314
Lu Leng menyesal sekali, karena telah membocorkan
identitas dirinya. Setelah termangu-mangu sejenak, barulah
dia mengubur mayat Bu Tong Sam Kiam.
Setelah itu Lu Leng berpikir, akhirnya dia keputusan untuk
pulang ke rumah dulu. Saat itu sudah tengah malam, Lu Leng
terus melesat ke arah kota Lam Cong, tak seberapa lama
kemudian mendadak di hadapannya tampak beberapa orang,
ada yang tinggi dan pendek. Mereka berdiri di tengah-tengah
jalan, tak bergerak sama sekali.
Malam ini, Lu Leng telah mengalami begitu banyak
kejadian aneh yang menegangkan. Ketika melihat ada orang,
hatinyapun tersentak.
Ketika dia baru mau memperhatikan orang-orang itu, tibatiba
ada suatu benda meluncur ke arahnya.
Lu Leng tahu adanya gelagat tidak baik. Dia langsung
mengayunkan golok pendeknya untuk menangkis. Namun
benda itu amat lembut sekali, tidak mempan dibacok dan Lu
Leng pun merasa matanya gelap, ternyata benda itu telah
menutupi dirinya.
Betapa gusarnya Lu Leng, dia langsung membentakbentak.
"Sobat dari mana, kenapa melakukan serangan gelap?"
Terdengar suara tawa dingin dan terkekeh-kekeh. Suara
tawa itu bernada seperti menangis dan sungguh tak sedap
didengar.
"Sampai waktunya, kau akan tahu sendiri, sabarlah
sedikit!"
315
Lu Leng bertambah gusar. Dia merasa dirinya terjaring
oleh jala, maka dia meronta-ronta. Tapi kemudian, dia merasa
berkesemutan, ternyata salah satu jalan darahnya telah
tertotok.
"Kini bocah ini sudah jatuh di tangan kita. Ayahnya pasti
akan menyerahkan kotak kayu itu kepada kita!" kata salah
seorang dari mereka.
"Tentu! Namun berdasarkan maksud Kauwcu, alangkah
baiknya terlebih dahulu kita mengantar bocah ini ke Istana
Setan Pak Bong San, barulah membuat rencana." sahut yang
lain.
Beberapa orang segera mengangguk.
"Tidak salah!"
Lu Leng merasa badannya terangkat ke atas, lalu dibawa
pergi. Gelap gulita di dalam jala itu, sama sekali tidak dapat
membedakan Timur, Barat, Utara maupun Selatan, juga tidak
tahu siapa mereka.
Dia hanya mendengar Pak Bong San, dan itu membuatnya
tertegun, sebab di Pak Bong San terdapat golongan sesat,
Istana Setan merupakan tempat tinggal si Datuk Setan-Seng
Ling.
Beberapa saat kemudian, Lu Leng merasa agak terang di
luar. Dia tahu bahwa saat itu hari sudah terang. Dia mulai
menghimpun hawa murni, namun tiada gunanya sama sekali,
maka dia pasrah.
316
Hingga malam, dia dapat bahwa dirinya masih dalam
perjalanan. Tiba-tiba terdengar salah seorang diri mereka
berkata,
"Jangan sampai bocah ini mati kelaparan, buka saja
totokan itu!"
"Tapi...," sahut salah seorang lainnya ragu-ragu.
"Jangan khawatir, dia berada di dalam jala pusakaku, tidak
mungkin bisa melarikan diri. Buka saja totokan itu!" kata salah
seorang yang lainnya lagi sambil tertawa.
Lu Leng bergirang dalam hati. Di saat bersamaan, dia pun
merasa punggungnya ditepuk orang.
Seketika itu juga sekujur badannya menjadi ringan dan
dapat bergerak, sehingga membuatnya meronta2 ingin keluar
dari jala tersebut.
Terdengar orang berkata.
"Bocah, jangan terus meronta, sebab sama juga mencari
penyakit!"
Lu Leng berpikir, percuma dia meronta-ronta, karena tak
dapat lolos dari jala pusaka itu, lebih baik pasrah dan terserah
mereka mau membawanya ke mana.
Tak Beberapa lama, justru ada makanan kering masuk ke
dalam jala pusaka itu, entah dimasukkan dari mana. Lu Leng
memang sudah lapar, maka langsung menyantap makanan
kering itu dengan lahap sekali. Setelah kenyang, dia
memejamkan mata untuk tidur.
317
Hari berikutnya ketika Lu Leng merasa haus, jala itu
dicemplungkan ke sungai. Sesudah dia puas minum, jala itu
diangkat. Kini dia sama sekali tidak tahu dirinya berada di
mana, hanya tampak agak terang di luar, pertanda hari sudah
siang. Kalau gelap berarti hari sudah malam, tak terasa sudah
melakukan perjalanan empat hari lamanya.
Dalam waktu empat hari itu, Lu Leng sama sekali tidak
tahu dirinya jauh ke tangan siapa, juga tidak tahu dirinya akan
dibawa ke mana. Empat hari lalu dia dijaring ke dalam jala itu,
dan sejak itu pula seperti dirinya dipisahkan dengan dunia.
Dia hanya tahu, bahwa yang membawanya tidak hanya
satu orang, melainkan beberapa orang. Akan tetapi, dalam
perjalanan mereka sama sekali tidak pernah berbicara, maka
Lu Leng tidak tahu identitas mereka.
Dia pun merasa, kadang-kadang berada di dalam kereta,
di punggung kuda, melalui rimba, lembah dan jalan yang
berliku-liku. Suatu kali dia pun merasa bergoyang-goyang,
ternyata berada di dalam perahu.
Lu Leng yang berada di dalam jala, hanya bisa pasrah,
tidak dapat berbuat apa-apa.
Pada sore di hari keempat, mendadak Lu Leng merasa
berhenti.
Di saat bersamaan, terdengar suara menderu-deru, yaitu
suara angin yang amat menusuk telinga.
Lu Leng tahu, mungkin akan terjadi suatu perubahan.
Maka, dia terus pasang kuping untuk mendengar penuh
perhatian.
318
Mendadak di depan mata, muncul sedikit cahaya,
sepertinya cahaya obor, bukan cahaya mentari.
Walau ada sedikit cahaya di depan matanya, namun Lu
Leng sama sekali tidak bisa melihat apa pun.
Tak seberapa lama kemudian, terdengar suara lonceng
yang amat nyaring memekakkan telinga. "Tang! Tang! Tang!"
Lu Leng tidak tahu apa yang terjadi.
Berselang sesaat, terdengar suara "Ser, Ser", dia diangkat
orang lagi menuju depan. Di depan mata menjadi gelap
kembali, terasa angin dingin menerpa2, dan kemudian
terdengar suara batuk.
Merasakan suasana yang meremangkan bulu roma di
sekitar tempat itu, Lu Leng dapat menerka bahwa dirinya
berada di dalam sebuah goa.
Di dalam goa itu terdengar suara batuk. Kedengarannya
memang aneh dan menyeramkan, bahkan membuat Lu Leng
merinding, juga merasa tegang.
Tak lama kemudian Lu Leng merasa dirinya ditaruh ke
bawah, lalu mendengar suara langkah meninggalkannya. Lu
Leng tahu, bahwa kini dirinya mereka tinggalkan seorang diri.
Itu membuatnya merasa takut, cemas dan gelisah.
Maklum! Usia Lu Leng masih kecil, tentunya punya perasaan
takut.
Oleh karena itu, dia berusaha bangkit berdiri. Mendadak
jala itu terbuka sendiri. Dapat dibayangkan, betapa
gembiranya hati Lu Leng.
319
Namun dia merasa heran, kenapa orang-orang itu
membawanya ke tempat itu, lalu meninggalkannya begitu
saja? Kini Lu Leng telah bebas, tentunya dapat melihat,
sebetulnya tempat apa ini.
Dia berusaha menenangkan hatinya. Kemudian
digenggamnya golok pendek yang diselipkan di pinggangnya.
Dia mulai menengok ke sana ke mari, tapi tidak dapat melihat
apa pun, karena tempat itu gelap gulita. Dia hanya dapat
merasakan adanya angin dingin yang menerpa-nerpa
wajahnya.
Lu Leng berteriak beberapa kali, namun tiada sahutan
sama sekali, hanya terdengar suaranya sendiri yang
berkumandang. Dapat diketahui bahwa dirinya berada di
dalam sebuah goa.
Beberapa saat kemudian matanya perlahan-lahan dapat
melihat dalam kegelapan itu. Dia telah melihat sesuatu, dan
itu membuat keringat dinginnya langsung mengucur. Bahkan
dia lalu berdiri mematung, tak berani bergerak sama sekali.
Ternyata entah berapa banyak orang tinggi dan pendek
berdiri di sekitarnya.
Padahal sebelumnya, Lu Leng mengira bahwa dirinya
berada di dalam goa itu seorang diri, maka dia merasa takut.
Kini dia melihat begitu banyak orang berdiri di sisinya,
bukannya menjadi berani, tapi sebaliknya malah bertambah
takut.
Seketika itu juga hatinya terasa dingin, dan sekujur
badannya menjadi lemas, sehingga membuat-nya nyaris tak
kuat menggenggam golok pendeknya.
320
Tak berapa lama, barulah hatinya merasa agak tenang.
Kemudian mendadak dia memekik keras sambil mengayunkan
golok pendeknya.
Serrr! Dikeluarkannya jurus Heng Hong Sin Ih (Angin
Melintang Hujan Miring) untuk menyerang orang-orang itu.
Lu Sin Kong ahli ilmu golok, sudah barang tentu, Lu Leng
pun mahir ilmu golok. Maka, serangannya itu amat lihay dan
dahsyat. Akan tetapi, dia tidak melihat orang-orang itu
bergerak, juga tidak berkelit sama sekali. Golok pendeknya
berhasil membacok orang itu. Bersamaan dengan
terdengarnya suara "Trang", terpercik juga bunga-bunga api,
sehingga membuat tempat itu agak terang, Lu Leng pun
segera melihat.
"Hah?" Dia menjerit kaget dan golok pendeknya terlepas
dari tangannya. Kemudian dia menutup mukanya sambil
menjerit-jerit. "Ayah! Ibu!"
Badannya termundur beberapa langkah, menubruk sosok
yang berdiri di belakangnya. Cepat-cepat Lu Leng
membungkukkan badannya untuk menyambar golok pendek
itu, tetapi dia justru sudah tiada keberanian untuk bangun
lagi.
-ooo0ooo-
Bab 14
Ternyata ketika golok pendeknya membacok
mengeluarkan suara "Trang" dan mengeluarkan percikan
bunga api, itu membuat Lu Leng terkejut bukan main.Karena
dia tahu, kalau golok pendeknya tidak membacok batu,
tentunya tidak akan begitu kejadiannya. Berarti yang berdiri di
321
sekitarnya itu semuanya patung batu, maka tidak perlu
ditakuti. Namun ketika terjadi percikan bunga api, dia melihat
wajah-wajah yang menyeramkan.
Wajah-wajah itu bukan wajah patung batu, melainkan
wajah manusia. Bagaimana menakutkan wajah-wajah itu,
sesaat itu sulit diuraikan dengan kata-kata, sehingga
membuatnya merinding dan tanpa sadar dia pun menjerit
ketakutan memanggil kedua orangtuanya.
Lu Leng telah menggenggam golok pendeknya, tapi
posisinya tetap jongkok di tempat itu, sama sekali tidak tahu
apa yang harus dilakukannya. Di saat itulah, terdengar suara
tawa dingin berasal dari empat penjuru, bahkan kedengaran
amat jauh, juga seakan keluar dari mulut orang yang
berwajah menyeramkan tadi.
Lama sekali barulah Lu Leng berdiri tegak, kemudian
bertanya.
"Si... siapa kau?"
Tiada sahutan, namun suara tawa dingin itu masih
terdengar. Sesaat kemudian suara tawa itu berhenti, dan
dalam waktu yang bersamaan tiba-tiba di depan matanya
muncul seberkas sinar terang. Perlahan-lahan dia
mendongakkan kepala, memandang ke depan.
Dia tertegun, ternyata di hadapannya, sejauh lima depaan
terdapat cahaya lampu berbentuk bulat bergoyang-goyang di
tengah udara.
Cahaya Iampu itu kehijau-hijauan, mirip api setan,
sehingga membuat Lu Leng menjadi merinding.
322
Katakanlah itu api setan, namun telah menerangi tempat
itu, maka Lu Leng dapat melihat jelas keadaan di sekitarnya
dan di mana dia berada.
Memang tidak salah, ternyata dia berada di dalam sebuah
goa, tersorot oleh cahaya lampu itu, sehingga dinding-dinding
goa memantulkan sinar remang-remang. Akan tetapi, goa itu
telah kosong. Orang-orang berwajah menyeramkan yang
berdiri di tempat itu tadi, kini telah menghilang entah ke
mana.
Lu Leng mengerutkan kening, apa yang dilihatnya tadi
mungkinkah hanya merupakan halusinasinya?
Tapi dia segera tahu bahwa itu bukan halusinasi, sebab
apa yang terjadi tadi masih terasa dalam benaknya. Apabila
itu hanya merupakan suatu halusinasi, tentunya tidak akan
merasa begitu.
Lu Leng berusaha menerangkan hatinya, kemudian
berpikir. Sebelumnya terdengar suara batuk, kemudian suara
tawa dingin, itu pertanda ada orang di tempat itu. Kalau dia
terus ketakutan, bukankah akan ditertawakan orang?
Berpikir sampai di situ, rasa takutnya berkurang, kemudian
dia berteriak sekeras-kerasnya.
"Tempat apa ini? Kenapa kalian membawaku ke mari?
Ayoh! Cepat lepaskan aku?"
Setelah Lu Leng berteriak berulang kali, barulah terdengar
suara tawa dingin yang amat menyeramkan.
Bersamaan itu, cahaya lampu yang bergantung di tengah
udara pun mulai menari. Sesungguhnya Lu Leng sudah
323
merasa heran, bagaimana mungkin cahaya lampu itu bisa
bergantung di tengah udara. Kini dia bertambah heran dan
terkejut, karena cahaya lampu itu menari-nari.
Tak seberapa lama, suara tawa dingin itu berhenti, namun
kemudian disusul oleh suara orang bernada parau.
"Kaukah Lu Leng?"
Suara itu mengalun, cahaya lampu itu pun menari lebih
cepat.
Cahaya lampu itu menerangi goa itu, tapi Lu Leng tidak
melihat apa pun.
Suara itu kedengarannya seperti berasal dari cahaya
lampu tersebut. Cahaya lampu bisa berbicara, itu memang tak
masuk akal dan amat aneh. Lu Leng telah mengalami berbagai
macam kejadian aneh, maka tidak merasa aneh lagi tentang
itu.
"Tidak salah!" sahut Lu Leng. "Aku Lu Leng, siapa kau?"
Terdengar suara tawa dingin lagi, lalu menyusul suara
sahutan.
"Siapa aku, bukankah kau sudah melihatnya? Kenapa
masih bertanya?"
Lu Leng mendengarkan dengan penuh perhatian, namun
tetap tidak dapat memastikan, suara itu berasal dari mana.
Tapi nadanya kedengaran bahwa yang berbicara itu adalah
cahaya lampu tersebut. Lu Leng tidak merasa takut,
sebaliknya malah merasa amat gusar.
324
"Apa maksudmu menyamar sebagai setan?"
Terdengar suara tawa gelak.
"Ha ha! Lu Leng, tahukah kau, nyawamu telah berada di
telapak tanganku?"
Lu Leng langsung membentak.
"Kentut! Kenapa kau tidak berani memunculkan diri
bertarung denganku?"
Terdengar suara sahutan.
"Kepandaianku sudah mencapai tingkat tertinggi, kau tidak
dapat melihat diriku, bahkan kaupun tidak tahu jejakku?
Cobalah kau pikir, apakah kau lawanku? Lagipula tadi aku
telah berubah seribu macam, kau sama sekali tidak tahu!"
Walau usia Lu Leng masih kecil, tapi tidak seperti anak
sebayanya, mudah dibohongi.
Dia tahu, bahwa orang yang bersuara itu memang
berkepandaian amat tinggi. Namun orang itu bisa berubah
seribu macam, itu omong kosong belaka. Lu Leng tidak
mempercayainya.
Dia tertawa dingin, kemudian berkata,
"Kau tidak perlu omong yang bukan-bukan, aku tidak akan
percaya!"
Hening sejenak suasana tempat itu. Kemudian terdengar
suara tawa dingin lagi.
325
"Aku mau bertanya, inginkah kau meninggalkan goa ini
berkumpul kembali dengan kedua orangtuamu?"
Lu Leng segera menyahut.
"Tentu, cepatlah lepaskan aku!"
"Itu tidak sedemikian gampang!" Suara itu mengalun lagi.
"Kau harus mengabulkan satu hal, barulah kulepaskan!"
Ketika bercakap-cakap dengan orang yang tak kelihatan
itu, Lu Leng memperhatikan keadaan di sekitarnya.
Selain apa yang dilihatnya tadi, di dalam goa itu tidak
tampak apa pun, juga tidak terlihat tempat aneh. Namun itu
malah amat menyeramkan, mungkin dikarenakan ada angin
dingin berhembus-hembus di tempat itu.
Yang lebih aneh lagi adalah cahaya lampu itu, masih tak
henti-hentinya menari-nari di tengah udara.
Kini nyali Lu Leng sudah bertambah besar, maka dia
segera bertanya.
"Hal apa? Katakanlah!"
Terdengar suara sahutan.
"Kedua orangtuamu...."
Lu Leng tidak menunggu suara itu berlanjut. Mendadak dia
melesat ke arah cahaya lampu. Diayunkannya golok
pendeknya mengeluarkan jurus Meteor Mengejar Bulan untuk
menyerang cahaya Lampu itu.
326
Ternyata dalam hatinya telah mengambil suatu keputusan,
harus tahu jelas kenapa cahaya lampu itu terus menari-nari.
Suara itu berhenti dan di saat golok pendek itu hampir
menyentuh cahaya lampu tersebut, tiba-tiba cahaya lampu itu
meluncur ke atas, lalu berhenti di langit-langit goa.
Setelah itu, suara tadi terdengar lagi.
"Bocah busuk, kau ingin melawanku, bukankah berarti kau
bermimpi di siang hari bolong?"
Lu Leng segera berhenti lalu mendongakkan kepalanya.
Tinggi goa itu hampir tiga empat depa, karena merasa
Ginkangnya tidak bisa mencapai langit-langit goa, maka dia
berteriak.
"Aku benci cahaya lampu itu! Kau boleh melanjutkan!"
Sembari berkata, otaknya terus berputar untuk mencari
ide yang bagus.
Terdengar suara itu melanjutkan.
"Belum lama ini, kedua orangtuamu menerima suatu
titipan yang harus diantar ke Su Cou! Tentang itu, kau sudah
tahu, bukan?"
Mendengar itu, hati Lu Leng tergerak.
"Kalau aku tahu lalu kenapa?"
"Ada baiknya kau tahu!" sahut orang yang tak kelihatan
itu. "Aku punya sepucuk surat, kau harus sampaikan kepada
327
kedua orangtuamu! Setelah meninggalkan tempat ini, kau
harus segera pergi mencari kedua orangtuamu! Sebelum
mereka tiba di Su Cou, surat ini sudah harus disampaikan
kepada mereka! Kalau tidak, kau pasti mati!"
Lu Leng menyahut.
"Itu bagaimana mungkin? Kini diriku berada di mana aku
sama sekali tidak tahu. Kedua orangtuaku berangkat dari
rumah, tentunya lebih cepat tiba di Su Cou, tidak mungkin aku
dapat menyusul mereka!"
Terdengar suara tawa gelak.
"Ha ha ha! Kau tidak perlu cemas! Dalam beberapa hari
ini, kau terus melakukan perjalanan, dan kini sudah berada di
sekitar Su Cou! Asal kau keluar dari goa ini, sudah berada di
luar kota Su Cou, kau boleh menunggu kedua orangtuamu!"
Lu Leng tertegun, hanya terdengar suara tidak kelihatan
orangnya. Di dalam goa ini hanya terdapat cahaya Lampu dan
dirinya sendiri, entah bersembunyi di mana orang itu.
Suaranya agak bergema, pertanda dia berada di dalam
goa ini. Kenapa tidak mau mengabulkan syaratnya itu? Setelah
menerima surat tersebut, Bukankah dia akan melihat orang
itu?
Lagipula asal bisa meninggalkan goa ini, setelah bertemu
kedua orangtuanya, biar kedua orangtuanya yang mengambil
keputusan.
Berpikir sampai di sini, Lu Leng manggut-manggut seraya
berkata.
328
"Baik, aku setuju! Di mana surat itu, cepat serahkan
kepadaku!"
Terdengar suara itu lagi.
"Bocah, ketika kau memasuki goa ini, tubuhmu telah
terkena racun! Kalau kau berani macam-macam, pasti akan
tersiksa!"
Lu Leng tidak sabaran.
"Di mana surat itu?"
"Kenapa kau tidak sabaran?" Terdengar suara sahutan.
Lu Leng menganggap, orang itu akan menyerahkan surat
kepadanya, tentunya harus memunculkan diri. Akan tetapi,
mendadak melayang sebuah amplop merah, kemudian jatuh
di hadapannya.
Lu Leng tertegun. Di saat bersamaan suara itu mengalun.
"Cepat ambil surat itu, dan ikuti cahaya lampu!"
Dari awal hingga kini, Lu Leng tetap tidak tahu siapa yang
membawanya ke mari, juga tidak tahu siapa orang yang
berbicara dengannya. Apa boleh buat, dia harus menuruti
perkataan orang itu, segera memungut surat tersebut.
Tampak cahaya lampu itu merosot ke bawah, kemudian
bergerak ke depan. Lu Leng cepat-cepat mengikuti cahaya
lampu itu.
329
Tampak cahaya lampu itu menikung ke sana ke mari, tak
seberapa lama kemudian, sudah tampak sebuah pintu besi. Lu
Leng tidak perlu membukanya, karena pintu besi itu sudah
terbuka sendiri. Di saat bersamaan, cahaya lampu itu padam
seketika.
Di dalam goa itu, Lu Leng mengalami beberapa keanehan,
walau dirinya tidak mengalami kecelakaan, namun suara itu
mengatakan bahwa dirinya telah terkena racun, ketika
memasuki goa itu. Benar atau tidak, Lu Leng tidak
mengetahuinya. Yang jelas kini sudah ada jalan keluar, itu
membuatnya girang sekali. Dia langsung melesat keluar
melalui pintu besi itu.
Tak seberapa lama setelah Lu Leng keluar dari pintu besi
tersebut, mendadak terdengar suara "Blam" ternyata pintu
besi itu telah tertutup kembali. Lu Leng tertegun, lalu dia
berpaling ke belakang.
Seketika dia terbelalak sebab yang dianggapnya sebagai
pintu besi itu, ternyata sebuah batu yang menonjol, dan di situ
tampak juga pepohonan.
Dia mendongakkan kepala, ternyata dirinya berada di
tengah-tengah gunung. Puncak gunung itu tidak begitu tinggi,
dan di sana terdapat sebuah jalanan kecil.
Menyaksikan semua itu, Lu Leng bergumam. "Apakah aku
berada dalam mimpi?"
Dia bergumam di tempat yang amat sepi, justru tak
tersangka sama sekali, mendadak terdengar suara sahutan.
"Kau tidak berada dalam mimpi!"
330
Tanpa menoleh, Lu Leng langsung mengayunkan golok
pendeknya ke belakang.
Serrr!
Kemudian tak bersuara lagi, sepertinya golok pendeknya
telah ditangkap orang. Lu Leng tersentak kaget dan segera
menoleh. Dugaannya tidak meleset.
Tampak seorang berbadan tinggi besar, mukanya ditutupi
kain hitam, terlihat pula jarinya menjepit golok pendek itu.
Bukan main terkejutnya Lu Leng.
Orang itu pun berkata.
"Jangan takut, aku tidak akan mencelakaimu! Berdasarkan
ilmu silatmu itu, bagaimana mungkin kau dapat melawanku?"
Suaranya agak lembut, membuat Lu Leng berlega hati.
Tapi dia juga merasa heran, karena baru keluar dari goa itu,
justru berjumpa orang tersebut di tempat ini.
"Kau... kau adalah orang tadi yang berbicara denganku di
dalam goa?"
Orang itu tertawa.
"Tentu bukan. Aku bermarga Tam, kau boleh
memanggilku Paman Tam."
"Paman Tam kenal kedua orangtuaku?" tanya Lu Leng.
Orang yang memakai kain penutup muka itu menggelenggelengkan
kepala.
331
"Aku tidak kenal kedua orangtuamu." sahutnya.
"Oh ya! Apakah Paman Tam pernah memasuki goa itu?
Kalau aku tidak berada dalam mimpi, bagaimana mungkin
pintu besi itu bisa hilang setelah aku keluar?"
"Kalau diberitahukan, itu tidak akan aneh lagi. Di luar pintu
besi itu terdapat sebuah batu. Setelah pintu besi itu tertutup
kembali, otomatis tidak kelihatan lagi." sahut orang itu.
Lu Leng manggut-manggut.
"Oooh! Ternyata begitu! Paman Tam, ketika aku berada di
dalam goa, mula-mula aku melihat begitu banyak orang
berdiri di situ, tapi kemudian kenapa tidak tampak satu pun?"
Orang itu menghela nafas.
"Aku tidak begitu jelas tentang itu, namun yang pasti apa
yang kau lihat di dalam goa itu, bukanlah setan iblis."
sahutnya.
Lu Leng tertawa.
"Aku tentu tidak percaya kalau itu setan iblis. Kalau benar
itu setan iblis, bagaimana mungkin akan menitipkan sepucuk
surat untuk ayahku?"
Orang itu menatap Lu Leng dalam-dalam, lama sekali
barulah bersuara.
"Kau memang berani dan bernyali. Apa yang kau lihat di
dalam goa itu, sama sekali tidak membuatmu takut. Aku
kagum kepadamu."
332
Pujian itu membuat wajah Lu Leng kemerahmerahan,
karena ketika berada di dalam goa itu, dia justru merasa takut
setengah mati.
Orang itu berkata lagi.
"Aku memang kenal dia. Tapi aku justru tidak bisa
memberitahukan siapa orang itu. Bolehkah kau berikan
padaku surat itu?"
Lu Leng mengerutkan kening.
"Paman Tam...."
Orang itu tertawa.
"Legakanlah hatimu, aku sudah bilang tadi, tidak akan
mencelakai dirimu. Kalau aku mau mencelakaimu, bukankah
aku bisa merebut surat itu? Asal kau berikan surat itu
kepadaku, tentunya bermanfaat bagi kedua orangtuamu."
Hati Lu Leng tergerak.
"Bagaimana kedua orangtuaku sekarang?" Orang itu
menyahut.
"Mereka berdua sudah meninggalkan Lam Cong, namun
sepanjang jalan banyak orang mencari mereka, maka
perjalanan mereka menjadi terhambat. Aku harus pergi
memberitahu mereka, bahwa bencana sudah menjelang
datang."
Lu Leng tertegun mendengar ucapan orang itu.
333
"Kedua orangtuaku akan menghadapi bencana?"
Kemudian Lu Leng menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak
mungkin, sebab kepandaian kedua orangtuaku amat tinggi,
bagaimana mungkin akan menghadapi bencana?"
Orang itu menghela nafas panjang, lalu menepuk bahu Lu
Leng seraya berkata.
"Usiamu masih kecil, maka tidak tahu. Kali ini yang
terseret ke dalam urusan itu, rata-rata merupakan kaum rimba
persilatan yang berkepandaian tinggi sekali. Kalau kedua
orangtuamu tidak mundur sekarang, pasti akan celaka."
Lu Leng amat cerdas. Setelah bercakap-cakap dengan
orang itu, dia tahu bahwa orang itu berhati bajik, bukan orang
jahat.
"Paman Tam, urusan itu apakah mengenai barang titipan
orang, yang harus diantar ke Su Cou?" Orang itu manggutmanggut.
"Tidak salah, memang urusan itu. Aaaah! Kedua
orangtuamu demi menjaga reputasi. Kalau tidak, bagaimana
mungkin akan diperalat orang menempuh bahaya?"
Lu Leng sudah mulai tahu akan awal dari urusan itu,
namun justru merasa heran.
"Paman Tam, sebetulnya urusan apa itu? Bolehkah aku
tahu?"
"Saat ini, aku pun tidak begitu jelas. Tapi aku percaya
urusan itu pasti akan jernih." sahut orang itu.
334
Setelah mendengar ucapan itu Lu Leng tidak banyak
bertanya lagi.
"Lu Leng, serahkan dulu surat itu kepadaku!" kata orang
itu lagi.
Lu Leng berpikir sejenak, kemudian menyerahkan surat itu
kepada orang tersebut.
Setelah menerima surat itu, orang tersebut melambaikan
tangannya.
"Mari kita baca bersama!" katanya sambil mengeluarkan
surat itu dari amplopnya.
Lu Leng mendekatinya, lalu ikut membaca. Surat itu
berbunyi demikian,
Lu Cong Piau Tau :
Kali ini kau mendapat titipan dari orang. Berdasarkan
reputasitmu, tentunya aku tidak berani bertindak
sembarangan. Tapi kini, putramu telah terkena racun. Di
kolong langit ini, hanya aku seorang yang dapat memunahkan
racun itu. Kalau kau tidak menyerahkan barang itu kepada
putramu, agar dibawa ketnari, nyawa putramu pasti
melayang. Harap pikirkan baik-baik!
Di dalam surat itu tidak tertera nama penulisnya. Seusai
membaca surat itu, Lu Leng termangu-mangu, lama sekali
barulah membuka mulut.
"Paman Tam, sungguhkah aku telah terkena racun?"
Orang itu menggelengkan kepala.
335
"Tentu tidak, sebab aku tahu hatinya tidak jahat, tidak
akan mencelakai orang." jawabnya.
Usai berkata, orang itu menghela nafas panjang seraya
bergumam.
"Kukira dia tidak berambisi sama sekali. Tidak tahunya dia
justru ingin keluar, melakukan sesuatu."
Lu Leng tertegun memandangnya.
"Paman Tam, siapa dia?"
Orang itu menghela nafas panjang.
"Aaaah! Surat ini tidak perlu kau berikan kepada kedua
orangtuamu."
Lu Leng segera bertanya.
"Kalau begitu, aku sungguh tidak akan mengalami sesuatu
yang diluar dugaan?"
Orang itu tertawa.
"Legakanlah hatimu. Bagaimana mungkin aku akan
membohongimu? Kau ikut aku! Aku akan mengajakmu
menemui kedua orangtuamu."
Betapa girangnya Lu Leng.
"Oh? Kedua orangtuaku berada di sekitar sini?" tanyanya.
"Tidak salah. Mari ikut aku!"
336
Orang itu menjulurkan tangannya untuk menarik Lu Leng,
lalu meninggalkan tempat itu.
Begitu orang itu menariknya, seketika juga Lu Leng
mendengar suara yang menderu-deru melewati telinganya.
Ternyata orang itu menggunakan Ginkang.
Berselang beberapa saat kemudian, orang itu mendadak
berhenti, dan mengeluarkan suara bernada heran.
"Eh?" Kemudian berkata. "Kau tunggu di sini, jangan
sekali-kali mengeluarkan suara, juga tidak boleh bergerak
sembarangan!"
Lu Leng tahu orang yang memakai kain penutup muka itu,
merupakan orang tingkatan tua dalam rimba persilatan, maka
dia amat mempercayainya. Karena itu, dia segera bersandar di
sebuah pohon.
Tampak orang itu melesat ke depan, ternyata di depan
sana berdiri dua orang berpakaian aneh, memakan topi tinggi
lancip.
Kedua orang itu ternyata si Setan Hitam dan si Setan
Putih, anak buah si Setan-Seng Ling.
Berarti saat itu, Lu Leng dan kedua orangtuanya cuma
terpaut setengah mil.
Sayang sekali, Lu Leng tidak tahu tentang itu. Begitu pula
kedua orangnya, juga tidak tahu akan hal tersebut.
Sementara Lu Leng tetap berdiri diam di bawah pohon,
tidak berani bergerak sama sekali.
337
Tak seberapa lama kemudian, mendadak terdengar suara
siulan dari goa itu, tiga kali siulan panjang dan dua kali siulan
pendek.
Sebelum suara siulan itu lenyap, Lu Leng sudah melihat
sosok bayangan berkelebat begitu cepat ke arah nya.
Begitu sampai di hadapan Lu Leng, bayangan itu pun
berhenti seraya berkata.
"Cepat! Kau cepat pergi! Cepat! Cepat!"
Nada suara itu begitu gugup, membuat Lu Leng terheranheran.
"Paman Tam tidak mau pergi menemui kedua
orangtuaku?"
Orang itu menyahut.
"Sementara ini tidak perlu, cepatlah kau pergi ke Su Cou
seorang diri, dan sampai di Su Cou, kau tidak usah ke manamana!
Malam harinya, kau ke Hou Yok dan bersembunyilah di
balik sebuah batu! Kalau melihat seorang gadis muncul di
sana, dia adalah putriku bernama Tam Goat Hua. Beritahukan
kepadaku, bahwa aku yang menyuruhmu ke sana
menunggunya! Dia pasti akan mengatur segalanya untukmu.
Jangan membuang waktu di tengah jalan, cepatlah pergi!"
Usai berpesan demikian, orang itu melesat pergi tanpa
menghiraukan Lu Leng lagi.
338
Namun Lu Leng tahu, itu amat penting, sebab nada suara
orang itu kedengaran tak begitu tenang. Maka Lu Leng tidak
membuang waktu lagi langsung melesat pergi menuju Selatan.
Tak seberapa lama kemudian, Lu Leng mendadak
berhenti. Ternyata dia teringat apa yang dikatakan orang itu,
bahwa kedua orangtuanya berada di sekitar tempat itu.
Mungkin mereka juga sedang menuju Su Cou. Itu berarti
sejalan. Kenapa tidak meninggalkan surat, agar kedua
orangtuanya tahu dirinya sedang menuju Su Cou? Dengan
adanya pikiran itu, maka Lu Leng mengeluarkan selembar
kertas, lalu membakar sebatang ranting. Setelah itu, dia
menulis dengan ranting yang hangus itu berbunyi demikian.
Ayah, ibu!
Aku ke Su Cou, harap tidak mencemaskan Ananda.
Sembah sujud Lu Leng
Usai menulis, dia memanjat sebuah pohon, kemudian
mengambil golok pendeknya untuk menancapkan surat itu di
pohon tersebut.
Begitulah terus dia melanjutkan perjalanannya perlahanlahan
dan memasuki bukit Hou Yok. Tak berapa lama
kemudian Lu Leng sudah sampai di sekitar Telaga Pedang dan
Seperti saran Paman Tam ia kemudian menunggu seorang
gadis yang bermarga Tam dan kemudian telah salah
mengenali ialah Han Giok Shia yang ia temui disisi sebuah
batu itu. Cerita selanjutnya telah diuraikan didepan. Kini kita
kembali dimana Lu Leng diselamatkan oleh ketujuh orang
aneh itu.
-ooo0oooKANG
ZUSI WEBSITE http://cerita-silat.co.cc/
339
Bab 15
Sesaat terdengar suara beberapa orang dari arah luar
kapal, sigendut mendengar ini kemudian keluar kapal, dan
tampaknya dia tengah bercakap-cakap dengan beberapa
orang diluar kapal yang tak lain ialah enam orang rekannya
yang lain.
Ketujuh orang itu mulai bersenandung sambil tertawa
gembira. Tak seberapa lama kemudian, si Gendut masuk ke
perahu dengan membawa semangkok obat untuk Lu Leng.
Setelah minum obat itu, Lu Leng segera duduk bersila
untuk menghimpun hawa murninya. Entah berapa lama,
ketika dia membuka matanya, tampak permukaan telaga itu
memerah, ternyata hari telah senja.
Lu Leng memandang keluar. Tampak mereka bertujuh
duduk di darat, kelihatannya seperti ada suatu urusan penting.
Maka Lu Leng tidak berani mengganggu mereka.
Berselang beberapa saat, si Gendut menghela nafas
panjang.
"Sudah hampir sampai waktunya," katanya. Ucapan itu
bernada resah. Tak lama kemudian, si Gendut berkata lagi.
"Saudara sekalian, kita bertujuh selama dua tiga puluh
tahun ini, entah sudah berjumpa berapa banyak musuh
tangguh. Tapi kali ini, kita justru tidak tahu nama musuh itu
dan bagaimana rupanya, sungguh aneh sekali! Mungkinkah
beberapa iblis yang dahulu pernah roboh di tangan kita?"
Seorang yang berpakaian Sastrawan menyahut.
340
"Keempat iblis itu setelah mengalami kekalahan di tangan
kita. Satu di antaranya telah mati, yang dua jauh di Pak Hai
(Laut Utara), sedangkan yang satu lagi, ditangkap oleh
seorang pendekar dari golongan lurus, kemudian dibelenggu
di lembah See Coan, tidak mungkin dia dapat meloloskan diri.
Namun kalau memang mereka bertiga, tentunya kepandaian
mereka sudah bertambah tinggi, tapi tidak perlu kita takuti."
Si Kurus berkata.
"Mengenai urusan ini, aku tetap tenang, tapi bukan
masalah itu yang kumaksudkan ..." Si Gendut bertanya.
"Maksudmu orang yang mengundang kita bertemu di
menara Hou Yok tidak mengandung niat jahat?"
Si Kurus menyahut.
"Tidak salah. Cobalah pikir, kalau dia berniat jahat, ketika
menaruh kartu undangan itu, bukankah kita semua tidak
mengetabuinya? Nah, itu merupakan kesempatan baginya
untuk mencelakai kita, tapi toh dia tidak turun tangan
terhadap kita, pertanda dia tidak berniat jahat."
Kini Lu Leng baru paham, ketujuh orang itu berada di
menara Hou Yok ternyata ada janji dengan orang, tapi mereka
bertujuh tidak tahu siapa orang itu, maka menyamar sebagai
patung dewa dan secara tidak sengaja menyelamatkan Lu
Leng.
Tiba-tiba seorang berkepala gundul berkata.
"Berniat jahat atau tidak, kita akan tahu setelah dia
muncul, yang penting kini kita harus bersiap-siap!"
341
Tentunya orang itu berjanji lagi dengan mereka bertujuh
untuk bertemu di pinggir telaga. Mungkin tak lama orang itu
akan muncul.
Lu Leng berpikir, Tujuh Dewa itu amat terkenal dalam
rimba persilatan. Masing-masing memiliki kepandaian
istimewa. Tapi saat ini mereka bertujuh tampak begitu tegang.
Maka, dapat diketahui orang yang mengundang mereka untuk
bertemu di situ pasti orang luar biasa.
Sementara hari sudah mulai gelap. Tampak bulan sabit
bergantung di langit. Berselang beberapa saat kemudian,
tampak sosok bayangan berkelebat di kejauhan yang makin
lama makin mendekat.
Ketika Lu Leng melihat bayangan itu, hatinya tertegun,
karena mengenali bentuk tubuhnya.
Setelah bayangan itu dekat, Lu Leng nyaris berteriak
kaget.
