155
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio tertegun. Mereka saling
memandang dan kemudian menggelengkan kepala.
"Tidak tahu" jawabnya hampir serentak.
"Ketika aku baru berada di sini," kata Tam Goat Hua. "Kim
Kut Lau masih belum merantai diriku, hanya mengurungku di
dalam rumah, aku bisa berjalan ke sana ke mari dan tanpa
sengaja... aku menemukan rahasia perguruannya. Mari kalian
berdua ikut aku melihat-lihat!"
Lu Sin Kong baru mau bangkit berdiri, tapi mendadak
melihat air muka Sebun It Nio agak aneh, dan itu
membuatnya menjadi tertegun.
"Ada orang ke mari!"
Wajah Tam Goat Hua langsung berubah. la langsung
menyambar bungkusan itu dan cepat-cepat masuk ke dalam.
Tak lama kemudian, Lu Sin Kong mendegar suara langkah
kaki yang tergesa-gesa. Mereka berdua saling memandang,
lalu bangkit berdiri.
Sebelum mereka bersembunyi, sudah terdengar suara
"Blam", tampak sosok bayangan menerobos ke dalam, yang
tidak lain adalah Kim Kut Lau.
Wajah orang itu pucat pasi. Begitu sampai di dalam
rumah, dia langsung duduk tanpa menghiraukan Lu Sin Kong
dan Sebun It Nio.
Kim Kut Lau perlahan-lahan mendongakkan kepala, ketika
melihat rantai besi yang telah putus itu, wajahnya bertambah
pucat menakutkan.
156
"Ka... kalian melepaskannya?"
Menyaksikan keadaan Kim Kut Lau, Lu Sin Kong tahu
bahwa Kim Kut Lau terluka parah. Maka rasa permusuhannya
menjadi berkurang.
"Tidak salah!"
"Uaaakh!" Mendadak mulut Kim Kut Lau menyemburkan
darah segar. Dia menuding Lu Sin Kong dengan tangan
bergemetar. "Kalian.... kalian kenapa begitu ceroboh?"
Lu Sin Kong tahu, pasti ada sebabnya Kim Kut Lau berkata
begitu.
"Sebetulnya siapa gadis itu?" tanyanya segera.
Kim Kut Lau menghela nafas panjang.
"Dia bermarga Tam...." Berkata sampai di sini, Kim Kut
Lau menggoyang-goyangkan tangannya. "Dia sudah pergi,
untuk apa mengungkitnya lagi? Kalian boleh meninggalkan
rurnah ini!"
"Tidak bisa!" sahut Sebun It Nio. "Kami masih ingin
bertanya, pernahkah kau melihat golok ini?"
Air muka Kim Kut Lau berubah dan tampak terkejut.
"Eh? Kenapa golok ini bisa berada di tangan kalian?"
Sebun It Nio tertawa dingin.
157
"Ketika kau melihat golok ini...," tanya Sebun it Nio sambil
menatapnya tajam. "Golok ini berada di tangan siapa?"
Kim Kut Lau bangkit seraya menyahut, "Liok...Ci.... Liok
Ci...."
Hanya mencetuskan empat perkataan, mendadak
badannya sempoyongan, lalu jatuh gedebuk di lantai.
Lu Sin Kong segera mengarah padanya, ternyata Kim Kut
Lau telah pingsan, bahkan nafasnya pun amat lemah sekali,
kelihatannya sudah sulit ditolong. Lu Sin Kong menoleh ke
arah Sebun It Nio. Dilihatnya istrinya termangu-mangu di
tempat dan wajahnya menghijau.
"Hujin, siapa musuh kita kini sudah jelas. Kita harus cepatcepat
rnengantar kotak kayu itu, lalu rnelaksanakannya sesuai
rencana."
Sebun It Nio mengeluarkan suara siulan panjang, sekaligus
menyimpan golok itu, kemudian melanjutkan perjalanan di
malam hari bersama Lu Sin Kong. Ketika hari mulai terang,
mereka berdua sudah keluar dari Sai Thian Bok. Jalan yang
mereka lalui mulai rata, maka dengan mudah mereka
mempercepat langkah masing-masing.
Tak Beberapa lama, mereka sudah berada di luar belasan
mil dan hari pun sudah terang. Di saat mereka sampai di
depan sebuah rimba, mendadak terdengar suara jeritan yang
menyayat hati di dalam rimba itu, menyusul tampak tubuh
seorang lelaki terpental keluar dari dalam rimba tersebut.
Begitu menyentuh tanah, lelaki itu binasa. Sebun It Nio
menghampirinya, dan seketika juga dia berteriak kaget.
158
"Hah! Ini adalah Thian Hiang Tong Tongcu Hoa San
bernama Sou Tai Hok!"
Dia mendongakkan kepala. Tampak beberapa sosok
bayangan berkelebatan di dalam rimba, ternyata beberapa
orang sedang bertarung dengan sengit. Mereka berdua,
sesungguhnya tidak mau banyak urusan. Lagipula pertarungan
antara kaum rimba persilatan merupakan hal yang biasa. Tapi
setelah mereka memperhatikan dengan cermat, terlihat empat
orang mengurung seseorang. Orang yang dikurung itu
bersenjata aneh, yakni sepasang rantai besi yang melekat di
lengannya.
Kini mereka berdua baru tahu, bahwa orang yang dikurung
itu, tidak lain adalah Tam Goat Hua.
Hati Lu Sin Kong tergerak. Dia memandang istrinya seraya
berkata,
"Hujin, ketika Kim Kut Lau mengetahui kita melepaskan
gadis itu, lukanya menjadi bertambah parah. Itu membuktikan
bahwa gadis tersebut punya asal-usul yang luar biasa. Kita
lihat bagaimana kepandaiannya, tapi kita jangan
memperlihatkan diri, dan setelah menyaksikannya kita
langsung pergi. Bagaimana?"
Sesungguhnya dalam hati Sebun It Nio, sudah tirnbul
kecurigaan mengenai asal-usul Tam Goat Hua, maka dia
manggut-manggut. Mereka berdua mendekati rimba itu, lalu
bersembunyi di balik sebuah pohon dan mengintip. Sebun It
Nio terkejut dan berkata,
"Ilmu silat gadis itu, jauh di atas perkiraan kita. Keempat
orang yang mengurungnya, semuanya adalah anggota Hoa
San Pai Cap Jie Tongcu."
159
Kedudukan ketua Hoa San Pai Liat Hwe Cousu amat tinggi
dalam rimba persilatan, Lweekangnya pun tinggi sekali.
