangan dirinya. Tapi Goat Go wataknya tinggi hati, tidak senang ada orang tegur dirinya. Maka setelah mengerutkan keningnya, ia bangkit dari duduknya, menghadapi si anak muda. "Habis kau mau apa ?" ia jawab teguran si anak muda. "Pelayan itu tidak berbuat kesalahan beasr, kenapa kau sampai berbuat yang begitu keliwatan ?" kata si pemuda lagi. "Ia, habis kau mau apa ?" tantang si nona. Tidak marah dia, mukanya tampak berseri-seri seakan-akan pandang remeh pada anak muda di depannya. Si anak muda tidak takut, tapi si pemilik rumah makan sebaliknya yang ketakutan setengah mati. Meskipun takut, ia coba maju dan ingin melerai antara dua muda mudi yang kelihatannya hendak bergerak. "Sudah, sudah." katanya. "Kejadian itu tidak berarti, untuk apa ditarik panjang. Sudah, sudahlah..........." sambil ajukan diri, hendak memisahkan. "Plak !" tiba-tiba terdengar suara, kiranya itu tangannya si nona yang mampir ke pipinya si pemilik rumah makan. "Jangan coba melerai, aku tidak suka cecongormu muncul diantara kita !" bentak si gadis, matanya melotot gusar. Sambil menekan pipinya yang panas bekas tamparan si nona, pemilik rumah makan itu mundur teratur. Hanya matanya saja kedap kedip sambil meringis-ringis kesakitan. Kelakuan mana mengelitik urat ketawa Goat Go sebab ketika itu ia tertawa cekikikan sambil matanya melirik pada si anak muda. Dalam keadaan tertegun, si anak muda dengar Goat Go berkata : "Apa kau juga ingin rasakan ini ?" seraya unjuk telapak tangannya yang putih halus. "Cobalah !" sahut si anak muda, dingin suaranya. Goat Go memang kepingin usap muka orang yang cakap, sekarang ada jalan untuk ia berbuat demikian. Maka dalam girangnya, seketika ia lantas angkat tangannya dipakai