Ternyata orang itu pernah memberitahukannya bermarga
Tam, memakai kain penutup muka.
Orang itu berdiri sejauh dua depa dari Tujuh Dewa,
kemudian tertawa seraya berkata.
"Kalian bertujuh sungguh dapat dipercaya. Aku tidak
menepati janji di menara Hou Yok, itu saking terpaksa, maka
aku mohon maaf!"
Ketujuh orang itu tertawa, kemudian si Gendut berkata.
"Kalaupun kau ke sana, kami sudah tidak berada di sana.
Entah ada petunjuk apa kau ingin berjumpa kami?"
342
Orang yang memakai kain penutup muka menyahut.
"Tidak berani, tidak berani. Aku justru mohon petunjuk
kalian bertujuh."
Wajah mereka bertujuh langsung berubah, karena istilah
"Petunjuk" dalam rimba persilatan adalah menantang
bertarung.
Si Sastrawan berkata lantang.
"Kami tujuh orang dalam rimba persilatan, terhitung cukup
terkenal. Siapa kau, bolehkah kami tahu nama besarrnu?"
"Namaku Tam Sen," sahut orang itu.
Setelah mendengar nama tersebut, ketujuh orang itu
melongo. Mereka sudah begitu lama berkecimpung dalam
rimba persilatan, maka kaum rimba persilatan yang
berkepandaian tinggi, mereka pasti kenal!
Akan tetapi, mereka bertujuh justru tidak kenal orang
bernama Tam Sen itu. Berdasarkan gerakannya tadi, dapat
diketahui bahwa kepandaiannya amat tinggi sekali.
Si Sastrawan mendengus dingin.
"Hmm! Kau tidak mau memperkenalkan nama asli ya
sudahlah!"
Tam Sen justru tertawa.
"Sobat salah, Tam Sen memang nama asliku. Di hadapan
kalian, kenapa aku harus menggunakan !ama palsu? Dulu aku
343
punya julukan, maka nama asliku tidak ada seorang pun tahu.
Akan tetapi, kini aku sudah tidak mau memakai nama julukan
itu lagi, harap kalian tidak banyak bertanya!"
Tujuh Dewa itu tercengang, orang itu dulunya pasti
mempunyai julukan yang cemerlang, namun kini dia memakai
kain penutup muka, maka mereka bertujuh tidak dapat
menerka siapa orang itu.
Si Gendut bertanya.
"Sobat Tam ke mari cuma seorang diri?"
Tam Sen tertawa sambil menyahut.
"Aku ke mari bukan untuk bertarung, kenapa harus banyak
orang?"
Si Gendut berkata.
"Kau ingin berjumpa kami, apakah hanya untuk mengobrol
yang tak berarti?"
Tiba-tiba Tam Sen menyahut serius.
"Tahukah kalian bertujuh, tidak lama lagi dalam rimba
persilatan akan timbul suatu badai besar?"
Si Gendut tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha! Kami bertujuh sudah mengundurkan diri dari
rimba persilatan, tentunya kau sudah tahu, bukan?"
Tam Sen menghela nafas panjang.
344
"Urusan sampai di depan mata, kalian mau menghindar
pun sudah tidak bisa. Kini Lam Cong Thian Houw Lu Sin Kong
sudah menuju Go Bi dan Tiam Cong, mengundang para jago
dari kedua partai itu mencari Liok Ci Siansing dan Tiat Ciat
Songjin membuat perhitungan, apakah kalian akan tinggal
diam?"
Tujuh Dewa mempunyai hubungan baik dengan Liok Ci
Siansing dan Tiat Ciat Songjin. Maka ketika mendengar kabar
itu, air muka mereka langsung berubah.
Namun mereka bertujuh, masih tidak percaya. akan apa
yang Tam Sen katakan.
"Apakah kau punya bukti tentang itu?" tanya si Gendut.
Tam Sen tersenyum dingin.
"Masih ada, Bu Tong Sam Kiam telah binasa. Bu Tong Pai
menganggap Thian Hou Lu Sin Kong yang mencelakai mereka.
Maka para jago dari Bu Tong Pai sudah berangkat ke Bu Yi
San untuk menuntut balas pada Lu Sin Kong."
Lu Leng yang berada di dalam perahu, tertegun ketika
mendengar kata-kata Tam Sen.
Ketika Bu Tong Sam Kiam mati, Lu Leng menyaksikan
dengan mata kepala sendiri. Urusan itu memang sulit
dijernihkan. Karena ketika itu, tiba-tiba muncul seorang murid
Bu Tong Pai. Murid Bu Tong Pai itu menanyakan identitas Lu
Leng, dan Lu Leng memberitahukannya. Namun Lu Leng tiada
kesempatan menjelaskan mengenai kejadian itu, sehingga
ayahnya menjadi tertuduh.
"Hah!" Tujuh Dewa itu terperanjat.
345
Karena apabila partai-partai besar itu bertikai, tentunya
akan menimbulkan bencana dalam rimba persilatan, dan itu
membuat mereka bertujuh jadi cemas sekali.
Tam Sam berkata kembali dengan dingin.
"Urusan itu tidak hanya di situ. Isteri Lu Sin Kong
sebelumnya terkena racun pukulan Im Si Ciang, kemudian
terkena pukulan Hwe Hong Sian Kouw hingga binasa. Go Bi
dan Tiam Cong Pai takkan tinggal diam. Peristiwa itu terjadi di
rumah si Pecut Emas-Han Sun. Tapi Han Sun telah mati, maka
sudah pasti kedua partai itu akan mencari Hwe Hong Sian
Kouw untuk menuntut balas. Karena itu, Hui Yan Bun dan Tai
Chi Bun juga akan terseret ke dalam masalah itu.
Si Gendut berkata.
"Menurutmu, golongan sesat telah turut campur?"
Tam Sen mengangguk.
"Tidak salah. Tidak hanya si Setan-Seng Ling yang telah
meninggalkan Istana Setan Pak Bong San, bahkan Liat Hwe
Cousu dari Hwa San pun telah meninggalkan Hwa San pula.
Itu dikarenakan kedua Tongcunya telah binasa.
Tujuh Dewa diam saja, lama sekali barulah si Gendut
membuka mulut.
"Bagaimana kau bisa tahu begitu jelas?" Tam Sen
menghela nafas panjang.
"Kalian tidak begitu seksama mencari informasi, tentunya
tidak tahu akan hal itu. Aku tidak bisa menepati janji ke Hou
Yok, itu disebabkan aku bertemu Hwe Hong Sian Kouw. Dia
346
telah terluka parah, namun masih banyak bercakap denganku,
maka aku tahu persoalan itu."
Si Sastrawan berkata.
"Kau memberitahu kami tentang masalah itu, apakah
mengira kami dapat mengatasi masalah itu?" Tam Sen
menghela nafas panjang.
"Urusan ini, bukan aku memandang rendah kalian
bertujuh. Mungkin kalian bertujuh pun tidak dapat berbuat
apa-apa, hanya satu orang yang dapat mengatasi bencana itu
hingga hilang lenyap."
Ketujuh orang itu bertanya serentak.
"Siapa orang itu?"
"Dia adalah kawan baik kalian, yakni Liok Ci Siansing dari
Bu Yi Sian Jin Hong," sahut Tam Sen.
Si Gendut bertanya gusar.
"Apa hubungannya urusan itu dengan Liok Ci Siansing?"
Tam Sen menyahut dingin.
"Apakah kalian tidak tahu bahwa belum lama ini Thian
Houw Lu Sin Kong menerima surat titipan barang?"
Si Gendut mengangguk.
"Kami tahu. Beberapa hari yang lalu ada orang mengantar
surat kepada kami, yang isinya memberitahukan bahwa
347
barang yang dikawal Lu Sin Kong itu ada kaitannya dengan
setiap kaum rimba persilatan. Siapa yang memperoleh barang
itu akan dapat menyatukan semua kaum rimba persilatan.
Maka, kami tertarik, tapi tidak akan turun tangan merebut
barang itu."
Bagian 07
Tam Sen manggut-manggut.
"Itulah! Surat yang sama pun dikirimkan kepada golongan
lurus dan sesat, termasuk Hwa San, Hui Yan, Tai Chi, si Setan
Sen ling, Tay San Hek Sin Kun dan Sai Thian Bok Kim Kut Lau.
Karena itu, mereka turun tangan merebut barang tersebut.
Dikarenakan itu, Tiam Cong dan Go Bi Pai menjadi
bermusuhan dengan golongan-golongan tersebut."
Air muka si Sastrawan berubah.
"Apakah urusan itu ditimbulkan Liok Ci Siansing?"
Seketika Tam Sen balik bertanya.
"Surat yang kalian terima itu, tiada tanda enam jari?"
Tujuh Dewa menyahut serentak.
"Tidak."
"Tapi surat yang diterima orang lain, justru terdapat tanda
enam jari. Aku pun mempunyai surat itu, yang dikirimkan
348
kepada salah seorang iblis. Silakan kalian membacanya!" kata
Tam Sen.
Dia mengeluarkan sepucuk surat dari dalam bajunya,
Tujuh Dewa segera berseru serentak.
"Eh! Amplop itu persis seperti amplop yang kami terima!"
seru Tujuh Dewa dengan serentak.
Si Gendut menjulurkan tangannya untuk menerima surat
itu, namun ditariknya kembali.
"Surat ini ditujukan kepada seorang iblis, tapi kenapa bisa
jatuh ke tanganmu?" tanyanya dengan kedua matanya
menyorotkan sinar aneh.
Tam Sen menghela nafas panjang.
"Dalam hati setiap orang, pasti menyimpan sesuatu yang
tak dapat dikatakan, untuk apa kau bertanya soal itu?"
Wajah si Gendut berubah serius.
"Meskipun kami bertujuh jarang mencampuri urusan dunia
persilatan, tapi tidak akan melepaskan penjahat yang mana
pun!"
Tam Sen tersenyum.
"Kau terlampau curiga, padahal aku bukan orang yang kau
maksudkan itu!"
Si Gendut menjulurkan tangannya untuk mengambil surat
itu. Kemudian isinya dikeluarkan dan dibacanya. Apa yang
349
tertulis di dalam surat itu sama bunyinya dengan surat yang
mereka terima beberapa hari yang lalu, hanya bedanya, di
dalam surat itu tertera cap telapak tangan.
Tanda telapak tangan itu, di jari jempol bercabang sebuah
jari lain, jadi berjumlah enam jari.
Setelah membaca surat itu, si Gendut lalu menyerahkan
kepada yang lain untuk dibaca. Setelah membaca surat itu,
semuanya diam lama sekali barulah si Sastrawan membuka
mulut.
"Liok Ci Siansing tidak mungkin berani begitu iseng. Aku
lihat ini pasti ada sesuatu lain." Tam Sen manggut-manggut.
"Apa yang Saudara katakan memang tidak salah. Orang
yang mengirim surat ini, tentunya mempunyai suatu maksud
tertentu, yakni ingin menimbulkan kekacauan. Tapi ada satu
urusan aneh, apakah kalian mengetahuinya?"
Mereka bertujuh bertanya serentak.
"Urusan apa itu?"
Tam Sen menyahut.
"Urusan aneh itu, justru terjadi di rumah Thian Houw Lu
Sin Kong."
Sementara Lu Leng yang berada di dalam perahu, terus
mendengarkan percakapan mereka dengan penuh perhatian.
Ketika mendengar Tam Sen mengatakan, Sebun It Nio
mati di tangan Hwe Hong Sian Kouw di rumah si Pecut Emas-
Han Sun, maka dia menganggapnya bahwa Hwe Hong Sian
350
Kouw dan si Setan sen ling sebagai musuh besarnya. Maka
saking dendamnya nyaris membuatnya berteriak.
Akan tetapi, dia masih dapat mengendalikan diri, sebab dia
tahu apabila dia bersuara, tentu Tam Sen dan Tujuh Dewa
akan berhenti bercakap-cakap, sehingga tidak bisa tahu
sejelas-jelasnya.
Dia berkertak gigi, dan air matanya meleleh. Tapi ketika
Tam Sen mengatakan telah terjadi urusan aneh di rumahnya,
itu membuatnya terheran-heran.
Tam Sen melanjutkan.
"Aku tahu Begitu Sebun It Nio binasa, Thian Hou Lu Sin
Kong tidak akan diam. Dia pasti berangkat ke Tiam Cong dan
Go Bi untuk mengumpulkan para jago dari kedua partai itu,
guna menuntut balas kematian isterinya. Aku segera
mengejarnya dan berhasil. Kemudian kami pun bercakapcakap.
Dia telah mengambil keputusan untuk membalas
dendam anak isterinya, walau nyawa tuanya harus melayang."
Si Gendut tertegun.
"Membalas dendam anak isterinya? Apakah Lu Sin Kong
punya dua anak?"
Pertanyaan itu membuat sepasang mata Tam Sen
menyorot tajam, kemudian bertanya.
"Apa maksud Saudara Lim berkata begitu?"
Si Gendut tersenyum licik seraya menyahut.
"Silakan lanjutkan! Aku cuma sekedar bertanya."
351
Tam Sen segera lanjutkan paparannya.
"Urusan aneh itu, justru Lu Sin Kong yang
memberitahukan kepadaku. Katanya sebelum meninggalkan
rumah, dia menemukan sosok mayat seorang anak tanpa
kepala. Pakaian dan lainnya membuktikan bahwa itu mayat
putranya, yang bernama Lu Leng. Aku memberitahukannya,
bahwa Lu Leng masih hidup, namun dia sama sekali tidak
percaya."
Mendengar sampai di situ, Lu Leng tertegun lagi. Padahal
dia masih hidup, lalu siapa yang mati itu? Kenapa ayahnya
tidak percaya kalau dia masih hidup?
Sedangkan Tujuh Dewa juga tahu bahwa Lu Leng segar
bugar di dalam perahu. Maka mereka bertujuh saling
memandang sambil tersenyum. Air muka mereka menyiratkan
ketidak percayaannya akan perkataan Tam Sen, padahal Tam
Sen berkata sesungguhnya.
Tam Sen berhenti berbicara sejenak, kemudian
melanjutkan.
"Di dalam gudang batu itu, terdapat bekas sebuah telapak
tangan."
"Telapak tangan berjari enam?" tanya si Gendut cepat.
Tam Sen mengangguk.
"Tidak salah. Itu memang telapak tangan berjari enam.
Maka, tidak diketahui bahwa Liok Ci Siansing pasti punya
hubungan dengan urusan itu. Pertikaian partai-partai besar
juga ditimbulkannya. Namun kalau dia bersedia bertanggung
jawab, pasti dapat mengatasi bencana banjir darah itu."
352
Mendengar itu, Tujuh Dewa tertawa gelak, kemudian si
Gendut berkata.
"Tentunya kau tahu bahwa kami punya hubungan yang
amat dalam dengan Liok Ci Siansing. Apakah kau
menghendaki kami pergi menasihatinya agar dia bertanggung
jawab dengan cara membunuh diri?"
Tam Sen mengangguk.
"Ini adalah salah satu tujuanku ke mari." Si Sastrawan
berkata.
"Aku tahu, bahwa kau juga ingin memperingatkan kami.
Kalau Liok Ci Siansing tidak mau mengaku dosa, maka kau
akan turun tangan terhadapnya, dan menghendaki kami tak
turut campur tentang itu?"
Tam Sen segera menyahut.
"Mana berani! Mana berani!"
Walau dia mengatakan "Mana berani" namun si Sastrawan
telah menebak jitu maksudnya.
Tujuh Dewa bersifat angkuh, air muka mereka langsung
berubah begitu mendengar ucapan itu. Bahkan si Gendut
segera membentak tanpa sungkan2.
"Sobat Tam, kau sedang omong kosong, tidak usah
banyak bicara lagi!"
"Aku tidak omong kosong," sahut Tam Sen.
353
Si Sastrawan mendengus dingin.
"Hmm! Kau sudah omong kosong tapi tidak mau mengaku!
Perlukah aku menghajarmu?"
Tam Sen tertawa gelak.
"Ha ha! Aku dengar kau berkepandaian tinggi, maka aku
memang ingin mohon petunjuk!"
Si Sastrawan mengangguk.
"Baik! Kalau begitu berhati-hatilah!"
Si Sastrawan mengeluarkan sebatang pit, yaitu senjata
andalannya, lalu menyerang Tam Sen.
Kedua belah pihak berdiri begitu dekat. Si Sastrawan
menyerang cepat laksana kilat. Ketika ujung pit hampir
menotok jalan darah Tiong Hu Hiat di bahu Tam Sen,
mendadak Tam Sen mencelat ke belakang.
Serrt! Ujung pit itu menotok tempat kosong.
Si Sastrawan tertawa gelak.
"Ha ha ha! Kau memang berkepandaian tinggi!"
Ia lalu melesat ke depan, sekaligus mencoret-coret ke
depan. Itu adalah ilmu Ciak Hau Soh Hoat (Ilmu Menotok
Jalan Darah). Seketika juga dia menotok tujuh delapan jalan
darah di tubuh Tam Sen.
354
Di saat bersamaan, Tam Sen bergerak cepat memungut
sebatang ranting, kemudian digunakannya untuk menangkis
serangan itu.
Barusan si Sastrawan menyerang dengan jurus Tujuh
Bintang Mendampingi Bulan. Jurus tersebut dapat menotok
tubuh jalan darah pihak lawan. Akan tetapi, tangkisan Tam
Sen justru dapat mematahkan jurus tersebut.
Diam-diam si Sastrawan terkejut sekali. Secepat kilat dia
menarik senjatanya, namun tetap terlambat selangkah, karena
ranting yang di tangan Tam Sen, mendadak bergerak cepat.
Plak!
Ranting itu memukul batang pit, bahkan menekannya ke
bawah. Ujung pit itu bergerak, tapi tidak bisa lepas dari
tekanan ranting itu, sehingga meninggalkan coretan di tanah.
Mereka berdua bergerak cuma satu jurus. Si Sastrawan
menggunakan pit, sedangkan Tam Sen menggunakan
sebatang ranting sebagai senjatanya. Dalam pandangan orang
ahli, jurus Cit Sing Pan Goat begitu dahsyat dan lihay, tapi
dapat dipatahkan oleh tangkisan Tam Sen. Maka dapat
diketahui betapa tingginya kepandaian Tam Sen.
Wajah si Sastrawan tampak kemerah-merahan.
"Kepandaianmu sungguh tinggi, aku amat kagum dan merasa
tunduk!" katanya.
Perlu diketahui, si Sastrawan amat terkenal dalam rimba
persilatan. Julukannya adalah Sin Pit (Si Pensil Sakti) Se Chi.
Senjatanya berupa sebatang pit biasa, tapi karena
menggunakan tenaga lunak, maka pit itu menjadi Luar biasa.
355
Lagipula dalam kurun waktu beberapa tahun, dia terus
mempelajari huruf-huruf kuno untuk memperdalam ilmu Ciak
Hau Soh Hoat. Maka ilmunya itu bertambah hebat dan lihay.
Si Sastrawan pun bersifat angkuh, apa yang diucapkannya
tadi, sesungguhnya amat sulit baginya mencetuskannya.
Akan tetapi, begitu bergerak satu jurus dengan Tam Sen,
dia sudah jatuh di bawah angin. Dapat diketahui betapa
tingginya kepandaian Tam Sen! Kalau tidak bagaimana
mungkin hanya dalam satu jurus, dia sudah di bawah angin?
"Hm!" Tam Sen mendengus. "Tadi kalian bilang aku
berbicara omong kosong, apa maksudnya?"
Si Gendut dan enam orang lainnya saling memandang,
kemudian menjawab.
"Kau bilang putra Lu Sin Kong telah mati?"
"Aku tidak mengatakan begitu!" sahut Tam Sen.
Si Gendut tampak gusar sekali.
"Tapi tadi kau...."
"Tadi aku bilang, Lu Sin Kong menemukan sosok mayat
seorang anak tanpa kepala di gudang batu, maka Lu Sin Kong
dan isterinya menganggap putranya telah mati, namun Lu
Leng, putra kesayangan mereka justru belum mati.
Berdasarkan berbagai bukti, anak yang mati itu adalah putra si
Pecut Emas-Han Sun!"
Apa yang dikatakan Tam Sen, Lu Leng makin bingung
mendengarnya.
356
Urusan tersebut memang misterius sekali, maka tidak
mengherankan kalau orang lain kebingungan mendengarnya.
"Oh?" Si Gendut mengerutkan kening. "Kalau begitu, kami
telah keliru mempersalahkanmu?"
Tam Sen menghela nafas perlahan.
"Tidak perlu berkata begitu. Aku menduga sesama kaum
rimba persilatan akan saling membunuh. Maka aku berlari ke
sana ke mari, namun kalian tidak mau mendengar. Aku tidak
bisa apa-apa, hanya mau berpamit saja!"
Ketika Tam Sen baru mau melesat pergi, mendadak salah
seorang berseru.
"Tunggu, aku mau mengatakan sesuatu!"
Tam Sen berpaling, dilihatnya seorang bertubuh kurus
pendek. Seketika dia sudah tahu, bahwa orang itu si Buku Besi
Ciau Thong.
"Sobat Ciau ada petunjuk apa?" tanya Tam Sen.
Si Buku Besi Ciau Thong menyahut dingin.
"Demi kedamaian rimba persilatan, kau bersedia berlari ke
sana ke mari. Sungguh perbuatan terpuji! Tapi wajahmu
kenapa ditutup dengan kain?"
Sembari bertanya, Ciau Thong mendekatinya. Setelah
berada di hadapan Tam Sen, mendadak dia bergerak cepat
menyambar kain penutup muka itu.
357
Di saat tangan Ciau Thong bergerak, tiba-tiba terdengar
suara seruan.
"Jangan bertarung, aku ingin bicara!"
Tujuh Dewa dan Tam Sen segera menoleh, yang berseru
adalah seorang anak remaja, yang tidak lain adalah Lu Leng.
Begitu melihat Lu Leng, tercenganglah Tam Sen. "Eh?
Bagaimana kau berada di sini? Pantas aku tidak dapat
menemukanmu!"
Ketika silat mereka bertarung, Lu Leng merasa mereka
bukan orang jahat. Kalau mereka terus bertarung, tentunya
akan ada yang terluka, maka dia berseru mencegah mereka
bertarung.
Ketika berseru, dia menuju ke geladak, maka Tam Sen
dapat melihatnya, sehingga berseru pula, lalu mendadak
melesat ke perahu.
Tujuh Dewa tertegun. Mereka saling memandang,
kemudian serentak melesat ke perahu. Karena belum tahu
identitas Tam Sen, maka mereka bertujuh amat bercuriga. Di
saat kaki mereka baru menyentuh geladak, mereka bertujuh
langsung menyerang Tam Sen.
-ooo0ooo-
Bab 16
Sudah tiga puluh tahun mereka bertujuh berkumpul,
sedangkan kepandaian mereka amat tinggi, keras lunak dan
lain sebagainya. Setelah mereka bergabung menjadi Tujuh
358
Dewa, mereka pun sering memperdalam ilmu silat yang
mereka miliki, sehingga ilmu mereka bertambah maju.
Betapa dahsyatnya serangan gabungan mereka, maka
tidak heran, kalau serangan itu membuat Tam Sen terkejut
sekali.
Seandainya dia memberitahukan julukannya di masa lalu,
Tujuh Dewa pasti kenal, bahkan akan berhenti menyerang.
Tapi justru dikarenakan suatu urusan, maka dia tidak mau
menyebut julukannya.
"Bagus!" serunya lantang.
Mendadak badannya melambung ke atas setinggi lima
depaan. Tujuh Dewa tertegun ketika menyaksikannya, sebab
mereka tidak menyangka kalau Tam Sen memiliki ilmu
Ginkang yang begitu tinggi.
Mereka bertujuh tahu, bahwa itu adalah ilmu Setingkat
Demi Setingkat Naik Ke Langit. Kalau tidak memiliki Lweekang
yang amat tinggi, orang tidak mungkin dapat menguasai ilmu
Ginkang tersebut.
Berdasarkan itu dapat diketahui, betapa tingginya
Lweekang Tam Sen, dan itu sungguh di luar dugaan Tujuh
Dewa.
"Ginkang yang bagus!" seru mereka serentak.
Usai berseru, mereka menyerang lagi. Tam Sen berhasil
mengelak serangan pertama. Ketika dia menggunakan
gerakan Merosot Perlahan-lahan Di Pasir Datar tubuhnya
hampir mencapai geladak perahu. Akan tetapi, mereka
bertujuh telah melancarkan serangan kedua.
359
Saat dirinya berada di udara Tam Sen dapat merasakan
adanya tenaga yang amat dahsyat mengarah kepadanya.
Apa boleh buat! Dia terpaksa meminjam tenaga untuk
mencelat ke atas lagi beberapa depa.
Di bawah sinar rembulan, tampak bayangan Tam Sen
turun naik di udara, bagaikan arwah gentayangan. Lu Leng
yang berada di perahu, menyaksikannya dengan mulut
ternganga lebar.
Dulu dia mengira, bahwa kedua orangtuanya
berkepandaian paling tinggi, tapi kini setelah menyaksikan
kepandaian Tam Sen, terbukalah matanya dan mengerti pula
apa sebab kedua orangtuanya sering berkata "Di atas gunung
masih ada gunung" di luar langit masih ada langit".
"Bagus!" seru Tam Sen yang berada di udara.
Tampak sepasang tangannya menekan ke bawah. Seketika
terdengarlah suara "Blam" yang amat memekakkan telinga.
Ternyata dia menangkis serangan-serangan itu dengan
Lweekang, membuat Tujuh Dewa itu terpental ke belakang
satu depaan.
Di saat bersamaan, Tam Sen berjungkir balik ke darat, dan
tampak mulai gusar.
"Padahal anak itu berhubungan erat dengan urusan yang
akan terjadi di Bu Yi San, tapi kenapa kalian tidak
menghendaki aku menemuinya?" bentak Tam Sen.
Si Buku Besi Ciau Thong tertawa dingin.
360
"Anak itu terluka parah, kami yang menyelamatkannya dan
bermaksud menerimanya sebagai murid! Kalau usulmu tidak
jelas, kami tentu menghalangimu mendekatinya!"
Tam Sen tertegun mendengar ucapan itu.
"Kalian masing-masing memiliki kepandaian istimewa,
bersedia menerimanya sebagai murid, itu adalah
kemujurannya! Tapi biar bagaimana pun, dia harus ikut aku ke
Bu Yi San! Asal dia muncul di sana, pertikaian antara Go Bi,
Tiam Cong, Liok Ci Siansing, Pit Giok dan Tiat Ciat Song Jin
pasti dapat dijernihkan!"
Si Buku Besi Ciau Thong menyahut.
"Omong kosong. Berdasarkan apa murid kami harus ikut
kau ke Bu Yi San?"
Setelah si Buku Besi Ciau Thong berkata begitu, mendadak
Tam Sen bersiul panjang menggetarkan sukma siapa pun
yang mendengarnya.
Sebelum suara siulan itu lenyap, sekujur tubuhnya
mengeluarkan suara "Krek Krek Krek Krek".
"Kalian bertujuh, apakah benar kalian tidak mau menerima
arak penghormatan, sebaliknya malah ingin menerima arak
hukuman?"
Si Sastrawan Se Chi mengerutkan kening seraya berkata.
"Saudara sekalian, kita bertujuh memang suka minum
arak! Tapi kapan kita pernah minum arak hukuman bukan?"
Si Gendut tertawa.
361
"Lo Sam! Kau jangan gembira dulu, saat ini sobat Tam
tidak akan mengundangmu minum arak hukuman!"
Mereka bercakap-cakap sejenak, seakan tidak menggubris
keberadaan Tam Sen.
Tam Sen tertawa dingin.
"Tadi aku telah menjajal dua jurus serangan gabungan
kalian bertujuh! Walau kalian bertujuh tak ingin memberi
petunjuk kepadaku, aku justru ingin tahu bagaimana
kepandaian kalian bertujuh hingga bisa disebut Tujuh Dewa!"
Mereka saling menyindir, membuat Lu Leng semakin
cemas. Dia tahu bahwa usianya masih muda, maka tidak bisa
mencampuri urusan mereka. Akan tetapi, mereka ribut dan
bertarung adalah demi dirinya, bagaimana mungkin dia akan
tinggal diam? Setelah berpikir sejenak, barulah dia membuka
mulut.
"Para Paman Tujuh Dewa! Paman Tam bukan orang
jahat!"
Si Gendut menolehkan kepalanya seraya membentak.
"Bocah, kau jangan banyak mulut! Cukup menyaksikan
kami bertarung saja!"
Tam Sen juga ikut berkata.
"Nak, Tujuh Dewa masing-masing berkepandaian tinggi. Di
saat mereka bertarung, kau harus memperhatikan dengan
seksama!"
362
Seusai Tam Sen berkata. Tujuh Dewa mengepungnya.
Mendadak tangan mereka bergerak. Padahal gerakan tangan
mereka lamban, namun Tam Sen merasakan adanya tenaga
yang amat dahsyat menghantam ke arahnya.
Lu Leng pun terheran-heran karena gerakan Tujuh Dewa
begitu lamban, kelihatannya mereka bertujuh seakan sedang
mempertunjukkan semacam ilmu silat. Ternyata mereka
menyerang Tam Sen dengan Lweekang. Betapa dahsyatnya
Lweekang gabungan mereka bertujuh. Beberapa pohon kecil
yang ada di sekitar Tam Sen langsung roboh dan patah.
Namun Tam Sen justru berdiri tak bergeming. Sepasang
matanya menyorot tajam dan pakaiannya berkibar-kibar
bagaikan terhembus angin topan.
Tujuh Dewa tertegun bukan main. Sebab Tam Sen dapat
menahan serangan Lweekang mereka tanpa bergerak sedikit
pun.
Mendadak mereka membentak keras dan masing-masing
melancarkan dua pukulan. Di saat bersamaan, Tam Sen
bersiul panjang dan badannya berputarputar. Sepasang
telapak tangannya bergerak, seketika juga dia telah
melancarkan tujuh pukulan.
Ketujuh pukulan itu tidak hanya cepat dan aneh, bahkan
amat kuat. Saking cepatnya bergerak, sehingga tampak tujuh
bayangan berkelebatan, sepertinya dia berubah menjadi tujuh
orang menangkis serangan-serangan Tujuh Dewa itu.
Menyaksikan gerakan Tam Sen, Tujuh Dewa cepat-cepat
menyurut mundur dan tertegun. Kemudian si Gendut.
363
"Saudara-saudara, jangan menyerang dulu! Biar aku
bertanya sebentar padanya!"
"Baik!" sahut enam dewa lainnya, kemudian semuanya
diam di tempat.
Tam Sen juga berhenti menyerang lalu berdiri tak
bergeming di tempat, bagaikan sebuah gunung. Si Gendut
berkata sambil menatapnya tajam.
"Gerakanmu tadi, apakah yang telah menggemparkan
kolong langit di masa silam, kuat sampai tidak bisa kuat lagi,
yaitu Ilmu Pukulan Sakti Tujuh Gerakan?"
Lu Leng terheran-heran mendengar itu, karena si Gendut
mengatakan "Kuat sampai tidak bisa kuat lagi", itu amat
membingungkannya.
Dia tidak bisa bertanya, hanya menunggu jawaban Tam
Sen.
Terdengar Tam Sen menghela nafas panjang. Di saat dia
baru mau menjawab, mendadak terdengar derap kaki kuda,
yang kian lama kian mendekat, kemudian terdengar suara
seruan seorang anak gadis.
"Tujuh Dewa, kalian tujuh Paman berada di situ?"
Tujuh Dewa tertegun mendengar seruan itu. Kemudian
salah seorang dari mereka berkata.
"Eh? Si gadis liar dari Hui Yan Bun, mau apa dia ke mari
mencari kita?"
Si Gendut segera menyahut.
364
"Tidak salah, kami bertujuh berada di sini!"
Sementara kuda itu sudah berada di dekat mereka.
Tampak seorang gadis duduk di punggung kuda itu.
"Begitu sampai di luar kota, aku melihat tanda yang
ditinggalkan Paman, maka aku segera ke mari, sungguh
kebetulan sekali!"
Usai berkata begitu, gadis tersebut melesat ke hadapan
Tujuh Dewa dengan gerakan ringan dan amat indah.
Si Gendut langsung menegur sambil tertawa.
"Gadis busuk! Di kolong langit ini siapa yang tidak tahu Hui
Yan Bun memiliki ilmu Ginkang yang amat tinggi? Kau ingin
memamerkan ilmu Ginkangmu di hadapan kami? Hati-hati aku
akan menghajarmu!"
Gadis itu tertawa geli.
"Paman paman lain, paman Gendut ini begitu membuka
mulut langsung mencaciku. Kalau dia sebal kepadaku, lebih
baik aku pergi."
Si Sastrawan Se Chi segera berkata.
"Ah Ang, jangan berkelakar lagi! Kau begitu tergesa-gesa
ke mari mencari kami, sebetulnya ada urusan apa?"
Gadis itu bukan orang lain, ternyata adalah Toan Bok Ang,
murid kasayangan ketua Hui Yan Bun.
365
Dia menengok ke sana ke mari, akhirnya beradu pandang
dengan Tam Sen dan Lu Leng.
Lu Leng melihat gadis itu masih muda, tampak sebaya
dengan dirinya. Wajahnya cantik sekali, ketika berbicara,
wajahnya berseri-seri.
Walau usia Lu Leng masih kecil, namun begitu melihat
gadis itu, dia langsung terkesan baik.
Toan Bok Ang menyahut.
"Tujuh Paman, aku menerima perintah. Liok Ci Siansing
mengundang kalian segera ke Bu Yi San, guruku telah
meninggalkan Hui Yan San menuju Bu Yin San!"
Bukan main terkejutnya Tujuh Dewa, karena ketua Hui
Yan Bun merupakan pendekar wanita tingkatan tua, si Walet
Hijau-Yok Kun Sih. Kalau dihitung tingkatan, si Walet Hijau-
Yok Kun Sih lebih tinggi setingkat dari Tujuh Dewa.
Sesungguhnya, Yok Kun Sih sudah tidak menjabat sebagai
ketua Hui Yan Bun, tapi delapan tahun lampau, Hui Yan Bun
justru mengalami suatu kejadian, para murid generasi kedua
dan ketua Hui Yan Bun masa itu binasa semua, maka si Walet
Hijau-Yok Kun Sih kembali menjabat sebagai ketua. Kejadian
itu telah membuat dia mulai menerima murid baru, Toan Bok
Ang terpilih sebagai murid penutup.
Walau usia Toan Bok Ang masih kecil, tapi mempunyai dua
tiga puluh kakak seperguruan mendampinginya, yang ratarata
berusia dua kali lipat dari usianya.
Sedangkan Yok Kun Sih sama sekali tidak mau mingungkit
tentang kejadian lampau itu.
366
Oleh karena itu, para kawan rimba persilatan, jarang sekali
yang tahu tentang kejadian itu.
Usia Yok Kun Sih sudah delapan puluhan. Dia memiliki
Lweekang dan Ginkang yang teramat tinggi. Biasanya ada
urusan apa pun, hanya murid generasi ketiga yang pergi
membereskannya. Kalau agak penting, barulah mengutus
Toan Bok Ang, dia sendiri tidak pernah meninggalkan Thay
Ling Hui Yan San.
Tapi kini, Yok Kun Sih justru berangkat ke Bu Yi San, maka
dapat diketahui betapa seriusnya urusan itu.
Mereka bertujuh terkejut bukan kepalang. Kemudian
mereka membathin, apakah benar apa yang dikatakan Tam
Sen tadi?
Padahal asal-usul Tam Sen amat mencurigakan, namun
tadi justru mengeluarkan ilmu Cit Sat Sin Ciang.
Ilmu Cit Sat Sin Ciang, di kolong langit ini tiada orang yang
bisa menggunakannya. Ilmu pukulan tersebut diciptakan oleh
seorang aneh di masa lalu, berkekuatan lurus dan sesat. Tam
Sen bisa menggunakan ilmu pukulan itu, tentunya mempunyai
hubungan dengan orang aneh tersebut, yang telah sekian
tahun tidak muncul dalam rimba persilatan.
Tujuh orang itu diam, lama sekali barulah si Gendut
bertanya kepada Toan Bok Ang.
"Ang, mau apa gurumu ke Bu Yi San?"
Toan Bok Ang masih berusia muda, maka dia tidak tahu
urusan begitu serius, sebaliknya malah merasa gembira
karena ada keramaian.
367
"Wah! Kalian tujuh Paman masih tidak tahu, guruku ke
sana mau bertarung."
"OHh...?" Si Sastrawan Se Chi mengerutkan kening. "Gadis
liar, kenapa kau semakin tidak tahu urusan? Akan timbul
banjir darah dalam rimba persilatan, kau malah merasa
gembira sekali!"
Toan Bok Ang meleletkan Iidahnya kemudian menyahut.
"Paman ketiga, jangan membuat aku terkejut! Kalau
punya kepandaian, boleh ke Bu Yin San bertarung dengan
para jago Go Bi dan Tiam Cong Pai!"
Usai berkata, Toan Bok Ang tertawa cekikikan dan cepatcepat
mundur, seakan tahu si Sastrawan Se Chi pasti tidak
akan melepaskannya.
Tidak salah Si Sastrawan Se Chi langsung membentak
keras sambil menggerakkan pitnya. Tapi Toan Bok Ang sudah
bersiap-siap maka ia cepat-cepat berkelit dan meloncat ke
punggung kudanya.
Toan Bok Ang tertawa sambil memandang Si Sastrawan Se
Chi seraya berkata.
"Paman-paman, aku telah menyampaikan. Sampai jumpa
kembali di Bu Yi San, aku masih mau pergi cari Hwe Hong
Sian Kouw!"
Suaranya belum lenyap tapi kudanya telah meluncur
laksana kilat. Di saat bersamaan, Tam Sen membuka mulut.
"Hwe Hong Sian Kouw sedang merawat lukanya di kota
Bok Bay Ke sanalah kalau kau mau mencari dia!"
368
Suara Tam Sen tidak begitu keras, sedangkan kuda itu
berpacu laksana kilat dan sudah berlari sejauh satu mil!
Namun ucapan Tam Sen, gadis itu justru mendengarnya
dengan jelas, seakan mendengar ucapan orang dalam jarak
dekat.
Toan Bok Ang adalah murid handal si Walet Hijau-Yok Kun
Sih, tentunya amat berpengetahuan. Begitu mendengar suara
itu, terkejutlah hatinya karena suara itu kedengaran asing
sekali, bukan berasal dari mulut Tujuh Dewa.
Sudah pasti bukan anak remaja yang di perahu yang
mengucapkannya, melainkan adalah orang yang memakai kain
penutup muka.
Tadi ketika saling beradu pandang, sepasang mata orang
itu bersinar biasa, tak disangka dia berkepandaian begitu
tinggi.
Toan Bok Ang terus berpikir, tapi tidak berhenti sama
sekali, terus menuju ke kota Bok Bay untuk mencari Hwee
Hong Sian Kouw.
Setelah Toan Bok Ang pergi, Tam Sen berjalan mondarmandir
sejenak lalu berkata.
"Kalau kalian bertujuh ke Bu Yi San, jangan lupa apa yang
kukatakan tadi!"