Namun karena dia sudah tua maka jarang berkecimpung di
rimba persilatan lagi. Reputasi Hoa San Pai sudah tersohor
sampai ke mana-mana. Sedangkan ke dua belas Tongcunya
juga berkepandaian tinggi dan tergolong jago tinggi dalam
rimba persilatan.
Kalau ada yang menyiarkan berita bahwa keempat Tongcu
Hoa San pai mengeroyok seorang gadis namun masih tidak
dapat berada di atas angin, tentunya tiada seorang pun akan
percaya.
Begitu pula Lu Sin Kong, seandainya tidak menyaksikan
dengan mata kepala sendiri, dia pun tidak akan percaya. Dia
terus memperhatikan pertarungan itu. Tampak sepasang
telapak tangan Tam Goat Hua berkelebatan ke sana ke mari
dan amat aneh pula gerakannya. Jelas gadis itu menggunakan
semacam ilmu pukulan, tapi ada sepasang rantai besi melekat
di lengannya, sehingga kelihatan seperti menggunakan
senjata.
Justru karena itu, maka sulit sekali bagi lawan menjaga
setiap serangannya, dan itu membuat wajah keempat Tongcu
Hoa San Pai menjadi tegang. Sedangkan wajah gadis itu tetap
tampak tenang dan berseri-seri.
Tak Beberapa lama kemudian, tampak Tam Goat Hua
melengkungkan lengannya, lalu menyerang salah seorang
lawannya, sehingga menimbulkan suara.
"Cring!"
Ternyata Tam Goat Hua mengibaskan tangannya,
sekaligus memajukan badannya. Pukulan yang dilancarkannya
160
mendarat telak di dada orang itu, membuat orang itu menjerit
dan terpental jauh sekali.
Ketiga orang lainnya, langsung mundur serentak. Tam
Goat Hua tertawa.
"Hi hi hi! Bagaimana? Tak mau bertarung lagi?" tanya Tam
Goat Hua sambil tertawa.
Salah seorang dari mereka sudah berusia agak lanjut,
namun masih tampak gagah sekali.
"Anak gadis! Kau dari perguruan mana?" bentak orang itu.
Tam Goat Hua tertawa seraya berkata,
"Melawanku saja kau tak sanggup, untuk apa menanyakan
perguruanku? Kalian bertiga, lebih baik segera kembali ke
gunung Hoa San! Jangan coba-coba atau bermimpi ingin pergi
mencari Lu Sin Kong, maka aku akan melepaskan kalian!
Kalau kalian ingin mengundang Liat Hwe Cousu membalas
dendam ini, silakan ke Su Cou! Kami ayah dan anak amat
senang akan menunggu di sana, maka masih akan tinggal di
sana untuk beberapa bulan!"
Begitu Lu Sin Kong dan Sebun It Nio mendengar itu,
tentunya dapat menduga sebab musabab pertarungan
tersebut.
-ooo0ooo-
Bab 7
Karena Lu Sin Kong pernah melukai Te Hio Hio Cu dari
Hoa San Pai, maka Hoa San Pai mengutus beberapa jago
161
untuk menangkapnya. Kelima orang itu mungkin sedang
berunding di dalam rimba, justru kepergok oleh Tam Goat Hua
sehingga terjadi pertarungan, sebab gadis itu merasa
berhutang budi kepada Lu Sin Kong dan istrinya.
Mereka berdua berpikir lama sekali, kemudian Sebun It Nio
berbisik di telinga suaminya.
"Kau dapat melihat ilmu pukulan itu, berasal dari
perguruan mana?"
Lu Sin Kong menggelengkan kepala.
"Sungguh memalukan, aku tidak mengenali ilmu pukulan
itu!"
"Aku pun tidak mengenali ilmu pukulan itu," kata Sebun It
Nio. "Tapi kalau diperhatikan dengan seksama, ilmu pukulan
itu amat aneh dan sulit diduga gerakan-gerakannya."
"Tidak salah," sahut Lu Sin Kong. "Ilmu pukulan itu
seharusnya sudah terkenal dalam rimba persilatan, tapi kita
malah tidak mengenalinya."
Di saat mereka sedang berbisik-bisik, terdengar suara
bentakan orangtua Hoa San Pai itu.
"Kalau begitu, Nona harus meninggalkan nama!"
Tam Goat Hua tersenyum simpul.
"Margaku Tam, namaku Goat Hua!" sahut gadis itu.
Ayahku bernama Tam Sen, sudah ingat?"
162
"Hm!" dengus orangtua Hoa San Pai itu. "Baik, gunung
takkan berubah, air sungai terus mengalir, kita akan berjumpa
kelak!"
Orangtua Hoa San Pai itu melesat pergi. Yang lain segera
mengikutinya. Mereka sama sekali tidak mempedulikan mayat
teman mereka itu.
Setelah mereka pergi, wajah Tam Goat Hua tampak
berseri dan menyiratkan puas. Gadis itu bersenandung sambil
melangkah keluar rimba. Kelihatannya dia menyerupai anak
gadis yang belum tahu apa-apa dan berhati polos, tapi tak
disangka, tadi kedua Hiang Cu Hoa San Pai, justru mati di
tangannya.
Lu Sin Kong ingin memunculkan diri menemui anak gadis
itu, tapi dicegah oleh Sebun It Nio. Setelah Tam Goat Hua
tidak kelihatan, barulah Sebun It Nio berkata,
"Anak gadis itu masih muda, tapi ilmu silatnya di atas kita.
Sebelum tahu jelas asal-usulnya, lebih baik kita jangan
mendekatinya!"
"Justru kepandaiannya begitu tinggi," sahut Lu Sin Kong.
"Maka aku berpikir ingin minta bantuannya."
"Kalau dia punya hubungan dengan pihak Liok Ci
Siansiang, bukankah kita yang akan masuk perangkap?" kata
Sebun It Nio.
"Tam Sen! Tam Sen..." gumam Lu Sin Kong menyebut
nama tersebut berulang kali, namun tetap tidak ingat akan
orang tersebut. Memang banyak jago dalam rimba persilatan,
tapi nama itu justru tidak diketahui orang. Seperti halnya Liok
163
Ci Siansiang, Tiat Cit Siong Jin, Liat Hwe Cousu dan Kim Kut
Lau, siapa yang tidak tahu nama mereka?
Akan tetapi, sebaliknya Tam Sen siapa dia?. Mungkin gadis
tersebut sengaja merahasiakan julukan ayahnya, kalau tidak,
tentunya ada alasan lainnya untuk dijelaskan.