Si Gendut berkata.
"Seandainya kami tidak ke sana?"
Tam Sen tertawa.
369
"Liok Ci Siansing dan lainnya akan diserang, tentunya
kalian bertujuh tidak akan tinggal diam. Sudah pasti kalian
akan ke sana, maka tidak perlu mengatakan begitu!"
Si Buku Besi menyahut dengan lantang. "Perkataan yang
tepat!"
Usai si Buku Besi berkata, badan Tam Sen bergerak lalu
tahu-tahu sudah berada, di kejauhan enam depaan, Tujuh
Dewa segera berseru.
"Sobat Tam jangan pergi dulu, kami masih ingin
menanyakan sesuatu!"
Badan Tam Sen terus bergerak sehingga bertambah jauh,
namun suara sahutannya terdengar jelas sekali.
"Kalian bertujuh tidak perlu bertanya lagi! Kalian
berangkatlah ke sana, dan ajaklah Lu Leng! Asal Lu Leng
muncul di sana, situasi di sana tentu berubah damai! Kita akan
berjumpa di Bu Yi San!"
Suaranya sirna, orangnya pun sudah tidak kelihatan lagi.
Tujuh Dewa saling memandang, lama sekali barulah
mereka bertujuh melesat ke perahu.
Berselang beberapa saat, barulah si Gendut membuka
mulut.
"Dengar-dengar tidak ada orang lain yang bisa
menggunakan ilmu Cit Sat Sin Ciang, kecuali dia, sedangkan
dia tidak punya murid. Orang itu pakai kain penutup muka,
bisa menggunakan ilmu Cit Sat Sin Ciang, apakah...."
370
Yang lain sudah tahu apa yang akan dikatakannya, yakni
apakah Tam Sen adalah orang aneh yang dua puluh tahun lalu
menciptakan ilmu Cit Sat Stt Ciang itu?
Kalau benar orang yang memakai penutup muka, adalah
orang aneh itu, memang sungguh mengejutkan.
Si Buku Besi segera berkata.
"Kini kita tidak perlu menduga siapa orang itu, sebaiknya
kita berunding dulu arah tujuan kita."
Si Sastrawan Se Chi menyahut.
"Tentunya kita harus ke Bu Yi San. Kawan baik punya
kesusahan, bagaimana mungkin kita tinggal diam di telaga
ini?"
Si Gendut pemimpin Tujuh Dewa itu, tampak termenung,
lama sekali barulah membuka mulut.
"Tentu harus ke sana. Begitu kita sampai, pertikaian kedua
pihak itu akan menjadi jernih."
Berkata sampai di situ, si Gendut berpaling untuk
memandang Lu Leng.
"Bocah, bersediakah kau ikut kami ke Bu Yi San?"
tanyanya.
Lu Leng segera menjawab.
"Tentu bersedia. Ibuku telah binasa, sedangkan musuh
berada di Bu Yi San. Bagaimana aku tidak ke sana?"
371
Ketika dia mengatakan "Ibuku telah binasa" sepasang
matanya langsung berapi-api.
Itu tidak terlepas dari mata Tujuh Dewa. Diam-diam
mereka bertujuh menghela nafas panjang. Mereka tahu bahwa
urusan itu sudah membengkak besar, tentunya sulit sekali
diperkecil lagi. Hanya saja ada seseorang yang khawatir tidak
akan terjadi kekacauan. Sebetulnya siapa dia? Apakah benar
dia adalah Liok Ci Siansing, kawan akrab mereka itu?
Akan tetapi, mereka bertujuh tahu jelas, bagaimana sifat
dan karakter Liok Ci Siansing, hambar terhadap urusan apa
pun dan sama sekali tidak berambisi. Sudah jelas tidak akan
melakukan semua itu.
Perasaan mereka bertujuh tercekam. Berselang sesaat, si
Buku Besi berkata dengan suara rendah.
"Saudara sekalian, tadi kita sudah menyatakan ingin
menerima bocah ini sebagai murid, maka kita tidak boleh
menelan ucapan itu...!"
Si Gendut manggut-manggut, kemudian berkata kepada
Lu Leng.
"Bocah, kau setuju?"
Mendengar pertanyaan itu Lu Leng malah tertegun.
Dalam hati dia memang setuju, karena Tujuh Dewa itu
masing-masing berkepandaian amat tinggi. Mengangkat
mereka bertujuh sebagai guru, tentunya akan memiliki
berbagai macam ilmu silat tingkat tinggi, itu merupakan
kemujuran bagi dirinya.
372
Akan tetapi, ayahnya justru bermusuhan dengan Liok Ci
Siansing, sedangkan Tujuh Dewa adalah kawan akrabnya.
Sebelum urusan itu jernih, bagaimana mungkin mengangkat
mereka bertujuh sebagai guru?
Ketika Lu Leng sedang berpikir, si Buku Besi malah
menjadi tidak sabaran dan segera bertanya. "Bocah! Apakah
kau tidak setuju?"
"Bagaimana mungkin aku tidak setuju?" sahut Lu Leng
cepat. "Tapi sebelum mendapat persetujuan dari ayahku, aku
tidak berani mengatakan setuju."
Si Buku Besi tertawa.
"Aku tahu dan mengerti maksudmu. Berhubung ayahmu
pergi mencari Liok Ci Siansing untuk membuat perhitungan,
lagipula kami bertujuh punya hubungan baik dengan Liok Ci
Siansing, maka kau tidak setuju. Ya, kan?"
Lu Leng menghela nafas panjang, karena merasa bahwa
dalam rimba persilatan sering terjadi peristiwa bunuhmembunuh
serta budi dan dendam, itu sungguh menakutkan.
"Benar apa yang Cianpwee katakan. Aku memang sedang
memikirkan masalah itu."
Si Buku Besi tertawa gelak.
"Ha ha ha! Kenapa kau justru takut? Kesalahpahaman
antara ayahmu dengan Liok Ci Siansing justru timbul karena
dirimu. Begitu ayahmu melihatmu, kesalahpahaman itu pasti
akan sirna. Tidak akan ada urusan apa pun lagi, kau tidak
perlu takut!"
373
Begitu Lu Leng mendengar perkataan itu, giranglah
hatinya dan segera berkata.
"Tujuh Guru semua, murid memberi hormat!"
Lu Leng berlutut di hadapan mereka semua. Betapa
gembiranya Tujuh Dewa! Mereka bertujuh punya pandangan
tajam, bahwa Lu Leng merupakan sebuah batu mustika yang
belum diasah. Apabila Lu Leng menjadi murid mereka,
tentunya akan mengharumkan sekaligus mengangkat nama
mereka.
"Bagus, bagus!" Si Gendut tertawa. "Ha ha! Kita harus
segera berangkat ke Bu Yi San, harus melakukan perjalanan
siang malam, agar cepat tiba di sana!"
Lu Leng memang ingin sekali bertemu ayahnya, maka
langsung mengangguk.
Kemudian mereka berdelapan berangkat menuju arah
Tenggara.
Hanya satu malam, mereka telah melakukan perjalanan
tujuh delapan puluh mil. Ketika berada di jalan besar, hari pun
sudah mulai terang. Di pinggir jalan itu terdapat sebuah kedai
teh. Tampak seorang berbadan gemuk memikul sebuah
pikulan batu yang beratnya tiga empat ratus kati, berjalan
tergesa-gesa. Sedangkan mereka berdelapan ke kedai teh itu.
Ketika melihat orang itu, Tujuh Dewa tertawa. Si Gemuk
segera berpaling dan begitu melihat mereka bertujuh, dia
tampak gembira sekali.
"Kalian bertujuh, kok berada di sini?" tanyanya bernada
heran.
374
Si Buku Besi menyahut.
"Saudara Yu, kau jangan pergi! Malam ini kami bertujuh
pasti tidak akan melepaskanmu!"
Si Gemuk itu adalah ketua Tay Chi Bun, si Dewa Gemuk Yu
Lao Pun. Dia tertawa-tawa sambil menghampiri mereka.
"Kenapa kalian tidak akan melepaskanku?"
Si Buku Besi segera menyahut.
"Setiap orang tahu, Lo toa (Saudara Tertua) kami adalah si
Gendut, tapi kau justru lebih gemuk, itu sebabnya kau harus
mampus!"
Yu Lao Pun tertawa gelak, sehingga daging di sekujur
badannya bergerak-gerak. Ketika dia baru mau membuka
mulut, mendadak melihat Lu Leng membuat sepasang
matanya berbinar-binar. Badannya yang gemuk itu bergerak,
tahu-tahu sudah menjulurkan tangannya untuk
mencengkeram lengan Lu Leng.
Jangan melihat badannya begitu gemuk, tapi ketika
bergerak justru gesit sekali.
Lu Leng tidak sempat berkelit, maka lengannya
tercengkeram oleh Yu Lao Pun. Lu Leng meronta-ronta, tapi
tak dapat melepaskan cengkeraman itu.
Si Buku Besi segera membentak. Dia kelihatan tidak gusar
tapi gusar.
"Saudara Gemuk, cepat lepaskan anak itu!"
375
Yu Lao Pun melototi si Buku Besi Ciau Thong, lalu
menjulurkan tangan yang lain untuk menarik kursi yang
diduduki Lu Leng. Di saat bersamaan, tangan yang sebelah
justru telah berada di atas kepala Lu Leng.
Tujuh Dewa menganggapnya bergurau, sebab kedua belah
pihak punya hubungan yang baik. Mereka juga dari golongan
lurus, yang selama itu tidak pernah terjadi bentrokan.
Kini menyaksikannya begitu turun tangan, langsung
sebelah tangannya menekan ubun-ubun Lu Leng, membuat
mereka bertujuh menjadi tertegun.
Mereka tahu bahwa ilmu yang dilatih Yu Lao Pun adalah
hawa murni Tay Chi yang amat lihay. Jangankan Lu Leng,
salah satu dari Tujuh Dewa pun kalau bagian berbahaya
dikuasai Yu Lao Pun, pasti akan celaka.
Si Buku Besi langsung membentak.
"Yu Gemuk, kau mau apa?"
Yu Lao Pun tidak menyahut, melainkan bertanya kepada
Lu Leng.
"Bocah, kau bermarga Lu?"
Ubun-ubun Lu Leng tertekan, itu membuatnya tak
bertenaga sama sekali, bahkan nyaris tak mampu bersuara.
Sikap Yu Lao Pun begitu kasar, menyebabkannya menjadi
gusar sekali.
"Tidak salah, aku bermarga Lu. Cepat lepaskan
tanganmu!" sahutnya sambil melotot.
376
Yu Lao Pun tertawa gelak, sehingga daging di badannya
ikut bergerak.
"Ha ha ha! Sungguh kebetulan sekali, tidak sia-sia aku ke
sana ke mari!"
Si Sastrawan Se Chi tertawa dingin.
"Yu Gemuk, apa maksud perkataanmu?"
Yu Lao Pun tetap tertawa.
"Kalian bertujuh, tidak usah berpura-pura lagi! Walau kita
bukan dari golongan hitam, namun siapa yang melihat pasti
ada bagiannya!"
Betapa gusarnya Tujuh Dewa. Tadi dikarenakan kurang
berhati-hati, sehingga Lu Leng jatuh ke tangannya, itu
membuat mereka tidak berani bertindak sembarangan.
"Saudara Gemuk!" tanya si Buku Besi gusar. "Kau sedang
kentut apa?"
Yu Lao Pun menggeleng-gelengkan kepala seraya
menyahut,
"Kentutku sungguh bau! Sungguh bau sekali!"
Sahutannya seakan bergurau, namun sikapnya tampak
bersungguh-sungguh, itu membuat Tujuh Dewa terheranheran.
Seandainya dia dari golongan hitam, justru gampang
menghadapinya, tapi dia dari golongan putih, lagipula adalah
ketua Tay Chi Bun.
377
Si Sastrawan Se Chi memandang keenam saudaranya,
kemudian berkata kepada Yu Lao Pun.
"Yu Gemuk, kami tidak punya waktu untuk omong kosong,
sebetulnya kau mau apa, katakan saja!"
"Aku melihat anak ini, kelihatannya amat cerdas. Lagipula
dia adalah putra Lu Sin Kong. Wajahnya mirip ayahnya, maka
aku ingin membawanya pergi jalan-jalan ke mana-mana, guna
menambah pengalamannya," sahut Yu Lao Pun sungguhsungguh.
Si Sastrawan menahan kegusaran seraya berkata.
"Itu tidak bisa. Dia telah mengangkat kami sebagai guru,
bagaimana mungkin ikut kau pergi jalan-jalan?"
Air muka Yu Lao Pun tampak berubah, kemudian berseriseri.
"Reputasi kalian bertujuh dalam rimba persilatan cukup
baik dan harum, namun apakah itu cuma kosong belaka?"
Si Sastrawan Se Chi membentak.
"Yu Gemuk, kenapa kau omong sembarangan?"
Yu Lao Pun tertawa ha ha hi hi, lalu menyahut. "Tak heran
kalian bertujuh semuanya menaruh perhatian kepada bocah
ini!"
Kini Tujuh Dewa sudah sedikit paham, urusan apa yang
dimaksudkan Yu Lao Pun. Mereka bertujuh diam, tapi justru
mendekatinya.
378
Sebelah kaki Yu Lao Pun menginjak pikulan batu,
kemudian dia tertawa dingin seraya berkata.
"Kalian bertujuh jangan bergerak sembarangan!"
Kemudian melanjutkan. "Menurut aku, kalian bertiga bukan
melihat bakat bocah ini, melainkan melihat dirinya yang akan
menguntungkan kalian dari Lu Sin Kong!"
Mendengar sindiran itu, wajah Tujuh Dewa langsung
berubah. Mereka bertujuh berpikir, seandainya satu lawan
satu, belum tentu mereka akan kalah, apalagi kini mereka
bertujuh, kenapa harus khawatir dia membawa pergi Lu Leng?
Karena itu, si Sastrawan Se Chi tertawa dingin.
"Yu Gemuk, kau adalah ketua sebuah partai! Kenapa
mencetuskan ucapan yang begitu tak tahu malu?"
Yu Lao Pun tertawa gelak.
"Ha ha ha! Sama-sama!"
Plak! Mendadak si Sastrawan memukul meja, kemudian
menegaskan.
"Yu Gemuk! Cepatlah kau lepaskan anak itu, kami tidak
punya waktu untuk mengobrol dengan orang yang tak tahu
malu!"
Yu Lao Pun seakan tidak mendengar apa yang dikatakan si
Sastrawan Se Chi. Kelihatannya dia sedang mendengarkan
suatu suara dengan penuh perhatian. Di saat itulah terdengar
derap kaki kuda di tempat jauh, kian lama kian bertambah
dekat. Seketika juga Yu Lao Pun tertawa dingin. Yang lain
sudah mendengar suara derap kaki kuda itu, namun itu adalah
379
jalan besar, tentunya ada kereta kuda maupun orang yang
menunggang kuda melewati jalan besar itu, maka tidak perlu
merasa heran.
Berselang sesaat, Yu Lao Pun bertanya sepatah demi
sepatah.
"Kalau aku tidak mau melepaskannya?"
Usai bertanya, mendadak dia mengeluarkan siulan
panjang. Apa yang dilatihnya selama itu adalah hawa murni
Tay Chi, merupakan ilmu Lweekang yang amat tinggi.
Suara siulannya bergema jauh sekali. Belum juga suara
siulannya lenyap, sudah tampak empat lima ekor kuda berlari
ke sana.
Di saat bersamaan, si Buku Besi Ciau Thong bangkit
berdiri, sambil menuding Yu Lao Pun seraya membentak,
"Kau tidak memberi muka kepada kami, aku lihat kau pun
percuma hidup di dunia!"
Yu Lao Pun tertawa.
"Oh ya?"
Di saat itu pula mendadak dia mendorong pikulan batunya,
yang beratnya hampir empat ratus kati. Terdengar suara
menderu-deru mengarah Tujuh Dewa. Bersamaan itu, dia pun
berseru.
"Sambut, jangan berhenti!"
380
Tangannya bergerak, tahu-tahu Lu Leng telah terlempar
keluar. Kebetulan beberapa ekor kuda sudah berada di situ,
dan lemparan itu justru ke arah sana.
"Guru...!" Salah seorang penunggang kuda itu berteriak.
Yang lain segera membentak.
"Teriak apa? Guru menyuruh kita menyambut dan pergi.
Kau tidak dengar?"
Kini Tujuh Dewa tersadar, bahwa Yu Lao Pun sudah tahu
bahwa beberapa muridnya akan melewati jalan besar itu,
maka dia terus mengulur waktu hingga murid-muridnya itu
muncul.
-ooo0ooo-
Bab 17
Sementara pikulan batu itu menderu-deru ke arah Tujuh
Dewa, membuat mereka bertujuh terpaksa mundur.
Di saat mereka mundur, Yu Lao Pun cepat-cepat
menyambut pikulan batu itu, lalu mengeluarkan jurus Langit
Penuh Bintang. Begitu jurus tersebut dikeluarkan,
terdengarlah suara yang menderu-deru.
Sedangkan Tujuh Dewa yang melangkah mundur itu, di
saat bersamaan, mereka pun melancarkan sebuah pukulan ke
arah Yu Lao Pun.
Blam! Terdengar suara benturan, Yu Lao Pun termundurmundur
tiga langkah.
381
Dia tahu jelas, dia seorang diri tidak akan mampu
melawan Tujuh Dewa, tujuannya hanya merebut Lu Leng.
Ternyata dia pun menerima sepucuk surat yang sama,
sehingga membuatnya percaya, bahwa barang kawalan Thian
Hou Lu Sin Kong merupakan barang mustika yang diimpikan
setiap kaum rimba persilatan. Oleh karena itu, dia pun
menghendaki barang tersebut.
Ketika melihat Lu Leng, timbul pula suatu ide dalam
hatinya, dia harus menggunakan Lu Leng untuk memaksa Lu
Sin Kong agar menyerahkan barang kawalannya itu.
Sesungguhnya Yu Lao Pun, bukanlah orang yang tak tahu
malu. Hanya saja dia amat berambisi, sehingga bertindak
begitu. Lagipula Tay Chi Bun terus merosot, bahkan Thian Bok
San, tempat markas Tay Chi Bun, sebagian besar telah
dikuasai Kim Kut Lau. Oleh karena itu, dia amat berambisi
mengorbitkan nama partainya. Kini ada kesempatan tersebut,
tentunya dia tidak akan melepaskannya begitu saja.
Ketika melihat beberapa muridnya telah melarikan Lu
Leng, maka dia pun melesat pergi.
Begitu melihat Yu Lao Pun mau kabur, bagaimana
mungkin mereka bertujuh membiarkannya? Mereka langsung
melesat pergi mengejarnya.
Justru di saat bersamaan, mendadak terjadi perubahan
besar.
Ketika Yu Lao Pun melempar Lu Leng, sekaligus pula
menotok jalan darah Hu Keng Hiatnya, maka Lu Leng tak
dapat bergerak sama sekali. Dua murid Yu Lao Pun
menyambutnya, lalu melarikannya.
382
Ketika Yu Lao Pun dan Tujuh Dewa berada di jalan besar
itu, beberapa murid Tay Chi Bun itu telah memacu kudanya
empat lima puluh depa jauhnya.
Namun di saat bersamaan, di jalan besar tampak seorang
tua mengejar kuda-kuda itu. Dia berkelebat bagaikan segulung
asap, tak lama sudah berhasil mengejar mereka.
Menyusul terdengar dua kali jeritan yang menyayat hati,
kemudian terlihat dua orang roboh dari punggung kuda.
Betapa terkejut Yu Lao Pun menyaksikan kejadian itu, dan
dia langsung melesat ke depan.
Dia melesat sambil berteriak-teriak, kelihatannya amat
terperanjat dan penasaran.
"Siapa kau? Jangan pergi, bertemu si Gemuk dulu!"
Menyaksikan itu, Tujuh Dewa saling memandang,
kemudian mereka bertujuh pun melesat ke depan.
Yu Lao Pun dan Tujuh Dewa tergolong orang kelas satu
dalam rimba persilatan. Maka begitu mereka melesat,
cepatnya laksana kilat.
Akan tetapi, walau mereka bergerak cepat, orang yang di
depan jauh lebih cepat, sehingga yang tampak hanya
segulung bayangan hitam berkelebat. Seketika terdengar lagi
suara jeritan yang menyayat hati. Murid-murid Tay Chi Bun,
sudah roboh dari kuda masing-masing.
Sedangkan bayangan hitam itu, segera menyambar Lu
Leng sekaligus meloncat ke atas punggung kuda. Seketika
juga kuda itu berlari pergi secepat kilat.
383
Setelah kedelapan orang itu sampai di tempat kejadian,
kuda itu sudah jauh sekali, sehingga yang tampak hanya
sebuah titik hitam di kejauhan.
Mereka tahu bahwa diri mereka tidak mungkin bisa
menyusul, maka si Buku Besi Ciau Thong gusar sekali dan
langsung mencaci.
"Kau sungguh tak tahu malu! Lihatlah apa yang kau
peroleh sekarang?"
Yu Lao Pun tidak menyahut, hanya memandang kelima
muridnya, yang semuanya telah binasa dengan tulang remuk.
Yu Lao Pun tahu jelas, bahwa kelima muridnya itu walau
tidak tergolong kelas satu, namun kepandaian mereka cukup
lumayan. Kini dalam waktu sekejap semuanya sudah binasa,
itu membuatnya termangu-mangu.
Tujuh Dewa pun sudah melihat kejadian itu.
Si Sastrawan Se Chi, menjinjing salah satu mayat itu, lalu
dilihatnya dengan penuh perhatian. Kemudian terdengar suara
"Buk", dia telah melepaskan mayat itu seraya berkata.
"Saudara sekalian, kita harus segera pergi mengejarnya!"
Si Buku Besi bertanya.
"Mungkinkah kita dapat menyusulnya?"
"Punya nama dan marga, bagaimana mungkin tak dapat
menyusulnya?" sahut si Sastrawan Se Chi.
384
Begitu mendengar ucapan itu, si Gemuk Yu Lao Pun cepatcepat
bertanya.
"Se Lo Sam, siapa orang itu? Kau sudah mengenalinya?"
Si Sastrawan mengeluarkan suara hidung, lalu menyahut.
"Hm! Tentu aku mengenalinya. Kau juga ingin pergi
mengejarnya?"
Saat ini, Yu Lao Pun amat gusar dan penasaran. Dia sama
sekali tidak menduga bahwa akan terjadi perubahan seperti
itu. Daging yang sudah berada di mulutnya, masih dapat
direbut orang, bahkan kelima murid handalnya pun menjadi
korban, sekaligus dia pun meninggalkan nama busuk pula.
Setelah berpikir sejenak, barulah dia menyahut. "Tentunya
aku mau pergi mengejarnya."
Si Sastrawan memberitahukan.
"Kelima orang itu, semuanya binasa terpukul Im Si Ciang."
Yu Lao Pun tertegun dan bertanya.
"Apakah yang turun tangan tadi si Setan Seng Ling?"
"Mungkin bukan dia," sahut si Sastrawan Se Chi. "Tapi
salah satu anaknya."
Yu Lao Pun tampak tidak percaya.
"Omong kosong! Kita semua bukan gentong nasi! Tentu
orang itu si Setan-Seng Ling!" katanya dengan gusar.
385
Tujuh Dewa merasa geli tapi juga heran, karena urusan
telah menjadi begini, tapi Yu Lao Pun masih berdebat.
"Kalau kau mau, kejarlah sampai di Pak Bong San! Kami
sudah mau pamit lho...!" kata si Buku Besi Ciau Thong dengan
nada dingin.
Sesungguhnya Yu Lao Pun merasa malu sekali, karena dia
tahu jelas, kalau saat ini bertemu si Setan-Seng Ling, belum
tentu dia mampu melawannya, maka bagaimana mungkin dia
ke Pak Bong San merebut Lu Leng?
Setelah berpikir sejenak, dia pun tertawa dingin.
"Apakah kalian merasa ikhlas, murid sendiri jatuh ke
tangan si Iblis itu?"
Si Sastrawan menyahut dengan dingin.
"Tidak salah. Kami bertujuh memang tak bernyali dan tak
tahu malu. Kau boleh menyiarkannya dalam rimba persilatan."
Yu Lao Pun tahu bahwa si Sastrawan Se Chi sedang
menyindirnya, sehingga membuatnya merasa malu sekali.
"Baik. Mari kita lihat!"
Badannya bergerak, ternyata dia telah melesat pergi.
Dalam hati Tujuh Dewa, amat membenci Yu Lao Pun. Lu
Leng bisa jatuh ke tangan si Datuk Sesat Seng Ling, itu garagara
si Gemuk.
386
Kedai teh itu telah rusak berat. Pemiliknya terus menerus
berkeluh kesah karena itu. Sementara hari pun sudah siang.
Tampak beberapa orang mendekati pemilik kedai dan
bertanya ini itu.
Tujuh Dewa tidak mau dijadikan bahan pembicaraan,
maka segera merogoh ke dalam bajunya mengambil beberapa
tael perak, lalu dilemparkannya ke atas meja, dan mereka
langsung pergi.
Mereka terus berjalan sambil berunding.
"Lu Leng telah berada di tangan si Datuk Sesat Seng Ling,
namun pasti akan selamat. Si Datuk Sesat itu turun tangan,
tujuannya sama seperti Yu Lao Pun, dia pasti tahu Lu Sin Kong
berangkat ke Bu Yi San, lebih baik kita sampai duluan, bisa
melihat situasi di sana." kata Sastrawan Se Chi.
Yang lain mengangguk tanda setuju, kemudian mereka
bertujuh berangkat ke Bu Yi San.
Kini kita mengikuti perjalanan Toan Bok Ang, murid handal
Hui Yan Bun.
Hari itu dia menerima perintah dari si Walet Hijau-Yok Kun
Sih, gurunya. Sebetulnya dia ingin mencegat Lu Sin Kong
suami istri untuk merebut kotak kayu itu. Tapi orang yang
ingin merebut kotak kayu itu, terdiri dari golongan hitam dan
putih, dan rata-rata berkepandaian amat tinggi pula, maka
membuatnya tidak berani sembarangan turun tangan.
Lagipula Lu Sin Kong suami istri, juga berkepandaian amat
tinggi, maka Toan Bok Ang merasa dirinya bukan lawan
mereka berdua.
387
Hari itu di rumah penginapan, Toan Bok Ang bertemu
dengan Yu Lao Pun. Kebetulan jalan darah Toan Bok Ang
ditotok oleh Sebun It Nio.
Setelah Lu Sin Kong suami istri pergi, Yu Lao Pun segera
membebaskan jalan darah Toan Bok Ang yang tertotok itu,
karena Tay Chi Bun dan Hui Yan Bun punya hubungan baik.
Betapa gusarnya Toan Bok Ang, tapi dia tahu jelas dirinya
bukan lawan Lu Sin Kong suami istri, lagipula masih harus
melaksanakan perintah gurunya, maka melanjutkan perjalanan
ke Su Cou untuk melihat-lihat situasi di sana.
Ketika hampir tiba di Su Cou, mendadak melihat dua murid
keponakannya yang berusia empat puluhan, namun tingkatan
Toan Bok Ang lebih tinggi. Kedua wanita itu justru sedang
mencarinya, maka begitu bertemu Toan Bok Ang, mereka
langsung memberitahukan bahwa akan ada urusan besar di
Bu Yi San. Ketua Hui Yan Bun, Yok Kun Sih sudah turun
gunung menuju Bu Yi San. Toan Bok Ang disuruh mencari
Tujuh Dewa dan Hwe Hong Sian Kouw dan undang mereka
agar segera datang di Bu Yi San.
Oleh karena itu, Toan Bok Ang segera pergi mencari
mereka. Padahal jejak Tujuh Dewa tidak menentu. Tapi
sampai di mana pun mereka bertujuh pasti meninggalkan
suatu tanda. Ketika Toan Bok Ang berada di luar kota Su Cou,
melihat tanda tersebut, sehingga berhasil mencari jejak
mereka.
Di saat mendengar Hwe Hong Sian Kouw berada di kota
Bok Bay merawat lukanya, Toan Bok Ang tertegun.
388
Karena Hwe Hong Sian Kouw berkepandaian amat tinggi,
terutama senjatanya, Liat Hwe Soh Sim Lun, yang sungguh
luar biasa. Lalu bagaimana Hwe Hong Sian Kouw bisa terluka?
Dia memacu kudanya sambil berpikir, kota Bok Bay berada
di kaki gunung. Berselang beberapa saat, dia sudah tiba di
kota tersebut.
Meskipun Toan Bok Ang merupakan gadis yang suka
menimbulkan urusan, namun peraturan Hui Yan Bun amat
ketat, maka membuatnya tidak berani sembarangan berbuat,
sebab akan mendapat hukuman berat.
Maka, ketika berada di pintu kota Bok Bay, dia menarik tali
les agar kudanya berjalan perlahan.
Justru di saat itulah, tiba-tiba terdengar suara kereta kuda,
yang berjalan keluar dari dalam kota.
Begitu melihat kereta kuda itu, terbelalaklah mata Toan
Bok Ang, karena kereta kuda itu amat indah dan mewah,
dihiasi dengan berbagai macam permata sehingga tampak
gemerlapan.
Tampak si kusir terngantuk-ngantuk di tempat duduknya,
membiarkan kuda itu berjalan perlahan.
Setelah melihat sejenak, Toan Bok Ang menganggap
bahwa kereta kuda itu milik pembesar, namun terasa aneh
pula.
Setelah kereta mewah itu berlalu, barulah dia melanjutkan
perjalanan memasuki kota tersebut. Akan tetapi, mendadak
terdengar teriakan aneh yang berasal dari pintu kota itu.
389
Tampak sosok bayangan menerjang keluar dengan
sempoyongan, tapi gerakannya cepat sekali.
Ketika mendengar teriakan itu, dalam hati Toan Bok Ang
tertegun, sebab suara itu membuatnya merinding.
Yang membuatnya tertegun, yakni gerakan orang itu
mempergunakan semacam ilmu Ginkang, seperti yang pernah
dipelajarinya, pertanda orang itu dari Hui Yan Bun.
Toan Bok Ang langsung menyapanya, dan orang itu
tampak seperti gila menerjang ke arahnya, namun terjatuh
lagi beberapa kali. Terakhir kalinya orang itu mencelat ke atas
setinggi beberapa depa, lalu terjatuh.
Gerakannya yang terakhir itu justru gerakan Gumpalan
Awan Berputar Balik.. Jelas itu adalah ilmu peringan tubuh Hui
Yan Bun. Ilmu itu tidak mungkin diwariskan kepada orang
luar. Karena itu, orang tersebut pasti punya hubungan erat
dengan Hui Yan Bun, maka Toan Bok Ang cepat-cepat
menghampirinya.
Toan Bok Ang menegasi orang itu, rambutnya awutawutan,
mukanya berlumuran darah. Dia tergeletak di tanah
dengan nafas memburu.
"Kau...."
Toan Bok Ang baru mencetuskan satu perkataan.
Mendadak orang itu menolehkan kepalanya, sehingga
membuat Toan Bok Ang berteriak tak tertahan.
"Haaah?"
390
Walau muka orang itu berlumuran darah, namun sepasang
matanya bersinar garang. Lagipula begitu menoleh, dia
langsung menyerang Toan Bok Ang dengan lima jarinya yang
menyerupai cakar, mengarah bagian dada Toan Bok Ang.
Gadis itu tak menduga sama sekali. Padahal dia
bermaksud baik mendekati orang itu, namun orang tersebut
malah menyerangnya. Untung dia cepat berkelit, maka dapat
lolos dari serangan orang itu.
"Eh?" Orang itu tampak terkejut ketika menyaksikan
gerakan Toan Bok Ang. "Kau dari Hui Yan Bun, murid generasi
ke berapa?"
"Aku murid Yok Kun Sih," sahut Toan Bok Ang
memberitahukan, karena dia tahu orang itu pasti punya
hubungan dengan perguruannya.
"Oh!" Orang itu bangun duduk seraya berkata, "Tujuh
tahun yang lalu, Kun Sih menerima seorang murid penutup
bernama Toan Bok Ang, apakah kau?"
"Ya." Toan Bok Ang mengangguk. "Bolehkah aku tahu
siapa Cianpwee?"
Orang itu tidak menyahut, melainkan mendongakkan
kepala memandang ke depan. Toan Bok Ang juga ikut
memandang ke depan. Tampak kereta mewah itu sudah jauh
sekali, dan orang itu menghela nafas panjang.
"Baik-baikkah gurumu? Aku.... Hwe Hong Sian Kouw."
Betapa girangnya Toan Bok Ang ketika mendengar ucapan
itu.
391
"Sian Kouw, aku justru sedang mencarimu," katanya
cepat.
"Ada urusan apa kau mencariku?" tanya Hwe Hong Sian
Kouw.
Toan Bok Ang memberitahukan dan Hwe Hong Sian Kouw
mendengarkan dengan penuh perhatian, kemudian menghela
nafas panjang.
"Kini aku terluka berat, bagaimana mungkin bisa pergi ke
Bu Yi San?"
Toan Bok Ang segera bertanya.
"Hwe Hong Sian Kouw, siapa yang melukaimu?" Hwe Hong
Sian Kouw mendengus.
"Hm! Yang melukaiku adalah orang yang di kereta mewah
itu! Tapi kini dia sudah pergi jauh, tak usah diungkit lagi!"
"Hah!" seru Toan Bok Ang tak tertahan. "Kalau aku tahu,
pasti aku menghalangi kereta mewah itu!"
Hwe Hong Sian Kouw tertawa dingin.
"Kalaupun gurumu yang ke mari, juga belum tentu dapat
menghalangi kereta mewah itu."
Toan Bok Ang tertegun dan bertanya.
"Sebetulnya siapa yang berada di dalam kereta mewah
itu?"
392
Hwe Hong Sian Kouw menyahut dengan kening berkerutkerut.
"Mereka cukup banyak. Sebelumnya aku sudah terluka,
maka tidak dapat melihat dengan jelas siapa mereka. Tapi aku
tahu salah seorang dari mereka adalah Liok Ci Siansing."
Toan Bok Ang terkejut mendengar ucapan itu.
"Itu... itu bagaimana mungkin? Liok Ci Siansing punya
urusan besar di Bu Yi San, bagaimana mungkin dia
menimbulkan urusan di sini?"
Hwe Hong Sian Kouw beradat keras dan emosional. Apa
yang dikatakannya tidak boleh ada orang mendebatnya. Oleh
karena itu, dia membentak gusar.
"Aku melihat dengan jelas sekali, salah seorang dari
mereka menjulur tangannya keluar, jarinya berjumlah enam.
Lagipula di dalam kereta mewah itu terdengar suara harpa.
Dia pasti Liok Ci Siansing, tidak mungkin orang lain."
Toan Bok Ang tahu, Hwe Hong Sian Kouw setingkat
dengan gurunya, maka dia tidak berani bersuara lagi.
Sedangkan Hwe Hong Sian Kouw melanjutkan. "Kau
datang dari Hui Yan San, apakah di tengah jalan bertemu
muridku, putri si Pecut Emas-Han Sun?"
Toan Bok Ang menggelengkan kepala.
"Tidak. Aku meninggalkan Hui Yan San sudah setengah
bulan lebih!"
393
Hwe Hong Sian Kouw menghela napas panjang. "Aaah!
Ternyata begitu! Sudah setengah bulan lebih! Sudah setengah
bulan lebih!"
Ternyata Hwe Hong Sian Kouw teringat kembali setengah
bulan yang telah lalu, setiap malam Han Giok Shia pasti
datang di menara Hou Yok untuk belajar ilmu silat kepadanya.
Tidak tahunya setengah bulan kemudian, justru terjadi
berbagai Macam perubahan.
Toan Bok Ang tidak tahu itu, maka dia diam saja.
Berselang beberapa saat kemudian barulah ia berkata.
"Sian Kouw, guruku telah berangkat ke Bu Yi San, urusan
ini justru Liok Ci Siansing yang melakukannya. Aku akan
mengurusi Sian Kouw, mari kita berangkat ke Bu Yi San!"
Apa yang dikatakan Toan Bok Ang, memang sesuai
dengan adat Hwe Hong Sian Kouw, maka dia tertawa seraya
berkata.
"Pantas Kun Sih begitu menyayangimu, ternyata kau
begitu baik dan penuh pengertian! Oh ya, kau membawa obat
luka perguruanmu, Pil Sayap Walet?"
"Ada." Toan Bok Ang mengangguk.
"Berilah aku empat butir!" kata Hwe Hong Sian Kouw.
Toan Bok Ang tersenyum.
"Kebetulan sekali, aku membawa empat butir."
Hwe Hong Sian Kouw manggut-manggut.
394
"Tentunya aku tahu jelas mengenai adat gurumu. Dia
memperbolehkanmu membawa empat butir Pil Sayap Walet,
karena kau murid kesayangannya. Kalau tidak, sebutir pun kau
tidak mungkin bisa membawa."
Toan Bok Ang tertawa kecil.
"Siau Kouw dan guruku merupakan kawan akrab, tentunya
tahu akan adat guruku."
Sembari berkata, Toan Bok Ang mengeluarkan sebuah
kotak kecil, lalu diberikan kepada Hwe Hong Sian Kouw.
Hwe Hong Sian Kouw menerima kotak kecil itu seraya
berkata,
"Legakanlah hatimu, kalau gurumu memarahimu, aku
yang akan bertanggung jawab! Aku tidak akan secara cumacuma
memakai obatmu itu, dan kelak aku pasti membalas
kebaikanmu ini."
Obat Yan Pheng Tan merupakan obat rahasia Hui Yan
Bun, dan tergolong obat mujarab yang tak ternilai harganya.
Yang membuat obat tersebut adalah guru Yok Kun Sih,
menggunakan berbagai macam ramuan, termasuk Walet
Berdarah yang hidup di laut selatan. Ketika menangkap Hiat
Yan, salah seorang kakak seperguruan Yok Kun Sih terpeleset
ke Lam Hai, sehingga mati tenggelam di laut itu.
Oleh karena itu, betapa berharganya obat Yan Pheng Tan
tersebut. Toan Bok Ang langsung memberikan obat itu kepada
Hwe Hong Sian Kouw, itu pertanda dia berhati lapang.
Toan Bok Ang tertawa.
395
"Hanya beberapa butir obat, Sian Kouw tidak perlu
membalas kebaikan ini!"
Hwe Hong Sian Kouw juga tertawa.
"Kau tidak usah berpura-pura berhati lapang, aku tahu
betapa berharganya obat itu. Namun kini, aku tidak bisa tidak
harus memakainya karena aku terluka parah. Legakanlah
hatimu, aku tidak akan ingkar janji!"
Usai berkata begitu, Hwe Hong Sian Kouw membuka
sebuah kotak kecil dan seketika terciumlah bau darah yang
amat menusuk hidung. Hwe Hong Sian Kouw terus
memandang obat itu, lama sekali barulah menelannya.
Tak lama setelah menelan keempat butir obat itu,
nafasnya mulai normal kembali, dan dia segera duduk bersila
untuk menghimpun hawa murninya.
Toan Bok Ang menjaga di sampingnya, kemudian
berselang beberapa saat sekujur badan Hwe Hong Sian Kouw
mengeluarkan uap. Toan Bok Ang tahu, bahwa obat itu mulai
bekerja di dalam tubuh Hwe Hong Sian Kouw. Dia amat girang
dan yakin, tidak lama lagi luka Hwe Hong Sian Kouw pasti
sembuh. Dia menunggu dengan sabar. Tak seberapa lama,
Hwe Hong Sian Kouw membuka matanya, lalu bangkit berdiri
seraya menarik lengan Toan Bok Ang.
"Mari kita pergi!"
Mereka lalu pergi. Beberapa mil kemudian mereka sampai
di pinggir sebuah sungai. Hwe Hong Sian Kouw segera
mencuci muka dan rambutnya. Setelah itu, dia berkata,
396
"Ang, kini lukaku telah sembuh separuh. Dalam perjalanan
ke Bu Yi San, kemungkinan besar lukaku telah pulih. Namun
dalam perjalanan, tidak mungkin tidak akan terjadi sesuatu,
maka kau harus berhati-hati!"
Toan Bok Ang mengangguk.
"Ya!" sahutnya.
Hwe Hong Sian Kouw berkata lagi.
"Gurumu beradat aneh. Dia telah menerimamu sebagai
murid, sudah pasti melarang orang lain memberi petunjuk
kepadamu. Tapi... aku akan mewariskan kepadamu seluruh
ilmu silatku."
"Siau Kouw...." Toan Bok Ang menggeleng2kan kepala.
"Jangan dikarenakan keempat butir obat itu, maka Sian Kouw
harus berbuat begitu!"
Hwe Hong Sian Kouw tertawa.
"Kau lebih baik daripada muridku itu, dia seperti aku
bersifat keras dan berangasan. Sebaliknya kau penyabar dan
banyak senyum. Kau harus ingat, kelak kalau kau menghadapi
suatu masalah, baik kau benar maupun salah, asal kau
mencariku, aku pasti membelamu."
Toan Bok Ang bergirang dalam hati. Dia memang suka
menimbulkan masalah, kini malah ada Hwe Hong Sian Kouw
berdiri di belakangnya, tentunya membuatnya girang sekali.
"Terimakasih, Sian Kouw!" ucapnya.
397
Mereka bercakap-cakap lagi. Tiba-tiba Hwe Hong Sian
Kouw teringat sesuatu, segera berkata.
"Oh ya! Kau ingin mencariku, kenapa begitu kebetulan kita
bertemu di kota Bok Bay?"
Toan Bok Ang menyahut.
"Seorang yang memakai kain penutup muka yang
memberitahukan kepadaku."
"Orang itu berbadan tinggi dan sepasang matanya
menyorot tajam?" tanya Hwe Hong Sian Kouw.
Toan Bok Ang mengangguk.
"Tidak salah! Aku sudah berada beberapa mil, namun
suara orang itu tetap mendengung ke dalam telingaku."
Hwe Hong Sian Kouw segera bertanya. "Kau tahu
namanya?"
Toan Bok Ang menggelengkan kepala.
"Aku tidak tanya." Kemudian dia menutur tentang Tujuh
Dewa dan orang yang memakai kain penutup muka itu.
Mendengar penuturan itu, Hwe Hong Sian Kouw menghela
nafas panjang.
"Dalam hidupku, aku paling tidak mau menerima budi
kebaikan orang. Namun beberapa hari ini, aku justru telah
menerima dua kali kebaikan orang. Yakni pemberian obatmu
dan orang itu menyelamatkan nyawaku."
398
Berkata sampai di situ, Hwe Hong Sian Kouw berhenti
sejenak, kemudian menghela nafas panjang dan melanjutkan.
"Kalau dia tidak menolongku, mungkin saat ini aku sudah
seperti si Pecut Emas, mati di rumahnya."
Toan Bok Ang tidak tahu dengan jelas tentang kejadian
itu. Dia bertanya, namun Hwe Hong Sian Kouw tidak mau
memberitahukan. Maka gadis itu terpaksa diam tapi amat
penasaran dalam hati.
Berhubung luka Hwe Hong Sian Kouw masih belum pulih,
maka di siang hari mereka beristirahat, malam harinya baru
melanjutkan perjalanan.
Dalam perjalanan, tidak pernah terjadi suatu apa pun, dan
itu amat melegakan hati Toan Bok Ang.
Kita kembali dulu mengingat ketika Lu Sin Kong dan Sebun
It Nio membawa kotak kayu meninggalkan kota Lam Cong, tak
lama setelah keluar dari pintu kota itu, di tengah jalan justru
bertemu Liok Ci Siansing dan Tiat Cit Song Jin.
Ketika itu, boleh dikatakan musuh besar saling
berhadapan, maka mata Lu Sin Kong dan Sebun It Nio
membara. Namun mereka berdua bermaksud menghabiskan
semua musuh, lagipula kalau saat itu bertarung, belum tentu
akan menang. Oleh karena itu, mereka berdua pergi begitu
saja.
Setelah mereka berdua pergi, Tiat Cit Song Jin bergerutu.
"Liok Ci, kelihatannya mereka berdua marah pada kita."
Liok Ci Siansing menyahut hambar.
399
"Mungkin mereka berdua merasa tidak senang karena kita
berniat menerima anaknya sebagai murid, maka sikap mereka
menjadi begitu."
Tiat Cit Song Jin menggelengkan kepala.
"Mungkin bukan begitu. Bukankah mereka sudah bilang
bahwa sebulan kemudian mereka akan mengantar bocah itu
ke Bu Yi San?"
Di saat mereka sedang bercakap-cakap, mendadak
terdengar suara harpa di dalam rimba.
Tiat Cit Song Jin mengerutkan kening seraya berkata.
"Liok Ci, aku sudah merasa bising akan suara harpamu,
tapi kenapa kok kini malah muncul suara harpa lain? Aku akan
pergi menghancurkan harpa itu!"
Usai berkata begitu, Tiat Cit Song Jin melesat ke dalam
rimba itu.
Ketika mendengar suara harpa itu, air muka Liok Ci
Siansing sudah berubah, dia mendengarkan dengan penuh
perhatian, tiba-tiba memegang bahu Tiat Cit Song Jin seraya
berkata dengan suara rendah. "Tiat Cit, jangan sembarangan!"
Dia mendengarkan lagi dengan seksama, kemudian tanpa
sadar dia memuji.
"Harpa yang bagus, jari yang luar biasa!"
Liok Ci Siansing memang ahli harpa. Setelah memuji dia
pun mendengarkan lagi dengan penuh perhatian, lalu
sekonyong-konyong wajahnya tampak terheran-heran.
400
"Eh? Berdasarkan suara harpa itu, sobat itu pun punya
enam jari!"
Tiat Cit Song Jin tertawa.
"Kalau begitu, dia sehaluan denganmu."
Liok Ci Siansing segera memberi isyarat, agar Tiat Cit Song
Jin jangan bersuara, kemudian memandang ke arah rimba
seraya berseru.
"Sobat jago dari mana? Sungguh sedap didengar suara
harpamu!"
Suara harpa itu berhenti, lalu bersamaan terdengar suara
sahutan.
"Aku tidak begitu ahli memetik harpa! Bolehkah aku tahu
siapa Anda?"
Liok Ci Siansing segera menyahut dengan gembira.
"Aku Liok Ci dari Bu Yi San!"
Terdengar orang itu berkata.
"Oh! Ternyata Liok Ci Siansing! Nama Anda sudah amat
terkenal...!!"
Berkata sampai di situ, orang itu seakan teringat sesuatu.
"Oh ya! Kenapa Anda masih berada di sini? Apakah Anda
tidak tahu kalau di Bu Yi San akan terjadi suatu bencana?"
401
Liok Ci Siansing dan Tiat Cit Song Jin tertegun mendengar
pertanyaan orang itu.
"Apa maksud Anda berkata begitu?"
Mereka berdua segera memasuki rimba itu. Tampak di
samping sebuah pohon Siong tua, seseorang sedang duduk
dan memangku sebuah harpa kuno. Begitu melihat Liok Ci
Siansing dan Tiat Cit Song Jin, orang itu bangkit dari tempat
duduknya seraya menyahut.
Liok Ci Siansing dan Tiat Cit Song Jin memperhatikannya.
Orang itu kelihatannya masih muda dan wajahnya cerah. Liok
Ci Siansing juga memperhatikan jari tangan orang itu, justru
cuma ada lima.
Liok Ci Siansing tertegun.
"Andakah yang tadi memetik harpa?"
"Benar... Entah Anda mau memberi petunjuk apa?" sahut
orang itu.
Liok Ci Siansing merasa heran. Sebab berdasarkan
pengalamannya di bidang harpa, dia dapat mendengar bahwa
si pemetik harpa itu pasti berjari enam, namun orang itu
justru berjari lima.
"Cara Anda memetik harpa sungguh luar biasa! Namun
apa yang Anda katakan tadi, bolehkah Anda menjelaskannya?"
Liok Ci Siansing dan Tiat Cit Song Jin sama sekali tidak
kenal orang itu, maka dapat dikelabuinya. Mereka
menganggap si pemetik harpa tadi adalah orang itu.
402
Kalau Lu Sin Kong berada di situ, pasti kenal orang itu,
yang tidak lain adalah Ki Hok.
Hanya saja saat ini, Ki Hok telah berganti dandanan, tidak
berdandan sebagai pengurus rumah.
"Thian Hou Lu Sin Kong dan Sebun It Nio, mengatakan
bahwa Anda telah mencelakai putra mereka satu-satunya,
karena itu mereka mengundang para jago dari Go Bi dan Tiam
Cong Pai, ke Bu Yi San. Kalau kalian berdua takut urusan,
lebih baik bersembunyi saja. Namun kalau mereka tidak
menemukan Anda, semua harpa yang ada di sana pasti
dihancurkan."
Setiap orang pasti punya suatu hobi, maka ratusan harpa
yang berada di Bu Yi San, boleh dikatakan merupakan nyawa
bagi Liok Ci Siansing. Ki Hok berkata begitu, justru
mendorongnya cepat-cepat pulang ke Bu Yi San.
"Tiat Cit, mari cepat pulang!"
Tidak menunggu sampai Tiat Cit Song Jin mengangguk,
Liok Ci Siansing sudah melesat pergi meninggalkan rimba itu.
Begitu melihat Liok Ci Sian sing melesat pergi, Tiat Cit Song
Jin pun mengikutinya. Dalam waktu sekejap, mereka berdua
sudah tidak kelihatan.
Ki Hok tertawa gelak seraya berkata.
"Tuan majikan, aku telah meyakinkan mereka berdua."
Terdengar suara sahutan yang begitu halus dan nyaring
dari dalam rimba.
403
"Bagus, bagus! Tak lama lagi, kau akan menjadi orang
nomor wahid dalam rimba persilatan!"
Ki Hok segera memberi hormat ke arah rimba itu.
"Terimakasih atas kebaikan Tuan majikan. Apakah kita
masih harus menambah minyak pada pihak Go Bi dan Tiam
Cong?"
Orang yang ada di dalam rimba menyahut.
"Tentu! Bahkan harus pula menyiarkan kabar tentang itu,
agar semua kaum rimba persilatan mengetahuinya!"
Ketika Lu Sin Kong dan Sebun It Nio baru tiba di Su Cou,
hampir semua kaum rimba persilatan tahu tentang urusan
tersebut. Oleh karena itu, yang menuju ke Bu Yi San, terdiri
dari golongan lurus dan sesat, bahkan rata-rata merupakan
jago yang berkepandaian tinggi.
Di antaranya terdapat Tujuh Dewa, ketua Hui Yan Bun si
Walet Hijau-Yok Kun Sih, ketua Hwa San Pai Liat Hwe Cousu,
Yu Lao Pun dan lainnya.
Pihak golongan sesat terdiri dari si Setan Seng Ling, Thay
San Hek Sin Kun dan lainnya. Mereka semua sudah dalam
perjalanan menuju Bu Yi San.
Orang yang amat mendendam kepada Lu Sin Kong, juga
sudah berangkat ke sana. Mereka adalah Hwe Hong Sian
Kouw dan Han Giok Shia.
Di antara sekian banyak orang, hanya ada satu orang yang
berusaha mengatasi bencana itu, yaitu Tam Sen.
404
Selain itu, juga terdapat para pendekar muda, misalnya
Tam Goat Hua dan kakaknya serta Toan Bok Ang, yang
semuanya juga sedang menuju Bu Yi San.
Sian Jin Hong di Bu Yi San merupakan tempat tinggal Liok
Ci Siansing, yang amat tenang dan damai. Namun kini, justru
merupakan tempat berkumpulnya para jago berkepandaian
tinggi. Banjir darah dalam rimba persilatan akan dimulai dari
sana.
Sebulan kemudian, Liok Ci Siansing dan Tiat Cit Song Jin
tiba di Bu Yi San. Mereka berdua tiba paling awal. Bu Yi San
sangat terkenal akan keindahan panoramanya, namun juga
terdapat batu curam yang berbahaya, jurang yang dalam dan
tebing yang licin.
-ooo0ooo-
Bab 18
Tempat tinggal Liok Ci Siansing berada di puncak Bu Yi
San, disebut Sian Jin Hong. Di puncak gunung itu terdapat
sebidang tanah yang amat luas, rerumputannya menghijau
dan bunga liar bermekaran menakjubkan.
Tempat itu sedemikian sepi, tenang dan damai, namun di
sana justru akan terjadi sesuatu yang menggegerkan.
Pagi itu, di bawah sebuah pohon Siong tua, di samping
sebuah batu besar tampak dua orang sedang duduk
berhadapan.
405
Mereka berdua adalah Liok Ci Siansing dan Pit Giok Sen.
Orang tersebut berkepandaian tinggi tapi bersifat aneh.
Namun walau demikian, kaum rimba persilatan amat
menghormatinya,
Mereka berdua tampak sedang merenungkan sesuatu. Tak
jauh dari situ, terlihat seorang lelaki, kepalanya mirip macan
dan rnukanya penuh brewok.
Tangannya memegang sebuah Tiat Cit warna hitam, yang
tingginya hampir empat kaki. Sesungguhnya Tiat Cit itu
merupakan semacam alat musik kuno, namun di tangan Tiat
Cit Song Jin, itu bukan merupakan alat musik lagi, melainkan
semacam senjata yang amat lihay.
Ketika masih kecil, Tiat Cit Song Jin sudah memiliki tenaga
yang amat besar. Siapa pun tak mampu melawannya. Namun
setelah dia berhasil menguasai beberapa macam ilmu silat,
justru malah tidak punya senjata.
Beberapa tahun kemudian, ketika melewati sebuah desa
nelayan, dia melihat para nelayan sedang menyembah sebuah
Tiat Cit, tampak pula beberapa macam sesajian.
Tiat Cit Song Jin tertawa dalam hati, karena para nelayan
itu begitu tahayul. Maka diusirnya mereka sehingga terjadi
perkelahian. Bagaimana mungkin para nelayan itu
melawannya? Akhirnya para nelayan itu lari tunggang
langgang meninggalkan tempat itu. Kemudian sambil tertawa
Tiat Cit Song Jin mendekati Tiat Cit itu, dan mengangkatnya.
Akan tetapi, Tiat Cit itu tak bergeming sedikit pun, padahal
dia mampu mengangkat barang yang beratnya lima ratus kati.
Namun justru tak mampu mengangkat Tiat Cit tersebut.
406
Oleh karena itu, dia pergi berguru lagi. Lima tahun
kemudian, dia kembali ke desa nelayan itu, dan barulah
mampu mengangkat Tiat Cit tersebut.
Setelah berhasil mengangkat Tiat Cit itu, dia pun
memperhatikannya, ternyata di belakang Tiat Cit itu terdapat
beberapa baris tulisan.
Berat Tiat Cit ini tujuh ratus kati, dibuat dari besi murni,
tertera dua puluh tujuh jurus Tiat Cit, siapa yang berjodoh
memperoleh Tiat Cit ini, boleh mempelajarinya.
Bukan main girangnya Tiat Cit Song Jin, maka dia segera
mempelajari dua puluh tujuh jurus Tiat Cit tersebut, dan
akhirnya memperoleh julukan Tiat Cit Song Jin.
Saat ini, mendadak badannya bergerak. Tiat Cit itu pun
ikut bergerak ke sana ke mari menimbulkan suara menderuderu.
Kemudian terdengar suara "Blam", Tiat Cit itu menancap
di tanah.
Dia memandang Liok Ci Siansing dan Pit Giok Sen, lalu
berseru lantang.
"Kalian berdua, apakah tidak tahu musuh tangguh akan
menyerbu ke mari?"
Liok Ci Siansing tersenyum hambar. Ternyata dia sedang
bermain catur dengan Pit Giok Sen.
"Tahu lalu mau apa? Apakah boleh melarang mereka naik
ke mari?"
Tiat Cit Song Jin mendengus.
407
"Hm! Kalian berdua setiap hari kalau bukan bermain
harpa, pasti bermain catur! Sama sekali tidak mau berpikir,
memangnya kenapa?"
Tiat Cit Song Jin beradat keras, berangasan dan tak
sabaran. Ketika teringat Go Bi dan Tiam Cong Pai akan
menyerbu tempat itu, dia sudah bersiap untuk bertarung.
Akan tetapi, dalam beberapa hari ini, di Sian Jin Hong
tersebut justru sepi-sepi saja. Sedangkan Liok Ci Siansing
terus bermain catur dengan Pit Giok Sen, sepertinya tiada
urusan sama sekali, dan itu membuat Tiat Cit Song Jin
menjadi tidak sabar.
Pit Giok Sen tertawa.
"Liok Ci, set ini kau yang kalah. Apakah kau masih merasa
penasaran?"
Liok Ci Siansing mengangguk.
"Aku sudah kalah tujuh set, tak mampu membalas sama
sekali."
Kedua orang itu tertawa, tidak menggubris Tiat Cit Song
Jin. Wajah Tiat Cit Song Jin berubah merah padam. Dia
melangkah lebar menghampiri mereka, kemudian
mengayunkan tangannya.
Ser! Ser! Dia telah melancarkan dua pukulan ke arah
papan catur itu.
Braak! Papan catur itu hancur berkeping-keping,
sedangkan semua biji catur menancap di sebuah pohon.
408
Liok Ci Siansing dan Pit Giok Sen bangkit berdiri, lalu
tertawa gelak.
"Ha ha ha! Tiat Cit, kau sungguh keterlaluan! Merusak
kesenangan orang lain!"
Ketika Tiat Cit Song Jin baru mau menyahut, mendadak
terdengar suara siulan di pinggang gunung, enam tujuh kali.
Suara siulan itu amat nyaring. Berdasarkan suara siulan
itu, dapat diketahui para pendatang itu rata-rata
berkepandaian amat tinggi.
Air muka Tiat Cit Song Jin langsung berubah. Dia
memandang Liok Ci Siansing dan Pit Giok Sen seraya berkata,
"Kalian masih mau main catur? Bukankah musuh tangguh
sudah datang?"
Tiat Cit Song Jin mencelat ke tempat Tiat Cit itu
menancap, lalu mencabutnya.
Liok Ci Siansing dan Pit Giok Sen saling memandang,
kemudian mereka tertawa terpingkal-pingkal.
Tiat Cit Song Jin melotot dan membentak. "Musuh sudah
datang, kenapa kalian masih tertawa?"
Liok Ci Siansing menyahut.
"Tiat Cit, dalam beberapa hari ini, kau selalu mengejutkan
diri sendiri, hingga suara siulan kawan baik pun tidak kau
kenali! Bukankah itu menggelikan sekali?"
409
Tiat Cit Song Jin tertegun, kemudian tertawa gembira.
"Ha ha ha! Ternyata ketujuh makhluk aneh itu yang
datang!"
Di saat bersamaan, tampak tujuh sosok bayangan
berkelebatan mendatangi tempat tersebut.
Begitu sampai di tempat itu, ketujuh orang tersebut
berbaris, yang paling depan adalah si Gendut.
"Tiat Cit! Kau berani mencaci kami di belakang? Apakah
kami bertujuh mirip makhluk aneh?"
Ketika melihat Tujuh Dewa, giranglah Tiat Cit Song Jin,
kemudian tertawa terbahak-bahak seraya menyahut.
"Kalau kalian bertujuh bukan makhluk aneh, lalu siapa
makhluk aneh? Jangan omong yang bukan-bukan, cepat
berunding cara bagaimana menghadapi musuh, itu baru
benar!"
"Kalian jangan mendengarkan omongan Tiat Cit!" kata Liok
Ci Siansing. "Di tempatku bunga-bunga bermekaran sepanjang
tahun. Mari kita minum dulu!"
Bagian 08
Tujuh Dewa mengangguk, sedangkan Tiat Cit melotot
dengan nafas memburu menahan kegusarannya. Dia merasa
dirinya kurang bisa berdebat, maka diam saja dengan hati
mendongkol.
410
Liok Ci Siansing sudah mengambil arak. Mereka semua
duduk di situ, minum-minum sambil tertawa. Berselang
beberapa saat, setelah puas minum barulah si Gendut berkata.
"Liok Ci, ketika kami kemari, di tengah jalan mendengar
kabar bahwa banyak jago tangguh rimba persilatan, menuju
ke mari. Kau sebagai tuan rumah di sini, bagaimana cara
menyambut mereka?"
Liok Ci Siansing bertepuk tangan sambil tertawa.
"Lucu sekali! Puncak Sian Jin Hong ini bukan milikku
pribadi. Mereka mau ke mari, ada urusan apa denganku?"
Si Sastrawan Se Chi berkata.
"Liok Ci, jangan meremehkan urusan ini!"
Liok Ci Siansing mengerutkan kening.
"Se Lo Sam, untuk apa kau merusak suasana?"
Si Buku Besi berkata dengan lantang.
"Liok Ci..., Go Bi dan Tiam Cong Pai menuduhmu
mencelakai putra Lu Sin Kong. Urusan ini bukan kecil, karena
akan menimbulkan bencana dalam rimba persilatan."
Liok Ci Siansing memang hambar terhadap segala apa
pun. Oleh karena itu dia tetap tertawa.
"Kalaupun timbul bencana dalam rimba persilatan, namun
bukan aku yang menimbulkannya. Ada hubungan apa dengan
diriku?"
411
Sementara Tiat Cit Song Jin diam saja. Namun sejenak
kemudian dia berkata dengan gusar sekali.
"Kalian bertujuh tidak usah banyak bicara dengan dia.
Sampai saatnya nanti kita lihat bagaimana dia
menghadapinya."
Liok Ci Siansing tertawa.
"Go Bi dan Tiam Cong Pai tergolong partai besar,
bagaimana mereka tidak membicarakan aturan?"
Si Sastrawan Se Chi berkata sungguh-sungguh.
"Ini sulit dikatakan, sebab kini urusan tersebut bagaikan
sebuah misteri yang dikendalikan oleh seseorang. Yang
menggegerkan kolong langit, Cit Sat Sin Ciang pun telah
muncul dalam rimba persilatan."
Air muka Liok Ci Siansing tampak berubah. "Apakah
pemilik Cit Sat Sin Ciang yang menimbulkan itu?"
Si Sastrawan Se Chi menggeleng-gelengkan kepala.
"Justru bukan...."
Kemudian dia memberitahukan tentang semua pertikaian
itu, Lu Sin Kong suami isteri, si Pecut Emas-Han Sun, Hwe
Hong Sian Kouw dan ketua Hui Yan Bun si Walet Hijau-Yok
Kun Sih yang mungkin sudah menuju ke Bu Yi San.
Mendengar itu, Liok Ci Siansing mengerutkan kening dan
termangu-mangu, sedangkan Tiat Cit Song Jin tertawa dan
berkata.
412
"Ha ha! Ayo! Main catur lagi! Ayoooo..!!"
Salah satu tujuh dewa Si Gelang Maut Lim Hau
memandang Tiat Cit Song Jin seraya berkata.
"Saudara Tiat Cit, itu bukan urusan kecil. Di antara kita
jangan sampai terjadi perdebatan. Kali ini yang ke mari terdiri
dari beberapa ketua partai. Kalau terjadi pertarungan, kita
cuma sepuluh orang, dan tidak ada yang akan membantu
kita."
Tiat Cit Song Jin membusungkan dada, kemudian berkata
dengan gagah.
"Walau kita cuma sepuluh orang, namun sudah lebih dari
cukup."
Apa yang dikatakan Tiat Cit Song Jin memang bukan
dibesar2kan saja.
Perlu diketahui, mereka sepuluh orang rata-rata
berkepandaian amat tinggi dan tergolong jago tangguh kelas
satu.
Kalau terjadi pertarungan, di pihak lain tidak begitu
banyak jago tangguh, tentunya bukan lawan mereka.
Si Sastrawan baru mau membuka mulut tapi tidak jadi,
karena tampak dua orang sedang melesat berlari ke puncak
Sian Jin Hong.
Gerakan kedua orang itu sungguh cepat. Dalam waktu
sekejap saja mereka sudah tiba di tempat itu.
413
Setelah terlihat jelas, ternyata dua wanita berusia
pertengahan.
Kedua wanita itu memberi hormat, lalu bertanya. "Maaf!
Siapa di antara kalian yang bernama Liok Ci Siansing?"
Liok Ci Siansing segera bangkit berdiri dan menyahut.
"Aku! Bolehkah aku tahu siapa kalian berdua?"
Salah seorang dari mereka menjawab.
"Aku dari perguruan Hui Yan Bun. Guru memberi perintah
pada kami untuk kemari mengunjungi Liok Ci Siansing. Guru
ingin meminjam tempat agar kami beberapa murid Hui Yan
Bun bisa menginap di sini."
Setelah mendengar ucapan wanita itu, Liok Ci Siansing
tertawa hambar.
"Di tempat ini hanya terdapat sebidang tanah kosong,
sama sekali tiada tempat tinggal."
Kedua wanita itu memberi hormat seraya berkata.
"Tidak membutuhkan tempat tinggal, cukup sebagian
tanah kosong ini saja! Guru pasti amat berterimakasih."
Liok Ci Siansing manggut-manggut.
"Kalau begitu, kalian berdua boleh beristirahat di Sian Jin
Hong ini."
414
"Terimakasih," ucap kedua wanita itu. Mereka lalu
memandang ke sana ke mari, setelah itu melesat ke bawah
sebuah pohon.
Mereka mengeluarkan belasan batang besi, lalu
ditancapkan ke tanah mengelilingi tempat itu. Setelah belasan
batang besi itu tertancap semua, terbentuklah seekor burung
walet kecil.
Seusai itu, mereka berdua memberi hormat kepada semua
orang dan berkata.
"Kami akan pergi menjemput guru kami. Terima-kasih
untuk tempat ini!"
Kemudian kedua wanita itu melesat pergi. Liok Ci Siansing
menghela nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan
kepala.
"Walau Hui Yan Bun terdiri dari kaum wanita, namun
berkedudukan tinggi dalam rimba persilatan. Kedua wanita itu
cuma merupakan murid Yok Kun Sih, tapi berkepandaian
begitu tinggi dan melaksanakan tugas dengan penuh
kesabaran, itu sungguh mengagumkan !"
Dalam hati yang lain, juga sependapat dengan Liok Ci
Siansing. Mereka memperbincangkannya sejenak.
Tak Beberapa lama kemudian, kedua wanita itu telah
kembali ke ,tempat itu.
Tampak seorang nenek berpakaian hijau sepasang mata
menyorot tajam berjalan di belakang mereka. Ketika
melangkah badan nenek itu tampak ringan sekali, seakan
sedang melayang-layang di permukaan air.
415
Begitu melihat nenek itu, semua orang sudah tahu bahwa
nenek itu adalah si Walet Hijau-Yok Kun Sih yang
berkepandaian amat tinggi, di belakangnya ikut pula empat
muridnya.
Sampai di situ, Yok Kun Sih sama sekali tidak
mengacuhkan semua orang yang berada di situ, dan semua
orang itu juga tidak menghiraukannya.
Yok Kun Sih dan murid-muridnya langsung menuju bawah
pohon tempat belasan batang besi ditancapkan, Yok Kun Sih
duduk di dalamnya, sedangkan murid-muridnya segera
memasang tenda.
Menyaksikan ulah nenek dan murid-muridnya itu si
Sastrawan Se Chi berbisik.
"Berdasarkan situasi, Tiam Cong dan Go Bi Pai tidak akan
berada di atas angin, sebab Yok Kun Sih punya hubungan baik
dengan Hwe Hong Sian Kouw, yang tentunya akan membantu
Hwe Hong Sian Kouw membuat perhitungan dengan Lu Sin
Kong."
Semua orang manggut-manggut, kemudian Pit Giok Sen
berkata.
"Sampai saat itu, kalau kita dapat terlepas dari urusan itu,
justru ada tontonan yang amat menarik."
Si Sastrawan Se Chi tertawa.
"Apa yang kau pikirkan itu memang tidak salah, namun
yang akan celaka lebih dulu adalah kau dan Liok Ci."
416
Mereka bercakap-cakap sambil minum-minum dan
tertawa-tawa. Tak Beberapa lama kemudian, di pertengah
gunung itu terdengar suara "Bum, Bum, Plak, Plak",
kedengarannya seperti suara ledakan dan suara api menyala,
kemudian tampak asap mengepul dan bunga-bunga api
membubung.
Melihat itu, Tiat Cit Song Jin tampak gusar sekali.
"Sungguh jahat tua bangka itu!"
Kemudian dia membawa senjatanya, namun ketika baru
mau melangkah, tiba-tiba Tujuh Dewa menghalanginya, dan
Pit Giok Sen membentaknya.
"Tiat Cit! Siapa pun yang ke mari, kita tidak boleh
menimbulkan urusan! Pokoknya kita biarkan saja!"
Tiat Cit Song Jin menatapnya dengan mata terbelalak.
"Pit Giok Sen, biasanya tiada seorang pun dalam matamu,
tapi kenapa hari ini kau begitu sabar?"
Liok Ci Siansing berkata serius.
"Tiat Cit, ini bukan urusan biasa, jangan sembarangan!"
Sementara asap yang mengepul itu semakin dekat.
Sungguh mengherankan, asap itu terus membubung, sama
sekali tidak buyar meskipun terhembus angin gunung yang
amat kencang.
Tak Beberapa lama kemudian, seorang lelaki berbadan
tinggi besar, berpakaian merah sudah berada di puncak Sian
Jin Hong. Tangan laki-laki membawa sebuah obor, yang entah
417
dibuat dari apa. Obor itu tampak membara dan asapnya terus
membubung.
Walau pun dia sudah berada di tempat itu, namun tiada
seorang pun yang menghiraukannya. Maka lelaki itu kelihatan
gusar sekali.
Dia memandang semua orang-orang itu kemudian berkata
dengan suara keras.
"Aku Duta Api Obor dari Hwa San, mendapat perintah
guru, untuk sementara tinggal di tempat ini. Maka aku terlebih
dulu memberitahukan, agar tidak kehilangan penghormatan!"
Semua orang memandangnya dengan acuh tak acuh, dan
Tiat Cit Song Jin yang tak sabaran itu, langsung meloncat
bangun sambil membentak.
"Kentut! Kalau kami semua datang di Hwa San dan
bersikap demikian, apakah Cousu tua bangka itu tidak akan
mencak-mencak?"
Si Duta Api Obor menatap Tiat Cit Song Jin dengan dingin,
lalu bertanya.
"Andakah tuan rumah di sini?"
Liok Ci Siansng segera memberi isyarat kepada Tiat Cit
Song Jin, setelah itu berbisik.
"Diam! Saat ini kita tidak boleh emosi!" Tiat Cit Song Jin
langsung diam.
418
"Kalau Hwa San Liat Hwe Cousu mau ke mari, tentunya
akan kusambut dengan baik. Silakan Anda cari tempat
beristirahat!" kata Liok Ci Siansing.
Si Duta Api Obor tertawa dingin. Dengan sikap angkuh dia
berjalan ke tempat kosong, lalu menancapkan obornya dan
berdiri di situ dengan bertolak pinggang.
Semua orang tahu, Hwa San Pai tergolong partai besar,
maka amat angkuh. Terutama Liat Hwe Cousu ketua Hwa San
Pai, karena kedudukannya dalam rimba persilatan amat tinggi,
maka tak memandang sebelah mata pun terhadap orang lain.
Si Duta Api Obor berdudukan cukup tinggi dalam partai
itu, yakni di atas kedudukan dua belas Tongcu.
Kepandaiannya tinggi sekali membuatnya menjadi angkuh.
Tak Beberapa lama, terdengar suara musik sayup-sayup,
mengalun ke tempat itu.
Sesaat kemudian tampak empat bocah berpakaian merah
berjalan menuju ke tempat itu sambil memainkan alat musik
masing-masing.
Di belakang keempat bocah baju merah itu terlihat tiga
lelaki yang melangkah mantap dan bertenaga. Dapat diketahui
bahwa mereka bertiga berkepandaian tinggi, adalah Tongcu
dari Hwa San.
Terakhir tampak seorang tua berjubah merah. Badannya
kurus tinggi bagaikan sebatang bambu, dan rambutnya
merah. Dia berjalan paling belakang dengan mata
memandang ke atas.
419
Sampai di puncak Sian Jin Hong, mereka mendekati obor
yang tancap di tanah itu lalu melemparkan sesuatu ke obor
tersebut.
Bum! Bum! Bum! Terdengar suara ledakan dan seketika
tampak asap membubung.
Liok Ci Siansing memandang dengan kening berkerutkerut,
kemudian bangkit berdiri seraya berkata.
"Lebih baik kita ke dalam gubuk saja!"
Tujuh Dewa menggeleng-gelengkan kepala. "Takut apa di
sini?"
Berselang beberapa saat, mendadak terdengar suara
tangisan yang amat menyeramkan.
Si Sastrawan Se Chi tertawa.
"Bagus! Segala macam setan iblis akan berkumpul di sini!"
Suara tangisan itu kedengaran makin dekat, nada-nya
bergelombang amat menusuk telinga.
Ketika suara itu hampir mencapai puncak, tiba-tiba
terdengar suara bentakan seorang gadis, yang disusul oleh
suara sahutan parau yang tak sedap didengar.
"Apa? Cepat minggir, aku mau lewat!"
Semua orang yang berada di puncak Sian lin Hong,
langsung memandang ke sana. Tampak empat sosok
bayangan berkelebat ke atas sambil bertarung.
420
Dua orang di antara mereka adalah Kou Hun Su Seng Cai
dan Sou Mia Su Seng Bou, anak si Setan-Seng Ling,
sedangkan dua orang lagi adalah seorang pemuda dan
seorang gadis. Pemuda itu berusia dua puluhan, sedangkan si
gadis berusia lima belasan. Mereka berdua berpakaian aneh.
Senjata yang di tangan Seng Cai dan Seng Bou, terus
menghujani mereka dengan totokan, kelihatannya ingin
mendahului mereka sampai di puncak.
Namun si pemuda dan si gadis itu bergerak laksana kilat,
dalam waktu sekejap sudah tiba di puncak.
Begitu tiba di puncak, gadis itu membalikkan badannya
seraya membentak.
"Arwah gentayangan berani berebut jalan dengan kami,
kalian harus tahu kelihayan kami!"
Gadis itu berkata sampai di situ, senjata Seng Cai
menderu-deru mengarah kepalanya.
Di saat bersamaan, senjata Seng Bou juga bergerak
mengarah dadanya. Namun walau diserang dua orang, gadis
itu tampak tenang sekali, sama sekali tidak gugup maupun
panik.
Yang mengherankan, yakni pemuda yang bersamanya,
bukannya membantu sebaliknya malah melangkah pergi
dengan sepasang tangan ditaruh ke belakang, sepertinya tahu
gadis itu dapat menghadapi lawan-lawannya.
Saat ini yang berkumpul di puncak Sian Jin Hong, adalah
jago-jago tangguh yang amat terkenal, misalnya Liat Hwe
421
Cousu dan Yok Kun Sih. Keduanya tahu bagaimana
kepandaian Seng Cai dan Seng Bou.
Akan tetapi, tiada seorang pun tahu akan asal-usul
pemuda dan gadis tersebut, maka banyak orang
mengkhawatirkannya.
Di saat semua orang memandang gadis itu, tampak gadis
itu membentak sambil mencelat ke belakang beberapa depa.
Seng Cai dan Seng Bou juga bergerak menyerangnya sambil
mengeluarkan tangisan seram.
Si Sastrawan Se Chi sudah siap membela gadis tersebut,
namun sekonyong-konyong terdengar gadis itu tertawa
nyaring lalu membentak.
"Setan liar! Kalian berdua sudah terjebak!"
Di saat bersamaan, terdengar pula suara aneh kemudian
tampak dua rantai besi muncul dari dalam lengan baju gadis
itu, mengeluarkan suara menderuderu penuh tenaga
mengarah kepala Seng Cai dan Seng Bou.
Betapa terkejutnya kakak beradik itu. Mereka hendak
meloncat ke belakang, namun mendadak gadis itu
melancarkan empat buah pukulan.
Di saat gadis itu melancarkan pukulan-pukulannya,
sepasang rantai besi itu pun ikut bergerak-gerak, sehingga
pukulan-pukulan itu tampak aneh sekali.
Dalam keadaan gugup dan terdesak, Seng Cai dan Seng
Bou lupa, bahwa berapa depa di belakang mereka ada jurang.
Mereka serentak meloncat ke belakang. Setelah meloncat,
barulah mereka tahu tidak beres, karena menginjak tempat
422
kosong. Bersamaan itu, gadis tersebut pun tertawa cekikikan,
lalu mengayunkan sepasang rantai besi yang melekat di
lengannya.
Seng Cai dan Seng Bou berteriak kaget. Mereka berdua
jatuh ke jurang, bagaimana mungkin mereka berdua akan
bernyawa lagi?
Wajah gadis itu berseri-seri. Dia menghampiri pemuda itu
seraya berkata.
"Kak, aku telah mengusir kedua setan liar itu!"
Pemuda itu tertawa.
"Aku sudah tahu!."
Sikap mereka berdua sungguh tenang sekali, sepertinya
tidak pernah terjadi apa-apa. Mereka berdua tenang, namun
orang lain amat mencemaskan mereka.
Pit Giok Sen berseru.
"Kalian berdua telah membuat petaka besar!"
Siapa pemuda dan gadis itu? Ternyata Tam Goat Hua dan
kakaknya. Mendengar seruan Pit Giok Sen, gadis itu bertanya.
"Membuat petaka besar? Harap Cianpwee menjelaskan!"
Pit Giok Sen menyahut.
"Kedua setan muda itu telah mati, setan tua pasti
membuat perhitungan dengan kalian!"
423
Tam Goat Hua tertawa.
"Kalau setan tua itu ke mari, aku akan bersembunyi di
belakang Cianpwee!"
Mendengar sahutan itu, Pit Giok Sen tertawa gelak. Di saat
bersamaan terdengar suara "Ser Ser", meloncat ke atas dua
orang, yang tidak lain adalah Kou Hun Su Seng Cai dan Sou
Mia Su Seng Bou.
Tercengang semua orang, sebab tadi kedua orang itu
terpukul ke jurang tapi kini meloncat ke atas tanpa kurang
suatu apa pun. Bersamaan terdengar suara tawa yang parau.