Oleh karena itu, timbulnya kecurigaan Sebun It Nio,
memang masuk diakal. Setelah merapihkan pakaian, mereka
melanjutkan perjalanan. Ketika hari mulai menjelang malam,
tibalah mereka di sebuah kota, lalu bermalam di penginapan.
Mereka tidak menemui kejadian apa pun. Keesokan harinya
mereka melanjutkan perjalanan lagi. Di saat hari mulai senja,
mereka sudah tiba di luar pintu kota Su Cou.
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio, sudah lama berkecimpung
dalam rimba persilatan. Sedangkan si Pecut Emas-Han Sun,
jauh di daerah Hun Lam, karena itu mereka tidak pernah
bertemu muka.
Mereka berdua memasuki pintu kota itu, dan yakin dapat
mencari alamat rumah Kim Pian Han Sun, karena penduduk
setempat pasti tahu rumahnya. Berjalan tak beberapa lama,
tampak sebuah Piau Kiok (Perusahaan Ekspedisi).
Ketika Lu Sin Kong baru mau menuju ke perusahaan itu
untuk menanyakan alamat rumah Han Sun, mendadak muncul
dua orang dari sebuah tikungan jalan. Mereka berpakaian
ringkas dan terlihat sebuah pecut bergemerlapan melingkar di
pinggang mereka. Kedua orang itu mengamati Lu Sin Kong
dan Sebun It Nio, kemudian menjura seraya berkata,
"Kalian berdua dari Lam Cong mengantar barang ke mari,
guru kami sudah menunggu beberapa hari."
164
Sebun It Nio menatap mereka dan bertanya.
"Guru kalian...."
Kedua orang itu menunjuk pecut yang melingkar di
pinggang masing-masing, lalu salah seorang dari mereka
menyahut,
"Guru kami adalah Kim Pian Teng Kian Kun (Si Pecut Emas
Menggetarkan Jagat), beliau bernama Han Sun."
Mendengar ucapan itu, Lu Sin Kong dan Sebun It Nio
bergirang dalam hati, sebab mereka berdua tidak usah repotrepot
mencari alamat rumah Han Sun.
"Harap kalian menunjukkan jalan!"
Kedua orang itu mengangguk, lalu berjalan. Lu Sin Kong
dan Sebun It Nio mengikuti mereka dari arah belakang. Agak
mengherankan karena kedua orang itu melalui jalan kecil yang
sepi. Setelah menikung ke sana ke mari, tak lama kemudian
sampailah di depan pintu rumah.
Rumah itu sungguh besar sekali. Di depan pintunya
terdapat dua buah singa batu dan dipinggirnya terlihat dua
orang berdiri berjaga2. Dua orang itu juga berpakaian ringkas
dengan sebuah pecut melingkar di pinggang.
Kedua penunjuk jalan tadi menghampiri mereka lalu
berkata.
"Cepat lapor kepada guru, Lu Cong Piau Tau dan istrinya
telah tiba!"
165
Kedua orang itu mengangguk, lalu segera masuk ke
dalam. Lu Sin Kong dan istrinya mengikuti kedua penujuk
jalan memasuki pintu itu. Setelah melewati halaman yang
amat luas, barulah sampai di ruang depan. Kedua penunjuk
jalan itu mempersilakan mereka duduk.
Begitu duduk, sudah ada orang menyuguhkan teh.
Tak Beberapa lama kemudian, dari dalam berjalan keluar
seorang lelaki berusia lima puluhan, sepasang matanya
bersinar-sinar.
"Selamat datang, aku Han Sun! Kalian telah capek lelah di
tengah jalan."
"Di tengah jalan...," sahut Lu Sin Kong. "Memang banyak
sekali kaum rimba persilatan menghendaki barang bawaan
kami. Namun tidak memalukan, barang itu tetap dapat kami
antarkan sampai ditempat."
Kim Pian Han Sun mengerutkan kening, kemudian berkata.
"Memang karena barang maka banyak kaum rimba
persilatan menghendakinya, dan itu merupakan hal yang
wajar. Kini barang itu telah sampai di sini, itu sungguh tidak
gampang!"
Mereka bertiga duduk. Kemudian Lu Sin Kong
mengeluarkan kotak kayu dari dalam bajunya.
Kim Pian Han Sun menjulurkan tangannya ingin menerima
kotak kayu itu, namun Sebun It Nio justru bertanya.
"Bolehkah aku bertanya, sebetulnya barang apa yang ada
di dalam kotak ini?"
166
"Maaf!" ucap Kim Pian Han Sun. "Aku punya kesulitan
untuk memberitahukan, harap maklum!" sahut Kim Pian Han
Sun.
Usai berkata begitu, dia bangkit berdiri untuk menerima
kotak kayu tersebut.
Begitu melihat Kim Pian Han Sun amat tegang, timbullah
kecurigaan dalam hati Sebun lt Nio dan membatin.
Ada orang berani memberi imbalan begitu tinggi, khusus
untuk mengantar kotak kayu tersebut ke tempat ini. Di tengah
jalan banyak kaum rimba persilatan ingin merebutnya, namun
tetap aman sampai di tempat. Tentunya tidak ada lagi yang
merebut kotak kayu itu, tapi kenapa Kim Pian Han Sun tampak
begitu tegang dan gelisah?
Berpikir sampai di situ, Sebun It Nio segera memberi
isyarat kepada Lu Sin Kong. Begitu melihat isyarat, Lu Sin
Kong cepat-cepat menarik tangannya, dan Sebun It Nio
berkata.
"Karena Han Tayhiap tidak mau memberitahukan, maka
kami pun tidak akan bertanya lagi. hanya saja... kami ingin
tahu suatu hal dari Han Thaihiap."
Tersirat lagi kegelisahan di wajah Kim Pian Han Sun,
namun hanya sekilas. Hal itu membuat Sebun It Nio semakin
bercuriga, sehingga keningnya tampak berkerut.
"Ingin tahu tentang hal apa? Katakanlah!" ujar Kim Pian
Han Sun cepat.
"Kali ini kami mengantar kotak kayu sampai di sini, dan
memperoleh imbalan yang amat tinggi. Namun kami justru
167
tidak tahu siapa orang itu, maka bolehkah Han Thaihiap
memberitahukan?" kata Sebun It Nio.
Kim Pian Han Sun tertawa.
"Itu adalah kawan lamaku, tapi aku tidak leluasa
menyebut namanya."
Sebun It Nio segera mendesak.
"Apa marganya, tentunya Han Tayhiap tidak berkeberatan
untuk memberitahukan, bukan?"
Kim Pian Han Sun tertawa terbahak-bahak lagi.
"Memang berkeberatan. Lu Cong Piau Tau serahkan saja
kotak kayu itu kepadaku, lalu tinggallah di sini beberapa hari,
bagaimana?"