"Ha ha ha! Liok Ci Siansing, yang datang adalah tamu!
Walau anak cucu setan yang menyebalkan, namun memukul
anjing harus memandang majikannya! Pandanglah muka setan
tua, biar mereka berada di puncak Sian Jin Hong ini
menambah pengetahuan!"
Tampak sosok yang amat gemuk berkelebat ke puncak
Sian Jin Hong, ternyata Yu Lao Pun, ketua Tay Chi Bun.
Begitu melihat kemunculan si Gemuk itu, Tujuh Dewa
langsung tersenyum dingin. Itu dikarenakan perbuatan Yu Lao
Pun tempo hari. Namun si Gemuk bersikap biasa-biasa. Dia
mendekati orang-orang Hui Yan Bun, kemudian menaruh
pikulan batunya dan duduk sambil memandang Seng Cai dan
Seng Bou seraya berkata.
"Belum lama ini, ayah kalian pernah merugikan diriku.
Sesungguhnya aku tidak ingin menolong kalian, tapi hatiku
merasa tidak tega menyaksikan kalian berdua mati, maka aku
menyelamatkan kalian. Cepatlah kalian pergi ke tempat lain,
jangan berdiri di situ!"
424
Ucapan Yu Lao Pun penuh wibawa. Tapi hari yang lalu itu,
apa yang dilakukannya terhadap Lu Leng, di kedai teh,
sungguh merupakan perbuatan rendah!
Seng Cai dan Seng Bou amat gusar dan penasaran.
Namun mereka tahu bahwa orang-orang yang ada di puncak
Sian Jin Hong ini, semuanya jago tangguh, termasuk pemuda
dan si gadis itu. Oleh karena itu, mereka berdua terpaksa
diam, lalu berjalan ke tempat lain sambil mendengus dingin.
Tam Goat Hua dan kakaknya juga mengayunkan kaki.
Namun baru beberapa langkah, mendadak terdengar suara
orang memanggil mereka, ternyata pihak Hwa San Pai.
"Gadis kecil, cepat ke mari!"
Orang yang bersuara itu memiliki Lweekang tinggi.
Suaranya nyaring dan menusuk telinga, siapa pun
mendengarnya.
Walau tidak menyebut nama, namun di situ hanya ada
seorang gadis kecil, maka tentu gadis itu yang dipanggilnya.
Akan tetapi, Tam Goat Hua dan kakaknya pura-pura tidak
mendengar. Mereka berdua tertawa sambil melangkah ke
depan.
Yang bersuara tadi adalah Tongcu keenam dari Hwa San
Pai. Ketika melihat mereka berdua tak menggubrisnya, air
mukanya langsung berubah.
Badannya bergerak cepat, tahu-tahu dia sudah berada di
hadapan Tam Goat Hua dan kakaknya.
425
"Gadis kecil, aku menyuruhmu, tapi kenapa kau pura-pura
tidak dengar?" bentaknya gusar.
Tongcu keenam itu bertanya dengan cara membentak, itu
sudah tidak sesuai dengan peraturan dalam rimba persilatan.
Tapi Hwa San Pai memang angkuh, maka tindakan ini
dalam anggapan mereka malah benar.
Di saat bersamaan, Tujuh Dewa dan Pit Giok Sen telah
bangkit berdiri. Kelihatannya mereka ingin membantu Tam
Goat Hua, apabila gadis itu bertarung dengan pihak Hwa San
Pai.
Tam Goat Hua justru tertawa ke arah mereka, kemudian
menoleh untuk memandang Tongcu keenam.
"Oh! Ternyata Anda memanggilku, namaku bukan gadis
kecil lho!"
Tongcu keenam mendengus dingin.
"Hm! Gadis kecil, aku tidak bergurau denganmu! Cepat
ikut aku, Cousu akan bertanya sesuatu kepadamu!"
Tam Goat Hua terheran-heran.
"Cousu? Cousu apa?"
Sikapnya memang sengaja dibuat-buat, dan dia pun
tertawa cekikikan.
Di antara semua orang, ada yang tak tertahan hingga
tertawa gelak. Seng Cai dan Seng Bou tertawa paling keras.
426
Mereka berdua amat girang melihat pihak Hwa San Pai
mencari gara-gara dengan gadis itu, dan mereka berdua
sengaja tertawa keras untuk memanasi hati pihak Hwa San
Pai.
Tongcu keenam itu tak dapat menahan kegusarannya lagi.
Maka dia lalu menghardik sambil melotot.
"Kini Cousu berada di puncak Sian Jin Hong ini. Kau berani
bertingkah?"
Usai menghardik, dia langsung menjulurkan tangan
kanannya untuk mencengkeram bahu Tam Goat Hua.
Akan tetapi, di saat bersamaan, pemuda yang berdiri di
samping Tam Goat Hua menjulurkan tangannya memegang
bahu Tongcu keenam.
Tongcu keenam merasakan adanya tenaga yang amat
kuat menekan ke bawah, membuat lengannya yang telah
dijulurkan itu merasa berkesemutan, dan akhirnya terkulai ke
bawah.
Pemuda itu tersenyum hambar.
"Kawan, ada apa katakan saja! Kenapa harus turun
tangan?"
Wajah Tongcu keenam berubah tak sedap dipandang,
namun dia tak mampu bersuara.
Pemuda itu tertawa.
"Kawan, silakan kembali ke tempat!" katanya.
427
Pemuda itu mendorongnya perlahan, namun membuat
Tongcu keenam itu terhuyung-huyung ke belakang beberapa
depa, kemudian jatuh gedebuk di tanah.
-ooo0ooo-
Bab 19
Begitu jatuh, keangkuhannya menjadi lenyap, bahkan
wajahnya tampak meringis-ringis.
Tam Goat Hua tertawa geli.
"Kakak turun tangan harus ringan dikit, orang punya
Cousu di sini, jangan main-main lho!"
Kakaknya tertawa.
"Siapa sangka tadi dia begitu angkuh, tapi malah tak
berguna sama sekali!"
Mereka berdua terus bercakap-cakap, kelihatannya tak
memandang sebelah mata pun terhadap Hwa San Pai.
Dalam beberapa tahun ini, Hwa San Pai memang amat
menonjol. Kedudukannya dalam rimba persilatan pun
bertambah tinggi. Maka orang-orang Hwa San Pai itu angkuh
sekali. Kini Tongcu itu dipermalukan di hadapan semua orang,
tentunya menggembirakan mereka semua.
Akan tetapi, mereka mencemaskan kakak beradik itu.
Karena Liat Hwe Cousu, sudah pasti tidak akan membiarkan
pihaknya dipermalukan begitu, otomatis akan turun tangan.
428
Bagaimana kepandaian Liat Hwe Cousu, semua orang
yang berada di tempat itu tahu jelas, tentunya Tam Goat Hua
dan kakaknya akan celaka.
Terhadap mereka berdua, Pit Giok Sen sudah terkesan
baik, maka segera berkata.
"Kalian berdua duduk di sini saja! Sebentar lagi menonton
keramaian, bagaimana?"
Tam Goat Hua langsung memberi hormat kepada Pit Giok
Sen, kemudian menyahut.
"Terimakasih atas kebaikan Cianpwee,"
Namun gadis itu tidak mau menerima maksud baik Pit Giok
Sen.
Yang di sebelahnya, Tiat Cit Song Jin langsung berseru.
"Gadis kecil, kalian berdua ingin mencabut kumis macan?"
Tam Goat Hua dan kakaknya hanya tertawa, tak
menjawab sama sekali.
Di saat bersamaan, pihak Hwa San Pai telah melangkah
keluar tiga orang Tongcu, sedangkan Tongcu keenam yang
terjatuh itu bangkit berdiri.
Ketiga Tongcu itu melesat ke hadapan Tam Goat Hua dan
kakaknya, kemudian tertawa terkekeh-kekeh.
429
"Kepandaian Nona cukup lumayan. Sebulan yang lalu,
beberapa Tongcu kami terluka di sekitar daerah Ciat Kang,
apakah Nona yang turun tangan? Mohon petunjuk Nona!"
Tam Goat Hua tahu apa sebabnya pihak Hwa San Pai
mencari gara-gara dengannya, ternyata sebulan yang lalu,
gadis itu yang ingin membalas budi kepada Lu Sin Kong suami
isteri, maka di dalam rimba waktu itu dia mengusir beberapa
Tongcu Hwa San Pai.
Akan tetapi, Tam Goat Hua justru pura-pura tidak tahu.
Dia tersenyum seraya berkata.
"Aku tidak tahu apa maksud kalian. Lagipula aku pun tidak
mengerti apa itu Tongcu. Sebulan yang lalu, ketika aku berada
di Ciat Kang, memang pernah berkelahi dengan beberapa
orang, sebab mereka sedang berunding cara bagaimana
merampok barang kawalan. Kupikir mereka dari golongan
hitam, maka aku langsung turun tangan terhadap mereka.
Apakah mereka sehaluan dengan kalian?"
Ucapan Tam Goat Hua yang amat tajam itu membuat
wajah ketiga Tongcu berubah menjadi kehijau-hijauan.
"Hmm! Ternyata benar kau! Cousu yang akan menangani
itu, mari ikut kami!"
Tam Goat Hua tertawa.
"Tadi orang itu telah jatuh hingga pantatnya terasa sakit
sekali, apakah kalian bertiga juga ingin merasakan itu?"
Salah seorang Tongcu berseru.
"Untuk apa banyak bicara dengan gadis sialan itu?"
430
Kedua Tongcu lain langsung menyerang Tam Goat Hua
dari kiri dan kanan, Tam Goat Hua bergerak cepat mencelat ke
belakang. Di saat bersamaan, rantai yang melekat di
lengannya pun bergerak.
Gadis itu sudah beberapa kali bertarung dengan para
Tongcu Hwa San Pai itu. Dia merasa Hwa San Pai hanya
bernama kosong, sebab Tongcu-tongcu itu masih bukan
lawannya.
Namun dia justru tidak tahu, bahwa kedudukan Hwa San
Pai amat tinggi dalam rimba persilatan, tentunya tidak
bernama kosong.
Lagipula tidak semua Tongcu berkepandaian rendah.
Misalnya ketiga Tongcu itu, mereka berasal dari See Sia.
Ketika masih kecil pernah mengalami suatu kemujizatan,
akhirnya berguru kepada Liat Hwe Cousu, maka kepandaian
mereka tinggi sekali.
Ketika melihat rantai itu mengarah pada mereka, seketika
itu juga mereka tertawa gelak.
"Ha ha ha!"
Kemudian mereka mundur selangkah dan badan mereka
pun bergerak aneh. Tampak dada mereka cekung ke dalam,
itu adalah ilmu Menyusutkan Tulang.
Rantai Tam Goat Hua memang mengarah ke dada mereka,
namun tidak mengenai sasaran. Menyaksikan itu, tersentak
hatinya, tahu tidak gampang menghadapi kedua orang itu.
431
Di saat dia baru ingin menarik kembali rantainya, kedua
orang itu serentak menjulurkan tangan untuk menyambar
rantai tersebut dan berhasil.
Tam Goat Hua merasakan adanya serangkum tenaga dari
kiri kanan mengarah kepadanya, dan itu membuatnya terkejut
bukan main.
"Kakak!" serunya cepat.
Pemuda itu langsung menggerakkan jari tangannya untuk
menotok jalan darah Tay Pai Hiat di tubuh salah seorang
lawannya.
Akan tetapi, seorang Tongcu segera meraih ke pinggang,
dan sebuah golok besar sudah berada di tangannya, dan
langsung menyerang bahu pemuda itu dengan jurus Gerimis
Di Saat Angin Berhembus.
Pemuda itu berkelit ke samping, maka jarinya menotok
tempat kosong. Pada saat bersamaan terdengar kedua Tongcu
itu berseru.
"Satu! Dua! Tiga!"
Mereka berdua menarik rantai besi itu. Tam Goat Hua tak
dapat bertahan, maka tertarik ke tempat di mana Liat Hwe
Cousu duduk bersila.
Ketika menyaksikan pihak Hwa San Pai mengeroyok Tam
Goat Hua, dalam hati Tiat Cit Song Jin merasa tidak senang.
"Gadis kecil, jangan takut!" serunya.
432
Tam Goat Hua memiliki Lweekang yang cukup tinggi,
namun kedua Tongcu itu menariknya sekuat tenaga, sehingga
dirinya terlempar beberapa depa. Ketika badannya melayang,
dia menghimpun hawa murninya, membuat badannya menjadi
ringan.
Begitu mendengar seruan Tiat Cit Song Jin, Tam Goat Hua
bergirang dalam hati.
Tampak Tiat Cit Song Jin mengangkat senjatanya,
kemudian melangkah lebar ke arah Tam Goat Hua, sekaligus
menggerakkan senjatanya itu, membuat badan Tam Goat Hua
yang melayang itu tertahan, akhirnya jatuh ke bawah.
Begitu jatuh, gadis itu segera meraih Tiat Cit senjata aneh
milik Tiat Cit Song Jin. Sedangkan kedua Tongcu itu
terhuyung-huyung ke belakang tersambar angin senjata
tersebut.
Akan tetapi, tiba-tiba berkelebat sosok bayangan tinggi
besar ke hadapan Tiat Cit Song Jin, yang langsung
melancarkan sebuah pukulan.
Siapa orang yang tinggi besar itu, tidak lain adalah Duta
Api Obor Hwa San Pai.
Saat itu, Tiat Cit Song Jin sedang mengangkat senjatanya,
maka dadanya terbuka. Pukulan si Duta Api Obor justru
mengarah dadanya. Seketika juga Tiat Cit Song Jin tahu
kelihayan pukulan itu.
Apabila terkena pukulan itu, kalaupun batu pasti akan
hancur. Tiat Cit Song Jin tidak melihat jelas siapa orang itu,
tapi sudah sekian lama dia berkecimpung dalam rimba
persilatan, tentunya sudah berpengalaman.
433
Baginya sudah sulit untuk menolong Tam Goat Hua,
namun dia bersifat solider, tetap menolong gadis itu.
Sebelah tangan Tiat Cit Song Jin menurunkan senjatanya,
yang sebelah lagi melindungi dadanya sambil menangkis. Dia
berharap Tam Goat Hua dapat melesat pergi menggunakan
ilmu Ginkang, agar tidak terjatuh ke tangan Liat Hwe Cousu.
Akan tetapi, Tiat Cit Song Jin justru tidak tahu, bahwa si
Duta Api Obor menggunakan ilmu pukulan Hian Bun Sin Ciang.
Hian Bun Sin Ciang merupakan salah satu ilmu andalan
Hwa San Pai, khususnya menggunakan Gwakang (Tenaga
Luar). Kalau berhasil mencapai tingkat kesepuluh, maka orang
akan kebal terhadap senjata tajam apa pun.
Tapi sejak dulu hingga kini, tiada seorang pun yang
berhasil mencapai ke tingkat sepuluh. Orang bisa mencapai
tingkat keenam, juga sudah luar biasa.
Si Duta Api Obor melancarkan pukulan itu, dengan tujuan
membuat Tam Goat Hua melayang ke tempat Liat Hwe Cousu.
Itu justru menyangkut nama Hwa San Pai, maka dia
melancarkan pukulan itu dengan sepenuh tenaga.
Blaaam! Terdengar suara benturan yang memekakkan
telinga.
Tiat Cit itu merupakan senjata pusaka, maka suara
benturan mendengung sampai ke mana-mana.
Tiat Cit Song Jin juga merasakan adanya tenaga yang
amat dahsyat mengarah dadanya, maka dia cepat-cepat
menyurut mundur. Kalau tidak, dia pasti terluka.
434
Di saat Tiat Cit Song Jin menyurut mundur, tenaga itu
justru mengarah ke Tam Goat Hua. Kebetulan gadis itu
mengerahkan ilmu Ginkang, Turun Di Pasir Datar untuk
melesat pergi. Itu membuat badan Tam Goat Hua melayang
ke atas, sedangkan si Duta Api Obor bergerak cepat
mendorong badan gadis itu dengan ilmu Hian Bun Sin Kang.
Tam Goat Hua tak bisa berbuat apa-apa, sebab dia sedang
berada di udara. Maka, Hian Bun Sin Kang yang dilancarkan si
Duta Api mendorong badan gadis itu ke arah Liat Hwe Cousu
lalu jatuh.
Semua kejadian itu hanya berlangsung sekejap. Pemuda
itu pun tidak dapat menolong adiknya.
Tam Goat Hua yang jatuh di hadapan Liat Hwe Cousu,
segera berguling agar dapat meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi, Liat Hwe Cousu yang dari tadi duduk diam
dengan mata terpejam itu, mendadak membuka matanya.
Tam Goat Hua yang sedang berguling juga melihat Liat
Hwe Cousu membuka matanya.
Sudah barang tentu mereka berdua beradu pandang. Tam
Goat Hua merasa dalam mata Liat Hwe Cousu menyorot sinar
yang amat aneh, maka seketika gadis tersebut menjadi
tertegun. Di saat itu lengan Liat Hwe Cousu bergerak cepat
sekali, dan tahu-tahu sudah mencengkeram nadi gadis itu.
Tam Goat Hua tak berkutik sama sekali. Perlu diketahui
tadi Liat Hwe Cousu telah mengerahkan ilmu Hian Sin Hoat,
yaitu salah satu ilmu rahasia Hwa San Pai.
435
Kalau Tam Goat Hua tidak memiliki Lweekang tinggi, pasti
sudah pingsan, ketika dicengkeram nadinya. Namun ilmu Hian
Sin Hoat hanya membuatnya tertegun.
Begitu nadinya dicengkeram, dia merasa sekujur badannya
berkesemutan, dan itu membuatnya tercengang, sebab Liat
Hwe Cousu memiliki Lweekang yang amat tinggi.
Ketika nadinya dicengkeram, seharusnya dia merasa
tersiksa, bukan merasa berkesemutan.
Tam Goat Hua cuma tercengang sebentar, tapi kemudian
mengerti sebab musababnya.
Ternyata ketika Tam Goat Hua tertangkap oleh Kim Kut
Lau, sepasang lengannya dibelenggu dengan semacam
gelang, yang disambung dengan rantai besi. Kalau Lu Sin
Kong tidak menggunakan golok pendek yang amat tajam itu,
tentunya rantai itu tidak dapat diputuskan.
Setelah meloloskan diri, Tam Goat Hua tidak mau
memutuskan sisa rantai yang melekat di lengannya, sebab
gadis itu menggunakan sepasang rantai itu sebagai senjata.
Maka ketika Liat Hwe Cousu mencengkeram nadinya,
justru mencengkeram gelang yang di lengannya, maka
nadinya terlindung oleh gelang itu.
"Duta Api Obor!" panggil Liat Hwe Cousu.
Suaranya begitu perlahan, namun amat bertenaga,
sehingga yang mendengarnya, seperti terpukul oleh sesuatu
yang amat berat.
"Ya!" sahut si Duta Api Obor.
436
Dia membalikkan badan, lalu menghampiri Liat Hwe
Cousu.
Pada waktu bersamaan, kakak Tam Goat Hua pun melesat
ke hadapan ketua Hwa San Pai itu, lalu berdiri dengan tenang
di situ dan berkata.
"Liat Hwe Cousu, meskipun adikku bersalah, tapi kalau
Cousu turun tangan sendiri, bukankah itu merupakan lelucon?"
Liat Hwe Cousu hanya mendengus, sama sekali tidak
menyahut, kemudian memandang si Duta Api Obor.
"Bawa gadis ini ke samping! Setelah urusan di sini usai,
barulah kita hukum."
"Ya!" Si Duta Api Obor mengangguk, lalu menjulurkan
tangannya untuk mencengkeram bahu Tam Goat Hua.
Saat itu, gadis tersebut tampak panik. Sebab dia tahu, di
Bu Yi San akan terjadi urusan besar. Apabila dia tidak bisa
mengatasi urusan itu ya sudahlah! Namun kalau dia ditangkap
orang di hadapan begitu banyak jago tangguh, kelak dia
bagaimana jadi orang? Maka sebelum tangan si Duta Api Obor
sampai di bahunya, dia sudah meronta sekuat tenaga.
Tapi dia sudah jatuh ke tangan Liat Hwe Cousu, tidak
mungkin begitu gampang dapat meloloskan diri.
Di saat meronta, dia justru merasa sekujur badannya
bertambah berkesemutan. Sedangkan tangan si Duta Api Obor
telah menekan jalan darah Hu Keng Hiat di bahunya, dan itu
membuatnya tak bisa bergerak, namun masih bisa berseru
memanggil kakaknya.
437
"Kakak...!"
Kakaknya segera memberi isyarat. Tam Goat Hua tahu
bahwa kakaknya sangat pintar, maka sudah pasti mempunyai
perhitungan dalam hati. Kalau tidak, tentunya tidak akan
memberi isyarat kepadanya. Maka gadis itu bersabar. Di saat
itulah si Duta Api Obor melemparnya ke samping di tengahtengah
para murid Hwa San Pai dan beberapa murid Hwa San
Pai segera mengikatnya.
Kakak Tam Goat Hua diam saja, namun di saat gadis itu
sedang diikat, mendadak dia bersiul panjang dan badannya
berkelebat menubruk ke arah api obor tersebut.
Sementara si Duta Api Obor dan kedua Tongcu menjaga
Tam Goat Hua, maka pemuda itu menggunakan kesempatan
itu untuk menubruk api obor itu. Perlu diketahui, api obor itu
merupakan tanda kepercayaan Liat Hwe Cousu. Si Duta Api
Obor yang membawa obor tersebut, sebelumnya telah
bersumpah, "Api nyala orang hidup, api padam orang mati".
Kalau obor itu jatuh ke tangan orang lain, dia pasti akan
mendapat hukuman berat.
Oleh karena itu, obor itu boleh dikatakan merupakan
nyawa si Duta Api Obor. Kini melihat ada orang menubruk ke
arah obor, guguplah hatinya. Kemudian dilepaskannya Tam
Goat Hua dan langsung melesat ke arah obor itu.
Begitu si Duta Api Obor melesat pergi, Tam Goat Hua
menjadi bebas. Dia langsung menggerakkan sepasang
tangannya, sehingga kedua rantai yang melekat di lengannya
menyambar cepat ke arah kedua Tongcu.
Plak! Plak! Menghantam punggung mereka. "Uaakh!
Uaakh!" Kedua Tongcu itu memuntahkan darah segar.
438
Sedangkan kakak Tam Goat Hua yang menubruk obor itu,
hanya memancing si Duta Api Obor.
Dia tahu, apabila dia menubruk ke sana, si Duta Api Obor
pasti mengejarnya.
Di saat si Duta Api Obor melesat ke arahnya, dia cepatcepat
berputar. Ketika si Duta Api Obor sampai di sisinya, dia
telah melesat ke sisi Tam Goat Hua. Ketika itu Tam Goat Hua
sudah melepaskan tali yang mengikat kakinya.
Kemudian mereka kakak beradik melangkah ke belakang
dengan bergandengan tangan. Itu membuat si Duta Api Obor
tahu dirinya terjebak. Ketika dia baru mau melesat ke arah
Tam Goat Hua dan kakaknya, Tujuh Dewa telah maju semua,
sekaligus mengelilingi mereka berdua.
Menyaksikan itu, gusarlah si Duta Api Obor, sehingga
wajahnya berubah menjadi kehijau-hijauan.
Dia tahu, Tujuh Dewa masing-masing berkepandaian amat
tinggi, maka tidak berani bertindak sembarangan, sebaliknya
malah memberi hormat kepada Liat Hwe Cousu seraya
berkata.
"Cousu, tahanan itu telah lepas, harap Cousu beri
petunjuk!"
Perlahan-lahan Liat Hwe Cousu membuka matanya.
Namun ketika dia baru mau membuka mulut, tiba-tiba si
Sastrawan Se Chi telah melangkah maju ke hadapannya.
"Liat Hwe Cousu, berdasarkan kedudukanmu dalam rimba
persilatan, apakah di hadapan sekian banyak orang, kau masih
439
punya muka menangkap kembali gadis kecil yang telah
meloloskan diri itu?"
Liat Hwe Cousu menyahut perlahan.
"Tujuh Dewa, apakah kalian ingin membelanya?"
Si Sastrawan Se Chi tertawa.
"Berdasarkan apa kami harus membelanya? Tapi Liat Hwe
Cousu harus memikirkan nama dan kedudukan! Kalau dalam
wilayahmu sendiri, kau mau membakarnya dengan pukulan
Liat Hwe Ciang pun tiada urusan dengan kami!"
Si Sastrawan Se Chi tahu jelas bagaimana sifat Liat Hwe
Cousu, angkuh dan tak memandang sebelah pun mata pada
orang lain. Tapi kalau dia mau turun tangan, itu sungguh
merepotkan, maka dia mencetuskan perkataan tajam
menusuk perasaan Liat Hwe Cousu, agar ketua Hwa San Pai
itu tidak turun tangan.
Liat Hwe Cousu tertawa terkekeh-kekeh.
"He he he! Baiklah! Karena kau pandai berbicara, maka
aku tidak akan turun tangan lagi! Duta Api Obor dan Tongcu
semua, segera kembali ke tempat masing-masing!"
Betapa penasaran si Duta Api Obor dan beberapa Tongcu,
namun Liat Hwe Cousu telah memerintahkan begitu, maka
mereka harus menurut. Seketika juga mereka kembali ke
tempat masing-masing.
Sedangkan Tujuh Dewa menggiring Tam Goat Hua dan
kakaknya ke sisi batu hijau.
440
Tam Goat Hua tertawa.
"Terimakasih atas pertolongan Cianpwee sekalian!"
ucapnya sambil memberi hormat.
Si Gendut Lim Hau tertawa gelak.
"Ha ha ha! Gadis kecil, kau jangan menganggap gampang
menghadapi Liat Hwe Cousu. Turun dari puncak Sian Jin Hong
itu, kau pasti akan celaka lho!"
Tam Goat Hua meleletkan lidahnya.
"Kalau begitu, selamanya aku tidak akan turun dari puncak
Sian Jin Hong ini!" katanya.
Ucapannya itu membuat semua orang tertawa. Di saat
bersamaan mereka pun berpikir, tidak salah "Ombak Belakang
Mendorong Ombak Depan", generasi muda akan
menggantikan generasi tua. Siapa sangka mereka berdua
yang masih begitu muda, tapi justru berani mencabut kumis
macan.
Di saat semua orang sedang tertawa, mendadak di puncak
itu telah bertambah seorang berkaki satu, mengenakan
pakaian serba hitam.
Orang berkaki satu itu, memiliki raut wajah aneh.
Sepasang pipinya cekung ke dalam, mata cuma sebesar
kacang tanah, tampak hitam tak tampak putihnya, tangannya
membawa sebatang tongkat yang hitam mengkilap.
Yang mengejutkan adalah kemunculannya, karena tiada
seorang pun tahu dari mana dia muncul.
441
Orang berkaki satu itu memandang semua orang dengan
dingin sekali, lalu badannya mendadak melambung ke atas
dan berputar-putar sejenak di udara, setelah itu melesat ke
arah sebuah pohon. Badannya melambung lagi ke atas
setinggi tiga depaan, kemudian duduk di atas sebatang dahan
sambil memejamkan matanya.
Yang kenal orang berkaki satu itu, tentunya tahu bahwa
dia adalah makhluk aneh dari golongan sesat, Thay San Hek
Sin Kun.
Saat ini Lu Sin Kong masih belum muncul, tontonan
menarik belum mulai, maka para pendatang itu tidak saling
menghiraukan.
Hari itu, hingga hari sudah gelap, tidak ada yang muncul
lagi. Para tamu yang berada di puncak Sian Jin Hong, tidur di
sembarangan tempat, di bawah pohon, di tanah kosong atau
di dalam tenda, makan pun masing-masing.
Para tamu itu terdiri dari golongan sesat, lurus dan
lainnya. Mereka ke tempat tersebut dengan maksud yang
berbeda. Setelah tiba di tempat itu, kecuali terhadap orang
sendiri, mereka sama sekali tidak bercakap-cakap dengan
pihak lain, tapi justru tidak terjadi bentrokan.
Keesokan paginya, tampak dua orang berkelebat ke
puncak Sian Jin Hong, yang seorang adalah Kim Kut Lau.
Sungguh mengherankan, begitu Kim Kut Lau sampai di
situ, Hek Sin Kun yang sedang duduk santai di dahan pohon,
langsung berseru.
"Saudara Kim!"
442
Kim Kut Lau manggut-manggut, lalu melesat kedahan
pohon itu dan duduk di sebelah Hek Sin Kun. Bagaimana asalusul
Kim Kut Lau, dalam rimbapersilatan jarang ada orang
mengetahuinya. Biasanya dia bergerak seorang diri, tapi justru
kenal Hek Sin Kun yang telah tersohor itu, maka semua orang
terheran-heran.
Orang yang satu lagi adalah Sen Hong Kiam Kek Ouw
Yang Seh, yakni jago tangguh kelas dua dari Bu Tong Pai.
Seng Hong Kiam Kek (Pendekar Pedang Penimbul Angin)
Ouw Yang Seh tiba di tempat itu hanya memberi hormat
kepada Yu Lao Pun dan
Tujuh Dewa, lalu duduk di atas sebuah batu. Berselang
beberapa saat, tampak dua orang wanita melesat ke arah
puncak Sian Jin Hong. Begitu mereka berdua muncul di
tempat itu, pihak Hui Yan Bun langsung berdiri semua.
Si Walet Hijau-Yok Kun Sin melesat dengan ringan ke arah
mereka, kemudian bertanya dengan suara dalam.
"Hong Kouw, kenapa sekarang baru sampai?"
Ternyata Hwe Hong Sian Kouw, yang kemudian menyahut
dengan suara lantang.
"Panjang kalau diceritakan! Panjang...."
Mereka berdua lalu masuk ke lingkaran yang di bentuk
dengan belasan batang besi. Yang berjalan di belakang Hwe
Hong Sian Kouw adalah Toan Bok Ang.
Gadis itu memandang ke arah Tujuh Dewa sambil
memperlihatkan muka aneh, lalu meleletkan lidahnya ke arah
443
Yu Lao Pun. Itu membuat Tam Goat Hua tertawa geli,
sehingga membuat Toan Bok Ang memandangnya.
Begitu melihat gadis yang sebaya dengannya itu, seketika
timbul kesan baik di hatinya, kemudian dia tersenyum-senyum
kepadanya. Di saat bersamaan dia pun melihat pemuda yang
terdiri di sisi gadis itu. Wajahnya langsung memerah kemudian
dia cepat-cepat memalingkan kepalanya dan berjalan ke
dalam lingkaran itu.
Tak Beberapa lama kemudian, muncul lagi seorang anak
gadis, yang tangannya membawa sebuah senjata aneh, dan di
pinggangnya terselip sebuah Pecut Emas. Dia berdiri sejenak,
kemudian menangis seraya berseru.
"Guru!"
Hwe Hong Sian Kouw segera bangkit berdiri dan menatap
gadis itu dalam-dalam.
"Eh? Ah Shia, kau tidak ke Hui Yan San?"
Gadis itu Han Giok Shia, putri si Pecut Emas-Han Sun. Dia
langsung mendekap di dada Hwe Hong Sian Kouw.
"Guru, ayah sudah meninggal, Guru tahu siapa yang
mencelakainya?"
Hwe Hong Sian Kouw menghela nafas panjang.
"Han Tayhiap sudah meninggal? Aaah! Guru pun nyaris
tewas. Siapa yang mencelakainya, kini masih sulit dipastikan.
Dendam memang harus dibalas, namun tidak perlu terburuburu."
444
Apa yang dikatakan Hwe Hong Sian Kouw itu membuat
semua orang tertegun dan terperangah, sebab siapa yang
mampu membunuh si Pecut Emas-Han Sun dan melukai Hwe
Hong Sian Kouw?
Sekonyong-konyong terdengar suara yang amat dingin,
berasal dari atas pohon.
"Siapa yang mencelakai si Pecut Emas-Han Sun, jangan
berpura-pura tidak tahu urusan!"
Semua orang memandang ke atas pohon itu. Ternyata
yang bersuara itu adalah Kim Kut Lau, yang duduk di sebelah
Hek Sin Kun.
Nada suaranya, sepertinya sudah tahu siapa yang
mencelakai si Pecut Emas-Han Sun. Seharusnya Hwe Hong
Sian Kouw segera bertanya lebih jelas kepada Kim Kut Lau.
Akan tetapi, ketika Hwe Hong Sian Kouw mendongakkan
kepala, seketika juga wajahnya berubah gusar seraya
membentak.
"Siapa kau?"
Kim Kut Lau tertawa terkekeh-kekeh.
"He he he! Kau peduli amat aku siapa? Jelas yang
mencelakai si Pecut Emas-Han Sun bukan aku!"
Wajah Hwe Hong Sian Kouw tampak semakin gusar.
Nafasnya pun memburu. Namun berselang sesaat, wajahnya
yang merah padam itu berubah menjadi pucat pias,
kegusarannya yang tersirat di wajahnya pun hilang lenyap,
akhirnya wajahnya berubah menjadi kelabu.
445
Perubahan itu membuat semua orang tercengang, namun
Kim Kut Lau malah tertawa gelak.
"Ha ha ha! Nona kecil, kau harus pasrah! Di masa
hidupnya, ayahmu adalah seorang gagah, tapi pergaulannya
kurang luas. Kini dia telah binasa, sedangkan kau seorang diri,
bagaimana mungkin dapat membalaskan dendamnya? Lebih
baik kau pergi saja!"
-ooo0ooo-
Bab 20
Perkataan Kim Kut Lau itu menimbulkan kecurigaan Han
Giok Shia.
"Siapa kau? Kenapa kau tidak mau berterus terang?"
Kim Kut Lau tertawa lagi dan menyahut.
"Nona kecil, ada orang dari Cing Sia Pai ke mari! Di masa
hidupnya, ayahmu punya hubungan baik dengan partai itu,
maka kau boleh minta bantuan mereka untuk membalas
dendam ayahmu!"
Tentunya Han Giok Shia tahu, almarhum punya hubungan
baik dan akrab dengan Cing Sia Pai. Namun kini dia ingin tahu
jelas, sebetulnya siapa yang membunuh ayahnya!
Oleh karena itu, dia bertanya lagi.
"Katakan, sebetulnya siapa musuh ayahku?"
446
Di saat bersamaan, mendadak terdengar suara siulan yang
amat panjang, merdu dan amat harus, membuat orang
merasa nyaman mendengarnya.
Kemudian tampak cahaya keperakan berkelebat, muncul
seorang Tosu tua berwajah kemerah-merahan. Tangan Tosu
itu menggenggam sebatang pedang yang bergemerlapan. Dia
memakai Gin Koan (Topi Perak), tidak lain adalah Gin Koan
Tojin yakni ketua Cing Sia Pai.
Tampak empat Tosu berusia pertengahan mengikutinya
dari belakang. Mereka bertangan kosong, namun di pinggang
masing-masing bergantung suatu benda berbentuk bulat,
entah benda apa itu.
Begitu sampai di situ, Tosu tua itu tersenyum.
"Sobat yang mana tadi yang menyinggung partaiku?"
Kim Kut Lau segera menyahut.
"Tidak berani. Karena si Pecut Emas-Han Sun dicelakai
orang, maka aku memberi petunjuk kepadanya, agar minta
bantuanmu, agar bisa membalas dendam ayahnya."
Wajah Gin Koan Tojin berubah. Kemudian dia menolehkan
kepalanya memandang Han Giok Shia seraya bertanya.
"Nona Han, kapan ayahmu meninggal? Kenapa aku tidak
tahu?"
Pertanyaan Gin Koan Tojin justru membangkitkan
kesedihan dan kegusaran Han Giok Shia, sehingga sepasang
matanya tampak membara.
447
"Gin Koan Tojin, ayahku meninggal sebulan yang lalu.
Aku... aku seorang diri memakamkannya, kemudian ke mari
mencari pembunuh ayahku, maka belum mengabarkan kepada
kawan baik ayahku!"
Wajah Gin Koan Tojin berubah murung tapi tampak serius,
kemudian dia berkata.
"Kalau begitu, kau pasti sudah tahu siapa pembunuh
ayahmu. Apakah pembunuh itu berada di puncak ini?"
Sesungguhnya Han Giok Shia tidak begitu jelas tentang
siapa pembunuh ayahnya, karena pada waktu itu dia telah
meninggalkan rumah.
Tapi dalam hatinya justru menganggap musuh besar itu
adalah Lu Sin Kong, lagipula kini orang tersebut belum
muncul, maka Han Giok Shia berkertak gigi seraya menjawab.
"Menurut aku, pasti Lu Sin Kong...."
Berkata sampai di sini, Han Giok Shia mendongakkan
kepala. Dilihatnya Tam Goat Hua dan kakaknya berdiri tak
jauh dari dirinya.
Kesan Han Giok Shia terhadap kakak Tam Goat Hua amat
dalam sekali. Lagipula hari itu, ketika dia berscmbunyi di balik
batu di Hou Yok, mendengar pembicaraan mereka kakak
beradik, sehingga membuat cintanya semakin bersemi.
Akan tetapi, akhirnya justru timbul suatu masalah, hingga
Han Giok Shia tidak bisa berpikir lebih teliti.
Kini Tam Goat Hua dan kakaknya berdiri di situ, itu
membuat hati Han Giok Shia menjadi agak kacau.
448
Namun begitu teringat akan kematian ayahnya, dia tidak
bisa tidak membenci Tam Goat Hua. Hari itu, dia bertarung
dengan Tam Goat Hua di hadapan ayah dan gurunya, dia
terjungkal dan bahkan Tam Goat Hua pun berhasil membawa
pergi Lu Sin Kong.
Oleh karena itu, Han Giok Shia pun menganggap Tam
Goat Hua sebagai musuh ayahnya.
Sedangkan Gin Koan Tojin justru tidak tahu bahwa hati
gadis tersebut sedang begitu kacau. Dia menatapnya dalamdalam
seraya berkata,
"Walau Thian Hou Lu Sin Kong berkepandaian tinggi,
namun setanding dengan ayahmu, tentunya masih ada orang
lain, siapa orang itu?"
Tanpa berpikir panjang lagi, Han Giok Shia langsung
menunjuk Tam Goat Hua.
"Mungkin dia."
Gin Koan Tojin segera menolehkan kepalanya. Dilihatnya
sepasang muda-mudi berdiri di situ. Mereka berwajah tampan
dan cantik, bertulang bagus dan berbakat.
Lagipula wajah mereka berdua tidak menyiratkan sedikit
hawa sesat pun. Kelihatannya mereka tidak berhati jahat.
Walau Gin Koan Tojin berpikir demikian, namun si Pecut
Emas-Han Sun adalah kawan baiknya. Sebelum menyucikan
diri, dia senang memakai topi perak, maka mereka berdua
disebut Pecut Emas Topi Perak.
449
Kemudian Gin Koan Tojin menyucikan diri menjadi Tosu,
sehingga mereka berdua jarang kunjung-mengunjungi.
Akan tetapi, jalinan hubungan mereka tetap baik dan
akrab. Kini begitu mendengar tentang kematian si Pecut
Emas-Han Sun, hatinya berduka sekali dan dia mengambil
keputusan untuk membalas dendam kawan baiknya itu.