Sebun It Nio terus mengajukan berbagai pertanyaan. Hal
itu dikarenakan telah timbul kecurigaan dalam hatinya.
Akan tetapi, dia bertanya kian ke mari justru tiada
hasilnya. Tentunya dia harus menyerahkan kotak kayu itu
kepada Kim Pian Han Sun.
Akhirnya dia berpaling. Dilihatnya belasan lelaki berdiri di
ruang itu. Di pinggang masing-masing melingkar sebuah Pecut
Emas. Begitu melihat itu, dalam hati Sebun lt Nio menjadi
terang.
Teringat pula akan julukan Kim Pian Teng Kian Kun, yaitu
julukan Han Sun. Tidak usah bertanya pun bisa tahu, Pecut
Emas merupakan senjata andalan Han Sun.
168
Siapa yang melihat Pecut Emas, pasti akan teringat Han
Sun. Tapi kalau dipikirkan secara seksama, justru amat
mencurigakan, sebab di pinggang orang-orang terdapat Pecut
Emas, jelas sengaja berbuat begitu.
Menyaksikan itu, dalam hati Sebun It Nio berani
memastikan, bahwa kecurigaannya beralasan. Ia langsung
menjulurkan tangannya untuk menyambar kotak kayu yang
berada di tangan Lu Sin Kong, lalu berkata.
"Entah berapa berat Pecut Emas-Han Sun itu?"
Lu Sin Kong tertegun dan membatin, kenapa pula istriku?
Di hadapan tuan rumah justru menyebut namanya langsung.
Di saat Lu Sin Kong terheran2, dan terdengar suara sahutan
Kim Pian Han Sun.
"Pecut Emasnya...."
Tercetus sampai di situ, Kim Pian Han Sun cepat-cepat
berhenti. Di saat bersamaan, Sebun It Nio menatapnya seraya
bertanya,
"Siapa kau?" Kemudian disodorkannya kotak kayu itu ke
hadapan Lu Sin Kong. "Simpanlah!"
Sementara Kim Pian Han Sun tampak tenang.
Dipandangnya Sebun It Nio seraya menyahut,
"Kenapa Lu Hujin bertanya begitu? Aku adalah Han Sun!"
"Hm!" degus Sebun It Nio. "Kalau kau Han Sun, kenapa
tadi menyahut "Pecut Emas", dan juga kenapa di pinggang
anak buahmu melingkar Pecut Emas pula?"
169
Usai berkata begitu, Sebun It Nio bangkit berdiri sekaligus
menghunus pedangnya, dan langsung menyerang dada Kim
Pian Han Sun.
Wajah Han Sun berubah. Ia cepat-cepat meloncat ke
belakang dan menyambar sebuah kursi untuk menangkis
serangan Sebun It Nio.
Lu Sin Kong juga menyadari akan adanya ketidak beresan
itu. Kakinya bergerak ke depan sekaligus mengayunkan
tangannya untuk memukul kursi tersebut.
Sedangkan pedang Sebun It Nio tetap menyerang Han Sun
dengan jurus Meteor Mengejar Bulan.
Han Sun bersiul panjang sambil mencelat ke samping,
sekaligus melemparkan kursi itu. Tangannya pun bergerak dan
sebuah senjata aneh sudah berada di tangannya, yakni
sebuah Poan Koan Pit (Pencil Cina). Senjata itu menangkis
pedang Sebun It Nio.
Ilmu pedang Sebun It Nio, masih di atas ketua Tiam Cong
Pai Sih Liok Khie. Jurus Liu Sing Kan Goat terdapat tiga
perubahan. Dapat dibayangkan betapa lihainya jurus itu.
Namun jurus yang dikeluarkan Han Sun juga aneh dan
lihay, maka terdegarlah suara benturan senjata.
Trang! Trang! Trang!
Benturan itu membuat tangan Sebun It Nio berkesemutan.
Cepat-cepat ia menggeserkan kakinya, kemudian menyerang
dengan jurus Mendorong Daun Jendela Memandang
Rembulan.
170
"Bangsat!" bentaknya mencaci. "Siapa kau?"
Han Sun tidak menyahut, melainkan memutar Poan Koan
Pitnya, sekaligus maju selangkah. Trang!
Poan Koan Pit Han Sun membentur pedang Sebun It Nio
kemudian mengarah jalan darah Yang Kut Hiat di lengan
wanita itu.
Sebun It Nio tertawa panjang.
"Cukup tinggi kepandaianmu, Bung!" katanya.
Ia menarik pedangnya untuk menangkis Poan Koan Pit,
kemudian diputar membentuk beberapa buah lingkaran dan
mengarah ke dada Han Sun. Jurus Menyiram Air Mengejutkan
Langit, merupakan jurus dalam bahaya merebut kemenangan,
kelihaiannya tak terbayangkan.
Han Sun berteriak kaget dan segera meloncat ke belakang.
Bajunya tersobek di bagian dada, sehingga tampak dadanya
yang bidang terukir huruf Poan (Hakim).
Setelah Sebun It Nio bertarung dengan Han Sun, Lu Sin
Kong sudah tahu apa gerangan yang telah terjadi. Ternyata
ada orang menyamar sebagai Han Sun untuk menipu dirinya.
Untung istrinya bercuriga, kalau tidak barang tersebut pasti
jatuh ke tangan orang itu. Namun dia pun bingung dan tidak
habis pikir, sebetulnya siapa orang yang menyamar sebagi
Han Sun itu. Kepandaiannya begitu tinggi dan tampak
berwibawa.
Sesudah baju orang itu tersobek dan terlihat huruf "Poan"
tersebut, Sebun It Nio dan Lu Sin Kong paham.
171
"Ha ha ha!" Lu Sin Kong tertawa gelak.
Sebun It Nio maju selangkah dan ketika baru mau
melancarkan serangan kembali, tiba-tiba terdengar suara.
Tang!
Orang-orang yang berdiri di situ serentak menjatuhkan diri
berlutut, dan "Han Sun" itu pun segera mundur, lalu berdiri
agak membungkuk sambil menjura.
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio tersentak menyaksikan
keadaan itu.
Cring! Lu Sin Kong sudah menghunus goloknya diikat di
pinggangnya.
Sedangkan Sebun It Nio mundur selangkah membelakangi
punggung suaminya, sehingga mereka berdiri dengan
punggung menghadap punggung. Di saat itulah terdengar
suara tangisan lirih.
"Hati-hatilah!" bisik Sebun It Nio. "Sepanjang jalan kita
bertemu begitu banyak jago, tapi kali ini justru setan tua itu
datang sendiri."
Lu Sin Kong mengangguk.
"Aku tahu."
Setelah melihat huruf "Poan" yang terukir di dada orang
itu, Lu Sin Kong dan Sebun It Nio pun tahu bahwa itu adalah
bawahan Pak Bong San Kui Sen-Seng Ling.
Murid Kui Seng-Seng Ling memang banyak sekali. Selain
kedua putranya Kou Hun Su-Seng Cai dan Sou Mia Su-Seng
172
Bou, masih terdapat Hakim Kiri, Hakim Kanan, Setan Kepala
Kerbau, Setan Muka Kuda, Setan Tuyul dan Setan Hitam Putih.
Beberapa hari yang lalu, ketika mereka berdua bertemu
orang aneh yang memakai kain penutup muka, orang aneh itu
telah melukai Setan Hitam Putih. Ternyata Kui Sen-Seng Ling
tetap mengutus orang mengikuti mereka berdua.
Orang yang menyamar sebagai Han Sun, yang bersenjata
Poan Koan Pit dengan dada berukir huruf
"Poan" itu jelas salah satu Hakim Kiri Kanan, anak buah
Kui Sen-Seng Ling.
Sesungguhnya Kui Sen-Seng Ling tidak pernah
berhubungan dengan kaum rimba persilatan. Dia tinggal di
istana misteri di gunung Pak Bong San yang disebut Istana
Setan.
Di saat Sebun lt Nio berbisik-bisik dengan Lu Sin Kong,
suara tangisan itu semakin mendekat.
Tak Beberapa lama kemudian tampak dua sosok bayangan
berkelebat ke dalam ruang itu, Ternyata dua orang berpakaian
berkabung, yang tidak lain adalah Kou Hun Su-Seng Cai dan
Sou Mia Su-Seng Bou.
Orang yang menyamar sebagai Han Sun segera memberi
hormat, kemudian bertanya.
"Sen Kun sudah tiba?"
Seng Cai memandang Lu Sin Kong dan Sebun It Nio
sejenak lalu menyahut.
173
"Sen Kun sudah tiba."
Sebelum suara sahutan itu sirna, mendadak ruangan itu
terasa bergetar-getar. Tampak dua lelaki bertubuh tinggi
besar berjalan memasuki ruangan. Di belakang mereka
sebuah tandu yang digotong empat orang. Di dalamnya duduk
seorang aneh berjubah kuning. Wajah orang itu kehijauan,
badannya kurus kering dan sepasang matanya berbentuk
segitiga, sulit diduga berapa usianya.
Sampai di tengah ruangan, keempat orang itu menaruh
tandu ke bawah. Lu Sin Kong dan Sebun It Nio saling
memandang. Dugaan mereka memang tidak meleset, orang
aneh itu adalah Kui Sen-Seng Ling. Setelah tandu itu ditaruh
ke bawah, Kui Sen-Seng Ling melangkah keluar dari tandu itu
sambil menatap lelaki yang menyamar sebagai Han Sun.
"Kenapa tidak tampak Hakim Kanan?"
"Hakim Kanan meninggalkan kota kemarin," sahut orang
itu dengan hormat. "Dia pergi menyelidiki jejak kedua orang
ini, hingga kini belum pulang."
Kui Sen-Seng Ling terus menatapnya dan kemudian
mengeluarkan suara dengusan.
"Hingga kini masih belum pulang?"
"Ya." Orang itu mengangguk.
Perlahan-lahan Kui Sen-Seng Ling memalingkan kepalanya
untuk memandang Lu Sin Kong seraya berkata.
"Tamu agung sampai di sini, kenapa tidak duduk saja?"
174
Lu Sin Kong tertawa dingin.
"Kau menghendaki apa, katakan saja!"
"Sejak kalian berdua berangkat dari Lam Cong, aku sudah
mengutus beberapa orang untuk menghadang kalian di
tengah jalan. Kalian berdua memang tidak bernama kosong,
maka aku terpaksa ke mari. Kotak kayu yang di dalam baju Lu
Cong Piau Tau, harap diperlihatkan!"
Air muka Lu Sin Kong berubah seketika.
"Kotak kayu itu akan kusampaikan kepada si Pecut Emas-
Han Sun, bagaimana mungkin kuserahkan kepadamu?"
Kui Sen-Seng Ling tertawa dingin. Betapa tingginya
Lweekang Si Setan itu, dapat dirasakan Lu Sin Kong dan
Sebun It Nio, karena tawa dingin itu membuat mereka
merinding.
Bagian 04
"Nyawa kalian berdua dalam bahaya, tapi kenapa masih
berkeras melindungi kotak kayu itu?" kata Seng Ling.
Lu Sin Kong tampak gusar.
"Bagaimana nyawa kami dalam bahaya?"
Seng Ling tertawa aneh, kedengarannya amat
menyeramkan.
175
"Aku meninggalkan Istana Setan gunung Pak Bong San,
apakah akan pulang dengan tangan kosong?"
Dari tadi Lu Sin Kong dan Sebun It Nio sudah
mengerahkan Lweekangnya bersiap-siap. Begitu mendengar
suara tawa, Lu Sin Kong langsung menggerakkan goloknya.
"Setan tua!" bentaknya. "Aku justru akan menyuruhmu
pulang dengan tangan kosong!"
Mendadak golok di tangannya mengarah ke Kui Sen-Seng
Ling.
Kui Sen-Seng Ling tertawa dingin. Di saat ujung golok itu
hampir mengenai dirinya, mendadak badannya mencelat ke
belakang beberapa depa.
Jurus Ombak Menyapu Darat merupakan gerakan yang
amat Iihay dan cepat. Namun dengan santai si Setan-Seng
Ling mencelat ke belakang.
Lu Sin Kong bukan orang biasa. Ilmu kepandaiannya
sudah mencapai taraf yang amat tinggi, begitu pula
Lweekangnya. Begitu goloknya menyerang tempat kosong, dia
memekik gusar sambil menyerang. Jurus Ombak Menyapu
Darat berubah menjadi jurus Petir Menyambar di Tengah
Langit.
Seng Ling yang baru mencelat kebelakang, belum juga
berdiri tegak, golok itu sudah mengarah kakinya. Tanpa gugup
sama sekali Kui Sen berkelit ke kiri sekaligus menyambar
sebuah kursi, lalu bergerak cepat menangkis golok itu.
Plaaak! Kursi itu terpotong menjadi dua.
176
"Ha ha ha!" Kui Sen-Seng Ling tertawa gelak.