Oleh karena itu, walau dia telah melihat Tam Goat Hua
dan kakaknya bukan orang jahat, tapi tetap membentak.
"Gadis kecil, siapa gurumu dan kenapa kau mencelakai si
Pecut Emas-Han Sun?"
Sesungguhnya Tam Goat Hua juga ingin mendengar dari
mulut Kim Kut Lau, siapa yang membunuh si Pecut Emas-Han
Sun, karena Han Sun merupakan seorang pendekar yang
gagah bijaksana.
Hari itu ketika Lu Sin Kong suami isteri tiba di rumahnya,
begitu melihat mereka berdua terkena pukulan Im Si Ciang,
langsung memberikan mereka obat Kiu Coan Siau Hoan Tan
yang amat berharga, padahal Han Sun dengan mereka tidak
punya hubungan apa pun. Berdasarkan itu, dapat dibayangkan
betapa besarnya jiwa si Pecut Emas-Han Sun.
Akan tetapi, Tam Goat Hua justru tidak menyangka,
bahwa di hadapan Gin Koan Tojin, Han Giok Shia malah
menuduh dirinya dan Lu Sin Kong yang membunuh ayahnya.
Dalam hati Tam Goat Hua, memang tidak terkesan baik
terhadap Han Giok Shia. Karena Gin Koan Tojin bertanya
dengan cara membentak, itu membuatnya langsung naik
darah dan kemudian tersenyum dingin seraya menyahut.
450
"Sungguh menggelikan pertanyaan Tojin! Aku sendiri pun
ingin tahu, kenapa aku pergi membunuh Han Tayhiap?
Seandainya Nona Han menunjuk Tojin sebagai pembunuh,
apakah orang juga akan berpikir demikian?"
Gin Koan Tojin tertegun dan membungkam seketika.
Han Giok Shia melototi Tam Goat Hua, kemudian berkata
kepada Gin Koan Tojin.
"Tojin, gadis liar itu banyak akalnya, Tojin jangan sampai
terjebak."
Sebetulnya Tam Goat Hua masih memandang muka
kakaknya, maka dia tidak mau ribut mulut dengan Han Giok
Shia.
Akan tetapi, Han Giok Shia justru mencacinya sebagai
gadis liar, maka membuatnya tak dapat bersabar lagi. Dia
melangkah maju beberapa langkah dengan wajah muram.
"Nona Han, ayahmu adalah seorang pendekar yang gagah
bijaksana! Kau adalah putri satu-satunya, kalau bicara jangan
sembarangan!"
Begitu melihat Tam Goat Hua melangkah maju, mata Han
Giok Shia langsung membara, maka mana mendengar apa
yang diucapkannya?
"Hm!" dengusnya dingin. Kemudian mendadakdia
menggerakkan Liat Hwe Soh Sim Lun, jurus Burung Gagak Api
Menari dikeluarkan menyerang bagian dada Tam Goat Hua.
Tam Goat Hua tertawa dingin beberapa kali.
451
"Kau pernah terjungkal di tanganku, kini masih ingin
mempermalukan diri sendiri?"
Gadis itu berkelit ke samping. Namun di saat dia baru mau
membalas, mendadak terdengar suara kakaknya.
"Adik, Nona Han mungkin salah paham, kau tidak boleh
balas!"
Padahal Tam Goat Hua sudah menjulurkan tangannya
untuk mencengkeram lengan Han Giok Shia. Tapi begitu
mendengar suara kakaknya, dia langsung menarik kembali
tangannya, sekaligus meloncat kebelakang beberapa langkah.
Betapa gusarnya Han Giok Shia. Di saat dia mau mengejar
Tam Goat Hua, justru dicegah Gin Koan Tojin.
"Tojin...." Han Giok Shia mengerutkan kening dengan dada
turun naik karena menahan kegusarannya.
Ternyata Gin Koan Tojin melihat kepandaian Tam Goat
Hua jauh di atas kepandaian Han Giok Shia. Namun Tam Goat
Hua malah mundur ketika mendengar suara kakaknya, itu
membuktikan dia berhati bajik, maka belum tentu dia
pembunuh si Pecut Ernas-Han Sun.
Oleh karena itu, Gin Koan Tojin segera menahan Han Giok
Shia.
"Nona Han, dendam ayahmu akan kupikul. Pokoknya Cing
Sia Pai akan menuntut balas dendam ayahmu."
Mendengar ucapan itu, Han Giok Shia langsung berlutut di
hadapan Gin Koan Tojin. Dengan demikian, Gin Koan Tojin
452
sudah tidak bisa menarik omongannya lagi, harus
dilaksanakannya.
Semua orang merasa gelombang yang satu belum tenang,
tapi gelombang lain sudah muncul.
Justru di saat itulah, mendadak terdengar suara Kim Kut
Lau yang duduk di dahan pohon. Semua orang tidak begitu
kenal Kim Kut Lau,
begitu pula mengenai kepandaiannya. Yang tahu jelas
hanya Yu Lao Pun yakni ketua Tay Chi Bun dan Tam Goat
Hua.
Mereka berdua tahu bahwa kepandaian Kim Kut Lau di
atas mereka. Terutama Tam Goat Hua, dia pernah ditangkap
dan dibelenggu oleh Kim Kut Lau.
Namun kini dia bersama Tujuh Dewa, maka tidak merasa
takut pada Kim Kut Lau.
Sebelum suara tawa Kim Kut Lau sirna, Tam Goat Hua
sudah membentak.
"Kenapa kau tertawa?"
Kim Kut Lau berhenti tertawa. Dia memandang Tam Goat
Hua sejenak, lalu manggut-manggut, dan setelah itu
menolehkan kepalanya seraya berkata.
"Yang membunuh si Pecut Emas-Han Sun, kalau tidak mau
mengaku sendiri, aku akan membongkarnya di hadapan
semua orang!"
453
Apa yang dikatakan Kim Kut Lau, justru mendapat
perhatian dari semua orang, terutama Han Giok Shia.
Oleh karena itu, Han Giok Shia segera mendongakkan
kepala memandang Kim Kut Lau.
Begitu memandang, hatinya tertegun seketika.
Sebab saat ini, Kim Kut Lau tidak hanya memandang Han
Giok Shia seorang. Justru itu, membuat semua orang dan Han
Giok Shia merasa heran sekali.
Karena seusai berkata, Kim Kut Lau terus menatap satu
orang dengan sorotan aneh.
Siapa orang itu? Tidak lain adalah Hwe Hong Sian Kouw.
Yang lebih mengherankan lagi adalah sikap Hwe Hong Sian
Kouw, dia terus menundukkan kepala dan wajahnya tampak
kelabu.
Semua orang tahu bahwa Hwe Hong Sian Kouw beradat
keras, galak dan berangasan, namun amat jujur dan lurus.
Lagipula Hwe Hong Sian Kouw dan si Pecut Emas-Han Sun
merupakan kawan baik, dan itu siapa pun tahu.
Tiga puluh tahun yang telah lampau, Hwe Hong Sian Kouw
dan si Pecut Emas-Han Sun, merupakan sepasang kekasih.
Tapi karena Hwe Hong Sian Kouw beradat tidak karuan,
maka mereka berdua sering ribut, akhirnya berpisah, yang
satu ke Utara, yang satu lagi ke Selatan.
Beberapa tahun kemudian, karena perintah dari
orangtuanya, maka Han Sun memperisteri seorang gadis,
melahirkan seorang putra dan putri.
454
Han Sun memperisteri gadis itu bukan berdasarkan
kemauan sendiri, melainkan mentaati perintah orangtuanya.
Lewat beberapa tahun kemudian orangtua dan isteri Han
Sun meninggal. Sejak itulah dia tidak berkecimpung dalam
rimba persilatan lagi, menetap di kota Su Cou.
Tidak disangka sama sekali, mendadak muncul Hwe Hong
Sian Kouw. Begitu berjumpa, membuat mereka teringat akan
masa lalu.
Mereka berdua pun merasa, gara-gara ketika masih muda
tidak mau saling mengalah, akhirnya jalinan cinta kasih
mereka menjadi berantakan, dan merusak jodoh mereka.
Tiga puluh tahun kemudian, Mereka justru berjumpa
kembali, namun keduanya sama-sama sudah tua, tentunya
tidak mungkin menjadi suami isteri Lagi. Maka Han Sun
menyuruh Han Giok Shia, putrinya mengangkat Hwe Hong
Sian Kouw sebagai guru.
Semua itu diketahui jelas oleh kaum rimba persilatan
tingkatan tua. Maka ketika melihat Kim Kut Lau terus menatap
Hwe Hong Sian Kouw, semua orang itu terheran-heran.
Lama sekali baru Han Giok Shia membuka mulut.
"Katakan saja siapa pembunuh itu! Kenapa harus dia
mengaku sendiri?"
"Ha ha!" Kim Kut Lau tertawa, sekaligus mematahkan
sebatang ranting kecil, lalu dilempar ke udara. Ketika
melayang turun, ranting kecil itu jatuh di depan Hwe Hong
Sian Kouw.
455
Setelah itu, Kim Kut Lau berkata lagi.
"Nona Han, ranting kecil itu jatuh ke mana, dialah
pembunuh ayahmu."
Begitu ucapan tersebut dicetuskan, terperangahlah semua
orang.
Tadi Kim Kut Lau hanya menatap Hwe Hong Sian Kouw,
seakan menunjuknya sebagai pembunuh, saat ini malah
mengatakannya secara terang-terangan.
Kalau Kim Kut Lau ingin mengeruhkan urusan, pertanda
dia amat bodoh, sebab tiada seorang pun akan
mempercayainya.
Han Giok Shia termangu-mangu. Di saat bersamaan,
terdengar si Walet Hijau-Yok Kun Sih bertanya dengan dingin.
"Sebetulnya kau siapa?"
Ketika Kim Kut Lau baru mau menjawab, mendadak Hwe
Hong Sian Kouw mendongakkan kepala. Air mukanya begitu
tak sedap dipandang, namun menyiratkan penderitaannya
yang teramat dalam. "Kim Kut Lau!" bentaknya. "Kau... kau...
kau...."
Tiga kali berturut-turut menyebut "Kau", tapi tak dapat
melanjutkannya. Dari itu dapat diketahui bahwa kini perasaan
Hwe Hong Sian Kouw kacau sekali.
Sedangkan Kim Kut Lau masih tetap duduk didahan pohon
sambil menggoyang-goyangkan kakinya.
456
"Kau ingin bertanya, bagaimana aku mengetahuinya?
Terus terang, aku amat tertarik akan barang kawalan Lu Sin
Kong, maka aku ke rumah Han Sun. Ha ha! Aku justru
menyaksikan Hwe Hong Sian Kouw menusuk dada Han Sun
dengan patahan kaki kursi."
"Itu omong kosong!" Terdengar suara seruan semua
orang.
Hwe Hong Sian Kouw menggoyang-goyangkan tangannya
ke arah semua orang, kemudian berkata sengit kepada Kim
Kut Lau.
"Kim Kut Lau! Ketika itu kau menyaksikan kejadian
tersebut, kenapa kau tidak mencegahku?" Apa yang diucapkan
Hwe Hong Sian Kouw, membuat hening suasana di puncak
Sian Jin Hong.
Kim Kut Lau tertawa.
"Lucu sekali! Bagaimana hubunganmu dengan Han
Tayhiap, semua orang pasti tahu! Kau mementingkan
keuntungan tapi melupakan persahabatan, mau
membunuhnya, tentunya Han Tayhiap akan mati secara ikhlas
di tanganmu! Untuk apa aku harus turun tangan
mencegahmu?"
Sekujur badan Hwe Hong Sian Kouw gemetar, lama sekali
barulah dia bertanya.
"Siapa yang mementingkan keuntungan melupakan
persahabatan?"
Kim Kut Lau menyahut dengan lantang.
457
"Kalian dengar semua, dia bilang bukan mementingkan
keuntungan melupakan persahabatan, tentunya ada sebab
lain! Kita adalah orang luar, tidak bisa banyak bicara! Kalau
kita banyak bicara, berarti akan turut campur urusan pribadi
orang!"
Seusai Kim Kut Lau berkata begitu, Han Giok Shia dan Gin
Koan Tojin sudah maju mengepung Hwe Hong Sian Kouw. Di
saat bersamaan, Gin Koan Tojin pun memberi isyarat kepada
keempat Tosu yang mengikutinya. Begitu melihat isyarat itu,
keempat Tosu itu pun berpencar mengepung Hwe Hong Sian
Kouw.
Justru di saat itulah mendadak si Walet Hijau Yok Kun Sih
melesat ke arah Hwe Hong Sian Kouw.
Begitu melihat ada orang melesat ke arah Hwe Hong Sian
Kouw, keempat Tosu itu pun bergerak menyambutnya.
Di saat keempat Tosu itu baru bergerak, terdengar suara
"Ser", si Walet Hijau telah berhasil melewati mereka
menerobos ke sisi Hwe Hong Sian Kouw.
Air muka keempat Tosu itu berubah menjadi hebat,
kemudian mereka serentak menjulurkan tangan untuk
menepuk benda bulat yang bergantung di pinggang mereka
masing-masing.
Plak! Trang! Mendadak muncul sebatang pedang di tangan
masing-masing.
Keempat pedang itu bergemerlapan, dan tampak amat
lemas. Mereka berempat maju selangkah, kemudian
menggerakkan pedang masing-masing.
458
Ser! Ser! Ser! Ser! Keempat pedang itu berkelebatan ke
arah Yok Kun Sih.
Tapi di saat bersamaan, terdengar suara seruan Gin Koan
Tojin.
"Jangan kurang ajar!"
Begitu mendengar suara seruan itu, keempat Tosu
tersebut segera mundur, lalu melingkarkan pedang masingmasing
sehingga berbentuk bulat.
Setelah keempat Tosu itu mundur, Gin Koan Tojin
memandang Yok Kun Sih dengan dingin.
"Yok Kun Sih, sudah lama aku mendengar nama besarmu,
tapi kita tidak pernah berjumpa. Setahuku kau amat bijaksana,
tapi kenapa sekarang mencegah kami turun tangan? Harap
dijelaskan!"
Dalam golongan lurus, ketua Hui Yan Bun, si Walet Hijau-
Yok Kun Sih dan ketua Cing Sia Pai Gin Koan Tojin,
berkedudukan tinggi dalam rimba persilatan. Karena itu, sudah
ada beberapa orang mau tampil mendamaikan mereka, tapi si
Walet Hijau-Yok Kun Sih justru berkata.
"Tojin, tunggu aku tahu sampai jelas dulu persoalan itu!"
Dia menjulurkan tangannya untuk memegang lengan Hwe
Hong Sian Kouw, kemudian bertanya.
"Hong Kouw, apakah benar apa yang dikatakan orang
itu?"
Hwe Hong Sian Kouw menyahut dengan suara lantang.
459
"Tidak salah, Kun Sih! Kau tidak usah mempedulikan
diriku, biar mereka turun tangan!"
Gin Koan Tojin segera berkata.
"Yok Kun Sih harap mundur!"
Yok Kun Sih membentak gusar.
"Tojin! Kenapa kau tidak bisa bersabar sebentar?"
Wajah Gin Koan Tojin berubah menjadi dingin sekali.
"Dia telah mengaku, apakah Hui Yan Bun ingin bentrok
dengan Cing Sia Pai?"
Saat itu, pihak golongan sesat semuanya ingin
menyaksikan keramaian tersebut. Sedangkan golongan lurus,
justru tidak habis pikir kenapa Hwe Hong Sian Kouw
mencelakai si Pecut Emas-Han Sun?
Asal Hwe Hong Sian Kouw menyangkal, semua orang pasti
mempercayainya. Akan tetapi, Hwe Hong Sian Kouw malah
mengakuinya.
Semua orang yakin, bahwa kejadian itu pasti terselip
sesuatu, maka Pit Giok Sen segera berseru.
"Gin Koan Tojin, hitam atau putihnya persoalan ini masih
belum jelas, tapi kenapa kau begitu terburu-buru? Bersabarlah
sedikit!"
Sementara Yok Kun Sih cepat-cepat berkata. "Hong Kouw,
aku yakin pasti ada sebab lain, jelaskanlah!"
460
Hwe Hong Sian Kouw menghela nafas panjang. "Kalau
kujelaskan, tiada seorang pun akan percaya! Untuk apa aku
menjelaskan?"
Yok Kun Sih segera menyahut.
"Hong Kouw, aku mempercayaimu!"
Si Sastrawan dan lainnya juga berkata dengan serentak.
"Kami juga mempercayaimu!"
Hwe Hong Sian Kouw tampak terharu, lalu berkata
sekeras-kerasnya.
"Kalau begitu, akan kukatakan!"
Dia berhenti sejenak, kemudian barulah melanjutkan.
"Hari itu, Lu Sin Kong ditolong oleh gadis itu...." Hwe Hong
Sian Kouw menunjuk Tam Goat Hua. "Setelah dia membawa
pergi Lu Sin Kong, kami anggap kepandaian yang
diperlihatkannya sedikit mirip dengan kepandaian pemilik Cit
Sat Sin Ciang di masa lampau, yaitu ilmu Hian Bu Sam Na,
maka aku dan Han Tayhiap terkejut bukan kepalang."
Mendengar sampai di situ, Tujuh Dewa pun mengeluarkan
"Hah" dan mereka langsung teringat akan orang yang
memakai kain penutup muka.
Si Sastrawan menolehkan kepala untuk memandang Tam
Goat Hua seraya bertanya.
"Gadis kecil, apa margamu?"
461
Tam Goat Hua tertawa.
"Aku bermarga Tam!"
Si Sastrawan Se Chi tertegun.
"Nona Tam, siapa yang mengajarmu ilmu Hian Bu Sam
Na?"
Tam Goat Hua menyahut.
"Apa itu ilmu Hian Bu Sam Na, aku tak tahu sama sekali."
Saat ini walau hati Hwe Hong Sian Kouw amat kacau, tapi
pembicaraan mereka tidak terlepas dari pendengarannya. Dia
segera berkata.
"Kau merebut senjata Ah Shia dengan jurus aneh,
bukankah itu adalah ilmu Hian Bu Sam Na?"
Tam Goat Hua tertawa.
"Heran! Bagaimana mungkin aku tidak tahu akan ilmu silat
sendiri? Itu memang ilmu Kin Na Ciu (ilmu Mencengkeram),
tapi tentang ilmu Hian Bu Sam Na, aku tidak pernah
mendengarnya."
Yok Kun Sih memandang sejenak Tam Goat Hua dan
kakaknya, kemudian berkata kepada Hwe Hong Sian Kouw.
"Kau lanjutkan saja, tidak usah mempedulikan mereka!"
Hwe Hong Sian Kouw manggut-manggut lalu melanjutkan.
462
"Setelah kami berdua terkejut, aku menyuruh Ah Shia ke
Hui Yan San belajar ilmu silat kepadamu."
Yok Kun Sih manggut-manggut.
"Oooh! Tapi dia tidak pernah datang di Hui Yan San
menemuiku."
Saat ini, Han Giok Shia tahu bahwa orang yang
membunuh ayahnya, tidak lain adalah gurunya sendiri, dan itu
membuat hatinya menjadi berduka dan kacau balau. Apa yang
dibicarakan orang-orang disekelilingnya sama sekali tidak
masuk ke telinganya.
"Dia pernah ke sana atau tidak, kami tidak
mengetahuinya," kata Hwe Hong Sian Kouw. "Kami tahu pihak
lain tidak bersenjata, maka kami memberikan senjata kami
kepada Ah Shia, agar dia dapat melindungi dirinya dengan
kedua senjata itu. Lagi pula kami pun tahu bahwa pihak lawan
berkepandaian amat tinggi, percuma kami memiliki senjata,
maka kami menunggu kemunculannya dengan tangan
kosong."
"Apakah dia muncul?" tanya Yok Kun Sih.
"Tidak" sahut Hwe Hong Sian Kouw. "Mungkin kami salah
mengenali ilmu silat gadis ini. Berselang beberapa saat,
terdengar suara harpa...."
Ketika Hwe Hong Sian Kouw berkata sampai di situ,
beberapa orang langsung bertanya. "Terdengar suara harpa?"
Orang-orang yang bertanya itu termasuk Han Giok Shia,
Tam Goat Hua dan kakaknya.
463
Wajah Hwe Hong Sian Kouw tampak menderita sekali,
kemudian dia menyahut sambil berkertak gigi.
"Benar. Aku mendengar suara harpa. Setelah itu aku tidak
tahu apa yang telah terjadi. Aku hanya mendengar suara
jeritan, dan itu membuatku tersentak sadar, bahwa aku telah
terluka parah, sedangkan Han Tayhiap telah mati di
tanganku."
Mendengar itu, Yok Kun Sih menjadi diam. Dia memang
ingin membela Hwe Hong Sian Kouw. Namun apa yang
dituturkan Hwe Hong Sian Kouw, amat sulit untuk dipercaya.
Ketika melihat Yok Kun Sih diam saja, Gin Koan Tojin
berkata dingin.
"Yok Kun Sih, kau sudah boleh mundur."
Yok Kun Sih bersifat aneh, namun hubungannya dengan
Hwe Hong Sian Kouw amat baik.
Saat itu, walau dia tidak begitu percaya akan penuturan
Hwe Hong Sian Kouw, tapi dia tetap membelanya, maka dia
tertawa dingin.
"Kenapa aku harus mundur? Siapa berani turun tangan
terhadap Hwe Hong Sian Kouw, berarti dia mau cari gara-gara
dengan Hui Yan Bun!"
Begitu mendengar ucapan itu, wajah Gin Koan Tojin
langsung berubah, lalu dia tertawa panjang. "Ha ha haaaa!
Bagus! Bagus!"
Kemudian dia menghunus pedangnya "Trang", setelah itu
dia langsung menyerang Yok Kun Sih.
464
Tidak tampak Yok Kun Sih bergerak, tapi badannya justru
telah mencelat ke belakang, bahkan sempat membawa Hwe
Hong Sian Kouw.
Melihat itu, Han Giok Shia segera berseru dengan penuh
dendam.
"Harap Tojin membalas dendam ayahku!"
Gin Koan Tojin menyahut.
"Tenanglah Nona Han, aku pasti membalas dendam
ayahmu!"
Seketika suasana menjadi tegang mencekam. Orang lain
sudah tidak bisa berbuat apa-apa.
Cing Sia Pai dan Hui Yan Bun sama-sama golongan lurus.
Kini kedua ketua itu, justru telah bentrok dan kelihatannya
sudah siap bertarung.
Terdengar Hwe Hong Sian Kouw berkata.
"Kun Sih, untuk apa kau membelaku sehingga
menimbulkan bentrokan dengan Cing Sia Pai?"
Yok Kun Sih menyahut sungguh-sungguh.
"Hong Kouw, kau tidak perlu mempedulikanku. Kau
mendengar suara harpa itu, tentunya ada orang lain yang
menimbulkan kejadian itu. Kini hatimu sedang kacau lebih baik
pergi beristirahat sejenak!" Kemudian dia berpaling seraya
memanggil. "Ang!"
465
Toan Bok Ang segera menghadap.
"Ya, Guru."
"Bawalah Hong Kouw pergi beristirahat!" pesan Yok Kun
Sih.
Toan Bok Ang mengangguk, lalu menarik Hwe Hong Sian
Kouw meninggalkan tempat itu. Saat ini, pikiran Hwe Hong
Sian Kouw memang amat kacau. Ketika Toan Bok Ang
menariknya pergi, dia pun ikut.
Setelah menyaksikan semua itu, mendadak Han Giok Shia
berseru dengan hati hancur.
"Guru!"
Hwe Hong Sian Kouw memandangnya, kemudian
tersenyum getir seraya bertanya.
"Ah Shia, kenapa kau masih memanggilku guru?"
Sepasang mata Han Giok Shia tampak membara.
"Tentunya aku tetap memanggilmu guru. Asal kau masih
mempunyai rasa sebagai seorang guru, saat ini kau harus...."
Toan Bok Ang tahu bahwa Han Giok Shia akan
mengatakan apa, sudah pasti akan menyuruh Hwe Hong Sian
Kouw membunuh diri. Toan Bok Ang khawatir Hwe Hong Sian
Kouw akan menurutinya.
Oleh karena itu, secepat kilat dia menggerakkan pecutnya
ke arah Han Giok Shia, dan ujung pecut itu berhasil menotok
jalan darah Hu Keng Hiat di tubuh gadis itu, maka tidak dapat
melanjutkan ucapannya.
466
Sementara Gin Koan Tojin dan si Walet HijauYok Kun Sih,
berdiri berhadapan dalam jarak beberapa depa, sama sekali
tanpa ada yang bergerak.
Mereka berdua adalah jago tangguh kelas satu masa kini.
Kalau mereka mau bertarung, tentunya berbeda dengan orang
lain. Mereka akan mencari kelemahan pihak lawan untuk
merebut kemenangan. Karena itu, mereka berdua berdiri diam
di tempat. Angin berhembus ke arah mereka, membuat
pakaian mereka berkibar-kibar.
Ketika Toan Bok Ang menotok jalan darah Han Giok Shia,
itu tidak terlewat dari mata Gin Koan Tojin, namun Tosu tua
itu tidak dapat berbuat apa pun.
Tapi empat Tosu lain murid Gin Koan Tojin, langsung
melesat ke hadapan gadis itu.
Trang! Trang! Trang! Trang!
Keempat Tosu itu menghunus pedang masing-masing,
kemudian mendadak menyerang Toan Bok Ang.
Setelah berhasil menotok jalan darah Han Giok Shia,
sehingga membuat gadis itu tidak dapat melanjutkan
ucapannya, Toan Bok Ang merasa puas sekali.
Akan tetapi, pedang keempat Tosu itu telah mengarah
kepadanya. Betapa terkejutnya hati gadis itu. Dia mau balas
menyerang, tapi sudah terlambat, karena itu dia mengerahkan
ilmu Ginkang perguruannya untuk menghindar. Gerakan Induk
Walet Mencari Makanan dikeluarkan, badannya melambung
kemudian melesat keluar laksana kilat.
467
Seketika Toan Bok Ang sudah berada sejauh beberapa
depa. Kemudian disusul dengan gerakan Sekali Terbang
Menembus Langit. Akan tetapi, ketika dia berdiri barulah tahu
ujung lengan bajunya telah tersobek oleh pedang, bahkan
bahu dan kakinya pun tergores sedikit. Ternyata keempat
pedang itu tidak menyerang tempat kosong.
Itu membuat Toan Bok Ang gusar sekali. Dia memandang
keempat Tosu itu sambil mendengus.
"Tosu bau, sungguh hebat ilmu pedang kalian!"
Salah seorang Tosu tertawa dingin.
"Tidak sebanding dengan gerakan Nona yang begitu indah
dan aneh!"
Toan Bok Ang maju selangkah sambil menuding keempat
Tosu itu seraya membentak.
"Kalian berempat, maju semua!"
Tiga Tosu itu malah mundur. Hanya satu Tosu tetap
berdiri di situ.
Mereka berempat tak pernah berbicara, tapi gerak-gerik
mereka justru sesuai dengan kemauan hati.
Tosu yang berdiri tak bergerak itu, menatap Toan Bok Ang
dengan dingin seraya berkata.
"Aku seorang diri, mohon petunjuk ilmu cambuk Nona!"
468
Tadi Toan Bok Ang telah kehilangan muka, kini dia harus
merebut kembali itu, maka tidak peduli kedua pihak samasama
dari golongan lurus. Apabila mereka bertarung, tentunya
akan menjadi bahan tertawaan golongan sesat.
Ketika melihat cuma satu Tosu itu, bergiranglah Toan Bok
Ang dalam hati dan berkata.
"Baik, aku akan memberi pelajaran kepadamu!"
Usia Toan Bok Ang jauh lebih muda dari keempat Tosu itu,
namun derajatnya justru sama. Kini kedua beiah pihak sudah
jadi musuh, omong sombong sedikit tidak akan keterlaluan.
Usai berkata begitu, Toan Bok Ang maju selangkah, dan
cambuk yang di tangannya sudah meliuk-liuk ke arah Tosu itu.
Cambuknya itu juga bergemerlapan seperti Pecut Emas
milik Han Giok Shia, ketika bergerak memancarkan cahaya.
Kebetulan Tosu itu pun menggunakan pedang perak yang
memancarkan cahaya. Tampak cahaya putih berkelebatan,
mereka berdua sudah bertarung tiga jurus. Dalam gulungan
cahaya yang satu, tampak seorang Tosu. Dalam gulungan
cahaya lain, tampak seorang gadis cantik jelita. Bukan main
indahnya gerakan mereka, sesekali terdengar pula suara
benturan dan bunga api pun berpijar-pijar.
Sungguh indah pemandangan itu!
Kelihatannya mereka berdua setanding, sebab belum ada
yang terdesak maupun di bawah angin.
469
Ketika Toan Bok Ang baru bertarung dengan Tosu itu,
kakak Tam Goat Hua segera mendekati Han Giok Shia,
sekaligus membebaskan totokan itu.
Setelah totokan itu bebas, Han Giok Shia bisa bergerak
dan bersuara. Dia ingin mencaci, namun begitu lihat yang
membebaskan totokannya adalah pemuda pujaan hatinya,
wajahnya langsung berubah kemerah-merahan.
Seseorang gadis walau bersifat keras, namun di hadapan
pemuda pujaan hatinya, pasti menjadi lembut sekali, begitu
pula Han Giok Shia. Dia menundukkan wajahnya dalam-dalam.
Pemuda itu menatapnya, kemudian berkata dengan suara
rendah.
"Nona Han, meskipun gurumu mengakui mencelakai
ayahmu, tapi pasti ada sebab lain."
Han Giok Shia bertanya dengan air mata berderai-derai.
"Bagaimana... kau tahu ada sebab lain?"
Pemuda itu menghela nafas panjang.
"Aku akan memberitahukan satu hal, kau pasti akan lebih
mengerti."
Han Giok Shia merasa nada suara pemuda itu
mengandung suatu kekuatan yang tak dapat dilawannya,
bahkan nada suara itu pun membuatnya terasa nyaman dan
lega, terutama di saat ini, hatinya menjadi agak tenang.
"Mengenai hal apa?" tanyanya perlahan.
470
Pemuda itu tertawa.
"Panjang sekali kalau diceritakan. Bagaimana kalau Nona
Han ke tempat kami untuk beristirahat sejenak?"
Han Giok Shia mendongakkan kepala memandang Tam
Goat Hua, kemudian berkata.
"Aku khawatir adikmu...."
Pemuda itu tertawa lagi.
"Adikku berhati lurus, lambat laun Nona Han akan
mengerti."
Setelah mengatakan begitu, wajah pemuda itu justru
kemerah-merahan.
Han Giok Shia yang mendengar, seketika juga hatinya
berbunga-bunga, kemudian mereka berdua ke sisi Tujuh
Dewa.
Dalam hati Han Giok Shia dan Tam Goat Hua memang
sudah ada ganjelan, maka ketika bertatap muka, mereka
berdua cuma berbasa-basi dengan hambar.
Di saat bersamaan, suasana di tempat itu bertambah
tegang, karena Gin Koan Tojin dan si Walet Hijau-Yok Kun Sih
sudah mulai bertarung.
Akan tetapi, gerakan mereka tampak lamban sekali,
kelihatannya seperti sedang berlatih.
471
Tentu, sebab dalam pandangan seorang ahli, mereka
berdua bertarung menggunakan Lweekang, maka berjarak
beberapa depa. Walau kelihatan lamban, namun setiap
gerakan disertai dengan tenaga.
Di pihak lain, pertarungan antara Toan Bok Ang dengan
Tosu itu justru semakin cepat. Dalam waktu sekejap, sudah
melewati dua puluh jurus.
Diam-diam Toan Bok Ang penasaran sekali. Menghadapi
salah seorang Tosu itu saja tak mampu merobohkannya,
apalagi mereka berempat maju serentak? Karena itu, gadis
tersebut merasa malu sekali.
Dia terus berpikir cara bagaimana merobohkan Tosu itu,
mendadak timbul suatu ide dalam hatinya. Setelah
pertarungan mereka melewati dua puluh empat jurus,
sekonyong-konyong Toan Bok Ang mengeluarkan jurus
Burung Walet Beterbangan. Tapi baru mengeluarkan setengah
jurus, tiba-tiba Toan Bok Ang berhenti, tidak melanjutkan
jurus itu.
Jurus Pik Yan Hun Hui merupakan jurus andalan ilmu
cambuknya, yang setiap jurusnya mengandung sembilan
gerakan. Ketika mempelajari jurus tersebut, dia membutuhkan
waktu hampir setengah tahun, barulah dapat menguasai jurus
itu. Maka, dapat dibayangkan betapa lihay dan dahsyatnya
jurus tersebut.
472
Bagian 09
Bab 21
Begitu jurus tersebut dikeluarkan, Tosu itu sudah tahu
akan kedahsyatannya, maka segera menyurut mundur.
Ketika Tosu itu mundur, Toan Bok Ang justru tidak
melanjutkan jurus itu, hanya berdiri diam saja. Tentunya
membuat Tosu itu terheran-heran, dan sudah barang tentu
penjagaannya menjadi lengah.
Akan tetapi, Toan Bok Ang tetap tidak menyerangnya.
Tosu itu bergirang dalam hati, dan langsung menggerakkan
pedangnya untuk menyerang.
Toan Bok Ang mundur, namun Tosu itu menyerang lagi
dengan jurus Pelangi Menutupi Matahari. Pedangnya
berkelebatan dan menderu-deru mengarah Toan Bok Ang.
Di saat Tosu itu mengeluarkan jurus tersebut, ketiga Tosu
lain langsung berseru.
"Suheng hati-hati!"
Ternyata ketiga Tosu itu telah melihat jurus yang
dikeluarkan Toan Bok Ang tadi belum semuanya, maka ketika
Tosu itu menyerang dengan jurus Ciang Hong Koan Jit,
mereka bertiga berseru memperingatkannya.
Namun sudah terlambat, karena badan Toan Bok Ang
telah bergerak ke belakang Tosu itu.
473
Gadis itu bergerak menggunakan Ginkang andalan Hui Yan
Bun, maka gerakannya cepat laksana kilat dan ringan
bagaikan kapas.
Betapa terkejutnya Tosu itu, sebab mendadak Toan Bok
Ang menghilang dari hadapannya. Di saat Tosu itu
mengetahui adanya gelagat tidak beres, Toan Bok Ang justru
telah menyerang punggungnya dengan jurus tadi, Burung
Walet Beterbangan.
Plak! Plak! Plak! Terdengar suara itu dan disusul dengan
suara jeritan Tosu itu. Ternyata badannya terpental ke depan
beberapa depa, dan punggungnya telah terluka cukup berat.
Toan Bok Ang berdiri di tempat, menatap ketiga Tosu lain
seraya bertanya dingin.
"Siapa lagi yang akan maju?"
Ketiga Tosu itu maju serentak. Seketika juga Toan Bok
Ang tertawa, kelihatannya gadis itu sudah siap bertarung.
Di saat bersamaan, mendadak jago tangguh tingkat kedua
Bu Tong Pai, Sen Hong Kiam Kek Ouw Yang Seh berseru.
"Nona dari Hui Yan Bun dan Tosu dari Cing Sia Pai, kalian
tidak perlu bertarung lagi!"
Sembari berseru dia mendekati mereka, lalu berdiri di
tengah-tengah mereka pula.
Jago tangguh dari Bu Tong Pai itu, sejak berada di situ
tidak pernah berbicara dengan siapa pun. Namun kini
mendadak dia tampil ke tengah-tengah mereka, maka amat
mengherankan semua orang.
474
Sedangkan Toan Bok Ang tahu jelas akan dirinya sendiri,
kalau terus bertarung satu persatu, tenaganya justru akan
terkuras habis.
Dalam hatinya memang menghendaki kemunculan
seseorang, kebetulan Sen Hong Kiam Kek Ouw Yang Seh
tampil ke depan.
Ketiga Tosu Cing Sia Pai segera bertanya serentak.
"Apa artinya tidak perlu bertarung lagi, harap dijelaskan!"
Sen Hong Kiam Kek Ouw Yang Seh tidak menyahut,
melainkan memandang Yok Kun Sih dan Gin Koan Tojin yang
sedang bertarung itu seraya berkata.
"Kalian berdua adalah ketua partai, kenapa kalian masih
terus bertarung? Setiap orang yang datang di puncak Sian Jin
Hong, masing-masing punya maksud tertentu, tapi tidak untuk
bertarung!"
Ketiga Tosu Cing Sia Pai membungkam. Di saat itulah
terdengar suara seruan lantang.
"Memang benar perkataan Saudara Ouw Yang!"
Suara seruan itu amat nyaring dan tajam, maka menarik
perhatian semua orang. Kemudian orang-orang itu
memandang ke arah datangnya suara dan tertegun.
Ternyata wajah orang yang bersuara itu, aneh sekali.
Dia mengenakan pakaian pendek, dan tangannya
memegang sebuah kipas rombeng. Yang mengherankan, dia
475
memakai sebuah kedok besar yang tampak tersenyumsenyum,
yakni kedok Buddha Berwajah Tertawa.
Sesungguhnya dandanan orang itu tidak aneh, sebab sejak
Dinasti Han, dandanan tersebut sudah populer, khususnya
untuk menghibur anak-anak setiap tahun, agar anak-anak
bergembira ria.
Akan tetapi, dengan dandanan seperti itu muncul di
puncak Sian Jin Hong, justru membuat semua orang terheranheran
dan merasa di luar dugaan.
Walau kedok itu tersenyum-senyum, namun tampak
sepasang mata orang itu menyorot dingin. Siapa yang
menyaksikan sorotan matanya, pasti merasa merinding.
Hal lain yang mengherankan, yaitu kapan datangnya orang
itu, tiada seorang pun tahu.
Liat Hwe Cousu tampak berbisik-bisik dengan kedua
Tongcunya, kelihatannya dia pun tidak tahu kapan orang itu
muncul di puncak Sian Jin Hong.
Hanya kini terlihat orang itu duduk di atas sebuah batu
besar yang tajam, tapi seakan duduk di tanah datar.
Semua orang memandangnya, kemudian mulai berbisikbisik
membicarakannya. Akan tetapi, tetap tiada seorang pun
tahu asal-usul orang tersebut.
Karena tak ada yang tahu, maka orang-orang itu mulai
tidak memperhatikannya lagi.
Orang-orang yang berkumpul di puncak Sian Jin Hong itu
baik dari golongan lurus maupun golongan sesat rata-rata
476
sudah terkenal dalam rimba persilatan. Maka begitu bertemu
mereka saling mengenal, termasuk Kim Kut Lau.
Namun orang itu, justru tiada seorang yang mengenalnya,
pertanda dia bukan orang terkenal, maka sengaja berdandan
aneh seperti itu untuk menarik perhatian semua orang.
Di saat semua orang sedang berpikir demikian, mendadak
orang itu meloncat turun dari batu besar yang didudukinya.
Plak! Terdengar suara sepasang kakinya menginjak tanah,
sepertinya tidak mengerti ilmu Ginkang.
Setelah meloncat turun, orang itu berseru.