Suara tawanya amat menggetarkan. Dapat diketahui, Seng
Ling memiliki beberapa macam ilmu sesat yang dapat
mengacaukan pikiran, bahkan juga dapat membetot sukma.
"Lu Cong Piau Tau, sungguh lihay ilmu golokmu! Aku
kagum sekali! Tapi kalau kau tidak tahu gelagat, justru akan
mencelakai diri sendiri!"
Terhadap Datuk Sesat itu, memang sulit bagi Lu Sin Kong
melawannya. Dia segera meloncat ke belakang, ke samping
istrinya.
Mendadak mereka berdua membentak keras. Sebun It Nio
menggerakkan pedangnya, sedangkan Lu Sin Kong
mengayunkan goloknya. Mereka tidak menyerang si Setan-
Seng Ling, melainkan menerjang ke arah pintu. Beberapa
orang ingin menghadang, tapi seketika juga mereka terluka
pedang dan golok itu.
Akan tetapi, Kui Sen-Seng Ling tertawa dingin, kemudian
melesat ke arah pintu untuk mengejar mereka berdua. Para
anak buahnya pun segera melesat keluar mengikutinya.
Setelah melesat keluar, Kui Sen-Seng Ling melancarkan
sebuah pukulan dahsyat ke arah Lu Sin Kong dan Sebun It
Nio.
Mereka berdua berkelit, Kui Sen-Seng Ling tertawa aneh,
dan itu membuat jantung mereka berdua tergetar keras.
Sebun lt Nio segera berbisik pada suaminy,
177
"Aku akan menghadapinya agar dia tidak tertawa aneh.
Kau harus menghancurkan tembok itu!"
Lu Sin Kong mengangguk kemudian mengerahkan
Lweekangnya. Namun dia mencemaskan istrinya, maka
berpaling untuk melihat istrinya. Dilihat istrinya sudah
bertarung dengan Kui Sen-Seng Ling.
Walau Sebun It Nio menyerang dengan sengit sekali, tapi
pedangnya sama sekali tidak dapat menyentuh jubah Kui Sen-
Seng Ling.
Lu Sin Kong berpikir, seandainya berhasil membobol
tembok itu, belum tentu mereka berdua dapat melarikan diri.
Bukankah lebih baik dia bersama Sebun It Nio menyerang Kui
Sen-Seng Ling? Siapa tahu mereka berdua dapat mengalahkan
si Setan Tua itu. Berpikir sampai di situ, dia lalu memekik
keras sambil menyerang Kui Sen-Seng Ling.
Mereka merupakan suami istri yang sudah puluhan tahun
lamanya, tentunya tahu jelas mengenai ilmu silat masingmasing.
Oleh karena itu, mereka dapat bekerja sama dengan
baik. Sudah barang tentu serangan-serangan mereka pun
bertambah lihai.
Akan tetapi, di saat bersamaan mereka merasa ada
serangkum angin dingin mengarah mereka.
Angin dingin itu tidak begitu kuat, namun menyiarkan bau
mayat busuk yang amat menusuk hidung.
Betapa terkejutnya Lu Sin Kong dan Sebun It Nio. Mereka
berdua segera menutup pernafasan. Namun mereka sudah
merasa pusing, sehingga membuat gerakan mereka menjadi
lamban. Di saat itulah tampak Kui Sen-Seng Ling mencelat
178
keluar dari kurungan bayangan pedang dan golok, sekaligus
tertawa aneh.
"Kalian berdua sudah tersambar oleh angin pukulan Im Si
Ciang, apakah masih ingin bertarung denganku?"
Mendengar ucapan itu mereka berdua tertegun, lalu
mencoba menghimpun hawa murni. Mereka tidak merasa apa
pun, hanya perut mereka merasa mual.
Sebun It Nio tertawa dingin.
"Kau pikir kami tak dapat meninggalkan tempat ini...??!"
Kui Sen-Seng Ling tertawa terbahak-bahak. "Kalian berdua
memang dapat meninggalkan tempat ini, hanya saja harus
digotong!"
Sementara rasa mual di dalam perut mereka semakin
menjadi, sehingga belum sempat berkata sepatah pun mereka
berdua sudah muntah beberapa kali.
Wajah Kui Sen-Seng Ling yang dingin kehijauan itu,
menyiratkan rasa puas.
Sedangkan dalam hati Sebun It Nio sudah cemas sekali
lalu pikirannya membatin. "Kui Sen-Seng Ling memang tidak
bernama kosong. Karena kurang berhati-hati, justru menjadi
celaka. Kelihatannya kali ini sungguh sulit untuk meloloskan
diri."
Usia mereka suami istri sudah melewati setengah abad,
maka mati pun tidak akan merasa penasaran. Hanya saja,
putra mereka yang masih muda sudah mati terbunuh. Kalau
mereka mati, siapa pula yang akan membalas dendam itu?
179
Berpikir sampai di situ, ke gusaran Sebun It Nio jadi
memuncak.
Maka, melihat Seng Cai dan Seng Bou sedang memandang
mereka sambil tertawa aneh, mendadak timbul suatu ide
dalam hatinya. Kemudian dengan perlahan-lahan disentuhnya
Lu Sin Kong.
Sudah puluhan tahun mereka menjadi suami istri,
tentunya tahu akan isyarat tersebut. Setelah menyentuh Lu
Sin Kong, Sebun It Nio menerjang ke arah Seng Cai.
Seng Cai bergerak cepat untuk berkelit, tapi gerakan
Sebun It Nio jauh lebih cepat. Maka, tahu-tahu dia sudah
berada di belakang Seng Cai, sekaligus menotok jalan darah
Khie Hu Hiat di punggung Seng Cai dengan gagang
pedangnya.
Walau kepandaian Seng Cai cukup tinggi, namun masih
berada di bawah Sebun It Nio. Oleh karena itu, Seng Cai tak
berkutik sama sekali.
Sebun It Nio menjulurkan tangannya mencengkeram bahu
Seng Cai. Begitu jari tangannya bergerak, seketika Kou Hun
Su Seng Cai langsung terkulai.
Barulah Sebun It Nio berpaling. Dilihatnya golok Lu Sin
Kong berkelebatan, sedangkan sepasang telapak tangan si
Setan-Seng Ling bergerak, cepat sekali, sehingga membuat Lu
Sin Kong terkurung di dalam bayangan telapak tangannya.
Sebun It Nio segera menudingkan ujung pedangnya ke
tenggorokan Seng Cai, kemudian berteriak.
180
"Setan Tua! Kalau kau tidak berhenti, nyawa setan kecil ini
pasti melayang!"