"Gin Koan Tojin, Yok Kun Sih, kalian berdua tidak perlu
bertarung lagi!"
Gin Koan Tojin dan Yok Kun Sih baru bertarung belasan
jurus dan belum ada yang kalah, bagaimana mungkin mereka
berdua menyudahi pertarungan itu?
Oleh karena itu, mereka berdua sama sekali tidak
menghiraukan seruan orang itu, melainkan terus melancarkan
pukulan.
Blam! Terdengar suara benturan, membuat mereka berdua
mundur selangkah.
Ketika mereka berdua baru mau melancarkan pukulan lagi,
kedua-duanya sama-sama tertegun.
Ternyata entah sejak kapan, tahu-tahu orang berkedok itu
sudah berdiri di tengah-tengah mereka.
477
Gin Koan Tojin dan Yok Kun Sih merupakan jago tangguh
tingkat tertinggi dalam rimba persilatan di masa itu.
Namun mereka berdua justru tidak tahu, sejak kapan
orang berkedok itu berdiri di tengah-tengah mereka berdua,
dan itu membuat mereka berdua tidak jadi melancarkan
pukulan.
Terdengar orang berkedok itu berkata.
"Kalian berdua ingin tahu siapa yang menang dan yang
kalah. Tapi kalau kalian bertarung dengan cara demikian,
sampai lima ratus jurus pun belum tentu ada hasilnya. Bahkan
itu akan menghabiskan waktu kalian sekaligus menelantarkan
pokok urusan. Menurut aku, kalah dan menang dapat segera
diketahui."
Kini Yok Kun Sih dan Gin Koan Tojin, sudah tahu bahwa
orang berkedok itu berkepandaian amat tinggi.
"Ada cara apa agar bisa tahu siapa menang dan kalah?"
tanya mereka serentak.
Orang berkedok itu menggeleng-gelengkan kepala.
"Dalam hal ilmu silat, tentunya berpokok pada Lweekang.
Kini banyak jago tangguh di sini. Kalian berdua boleh
memperlihatkan Lweekang masing-masing, tetapi harus ada
orang yang menjadi saksi. Jadi kalian tidak perlu bertarung
tidak karuan menghabiskan waktu."
Gin Koan Tojin menyahut sengit.
"Apa yang Anda katakan memang tidak salah, namun aku
dengan dia bukan ingin tahu siapa yang menang dan yang
478
kalah, melainkan berhubungan dengan kematian si Pecut
Emas-Han Sun."
Orang berkedok itu tertawa aneh.
"Aku tahu, siapa yang menang tentunya boleh berbuat
sesukanya."
Gin Koan Tojin berkata dingin.
"Aku kira Anda tidak dapat mengambil keputusan itu."
Orang berkedok itu tertawa gelak.
"Ha ha ha!" Suara tawanya tak sedap didengar. Sebelum
suara tawanya lenyap, dia sudah mencelat ke belakang.
Gerakannya cepat sekali, tahu-tahu dia sudah berada di sisi
sebuah batu besar, lalu mendadak mengayunkan kipas
rombengnya.
Blam! Terdengar suara yang memekakkan telinga.
Bukan main! Batu besar itu terbelah menjadi dua.
Kemudian orang itu kembali ke sini Gin Koan Tojin dan Yok
Kun Sih seraya bertanya,
"Aku boleh mencampuri atau tidak?"
Usai bertanya, mendadak terdengar suara ledakan "Blam",
ternyata batu besar yang terbelah tadi meledak hancur.
Betapa terkejutnya semua orang, termasuk Gin Koan Tojin
dan Yok Kun Sih. Mereka semua terbelalak menyaksikan
kejadian itu.
479
Tam Goat Hua juga merasa heran dalam hati.
"Kakak, Lweekang orang itu telah mencapai tingkat
tertinggi. Entah siapa dia?" tanyanya kemudian kepada
kakaknya.
Kakak Tam Goat Hua menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku pun tidak tahu, sebab banyak orang aneh
berkepandaian tinggi dalam rimba persilatan."
Setelah batu besar itu hancur, semua orang mulai
membicarakan orang berkedok itu.
Dalam hati Gin Koan Tojin, walau tidak terkesan baik
terhadap orang berkedok itu, tapi amat kagum kepadanya,
sebab orang berkedok itu menghantam batu besar itu, cuma
menggunakan kipas rombeng.
Setelah berpikir sejenak, Gin Koan Tojin pun berkata.
"Anda tidak menghendaki kami bertarung di sini, baiklah.
Setelah meninggalkan tempat ini, barulah kami lanjutkan."
Orang berkedok itu menggoyang-goyangkan kipasnya.
"Kalau begitu memang baik sekali. Namun kalian semua
yang datang di tempat ini, belum tentu cuma ingin menonton
keramaian. Mungkin pada saatnya, kalian masing-masing pun
harus turun tangan. Bagi yang berkepandaian rendah, harus
cepat-cepat mengambil keputusan, agar tidak
mempermalukan diri sendiri nanti!"
Apa yang diucapkannya justru ditujukan kepada semua
orang, dan bernada besar.
480
Liat Hwe Cousu membuka matanya perlahanlahan,
kemudian membentak.
"Siapa Anda?"
Orang berkedok itu tertawa dingin.
"Aku adalah aku!" sahutnya.
Usai menyahut, orang itu melangkah pergi. Tapi ketika
melewati Tam Goat Hua dan kakaknya ia berhenti sejenak
sambil menatap mereka berdua dengan sorot mata tajam.
Kemudian dia berjalan lagi dan berhenti di dekat sebuah batu.
Saat itu tengah hari, masih banyak orang datang di
puncak Sian Jin Hong. Ketika hari mulai sore, muncullah si
Setan-Seng Ling bersama Setan Kepala Kerbau dan Setan
Kepala Kuda.
Kou Hun Su Seng Cai dan Sou Mia Su Seng Bou segera
menyapanya, kemudian mereka lalu bercakap-cakap dengan
suara rendah.
Si Setan-Seng Ling segera memandang Tujuh Dewa, Tam
Goat Hua dan kakaknya dengan sorotan tajam, setelah itu
barulah duduk.
Tam Goat Hua tertawa.
"Kak, setan tua tiba, setan kecil langsung mengadu."
Kakak Tam Goat Hua menyahut.
481
"Diam! Entah kenapa ayah masih belum muncul? Lebih
baik kita jangan cari gara-gara!"
Tam Goat Hua meleletkan lidahnya, tapi diam tak bersuara
lagi.
Tak lama setelah si Setan-Seng Ling duduk, muncul lagi
seorang setan dari Istana Setan, yang langsung menghampiri
si Setan-Seng Ling, kemudian berbisik-bisik.
Si Setan-Seng Ling mendongakkan kepala memandang
Tam Goat Hua dan kakaknya.
"Benarkah urusan itu?" tanyanya dingin.
"Tidak salah," sahut setan itu.
Semua orang tidak tahu apa yang mereka bisikkan, namun
Tam Goat Hua dan kakaknya tahu, apa yang mereka bisikkan
itu pasti berkaitan dengan dirinya. Kini mereka berdua
bersama Tujuh Dewa, Liok Ci Siansing, Pik Giok Sen dan Tiat
Cit Song Jin, tentunya tidak merasa takut kepada si Setan-
Seng Ling.
Hari itu walau sudah begitu banyak jago tangguh
berkumpul di puncak Sian Jin Hong, namun tidak terjadi suatu
apa pun.
Ketika menjelang malam, muncul lagi dua jago tangguh
dari Bu Tong Pai. Mereka memberitahukan bahwa di tengah
jalan mereka melihat ketua Tiam Cong Pai bersama belasan
jago tangguh telah menuju ke puncak Sian Jin Hong.
Lalu tampak dua nenek berpakaian aneh membaur di situ.
Di leher kedua nenek itu melingkar seekor ular berkembangKANG
ZUSI WEBSITE http://cerita-silat.co.cc/
482
kembang. Siapa pun tidak tahu asal-usul kedua nenek itu.
Mendengar pemberitahuan itu semua orang yakin, bahwa
tidak lama lagi pihak Go Bi Pai pasti akan menyusul.
Hari sudah malam, keadaan tetap tenang, tak terjadi suatu
apa pun.
Namun semua orang tahu, ketenangan itu justru
merupakan awal dari suatu badai.
Sejak Tam Goat Hua kecil, dia hanya mengikuti ayahnya
tinggal di sebuah goa untuk belajar ilmu silat. Beberapa tahun
ini baru pindah ke daerah Su Cou. Maka dia sama sekali tidak
pernah menghadapi situasi seperti itu.
Menurutnya, alangkah baiknya berjalan-jalan ke sana ke
mari dan bercakap-cakap dengan partai lain, sebab itu akan
menambah pengetahuannya.
Akan tetapi, ketika dia sampai di situ, justru telah bentrok
dengan Seng Cai dan Seng Bou. Kini si Setan-Seng Ling sudah
berada di situ, sehingga membuatnya tidak berani
sembarangan pergi.
Lagipula pihak Hwa San Pai amat membencinya, maka
kalau dia meninggalkan Tujuh Dewa, mungkin pihak Hwa San
Pai akan menangkapnya Iagi. Oleh karena itu, dia terpaksa
tiduran di atas tanah. Sayup-sayup dia mendengar percakapan
lirih, ternyata kakaknya bercakap-cakap dengan Han Giok
Shia, namun tidak terdengar jelas apa yang mereka bicarakan.
Di saat bersamaan, mendadak telinganya mendengar suara
yang amat lirih.
"Anak gadis kecil! Anak gadis kecil!"
483
Namun karena seruan itu tidak menyebut nama, maka
Tam Goat Hua tidak menghiraukannya.
Tapi terdengar lagi suara seruan itu. Tam Goat Hua
terheran-heran karena suara itu amat lirih, namun terdengar
jelas dalam telinganya.
Lagipula suara itu langsung menerobos ke dalam
telinganya, sepertinya ada orang berbisik-bisik di telinganya.
Tergerak hati Tam Goat Hua, karena ayahnya pernah
memberitahukan tentang Ilmu Penyampai Suara. Apakah ada
orang berkepandaian tinggi sedang memanggilnya?
Karena itu, Tam Goat Hua segera bangun, dan kemudian
menengok ke sana ke mari. Dilihatnya di kejauhan beberapa
depa, orang berkedok yang duduk di sisi batu sedang
melambaikan tangannya ke arah dirinya.
Tam Goat Hua tercengang dan bingung, sebab tidak tahu
mau apa orang berkedok itu memanggilnya. Justru di saat itu
tiba-tiba suara lirih itu kembali terdengar.
"Anak gadis kecil, di tempat ini tiada seorang pun yang
tahu identitasku. Tapi ayahmu pasti tahu. Kau boleh berlega
hati, aku tidak akan mencelakaimu."
Tam Goat Hua tahu jelas, apabila orang berkedok itu mau
mencelakainya, gampangnya bagaikan membalikkan telapak
tangan. Lagipula dia tidak akan dapat menghindar. Maka,
perlahan-lahan dia bangkit berdiri, lalu mendekati orang
berkedok itu.
"Ada urusan apa Cianpwee memanggilku?"
484
Orang berkedok itu tertawa.
"Mulutmu cukup manis, langsung memanggilku Cianpwee!
Aku tanya kau, maukah kau melaksanakan satu urusan?"
Tam Goat Hua tercengang, tapi segera bertanya. "Urusan
apa itu?"
Orang berkedok itu tertawa lagi.
"Berdasarkan nyalimu, memang cocok sekali. Setelah kau
menyelesaikan urusan itu, aku pasti tidak akan merugikanmu.
Kau bersedia melaksanakannya?"
Tam Goat Hua tersenyum.
"Cianpwee menghendaki aku melaksanakan apa? Bolehkah
aku tahu?"
Orang berkedok itu menggoyang-goyangkan kipas
rombengnya.
"Kukatakan memang gampang dan sederhana sekali...."
Orang berkedok itu menghentikan ucapannya, kemudian
menggunakan kipas rombengnya menulis di bawah. "Lu Leng
putra Lu Sin Kong, kini dikurung dalam Neraka Delapan Belas
Lapis di Istana Setan, kau ke Pak Bong San membawanya
kemari menemuiku!"
Temangu-mangu Tam Goat Hua mendengar itu, karena
dari puncak Sian Jin Hong ke Pak Bong San pergi pulang, itu
ribuan mil jaraknya. Seandainya berhasil membawa Lu Leng
ke mari, di tempat ini pun sudah tiada siapa-siapa.
485
Lagipula Istana Setan Pak Bong San, merupakan markas
penting si Setan-Seng Ling, tentunya banyak jebakan dan jago
tangguh menjaga di sana. Bagaimana mungkin dapat
memasuki Istana Setan itu?
Oleh karena itu, Tam Goat Hua diam saja. Tiba-tiba mata
orang berkedok itu menyorot aneh, kemudian dia berkata.
"Para jago tangguh Istana Setan, semuanya berkumpul di
sini. Asal kau berhati-hati, sudah pasti dapat mencapai tujuan.
Kenapa kau tidak berani ke sana?"
Tam Goat Hua menyahut.
"Bukan aku tidak berani pergi, tapi ayah memerintah kami
menunggunya di sini. Maka kalau ayah belum ke mari, aku
tidak berani meninggalkan tempat ini."
Orang berkedok itu tertawa dingin.
"Sejak kapan kau begitu menurut kata?"
Wajah Tam Goat Hua langsung memerah, sebab gadis itu
berani membangkang terhadap ayahnya, tadi dia mengatakan
begitu hanya alasan belaka.
Orang berkedok itu berkata lagi.
"Legakanlah hatimu, kalau ayahmu ke mari, aku akan
memberitahukan kepadanya, agar dia tidak memarahimu."
Hati Tam Goat Hua tertarik.
486
"Apa yang dikatakan Cianpwee memang masuk akal, tapi
bolehkah aku bertanya sesuatu?" tanyanya.
"Tentang apa? Tanyalah!" sahut orang berkedok itu.
"Cianpwee akan memberitahukan kepada ayah, namun
aku justru tidak tahu siapa Cianpwee. Kalau ayah tahu aku
mengerjakan sesuatu atas perintah Cianpwee, tapi aku tidak
tahu siapa Cianpwee, bukankah itu menggelikan sekali?"
Orang berkedok itu tertawa.
"Ha ha ha! Anak gadis kecil, kau memang boleh dikatakan
licik! Kalau pun aku beritahukan namaku, juga percuma!"
Tam Goat Hua tersenyum.
"Kalau begitu, aku terpaksa menolak."
Orang berkedok itu berkata hambar.
"Itu terserah kau, aku tidak akan memaksamu. Tapi ingat,
kau jangan menyesal kelak!"
Tam Goat Hua tertawa.
"Cianpwee, seandainya aku bersedia pergi ke Istana Setan
Pak Bong San, pergi pulang akan memakan waktu sebulan.
Apakah di sini belum bubar?"
Orang berkedok itu menyahut.
487
"Kau tidak perlu tahu tentang itu, yang penting aku tetap
berada di sini menunggumu. Kau mau pergi tidak?
Katakanlah!"
Dalam hati Tam Goat Hua sama sekali belum ada
keputusan.
Siang hari tadi, dia telah menyaksikan kepandaiannya,
tentunya orang berkedok itu adalah seorang Cianpwee dalam
rimba persilatan, mungkin tingkatannya lebih tinggi dari
ayahnya. Padahal Tam Goat Hua terhadap ayahnya, juga tidak
begitu jelas. Tentang julukannya pun tidak tahu sama sekali.
Akan tetapi, kini Tam Goat Hua telah mengalami dan
menyaksikan begitu banyak kejadian, maka tahu ayahnya
adalah jago tangguh tingkat tinggi. Sedangkan nada suara
orang berkedok itu, kedengarannya amat kenal ayahnya,
sehingga gadis itu berkesimpulan bahwa orang berkedok itu
bukan orang sembarangan. Lagipula, dia pun tidak memaksa
Tam Goat Hua.
Dia pun mengatakan gadis tersebut akan memperoleh
suatu keuntungan, tentunya bukan merupakan suatu
keuntungan biasa.
Berpikir sampai di situ, Tam Goat Hua sungguh ingin pergi
ke Istana Setan Pak Bong San. Akan tetapi, dia teringat pula
kalau Tiam Cong dan Go Bi Pai tiba, pasti akan terjadi
keramaian, sayang sekali tidak menyaksikannya.
Selanjutnya pasti tidak akan ada keramaian serupa itu lagi,
itu membuatnya merasa enggan pergi.
Sedangkan di dalam Istana Setan, pasti banyak jebakan
dan berbagai racun, sebab si Nabi Setan-Seng Ling mahir
488
menggunakan racun. Itu amat membahayakan dirinya,
kemungkinan besar dia akan mati keracunan di sana.
Di saat Tam Goat Hua sedang berpikir, orang berkedok itu
memandang ke langit tanpa bersuara, lama sekali barulah
membuka mulut.
"Kau sudah berpikir jelas?"
Tam Goat Hua tersenyum getir.
"Aku sungguh sulit mengambil keputusan."
Orang berkedok itu tertawa.
"Ha ha! Aku tahu kau ingin sekali menyaksikan keramaian
di sini! Tapi mungkinkah juga kau takut akan kelihayan Istana
Setan Pak Bong San?"
Tam Goat Hua segera menyahut.
"Tentunya aku tidak takut akan kelihayan Istana Setan Pak
Bong San. Kalau itu merupakan telaga naga atau sarang
harimau, aku juga akan ke sana."
Orang berkedok manggut-manggut.
"Bagus! Bagus! Kini dalam rimba persilatan banyak
kekacauan, masih banyak keramaian seperti di sini. Kau ingin
tidak menyaksikannya, itu pun tidak bisa."
Tam Goat Hua terus berpikir, kemudian berkata.
"Bolehkah aku berunding dulu dengan kakakku?"
489
Orang berkedok itu menggelengkan kepala.
"Tidak perlu. Kau mau pergi siapa pun tidak boleh tahu.
Kau tidak mau pergi, juga tidak boleh memberitahukan kepada
siapa pun. Sebab aku akan cari orang lain. Kepandaian gadis
Hui Yan Bun itu cukup Iumayan, bahkan mungkin dia jauh
bernyali darimu. Kalau aku menyuruhnya pergi, dia pasti
segera pergi."
Begitu mendengar ucapan itu, panaslah hati Tam Goat
Hua.
"Baik, aku setuju!"
Orang berkedok itu manggut-manggut.
"Ini baru benar. Hari ini kau mengabulkannya, aku pun
mengatakan, kau tidak akan menyesal kelak." Tam Goat Hua
tertawa.
"Kalau pun aku menyesal kelak tidak jadi masalah."
Orang berkedok itu juga ikut tertawa.
"Itu bergantung pada dirimu sendiri, harus bagaimana
melaksanakannya. Aku berkata sejujurnya, di dalam Istana
Setan amat membahayakan. Kurang berhati-hati, nyawa pasti
melayang, maka kau harus berhati-hati dan waspada setiap
saat!"
Tam Goat Hua mengangguk.
"Apakah Cianpwee boleh memberi petunjuk, agar aku
dapat terhindar dari bahaya-bahaya itu?"
490
Orang berkedok itu menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku pun tidak dapat memberi petunjuk, karena tidak tahu
tentang Istana Setan itu. Aku hanya tahu, di dalam Istana
Setan terdapat dua buah peta. Salah sebuah peta itu berada
pada Seng Ling, yang sebuah lagi berada di dalam Istana
Setan. Kalau kau punya kepandaian, boleh mencuri dari badan
Seng Ling, atau sampai di Istana Setan, barulah mencari peta
itu, agar kau lebih leluasa bergerak di sana."
Setelah mendengar ucapan itu, Tam Goat Hua menarik
nafas dingin.
Coba pikir, Sebun It Nio dan Lu Sin Kong yang
berkepandaian tinggi, masih bukan tandingan si Setan-Seng
Ling. Bagaimana mungkin Tam Goat Hua berani mencuri peta
tersebut dari badan si Datuk Sesat? Lebih baik berangkat ke
Istana Setan Pak Bong San dulu, setelah itu barulah
mengambil keputusan. Berpikir sampai di situ, Tam Goat Hua
berkata.
"Kalau begitu, aku akan berangkat esok pagi."
Orang berkedok itu menggelengkan kepala. "Tidak, kau
harus berangkat malam ini!"
-ooo0ooo-
Bab 22
Begitu mendengar orang berkedok itu menyuruhnya
berangkat malam ini, Tam Goat Hua menjadi tertegun.
"Cianpwee, jarak sini ke Pak Bong San, laksaan mil,
kenapa harus buru-buru berangkat malam ini?"
491
"Gadis liar!" kata orang berkedok seakan menegurnya.
"Kau mau berangkat silakan, tidak mau ya sudahlah!"
Begitu mulai bercakap-cakap dengan orang berkedok itu,
dalam hati Tam Goat Hua sudah tahu, bahwa kalau dia tidak
menuruti perkataannya, dalam hidupnya yang akan datang
pasti akan terpengaruh besar.
Karena kepandaian orang berkedok itu amat tinggi,
sedangkan dia telah berjanji akan memberikan suatu
kebaikan, tentunya amat bermanfaat bagi dirinya. Kepandaian
ayahnya sudah begitu tinggi, namun dalam bidang ilmu silat
memang tiada batasnya. Oleh kaerna itu, dia mau berangkat
atau tidak, itu amat mempengaruhi dirinya. Gadis itu
termangu-mangu, lama sekali baru berkata.
"Baik, malam ini aku berangkat."
Sepasang mata orang berkedok itu tampak bersinar-sinar.
Dia menatap Tam Goat Hua dalam-dalam lalu berkata.
"Gadis baik, setelah kau sampai di Istana Setan, segalanya
harus berhati-hati!"
Tam Goat Hua tahu jelas, bahwa Istana Setan itu
merupakan markas penting si Setan-Seng Ling. Kaum
golongan lurus, tiada seorang pun berani meremehkan Istana
Setan tersebut.
Istana Setan itu berada di dalam perut gunung yang alami.
Dulu Seng Ling dikejar-kejar oleh musuhnya, tanpa sengaja
dia masuk ke dalam perut gunung tersebut. Ketika itu, dia
berjalan beberapa hari di dalam perut gunung itu, tapi tidak
bisa keluar.
492
Di saat yang amat genting itu, dia justru memperoleh
sebuah peta.
Ternyata ratusan tahun lampau, pernah ada orang tinggal
di situ, bahkan meninggalkan sebuah buku pelajaran ilmu silat
dan Lweekang sesat, akhirnya dia berhasil menguasai ilmuilmu
tersebut.
Sejak itu, dia menamai tempat tersebut Istana Setan. Dia
pun menjuluki dirinya sebagai Setan. Puluhan tahun
kemudian, Istana Setan amat terkenal dalam rimba persilatan.
Si Setan-Seng Ling juga memperbarui Istana Setan. Orang
luar sama sekali tidak bisa masuk, sebab Istana Setan
merupakan tempat yang amat bahaya, siapa yang berani
masuk pasti mati.
"Cianpwee, aku berangkat sekarang," kata Tam Goat Hua
yang telah membulatkan tekadnya.
Orang berkedok itu manggut-manggut.
"Kau mewakiliku pergi melaksanakan suatu urusan,
tentunya aku tidak berharap kau mati di Istana Setan. Tapi
mengenai semua jebakan di sana, aku tidak tahu sama sekali.
Untung kini para jago tangguh Istana Setan, semuanya berada
di sini, itu akan mengurangi hambatan. Sekarang aku
menghadiahkan suatu barang kepadamu. Kalau kau merasa
pusing dan mual setelah memasuki Istana Setan, pertanda
kau telah terkena racun. Cepatlah keluarkan barang ini dan
taruhlah ke dalam mulutmu pasti dapat memunahkan berbagai
macam racun! Namun kau harus ingat, sebelum kau terkena
racun, janganlah kau membuka kotak ini melihat isinya, agar
tidak direbut orang!"
493
Usai berkata begitu, orang berkedok itu merogoh ke dalam
bajunya, untuk mengeluarkan sebuah kotak kecil warna hitam,
lalu diberikan kepada Tam Goat Hua.
Gadis itu menerimanya. Kotak itu amat ringan seakan tidak
berisi apa-apa. Karena merasa heran, maka dia mengambil
keputusan untuk membuka kotak itu dan melihat isinya.
Akan tetapi, apabila Tam Goat Hua membuka kotak itu di
hadapan orang berkedok, tentunya orang itu akan marah,
maka lebih baik setelah meninggalkan tempat itu, barulah
membuka kotak tersebut dan melihat isinya.
Tam Goat Hua menyimpan kotak kecil itu ke dalam
bajunya, kemudian menoleh untuk memandang kakaknya.
Dilihatnya kakaknya masih tetap bercakap-cakap dengan Han
Giok shia.
Gadis itu berpikir, kini ada Han Gik Shia mendampingi
kakaknya. Maka, dalam beberapa hari, tentu kakaknya tidak
akan memperhatikannya. Dia bangkit berdiri, dan orang
berkedok itu segera berkata.
"Bagaimana aku kalau mengantarmu sejenak?"
Tam Goat Hua menggelengkan kepala.
"Tidak usah!"
Badan Tam Goat Hua bergerak, lalu melesat sejauh
beberapa depa. Dia bersembunyi sebentar di balik sebuah
batu, setelah itu barulah dia melesat pergi. Dalam waktu
sekejap, dia sudah menghilang dalam kegelapan....
494
Malam itu, di puncak Sian Jin Hong sama sekali tidak
terjadi apa-apa. Keesokan harinya, juga tidak terjadi sesuatu.
Ketika hari mulai senja, tampak kabut tebal mulai menutup
puncak Sian Jin Hong. Mendadak tampak beberapa sosok
bayangan berkelebat menerobos kabut tebal itu.
Berturut-turut tujuh bayangan itu melesat ke atas puncak
Sian Jin Hong. Begitu ketujuh bayangan itu sampai,
terdengarlah suara seruan dari orang yang berada di puncak.
"Ketua Tiam Cong datang!"
Tampak tujuh orang melayang turun. Orang yang
melayang turun duluan berbadan agak kurus. Dia memakai
jubah kelabu. Di pinggangnya bergantung sebilah pedang
panjang, yang bentuk sarungnya amat aneh.
Kalau melihat pedang tersebut, para kaum rimba
persilatan pasti tahu bahwa pemiliknya adalah Chu Liok Khie
yakni ketua Tiam Cong Pai.
Enam orang yang menyertainya, berusia lebih muda satu
sama lain, tapi yang paling muda sudah berusia empat
puluhan.
Keenam orang itu, semuanya jago tangguh Tiam Cong Pai,
saudara seperguruan Chu Liok Khie.
Mereka bertujuh juga adik seperguruan Sebun It Nio.
Chu Liok Khie ketua Tiam Cong Pai memandang semua
orang yang berada di situ, kemudian pandangannya berhenti
pada Liok Ci Siansing dan kawan-kawannya. Setelah itu
mengarah pada Hwe Hong Sian Kouw dan pihak Hui Yan Bun,
495
lalu mendengus "Hm" sambil melangkah ke depan lewat di sisi
lingkaran Hui Yan Bun.
Saat itu, semua orang sudah tahu Sebun It Nio mati di
tangan Hwe Hong Sian Kouw. Maka ketika melihat Chu Liok
Khie melangkah ke arah Hui Yan Bun, mereka merasa tegang.
Mereka mengira kedua pihak itu akan segera bertarung,
namun Chu Liok Khie dan keenam saudara seperguruannya,
hanya melewati sisi lingkaran Hui Yan Bun saja.
Si Walet Hijau-Yok Kun Sih mendongakkan kepala untuk
memandang mereka dengan dingin sekali.
Setelah melewati sisi lingkaran Hui Yan Bun, mereka
bertujuh lalu melangkah ke arah si Setan-Seng Ling.
Dari mata mereka, dapat diketahui bahwa hati mereka
penuh diliputi kegusaran.
Salah seorang diantara mereka, yang penuh brewok
berkata dengan suara keras.
"Toa Suheng (Saudara Seperguruan Tertua), mau turun
tangan terhadap siapa duluan?"
Chu Liok Khie menyahut dengan suara dalam. "Tunggu Go
Bi Pai datang, baru dibicarakan!" Sembari menyahut dia
berjalan ke sebuah batu besar. Mendadak badannya berputar,
tahu-tahu dia sudah menghunus pedangnya. Tampak cahaya
putih berkelebatan dan seketika terdengar suara benturan
yang amat nyaring.
Trang! Trang! Trang!
496
Batu besar itu telah hancur berterbangan ke mana-mana.
Hanya sekejap pedang itu sudah masuk ke dalam sarungnya.
Gerakan Chu Liok Khie begitu cepat laksana kilat, sehingga
semua orang tidak dapat melihat jelas, bagaimana bentuk
pedangnya itu.
Setelah itu, mereka bertujuh pun duduk di situ. Wajah
lelaki bewok tampak penuh kegusaran. Dia tak henti-hentinya
menatap si Setan-Seng Ling dan Hwe Hong Sian Kouw, sambil
mulutnya mengoceh tidak karuan.
Mendadak si Walet Hijau-Yok Kun Sih mendongakkan
kepala untuk memandang lelaki bewok itu seraya bertanya.
"Lam Kiong Seh, kau sedang buang kentut apa?"
Ternyata lelaki bewok itu bernama Lam Kiong Seh,
julukannya Pek Lek Kiam (Pedang Halilintar). Namanya cukup
terkenal dalam rimba persilatan. Dia mahir Hong Lui Pek Lek
Kiam Hoat (Ilmu Pedang Angin Halilintar), yakni ilmu pedang
andalan Tiam Cong Pai. Dia pun mahir ilmu pedang lain.
Sifatnya amat berangas dan tidak sabaran.
Kalau tidak ada yang menegurnya ketika dia mengoceh,
dia pun tidak berani sembarangan melampiaskan
kegusarannya, karena harus menjaga nama Chu Liok Khie
ketua Tiam Cong Pai.
Tapi si Walet Hijau-Yok Kun Sih ketua Hui Yan Bun justru
menegurnya dengan dingin, sebab mendengar ocehannya
menyinggung Hui Yan Bun.
Begitu ada orang menegurnya, Pek Lek Kiam Lam Kiong
Seh bergirang dalam hati, dan dia langsung melotot sekaligus
membentak.
497
"Busuk tak dapat dicium, kau sedang buang kentut?"
Kedudukan si Walet Hijau-Yok Kun Sih dalam rimba
persilatan amat tinggi, tapi kini di hadapan begitu banyak
orang dimaki Lam Kiong Seh. Dapat dibayangkan betapa
malunya dirinya. Wajah langsung berubah dan kemudian dia
berkata dingin.
"Lam Kiong Seh, cepat atau lambat kita pasti bertarung,
bagaimana kalau sekarang saja?"
Walau Lam Kiong Seh bersifat berangasan dan tidak
sabaran, namun dia pun amat cerdik. Ketika si Walet Hijau-
Yok Kun Sih menantangnya, dia malah tertawa gelak.
"Ha ha ha! Kau memang berpengertian, tahu diri sendiri
melindungi seorang pembunuh, maka tahu pula kami tidak
akan melepaskanmu!"
Yok Kun Sih tertawa panjang. Ketika baru mau menyahut,
mendadak Hwe Hong Sian Kouw sudah bangkit berdiri.
"Karena sebelumnya terkena pukulan Im Si Ciang, maka
kemudian mati di tanganku! Aku yang bertanggung jawab,
kenapa kau cari urusan dengan orang lain?"
Lam Kiong Seh tertegun, sehingga tak dapat mengucap
sepatah kata pun.
Di saat bersamaan, sekonyong-konyong Gin Koan Tojin
tertawa panjang, lalu berkata.
"Si Pecut Emas-Han Sun, mati di tangan siapa?" Kali ini,
giliran Hwe Hong Sian Kouw tak dapat berkata apa pun.
498
Begitu Gin Koan Tojin menyinggung si Pecut Emas-Han
Sun, wajah Han Giok Shia langsung berubah murung.
Tam Ek Hui kakak Tam Goat Hua yang berada di sisinya
melihat itu, sepasang alisnya yang berbentuk golok terangkat
sedikit.
Dia tahu gadis itu berhati keras, maka kalau dia
menasihatinya juga tiada gunanya, namun tetap
memanggilnya dengan suara rendah.
"Nona Han...."
Han Giok Shia langsung membanting kaki, kemudian
menyahut sengit.
"Saudara Tam, kau tidak perlu membela orang lain! Dia
sudah mengaku, lagipula di hadapan mayat ayahku, aku telah
bersumpah akan membalas dendam! Kalau Kim Kut Lau tidak
memberitahukan itu, aku... aku nyaris menuduh orang baik!"
Ketika Han Giok Shia melihat mayat ayahnya di menara
Hou Yok, di dinding pun terdapat tulisan "Tam Lu".
Di saat itu, dia menganggap Tam Sen dan Lu Sin Kong,
yang membunuh ayahnya. Namun kemudian dia teringat Tam
Ek Hui, maka hatinya jadi kacau. Kini dia sudah tahu siapa
pembunuh ayahnya, maka dalam hatinya sudah tidak ada
ganjalan terhadap pemuda itu.
Usai Han Giok Shia berkata, hati Tam Ek Hui pun tergerak
dan kemudian dia berseru dengan suara nyaring.
"Semuanya jangan ribut mulut!"
499
Di puncak Sian Jin Hong, Tam Ek Hui tidak terhitung jago
tangguh nomor satu. Tapi ketika dia berseru nyaring sekaligus
tampil, justru amat menarik perhatian semua orang, dan
seketika suasana pun menjadi hening.
Dia bertanya kepada Han Giok Shia.
"Nona Han, di mana kau menemukan mayat ayahmu?"
Han Giok Shia berkertak gigi seraya menyahut. "Di tingkat
teratas menara Hou Yok!"
Begitu mendengar sahutan Han Giok Shia, Hwe Hong Sian
Kouw langsung meloncat bangun. "Ah Shia, betulkah begitu?"
Han Giok Shia mendengus, tapi tidak menjawab. Tam Ek
Hui segera berkata.
"Nona Han, pasti ada sesuatu di balik itu. Kemarin Kim Kut
Lau bilang, dia melihat Hwe Hong Sian Kouw menusuk mati
ayahmu, lalu bagaimana mayat ayahmu bisa lari ke tingkat
teratas menara Hou Yok?"
Han Giok Shia tertegun ketika mendengar ucapan itu.
Ternyata kemarin, begitu tahu Hwe Hong Sian Kouw
membunuh ayahnya, hatinya menjadi kacau, maka tidak
memikirkan itu.
Lagipula semua orang sama sekali tidak tahu, bahwa
mayat si Pecut Emas-Han Sun berada di menara Hou Yok.
Masalah yang begitu penting, baru diungkap Tam Ek Hui
karena ketelitiannya.
500
Semua orang tidak menyangka urusan itu begitu aneh,
maka semuanya menjadi tertegun.
Han Giok Shia berkata.
"Mungkin setelah membunuh ayahku, dia lalu membawa
mayat ayahku ke menara itu."
Hwe Hong Sian Kouw langsung berseru. "Ah Shia...!"
Ucapannya belum selesai, Kim Kut Lau yang duduk di
dahan pohon sudah memotongnya.
"Nona Han, itu bukan tuduhan! Aku menyaksikannya
dengan mata kepala sendiri, setelah menusuk mati ayahmu,
dia langsung berlari keluar!"
Tam Ek Hui cepat-cepat berkata.
"Nona Han, aku menyinggung urusan ini justru ada
sesuatu lain!"
Han Giok Shia menyahut dingin.
"Itu ada hubungan apa? Yang jelas ayahku mati di
tangannya!"
Tam Ek Hui menghela nafas panjang lalu membungkam.
Tadi si Walet Hijau-Yok Kun Sih dan Lam Kiong Seh sudah
mau bertarung, tapi terhambat oleh pembicaraan itu, maka
mereka berdua sudah tidak punya alasan untuk bertarung.
Lagipula Chu Liok Khie juga memberi isyarat kepada Lam
501
Kiong Seh agar tidak banyak urusan. Maka suasana di puncak
Sian Jin Hong menjadi hening seketika.
Tapi keheningan itu tidak berlangsung lama, karena
mendadak terdengar suara pujian Sang Buddha.
"Omitohud!" Suara itu bagaikan halilintar di siang hari
bolong, menggetarkan jantung semua orang.
Betapa terkejutnya hati semua orang yang berada di
puncak Sian Jin Hong. Yang mengejutkan bukan suara itu,
melainkan semua orang sudah tahu siapa yang datang.
Sejak tadi Liat Hwe Cousu Hwa San Pai berada di sana dan
berusaha menangkap Tam Goat Hua, gadis itu terus duduk
diam di tempat, tak bergerak sama sekali.
Ketika suara pujian Sang Buddha mengalun, dia segera
membuka matanya dan badannya langsung bergetar.
Seketika suasana di puncak Sian Jin Hong, bertambah
hening.
Berselang sesaat, barulah tampak sosok yang tinggi besar,
yang ternyata seorang Hweeshio tua berwajah kemerahmerahan
melayang ke sana.
Hweeshio tua itu mengenakan jubah bhiku warna putih
keperakan. Di lehernya melingkar seuntai tasbih dan di
wajahnya tersirat rasa belas kasih.
Sampai di puncak Sian Jin Hong, Hweeshio tua itu
menyebut "Omitohud" lagi dan berkata.
"Siancai! Siancai! Ternyata kalian sudah tiba duluan!"
502
Di saat Hweeshio tua itu berkata, muncul lagi tiga bhiku ke
puncak Sian Jin Hong.
Ketiga bhiku itu berusia pertengahan. Yang dua tampak
mirip sekali, dan keduanya bersikap hambar.
Yang satu lagi berwajah besi, namun badannya kurus
sekali dan kelihatan akan roboh bila terhembus angin gunung.
Begitu keempat bhiku itu muncul, semua orang tahu
bahwa urusan sudah semakin membesar.
Padahal mereka hanya mengira Lu Sin Kong akan
mengundang beberapa jago tangguh Go Bi Pai ke puncak Sian
Jin Hong. Namun tak disangka, dia juga mengundang ketua
Go Bi Pai aliran bhiku, Sui Cing Siansu.
Sui Cing Siansu sudah datang, tentunya ketua Go Bi Pai
Sok Bun (Aliran Yang Tidak Menyucikan Diri) pasti akan
muncul pula.
Di saat semua orang berpikir demikian, mendadak
terdengar suara siulan, kemudian tampak seseorang
berkelebat menuju ke puncak Sian Jin Hong. Dia adalah Lu Sin
Kong.
Begitu Lu Sin Kong tiba, suasana di tempat itu langsung
tegang mencekam.
Di belakang Lu Sin Kong tampak empat orangtua. Salah
seorang dari mereka penuh brewok dan tampak gagah sekali.
Semua orang mengenalinya, yang tidak lain Ang Eng Leng
Long, ketua Go Bi Pai aliran tidak menyucikan diri.
503
Begitu mereka muncul, pihak Tiam Cong Pai langsung
menyapa.
"Saudara Chu sudah datang duluan!" seru Lu Sin Kong.
Chu Liok Khie menyahut.