Di saat Sebun It Nio berteriak, di saat itu pula Lu Sin Kong
melesat ke arah Seng Bou. Karena si Setan-Seng Ling agak
lengah, maka kesempatan tersebut dimanfaatkan Lu Sin Kong.
Betapa terkejutnya Seng Bou. Dia ingin berkelit tapi
terlambat, sebab golok Lu Sin Kong sudah menempel di
punggungnya.
Di saat bersamaan, si Setan-Seng Ling pun bergerak cepat
sambil menjulurkan tangannya, dan menempel di punggung
Lu Sin Kong.
"Ha ha ha!" Lu Sin Kong tertawa gelak. "Bagus.. bagus
dua tukar satu! Setan Tua, kau yang rugi!"
Seng Ling mendengus. Wajahnya semakin menghijau tak
berperasaan.
"Lu Cong Piau Tau, jangan salah hitung! Dua tukar dua!"
sahutnya dingin.
Mendengar itu Lu Sin Kong dan Sebun It Nio mendadak
mulai merasa mual lagi, akibat tersambar oleh ilmu Pukulan
Mayat yang dilancarkan si Setan-Seng Ling tadi. Karena itu,
mereka berdua tahu kenapa Datuk Sesat mengatakan "Dua
tukar dua" Itu memang beralasan.
Sebun It Nio tertawa dingin.
"Setan Tua! Walau dua tukar dua, namun kau akan putus
turunan!"
181
Si Setan-Seng Ling juga tertawa dingin. "Sama-sama!"
Sahutan si Setan itu justru sungguh menggetarkan hati Lu
Sin Kong dan Sebun It Nio.
"Sama-sama" berani kalau si Setan-Seng Ling putus
turunan, mereka berdua pun putus turunan.
Itu pertanda si Setan-Seng Ling tahu tentang kejadian itu,
hal tersebut tentu saja amat mengejutkan Lu Sin Kong dan
Sebun It Nio.
-ooo0ooo-
Bab 8
Boleh dikatakan, selain mereka berdua, tiada orang lain
yang tahu akan kejadian itu, termasuk para piausu bawahan
Lu Sin Kong.
Tentunya, tidak hanya mereka berdua yang tahu. Si
pembunuhnya pun pasti tahu. Bagaimana si Setan tua itu
mengetahui akan kejadian tersebut.
Setelah hilang rasa terkejutnya, Sebun It Nio segera
bertanya.
"Bagaimana kau bisa tahu?"
Si Setan tua tertawa terkekeh-kekeh.
"Walau aku tinggal di Istana Setan, tapi apa yang terjadi di
kolong langit ini, aku tahu semua!"
182
Begitu teringat akan kematian anak kesayangan yang
mengenaskan, darahnya bergolak sehingga berteriak tanpa
terkendali.
"Setan Tua, kau juga ikut mengambil bagian?"
Si Setan-Seng Ling tertawa dingin. Namun ketika dia baru
mau berkata, mendadak terdengar suara kereta dari arah luar.
Sepertinya kereta itu menerobos ke dalam halaman, kalau
tidak, bagaimana mungkin suaranya terdengar begitu jelas.
Kemudian terdengar pula suara bentakan.
"Siapa berani mengacau di sini?"
Menyusul terdengar suara jeritan, lalu terdengar pula
suara gedebak-gedebuk seperti suara orang jatuh.
Itu sungguh membingungkan semua orang yang berada di
dalam ruangan. Mendadak terlihat beberapa orang berjalan ke
dalam.
Begitu melihat, tercenganglah Lu Sin Kong, karena orang
yang berjalan duluan, yang berpakaian mewah dan berdandan
sebagai pengurus rumah itu ternyata Ki Hok, yang setengah
bulan lalu menitip kotak kayu untuk diantar ke kota Su Cou.
Empat orang yang berjalan di belakangnya, berdandan
sebagai pembantu yang juga pernah bertemu di Lam Cong.
Setelah mereka berlima masuk ke dalam, tampak pula
beberapa anak buah si Setan-Seng Ling, termasuk si Hakim
Kiri.
183
Akan tetapi, orang-orang itu hanya mengambil sikap
mengurung, sama sekali tidak berani bertindak apa-apa.
Sementara Ki Hok memberi hormat kepada si Setan-Seng
Ling, kemudian berkata,
"Majikanku berada di dalam kereta. Apakah Tuan Seng
ingin bertemu?"
Berdasarkan dugaan Lu Sin Kong dan Sebun It Nio, saat
itu si Setan tua dalam keadaan marah besar. Sedangkan
kepandaian Ki Hok tidak begitu tinggi. Maka, asal si Setan itu
mengayunkan tangan, nyawa Ki Hok pasti melayang seketika.
Tapi urusan justru di luar dugaan. Seng Ling sama sekali
tidak turun tangan terhadap Ki Hok, hanya menyahut dengan
dingin.
"Kami sudah bertemu di Lam Cong, untuk apa bertemu
lagi?"
Ki Hok membungkukkan badannya sedikit sambil memberi
hormat.
"Tuan Seng boleh tidak bertemu, namun majikanku
berharap Tuan Seng menepati janji yang dicetuskan di Lam
Cong, yaitu tidak akan merebut barang kawalan Lu Cong Piau
Tau."
Wajah si Setan-Seng Ling yang menyerupai mayat, saat ini
justru berubah menjadi menyeramkan. Lama sekali, barulah
dia tertawa mendadak, kemudian dengan tiba-tiba menerjang
ke arah Ki Hok.
184
Ki Hok tetap berdiri tak bergeming sedikit pun. Mendadak
badan Seng Ling berputar, dan menerjang ke arah Sebun It
Nio.
Ketika Sebun It Nio menyadari apa yang telah terjadi, di
saat bersamaan terdengar pula suara "Trang" yang amat
nyaring.
Ternyata Seng Ling telah berhasil menyentil pedang Sebun
It Nio, bahkan bersamaan itu pula ia menotok jalan darah Sam
Kian Hiat di tangan Sebun It Nio. Di saat itu pula Seng Ling
menggerakkan kakinya untuk menendang Seng Cai, sekaligus
membuka jalan darahnya yang tertotok itu.
Beberapa gerakan itu dilakukan Seng Ling laksana kilat. Ia
menerjang, menyentil pedang, menotok jalan darah,
menendang Seng Cai dan membuka jalan darahnya yang
tertotok. Semua itu dilakukan Seng Ling dalam waktu sekejap.
Betapa gusarnya Sebun It Nio, namun juga merasa kagum
akan kepandaian si Setan-Seng Ling.
Setelah berhasil menyelamatkan Seng Cai, si Setan-Seng
Ling segera melayang ke arah Seng Bou.