"Kami pun baru tiba, saudara Lu, tentunya kita selesaikan
dulu urusan isterimu!"
Lu Sin Kong manggut-manggut.
"Tidak salah! Satu persatu harus diselesaikan semua!"
Usai berkata, Lu Sin Kong membalikkan badannya untuk
memandang Hwe Hong Sian Kouw seraya membentak.
"Sian Kouw, jangan berpura-pura tidak ada urusan!"
Tangan Lu Sin Kong bergerak, golok yang berkilau-kilau itu
sudah berada di tangannya.
Chu Liok Khie ketua Tiam Cong Pai segera berkata.
"Saudara Lu, kalian baru tiba pasti lelah, biar aku saja
yang turun tangan duluan membalas dendam Suci (Kakak
Seperguruan Perempuan)!"
Lu Sin Kong menyahut.
"Sebun It Nio adalah isteriku, harus aku pula yang turun
tangan membalas dendamnya!"
504
Lu Sin Kong berjalan ke tanah kosong, kemudian
menuding Hwe Hong Sian Kouw dengan goloknya seraya
membentak.
"Ayoh keluar!"
Dia menuding Hwe Hong Sian Kouw dengan golok.
Padahal dalam rimba persilatan terdapat satu peraturan, kalau
bukan punya dendam kesumat, tidak boleh berlaku demikian.
Apabila Hwe Hong Sian Kouw keluar untuk bertarung, berarti
pertarungan antara mati dan hidup.
Padahal Lu Sin Kong dan Hwe Hong Sian Kouw adalah
jago tangguh dari golongan lurus, tapi kini mereka justru
terikat akan suatu dendam kesumat. Itu membuat kaum
golongan lurus merasa sakit di hati. Tapi pihak golongan
sesat, malah bersorak kegirangan dalam hati.
Terdengar Chu Liok Khie berkata.
"Saudara Lu akan menghadapi Hwe Hong Sian Kouw, kami
akan mencari setan iblis untuk membuat perhitungan !"
Chu Liok Khie membalikkan badannya, untuk memandang
si Setan-Seng Ling seraya membentak.
"Setan tua, masih tidak mau keluar?"
Trang. Dia telah menghunus pedangnya.
Tam Ek Hui yang menyaksikan itu, menjadi gugup sekali.
Karena dia tahu, ayahnya justru ingin meleraikan pertikaian
itu, akan tetapi, ayahnya malah belum muncul, entah berada
di mana?
505
Apabila mereka mulai bertarung, sudah pasti sulit
dileraikan lagi.
Berpikir sampai di situ, Tam Ek Hui teringat akan
tugasnya, biar bagaimanapun harus menenangkan suasana
itu.
Oleh karena itu, pemuda tersebut segera bangkit berdiri
seraya berkata dengan lantang.
"Chu Tayhiap, Lu Cong Piau Tau! Bisakah kalian berdua
mendengar perkataanku?"
Chu Liok Khie dan Lu Sin Kong menolehkan kepala. Ketika
melihat yang berbicara itu seorang pemuda tampan yang tak
tampak jahat sama sekali, maka mereka berdua bertanya
serentak.
"Perkataan apa?"
Tam Ek Hui menyahut.
"Lu Cong Piau Tau ke mari, justru dikarenakan anak!"
Lu Sin Kong menatapnya tajam.
"Maksudmu?"
Tam Ek Hui tersenyum.
"Lu Cong Piau Tau telah keliru, karena anakmu masih
hidup!"
Lu Sin Kong tertawa sedih.
506
"Anak muda, lebih baik kau menonton keramaian saja!"
Apa yang dikatakan Lu Sin Kong, berarti dia tidak percaya
akan apa yang dikatakan pemuda itu.
Padahal dia dalam keadaan marah besar, namun masih
berlaku sungkan terhadap Tam Ek Hui. Itu disebabkan dia
melihat Tam Ek Hui masih muda, tampan dan tampak tenang
sekali, punya tulang bagus dan berbakat, tentunya adalah
murid orang pandai, maka dia berlaku sungkan kepadanya.
Tam Ek Hui menghela nafas panjang.
"Lu Cong Piau Tau, kita semua adalah kaum rimba
persilatan, untuk apa menimbulkan bencana hanya
dikarenakan sedikit salah paham?"
Mendengar apa yang dikatakan Tam Ek Hui, seketika
kemarahan Lu Sin Kong menjadi memuncak.
"Bocah, ternyata kau menyuruhku jangan balas dendam!"
"Aku...."
Tam Ek Hui baru berkata sampai di situ, tapi Lu Sin Kong
sudah melesat ke arahnya.
Bersamaan itu, dia pun mengeluarkan jurus Tiga Lingkaran
Menutupi Bulan.
Tam Ek Hui berusia muda, tidak menyangka dirinya
bermaksud baik malah diserang.
507
Sam Hoan Toh Goat merupakan jurus andalan Lu Sin
Kong. Tampak goloknya berkelebatan mengurung Tam Ek Hui.
Tam Ek Hui segera menekuk sedikit kakinya, lalu
berjungkir balik untuk menghindari serangan itu. Walau dia
bergerak cepat, namun golok Lu Sin Kong lebih cepat
menyabet bahunya.
Setelah berdiri tegak sejauh beberapa depa, Tam Ek Hui
sama sekali tidak menghiraukan bahunya yang telah berdarah
itu.
"Lu Cong Piau Tau, aku tidak berkata menyuruhmu jangan
membalas dendam."
Lu Sin Kong tertawa dingin.
"Bocah, aku telah mengampunimu, tapi kenapa kau masih
banyak omong?"
Ketika Tam Ek Hui mau mengatakan sesuatu, si Sastrawan
Se Chi yakni salah seorang dari Tujuh Dewa berseru.
"Sobat kecil, kau bermaksud meleraikan pertikaian ini, tapi
itu akan sia-sia. Untuk apa kau cari penyakit?"
Tam Ek Hui segera memberi hormat kepada Lu Sin Kong
seraya berkata.
"Aku tahu tiada kemampuan, tapi harap kalian tunggu
kedatangan ayahku! Mau bertarung atau tidak, itu urusan
nanti."
Lu Sin Kong bertanya membentak.
508
"Siapa ayahmu?"
"Ayahku bernama Tam Sen," sahut Tam Ek Hui. "Ternyata
dia!" Lu Sin Kong manggut-manggut.
Mendadak terdengar seorang tertawa lalu berkata.
"Tidak begitu banyak orang yang kenal Tam Sen. Namun
kalau diungkit tentang orang dari aliran Buddha dan Iblis,
majikan pulau Hwe Ciau Tocu yang mahir ilmu Cit Sat Sin
Ciang dan Hian Bu Sam Na, Cit Sat Sin Kun yang
menggetarkan kolong langit itu, semua orang pasti tahu siapa
dia."
Orang yang berkata itu adalah orang berkedok Buddha
Tertawa, yang tangannya memegang sebuah kipas rombeng.
Suara itu amat mengejutkan semua orang. Go Bi Sui Cing
Siansu langsung merangkapkan sepasang tangannya di dada
seraya memuji Sang Buddha "Omitohud", Hwa San Liat Hwe
Cousu segera bangkit berdiri, sedangkan Tujuh Dewa saling
memandang. Dugaan mereka terhadap asal-usul Tam Sen
memang tidak salah, tapi justru tidak disangka bahwa dia
sendiri adalah Cit Sat Sin Kun.
Sebaliknya Tam Ek Hui malah tertegun. Dia sama sekali
tidak tahu apa yang disebut Hwe Ciau Tocu dan bagaimana
ayahnya berjuluk Cit Sat Sin Kun?
Sebelum Tam Ek Hui bertanya kepadanya, orang berkedok
itu tertawa dingin seraya berkata.
"Mungkin dalam waktu sepuluh hari, dia tidak akan ke
mari. Lu Cong Piau Tau, bisakah kau menunggu lebih dari
sepuluh hari?"
509
Lu Sin Kong menggeram, sambil menuding Hwe Hong Sian
Kouw lagi dengan goloknya.
"Hwe Hong Sian Kouw, di hadapan kaum rimba persilatan,
apakah kau tidak berani keluar bertarung denganku?"
Sementara Chu Liok Khie juga membentak lantang
terhadap si Setan-Seng Ling. Akan tetapi, suara mereka justru
tertindih oleh suara siulan orang berkedok itu.
Suara siulan itu terus bergema entah sampai berapa jauh,
bagaikan ombak menderu dan halilintar memecah bumi.
Lama sekali barulah dia berkata.
"Hari ini di puncak Sian Jin Hong berkumpul para jago
tangguh dari berbagai aliran. Namun kita semua bukanlah
kurcaci rimba persilatan, tentunya tidak akan bertarung secara
massal! Pertikaian ini memang sulit dileraikan, namun harus
diselesaikan satu demi satu! Siapa yang berani bertindak
sembarangan, jangan mempersalahkan kalau aku marah!"
Seusai orang itu berkata, semua orang merasa geli tapi
juga merasa gusar. Karena nada suaranya, seakan
menghendaki pertarungan berlangsung lebih lama, agar dia
dapat menonton sepuas-puasnya.
Oleh karena itu, Ang Eng Leng Long, ketua Go Bi Pai
segera bertanya.
"Siapa Anda?"
-ooo0oooKANG
ZUSI WEBSITE http://cerita-silat.co.cc/
510
Bab 23
Orang berkedok itu tertawa terkekeh-kekeh.
"He he! Kau tidak perlu bertanya siapa aku. Kalau kau
tidak setuju apa yang kukatakan, bagaimana kalau kita coba
kepandaian masing-masing?"
Ang Eng Leng Long setuju dalam hati, karena dia tidak
mau memperlihatkan kelemahannya di hadapan semua orang.
Dia lalu melangkah lebar ke arah orang berkedok itu,
sedangkan orang berkedok itu pun meloncat turun dari batu
yang didudukinya.
Ang Eng Leng Long menjulurkan tangannya seraya
berkata.
"Mari kita berkenalan!"
Dia mengajak bersalaman orang berkedok itu, hanya
untuk alasan, tapi yang benar dia ingin mengadu tenaga.
Karena Ang Eng Leng Long adalah ketua Go Bi Pai, Lu Sin
Kong yang berkepandaian begitu tinggi pun masih
bawahannya. Tentu kedudukannya amat tinggi dalam rimba
persilatan.
Berdasarkan kedudukannya, apabila bertarung tanpa suatu
alasan, itu akan merendahkan namanya, maka dia ingin
bersalaman dengan orang berkedok itu untuk mengadu
tenaga.
"Baik!" sahut orang berkedok itu. Sambil menjulurkan
tangan kanannya.
511
Kemudian mereka bersalaman, tapi Ang Eng Leng Long
segera mengerahkan hawa murninya.
Betapa dahsyatnya hawa murni itu menerobos keluar dari
jalan darah Lou Kiong Hiat di telapak tangannya.
Ketika tenaga yang amat kuat itu menerjang, Ang Eng
Leng Long justru merasa telapak tangan pihak lawan berubah
lunak, tapi ada tenaga yang amat kuat menghisap tenaganya.
Ang Eng Leng Long tertegun dan membatin, ilmu apa itu?
Dia tidak berani ceroboh, maka cepat-cepat menarik
kembali tenaganya. Seketika terdengar suara "Bum", salaman
mereka terlepas dan masing-masing terpental ke belakang
satu langkah.
Kelihatannya tenaga mereka seimbang, karena masingmasing
terpental ke belakang.
Tapi Ang Eng Leng Long mengerti bahwa dirinya yang
kalah mengadu tenaga dengan orang berkedok itu, sebab dia
yang mengerahkan tenaga, sebaliknya pihak lawan cuma diam
saja.
Kemudian dia pula yang menarik kembali tenaganya
sendiri, sehingga salaman mereka terlepas.
Di situ dapat diketahui tenaga siapa yang lebih kuat. Tapi
tidak membuat Ang Eng Leng Long kehilangan muka.
"Anda memang berderajat menjadi si penyelenggara
pertemuan ini."
512
Kejadian yang sebenarnya, hanya dua tiga orang yang
dapat mengetahuinya, yaitu Sui Cing Siansu dan Liat Hwe
Cousu, sedangkan yang lain tidak tahu sama sekali.
Orang berkedok itu tertawa.
"Terimakasih, Saudara!" ucapnya dan kemudian
melanjutkan. "Tapi yang lain, apakah ada yang protes?"
Berdasarkan kedudukan Ang Eng Leng Long,ditambah lagi
tadi mengadu tenaga dalam keadaan seri, maka orang tidak
ada yang protes.
Karena itu, orang berkedok berkata lagi.
"Kalau begitu, kita bertanding ilmu silat di sini, tentunya
berbeda dengan pertandingan kaum rimba persilatan lain.
Kalau mau bertanding ilmu sastra, itu terserah kalian, aku
tidak akan mencampurinya. Tapi kalau mau bertanding ilmu
silat di tanah datar, itu tak berarti sama sekali."
Berkata sampai di sini, mendadak orang berkedok itu
merogoh ke dalam bajunya "Crak Crak", tahu-tahu tangannya
sudah menggenggam belasan batang besi sebesar jari
kelingking, panjangnya setengah depa.
Kedua ujungnya tajam, justru membuat semua orang
heran, tidak tahu untuk apa orang berkedok itu mengeluarkan
belasan batang besi itu.
Orang berkedok tertawa-tawa, kemudian badannya
berputar cepat sekaligus menancapkan batang-batang besi itu
di atas batu.
513
Untuk menancap batang-batang besi itu di atas batu,
banyak orang yang juga dapat melakukannya. Akan tetapi,
tiada seorang pun yang dapat bergerak begitu cepat.
Kini semua orang baru melihat jelas, batang-batang besi
itu, berjumlah enam belas, setiap depa tertancap sebatang
dan membentuk segi empat seluas batu tersebut.
Setelah itu, orang berkedok tersebut berkata.
"Batang-batang besi itu amat tajam, siapa yang ingin
bertarung, harus di atas batang-batang besi itu!"
Semua orang menyahut dengan gembira. "Bagus!"
Karena orang yang berkepandaian tinggi tentu memiliki
Lweekang, Gwakang dan Ginkang, maka kalau bertanding di
atas batang-batang besi tajam itu, tentunya amat menarik
sekali.
Akan tetapi, bagi yang berkepandaian rendah, sudah pasti
tidak dapat ikut bertarung.
"Phui!" Mendadak Tiat Cit Song Jin meludah. "Itu apaan?"
Orang berkedok berkata.
"Sobat ahli Gwakang, aku tahu cara itu agak kurang
bijaksana bagimu. Tapi aku punya akal lain."
Usai berkata begitu, orang berkedok berjalan beberapa
langkah di sisi-sisi batang-batang besi tajam itu, lalu kembali
ke tempat semula sambil tertawa-tawa. Ternyata batu itu
sudah agak rata.
514
"Tiat Cit Song Jin, kau tahu maksudku?"
Tiat Cit Song Jin meludah lagi.
"Phui! Aku mana tahu?"
Orang berkedok menyahut.
"Kalau ada orang tidak mau bertarung di atas besi tajam,
boleh bertarung di atas batu datar. Tapi kalau setiap jurus
tidak dapat meninggalkan jejak kaki di atas batu, lebih baik
orang itu pulang tidur."
"Bagus! Bagus!" seru Tiat Cit Song Jin sambil tertawa. Dia
memang menghendaki demikian.
Tujuh Dewa menyaksikan itu dengan dingin, namun yakin
orang berkedok itu tidak hanya berkepandaian amat tinggi,
tapi terhadap kepandaian setiap orang yang ada di situ,
sepertinya sudah tahu jelas dan memperhitungkannya. Oleh
karena itu, Tujuh Dewa amat kagum kepadanya.
Akan tetapi, kelihatannya tiada seorang pun yang tahu
akan asal-usul orang berkedok itu, bahkan juga tidak
mengenalnya.
Itu sungguh mengherankan. Seperti halnya Hwe Ciau
Tocu, Cit Sat Sin Kun. Dia sudah hampir dua puluh tahun tidak
memunculkan diri. Walau dia tidak memakai julukan Cit Sat
Sin Kun, namun memakai nama aslinya Tam Sen, masih dapat
diterka asal usulnya.
Sedangkan orang berkedok itu, justru tiada seorang pun
yang tahu asal-usulnya.
515
Melihat tingkah lakunya, sebentar lurus dan sebentar
sesat, sehingga membuat semua orang tidak dapat menduga
dia berasal dari mana.
Orang berkedok melanjutkan ucapannya.
"Lu Cong Piau Tau dan Hwe Hong Sian Kouw ingin
bertarung duluan, dipersilakan naik!"
Terdengar si Walet Hijau-Yok Kun Sih menyahut.
"Beberapa hari ini, pikiran Hwe Hong Sian Kouw agak
terganggu, membuatnya tak bersemangat. Siapa ingin
mencarinya untuk membalas dendam, cari aku juga sama!"
Suaranya amat nyaring dan bergema di udara lama sekali.
Di saat bersamaan dia pun sudah melesat ke sisi batu besar
itu. Kemudian mendadak badannya melambung ke atas dua
depa, dengan gerakan Angin Menerpa Bunga Ho, tahu-tahu
dia sudah berdiri di sebuah batang besi tajam, dan sepasang
matanya terus menatap Lu Sin Kong.
Sebun It Nio mati di tangan Hwe Hong Sian Kouw, maka
Lu Sin Kong cuma ingin membalas dendam itu terhadap si
pembunuh itu, jadi merasa enggan untuk bertarung dengan si
Walet Hijau-Yok Kun Sih.
Tiba-tiba seseorang berseru.
"Bagus sekali! Kebetulan belum membuat perhitungan atas
kematian si Pecut Emas-Han Sun!"
Semua orang memandang orang yang berseru itu,
ternyata Gin Koan Tojin.
516
Dia melesat ke arah batu besar itu, lalu meloncat ke atas
dan berdiri di atas sebatang besi tajam di hadapan Yok Kun
Sih.
Orang berkedok tertawa gelak.
"Ha ha ha! Orang yang berkepentingan belum naik, tapi
para pembantu malah berebutan naik! Baiklah! Kalian berdua
cuma bertanding untuk mengetahui siapa yang menang dan
yang kalah, tapi jangan bertarung mati-matian!"
Yok Kun Sih menyahut dingin.
"Ini ada hubungan apa denganmu?"
Orang berkedok itu tertawa.
"Tidak ada hubungan ya sudahlah!"
Dia segera mundur, lalu duduk di atas sebuah batu sambil
mengipasi dirinya dengan kipas rombeng itu.
Yok Kun Sih dan Gin Koan Tojin yang berdiri di atas
batang besi tajam, hanya berjarak satu depa.
Gin Koan Tojin menghimpun Lweekangnya, kemudian
memberi hormat kepada Yok Kun Sih.
"Silakan, si Walet Hijau-Yok!"
Ketika memberi hormat, Gin Koan Tojin telah
menyerangnya dengan Lweekang. Kini mereka berdua samasama
berdiri di atas batang besi tajam, dengan sebelah kaki.
Kalau tidak memiliki Ginkang tinggi, kaki mereka pasti akan
517
tertembus oleh batang besi tajam itu, maka mereka
berduapun harus berhati-hati.
Gin Koan Tojin tahu jelas betapa tingginya Ginkang Yok
Kun Sih, karena itu dia menyerang duluan tanpa berlaku
sungkan-sungkan lagi.
Badan Yok Kun Sih bergerak ringan. Dia berkelit sekaligus
hinggap di atas batang besi tajam lain berjarak dua depa.
Gin Koan Tojin pun menggeserkan badannya. Sebelah
tangannya ikut bergerak, jurus Mendorong Perahu Mengikuti
Arus dikeluarkannya.
Jurus tersebut mengarah tiga buah jalan darah Tiong Hu,
Yun Bun dan Sien Ki Hiat di tubuh Yok Kun Sih.
Ketiga jalan darah itu merupakan jalan darah yang amat
penting dalam tubuh orang.
Di dalam jurus kedua, Gin Koan Tojin sudah turun tangan
mengarah jalan darah yang amat penting itu. Dapat diketahui
bahwa itu merupakan pertarungan mati-matian.
Saat ini Yok Kun Sih sudah tidak bisa mundur, sebab dia
berdiri di atas batang besi tajam yang paling pinggir,
sedangkan sebelah tangan lain Gin Koan Tojin sudah
menepuk, menghalangi arah kiri agar Yok Kun Sih tidak dapat
meloncat ke sana.
Kelihatannya jurus Sun Sui Thui Cou amat lihay. Semua
orang menduga bahwa Yok Kun Sih tidak akan mampu
menghindari serangan itu.
518
Tapi di saat totokan Gin Koan Tojin sampai di depan
dadanya, mendadak Yok Kun Sih menekuk badannya.
Tampaknya tekukan itu tiada gunanya sama sekali, sebab
jurus Sun Sui Thui Cou justru mengarah jalan darah di bagian
dada Yok Kun Sih. Walau dia menekuk badannya, jalan darah
di bagian dada pasti tertotok.
Akan tetapi, si Walet Hijau-Yok Kun Sih bukan orang yang
tak bernama, bagaimana mungkin dia akan kalah di tangan
Gin Koan Tojin dalam jurus kedua?
Ternyata ketika dia menekukkan badannya, di saat
bersamaan dia justru menjulurkan lengan kanannya,
mengarah pada urat nadi di tangan kiri Gin Koan Tojin,
sekaligus tangan kirinya mendorong ke arah badan Gin Koan
Tojin.
Yok Kun Sih memiliki Lweekang tinggi, maka dorongan
tangan kirinya menimbulkan suara menderu-deru.
Begitu melihat Yok Kun Sih mengeluarkan jurus yang amat
jitu itu, tertegun hati Gin Koan Tojin. Dia cepat-cepat menarik
lengan kanannya, bersamaan itu dia pun mengibaskan tangan
kirinya. Ternyata dia mengeluarkan jurus Sungai Perak
Melintang. Jurus itu mengarah ke lengan kanan Yok Kun Sih.
Jurus tersebut sungguh indah dan lihay. Tangan Yok Kun
Sih yang sudah mendorong ke depan sudah tidak dapat ditarik
kembali.
Ketika semua orang baru mau berseru memuji, mendadak
terjadi suatu perubahan yang di luar dugaan. Tampak tangan
kiri Yok Kun Sih diturunkan ke bawah, dan sekaligus dia
bergerak secepat kilat.
519
Serr!
Sebuah Cambuk Perak sudah berada di tangannya, dan
langsung digunakan untuk menyerang Gin Koan Tojin dengan
jurus Menyapu Ribuan Prajurit. Cambuk yang panjangnya kirakira
hampir dua depa itu bergerak cepat sekali, sehingga yang
tampak hanya sinar putri berkelebat mengarah ke dada Gin
Koan Tojin.
Di saat Gin Koan Tojin sudah hampir meraih kemenangan,
justru tidak menyangka kalau Yok Kun Sih akan
menyerangnya dengan cambuk.
Betapa gusarnya dan terkejutnya Gin Koan Tojin. Terpaksa
ia menahan serangannya dan sekonyong-konyong dia
merasakan telapak kakinya sakit sekali, ternyata ujung batang
besi yang tajam itu telah menembus alas sepatu kainnya.
Gin Koan Tojin tahu jelas, apabila pertarungan itu
dilanjutkan, tentu dirinya yang akan celaka. Maka dia cepatcepat
mundur dan mundur lagi, akhirnya meloncat turun.
Semua orang memandang ke arahnya, tampak mukanya
tersabet cukup dalam, darah pun mengucur.
Untung dia cepat mundur, kalau tidak mungkin kepalanya
akan hilang sebelah tersabet Cambuk Perak Yok Kun Sih.
Setelah meloncat turun, Gin Koan Tojin pun tertawa aneh,
kemudian berkata.
"Kepandaianku masih rendah, aku mengaku kalah!"
Sembari berkata dia mendekati keempat muridnya, lalu
berseru.
520
"Mari kita pergi!"
Mereka berlima langsung melesat pergi meninggalkan
puncak Sian Jin Hong. Semua orang tahu, Gin Koan Tojin bisa
begitu cepat kalah, itu dikarenakan dia ingin cepat-cepat
meraih kemenangan, sehingga membuatnya begitu cepat
mengalami kekalahan.
Orang berkedok itu segera berseru lantang. "Sudah pergi
lima orang!"
Sembari berkata dia mengeluarkan sebatang besi tajam,
lalu mencatat di atas batu yang didudukinya.
Semua orang memandang ke arah batu itu. Tampak
sebaris tulisan berbunyi demikian, "Hui Yan Bun Yok Kun Sih,
tiga jurus mengalahkan Gin Koan Tojin".
Terkejutlah semua orang melihat tulisan itu, karena setiap
orang yang bertarung pasti akan dicatatnya di atas batu itu,
tentunya akan menyangkut reputasi partai-partai yang
berkepentingan.
Perlu diketahui, setiap kaum rimba persilatan bertarung,
sudah pasti demi reputasi. Kalau sekarang orang berkedok itu
mencatat hasil pertarungan mereka, kelak Gin Koan Tojin akan
mencari Yok Kun Sih untuk bertanding lagi demi menebus
kekalahan itu, bahkan akan merembet ke generasi mendatang
kedua partai tersebut. Itu berarti selanjutnya, Cing Sia Pai dan
Hui Yang Bun akan saling membunuh.
Oleh karena itu, wajah semua orang tampak berubah
hebat dan Sui Cing Siansu segera menyebut kebesaran nama
Sang Buddha.
521
"Omitohud! Siancai! Siancai! Kenapa kau berbuat begitu,
itu seharusnya tidak perlu!"
Orang berkedok itu tertawa gelak.
"Ha ha ha! Aku datang di puncak Sian Jin Hong ini, bukan
demi mengambil sesuatu dari Lu Cong Piau Tau, juga tidak
membantu siapa pun, melainkan demi pertandingan para
partai yang ada di sini, kenapa aku tidak boleh berbuat
begitu?"
Sui Cing Siansu menyahut.
"Dalam rimba persilatan, sudah banyak yang saling
membunuh. Perbuatanmu itu, bukankah akan membuat
partai-partai besar saling membunuh selamanya?"
Orang berkedok itu tertawa dingin.
"Hweeshio tua kok berpikir begitu jauh? Mereka mau
saling membunuh ada urusan apa dengan diriku? Aku
mencatat kejadian yang sebenarnya saja, tidak ditambah dan
tidak dikurangi."
Wajah Sui Cing Siansu yang kemerah-merahan itu berubah
menjadi merah padam, kemudian dia bertanya.
"Jadi kau tidak mau berhenti?"
Orang berkedok itu menyahut tegas.
"Tentu tidak akan berhenti!"
522
"Omitohud!" ucap Sui Cing Siansu lalu maju selangkah
sekaligus melesat ke depan, sampai di hadapan batu itu.
"Serr" ternyata dia sudah mengibaskan lengan jubahnya ke
permukaan batu itu.
Semua orang tahu, Sui Cing Siansu memiliki Bu Sing Sin
Kang (Tenaga Sakti Tiada Tara) aliran Buddha. Kibasan lengan
jubahnya itu pasti akan berhasil menghapus tulisan yang
terukir di batu itu.
Suasana menjadi hening seketika. Di saat ujung lengan
jubah Sui Cing Siansu mengarah permukaan batu tersebut,
mendadak orang berkedok itu mengipaskan kipas rombengnya
ke depan sehingga menimbulkan suara menderu-deru.
Blaam! Kedua tenaga itu beradu dan menimbulkan suara
yang memekakkan telinga.
Badan orang berkedok itu mendadak melambung ke atas
dua depa, sedangkan badan Sui Cing Siansu bergoyanggoyang.
Itu membuktikan Lweekang orang berkedok seimbang
dengan Lweekang Sui Cing Siansu, tentunya amat
mengejutkan semua orang.
Setelah melayang turun dan duduk bersila di atas batu itu,
orang berkedok tertawa gelak.
"Ha ha ha! Hweeshio tua, apakah kau takut pihak Go Bi
Pai akan meninggalkan nama busuk di batu ini? Kalau tidak,
bagaimana mungkin kau melarangku mencatat setiap
pertandingan di puncak Sian Jin Hong ini?"
523
Padahal Sui Cing Siansu sudah mau mengibaskan lengan
jubahnya lagi. Tapi ketika mendengar ucapan orang berkedok
itu, dia malah tertegun dan tidak jadi mengibaskan lengan
jubahnya.
"Aku adalah orang yang menyucikan diri, bagaimana
mungkin tega melihat kaum rimba persilatan saling
membunuh?" katanya kemudian.
Orang berkedok itu menyahut sambil tertawa.
"Lo Siansu, kalau dalam rimba persilatan tidak saling
membunuh, apakah harus saling membaca syair?"
Sui Cing Siansu masih ingin menasihatinya, namun Ang
Eng Leng Long sudah berseru.
"Sui Cing Suheng, biarkan saja! Apakah kita Go Bi Pai
benar takut terhadap orang lain?"
Sui Cing Siansu membalikkan badannya. Dilihatnya wajah
semua orang tampak tidak senang, karena ucapan orang
berkedok tadi.
Menyaksikan keadaan itu, Sui Cing Siansu menghela nafas
panjang. Dia tahu betapa sulitnya mengatasi petaka di puncak
Sian Jin Hong ini. Akhirnya badannya berkelebat kembali ke
tempatnya.
Orang berkedok itu pun berseru lantang.
"Jangan membuang waktu, cepat bertarung lagi!"
Sementara setelah mengalahkan Gin Koan Tojin, Yok Kun
Sih terus memperhatikan Lu Sin Kong.
524
Sesungguhnya sudah sejak tadi Thian Hou Lu Sin Kong
ingin melesat ke arah batang besi tajam itu, namun terhalang
oleh tingkah laku orang berkedok tersebut. Kini dia sudah
ingin melesat ke sana, tapi mendadak terdengar Hwe Hong
Sian Kouw berkata.
"Kun Sih, ini adalah pertarungan antara mati dan hidup,
biar aku saja!"
Sembari berkata badannya pun bergerak, namun tidak
mengarah ke batu besar tempat menancap belasan batang
besi tajam itu, melainkan mengarah ke tempat Han Giok Shia
dan Tam Ek Hui.
Betapa terkejutnya Tam Ek Hui. Dia langsung mencelat ke
hadapan Han Giok Shia, sekaligus melancarkan sebuah
pukulan.
Hwe Hong Sian Kouw sudah sampai di situ. Dia pun
melancarkan sebuah pukulan untuk menangkis pukulan Tam
Ek Hui.
Blam! Kedua pukulan itu beradu.
Kedua telapak tangan mereka saling menempel. Di saat
bersamaan mendadak lengan kiri Hwe Hong Sian Kouw
mencengkeram bahu Han Giok Shia.
Bukan main terkejutnya gadis itu. Dia mau berkelit namun
terlambat. Tiba-tiba Hwe Hong Sian Kouw berkata lantang.
"Ah Shia, jangan takut!"
Hwe Hong Sian Kouw sudah berhasil mencengkeram bahu
Han Giok Shia, lalu menarik tangannya yang sebelah dan
525
langsung meraih senjata Liat Hwe Soh Sim Lun yang ada di
pinggang Han Giok Shia.
Begitu berhasil mengambil senjata tersebut, Hwe Hong
Sian Kouw melesat pergi.
Kini semua orang tahu, bahwa dia mendadak menerjang
ke arah Han Giok Shia, hanya ingin mengambil senjata
tersebut.
Setelah melesat pergi, Hwe Hong Sian Kouw berkata
dengan dingin.
"Tidak percuma sebagai putra Cit Sat Sin Kun, mampu
menyambut satu pukulanku!"
Harus diketahui, Hwe Hong Sian Kouw adalah seorang
pendekar wanita tingkatan tua, yang sudah lama terkenal
dalam rimba persilatan.
Sedangkan Sebun It Nio pernah mengalami dua kali patah
pedangnya karena beradu dengan senjata Liat Hwe Soh Sim
Lun.
Itu dikarenakan senjata tersebut dibuat dari besi murni,
lagipula Hwe Hong Sian Kouw memiliki Lweekang yang amat
tinggi.
Usia Tam Ek Hui baru dua puluhan, tapi dia mampu
menyambut sebuah pukulannya, itu sungguh luar biasa!
Seusai berkata begitu, Hwe Hong Sian Kouw mencelat ke
atas batang besi tajam itu.
526
Sebenarnya si Walet Hijau-Yok Kun Sih, ingin mewakili
Hwe Hong Sian Kouw. Sebab sejak kemarin Kim Kut Lau
mengungkap kematian si Pecut Emas-Han Sun di tangan Hwe
Hong Sian Kouw, itu membuat Hwe Hong Sian Kouw menjadi
lesu tak bersemangat sama sekali.
Tapi kini setelah melihat Hwe Hong Sian Kouw mengayunayunkan
senjata Liat Hwe Soh Sim Lun, begitu bertenaga dan
cepat laksana kilat, maka legalah hatinya.
"Houw Kouw! Hati-hati!" pesannya.
Hwe Hong Sian Kouw mengangguk, kemudian
memandang Lu Sin Kong seraya berkata.
"Lu Cong Piau Tau, kini kau boleh membalas dendam
isterimu!"
Begitu melihat Hwe Hong Sian Kouw berdiri di atas batang
besi tajam, darah Lu Sin Kong mendidih. Dia menggeram dan
langsung melesat ke sana lalu berdiri di hadapan Hwe Hong
Sian Kouw.
Namun ketika Lu Sin Kong baru mau mengayunkan
goloknya, mendadak terdengar dua orang berseru serentak.
"Tunggu!"
Semua orang menolehkan kepala ke arah datangnya suara
itu. Ternyata yang bersuara adalah si Setan-Seng Ling dan si
Duta Api Obor Hwa San Pai.
Semua orang tertegun, sebab Lu Sin Kong dan Hwe Hong
Sian Kouw yang mau bertarung itu, sama sekali tidak punya
527
hubungan apa-apa dengan mereka berdua, tapi kenapa
mereka berdua berseru "Tunggu"?
Di saat semua orang terheran-heran, si Setan-Seng Ling
justru tertawa.
"Duta Api Obor, silakan bicara dulu!"
Si Duta Api Obor segera berkata lantang.
"Cousu ada perintah, karena ada sesuatu yang harus
ditanyakan kepada Lu Cong Piau Tau, maka siapa yang berani
melukainya, justru mau cari gara-gara dengan Hwa San Pai!"
Si Setan Seng Ling bertanya.
"Sudah usai berbicara, Duta Api Obor?"
Si Duta Api Obor menyahut.
"Sudah, Setan Seng Ling."
Si Setan mengeluarkan tawa yang menyeramkan, tajam
dan nyaring menusuk telinga, setelah itu barulah berkata.
"Aku dan Lu Cong Piau Tau masih ada suatu urusan yang
belum dibicarakan. Maka siapa berani melukainya, berarti mau
cari urusan denganku!"
Mendengar itu Lu Sin Kong merasa gusar tapi geli.
Dalam hatinya dia berpikir, dari mana munculnya kedua
pengawal itu? Sebaliknya Hwe Hong Sian Kouw malah tertawa
dingin.
528
"Yang satu setan iblis yang tak berani menjumpai orang,
dan yang satu lagi suka macam-macam. Ternyata pembantu
Lu Cong Piau Tau. Kalau begitu, tentunya aku tidak berani
melukainya!"
Mulutnya mengatakan tidak berani melukai Lu Sin Kong,
namun begitu usai berkata, dia mengayunkan Liat Hwe Soh
Sim Lun.
Begitu turun tangan, dia mengeluarkan jurus Sepasang
Gagak Api Berterbangan sasarannya adalah dada Lu Sin Kong.
Semua orang tahu, bahwa apa yang dikatakan Hwe Hong
Sian Kouw tadi justru sebaliknya, maka menyerang Lu Sin
Kong dengan sengit sekali.
Tampak Lu Sin Kong mengayunkan goloknya, dengan
jurus Air Terjun Mengalir untuk membacok gelang di ujung
senjata Liat Hwe Soh Sim Lun.
Bacokan itu sungguh dahsyat, sebab Lu Sin Kong
mengerahkan Lweekang sepenuhnya.
Begitu goloknya diayunkan, terdengar suara menderu-deru
yang menggetarkan jantung.
Trang! Terdengar suara benturan dan tampak pula bunga
api berpijar. Ujung golok Lu Sin Kong terjepit oleh Liat Hwe
Soh Sim Lun.
Senjata Hwe Hong Sian Kouw itu dibuat dari baja murni.
Gelang yang di ujungnya terus berputar, maka pedang atau
golok biasa pasti patah seketika kalau terjepit.
529
Tapi golok di tangan Lu Sin Kong adalah golok emas
murni, hadiah pernikahan mereka dari Tiam Cong Pai, guru
Sebun It Nio, maka golok itu sungguh luar biasa, walau belum
tergolong golok pusaka.
Kedua senjata itu melekat jadi satu, maka Hwe Hong Sian
Kouw dan Lu Sin Kong pun berdiri diam di ujung batang besi
tajam itu.
Namun kemudian justru Lu Sin Kong yang bergerak
duluan, melancarkan sebuah pukulan ke arah kepala lawan.
Begitu melihat Lu Sin Kong melancarkan pukulan, hati Hwe
Hong Sian Kouw tersentak.
Saat ini, kedua senjata itu melekat jadi satu, sedangkan
pukulan Lu Sin Kong menghantam ke arahnya. Maka kecuali
melepaskan Liat Hwe Soh Sim Lun, tidak ada jalan lagi
baginya untuk berkutik.
Namun dalam pertarungan mati-matian itu, bagaimana
mungkin Hwe Hong Sian Kouw mau melepaskan senjatanya?
Dalam keadaan terdesak, dia pun mengangkat sebelah
tangannya untuk menyambut serangan Lu Sin Kong.
Pukulan yang dilancarkan Lu Sin Kong, dari atas ke bawah,
sedangkan pukulan yang dilancarkan Hwe Hong Sian Kouw
untuk menangkis, maka dari bawah ke atas, dan itu sungguh
merugikan dirinya. Kalau berada di tanah datar, tentunya tidak
akan merugikan siapa pun.
Namun saat ini, mereka berdua berdiri di ujung batang
besi yang tajam.
530
Ketika Hwe Hong Sian Kouw melancarkan pukulan itu,
otomatis sebelah kakinya menjadi berat. Blam! Pukulan
mereka beradu dan terdengar suara benturan yang amat
dahsyat.
Badan Hwe Hong Sian Kouw terhuyung-huyung, "Cess"
ujung batang besi yang tajam itu menembus alas sepatu Hwe
Hong Sian Kouw.
Walau pukulan Lu Sin Kong tidak mematikan, tapi
membuat telapak kaki Hwe Hong Sian Kouw tertusuk ujung
besi tajam sehingga berdarah.
Begitu melihat lawan terhuyung-huyung ke belakang, Lu
Sin Kong membentak keras sambil meloncat ke batang besi
lain sekaligus mengayunkan goloknya dengan jurus Sungai
Tiang Kang Mengalir Ke Timur untuk menyerang Hwe Hong
Sian Kouw.
Sebelah kaki Hwe Hong Sian Kouw menginjak batang besi
lain, tapi sebelum badannya diam, golok Lu Sin Kong sudah
meluncur ke arahnya.