Dan Tangannya telah memegang bahu Seng Bou.
"Lu Cong Piau Tau!" katanya dingin. "Apakah engkau ingin
mengadu Lweekang denganku?"
Ketika tangan si Setan-Seng Ling menyentuh bahu Seng
Bou, tangan Lu Sin Kong yang mencengkeram bahu kiri Seng
Bou merasa ada serangkum tenaga lunak menggetar
tangannya.
185
Lu Sin Kong tahu bahwa si Setan-Seng Ling telah berhasil
menguasai ilmu Pik San Tah Gu (Memukul Kerbau Di Seberang
Gunung).
Lu Sin Kong tertawa panjang. Setelah itu, dia melepas
cengkeramannya sekaligus meloncat ke belakang beberapa
depa.
Di saat bersamaan, si Setan-Seng Ling bersiul panjang lalu
mundur ke pintu lain. Seng Cai, Seng Bou dan lainnya juga
melesat ke arah pintu itu. Datang dan pergi laksana setan saja
"Datang tak dijemput Pulang tak diantar. Maka, walau di siang
hari, namun tetap membuat orang merinding karenanya.
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio, justru tidak habis pikir
mengenai si Setan-Seng Ling dan lainnya, yang sudah
meninggalkan Istana Setan Pak Bong San, namun malah
mundur lantaran ucapan Ki Hok. Ketika Lu Sin Kong berpaling
ingin bertanya sesuatu kepada orang tersebut, tapi di ruangan
itu sudah tidak tampak seorang pun. Ki Hok dan keempat
pembantu sudah tidak kelihatan.
Pada saat bersamaan, di luar terdengar suara kereta.
Mereka berdua segera melesat keluar. Tampak sebuah kereta
kuda mewah bergerak ke depan. Sebun It Nio cepat-cepat
berseru.
"Kereta yang di depan harap berhenti!" Kemudian ia
melesat ke arah kereta itu, diikuti Lu Sin Kong dari belakang.
Kereta itu berlari cepat sekali, tapi Sebun It Nio dan Lu Sin
Kong mengerahkan ginkang, maka dapat menyusul kereta
tersebut. Mendadak terdengar suara harpa yang amat nyaring
membuat hati tergetar.
186
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio tidak tahu dari mana
datangnya suara itu. Mereka tertegun, bahkan pikiran mereka
agak kacau. Seketika mereka tidak berani bergerak. Keduanya
memejamkan mata sambil menghimpun hawa murni untuk
melawan suara harpa itu.
Berselang beberapa saat, suara harpa itu mulai merendah.
Barulah mereka membuka mata. Namun apa yang mereka
saksikan? Ternyata jalan itu sepi-sepi saja, tidak tampak
bayangan kereta. Mereka berdua segera mencari ke sana ke
mari, tapi sama sekali tidak menemukan jejak kereta itu.
Akhirnya mereka berdua berhenti, Lu Sin Kong menghela
nafas panjang, kemudian bertanya,
"Hujin, apakah Liok Ci Siansing yang memetik harpa tadi?"
Air muka Sebun It Nio berubah tak menentu, lama sekali
barulah menyahut.
"Bagaimana mungkin Liok Ci Siansing memiliki Lweekang
setinggi itu?"
Sebun It Nio menyahut demikian, karena tadi mereka
berdua telah terpengaruh oleh suara harpa itu.
Begitu terpengaruh, mereka berdua merasa pusing dan
seakan kehilangan sukma. Suara harpa itu jauh lebih lihai dari
Kui Khau Sin Hau (Ilmu Ratapan Setan) milik Kui Sen-Seng
Ling.
Kedudukan Bu Yi San Liok Ci Siansing dalam rimba
persilatan memang tinggi sekali. Namun dengan hanya suara
harpa dapat mempengaruhi Lu Sin Kong dan Sebun It Nio
sampai begitu terpengaruh akibatnya sungguh sulit dipercaya!
187
Lu Sin Kong bertanya lagi.
"Sebetulnya siapa dia?"
Sebun It Nio menggeleng-gelengkan kepala. "Entahlah!"
Mereka berdua saling memandang, lalu tertawa getir, Lu
Sin Kong merogoh ke dalam bajunya, kotak kayu masih
tersimpan di sana.
Demi sebuah kotak kayu itu, mereka sepanjang jalan
entah sudah mengikat berapa banyak musuh tangguh. Sampai
di tempat, justru bertemu si Setan-Seng Ling, bahkan juga
tersambar oleh angin pukulan Im Si Ciang. Bagaimana
akibatnya, mereka berdua sama sekali tidak mengetahuinya,
mereha hanya bisa tersenyum getir saja.
Mereka berdua segera menghimpun hawa murni, untuk
menekan rasa mualnya. Setelah itu, barulah mereka berdua
meninggalkan jalan kecil tersebut.
Tak lama kemudian mereka tiba di jalan besar, Lu Sin
Kong bertanya kepada orang tentang alamat rumah Han Sun.
Mereka tak bertanya pada satu orang saja, tapi bertanya
kepada hampir puluhan orang yang berbeda, untuk
menghindari penipuan yang baru saja mereka alami.
Setelah melewati beberapa jalan, mereka akhirnya berhasil
mencari rumah tersebut.
Suasana di depan rumah itu tampak sepi. Lu Sin Kong
mengetuk pintu. Tak lama kemudian muncul seorang
pembantu tua. Begitu mendengar mereka ingin menemui Han
Sun, pembantu tua itu segera menggoyang-goyangkan
sepasang tangannya.
188
"Majikan kami belum lama ini tidak mau bertemu tamu
yang mana pun. Kalian berdua sia-sia ke mari!"
Usai berkata begitu, pembantu tua itu bersiap untuk
menutup pintu, namun Sebun It Nio segera mencegahnya.
"Tolong beritahukan kepada Han Thaihiap, bahwa kami
berdua datang dari Lam Cong, marga suamiku Lu! Seorang
bermarga Ki menitip suatu barang untuknya, dia pasti bersedia
menemui kami!"
Pembantu tua itu masih kurang percaya. Ia tampak
berpikir, sejenak kemudian barulah berkata.
"Harap kalian berdua menunggu di sini, aku akan ke dalam
melapor!"
Pembantu tua itu menutup pintu, lalu berjalan ke dalam.
Lu Sin Kong mengeluarkan suara "Hm", kemudian berkata,
"Kim Pian Han Sun agak keterlaluan!"
Sebun It Nio malah tertawa dingin.
"Sin Kong, sepanjang jalan kita telah mengalami berbagai
kejadian aneh. Mungkin urusan yang lebih aneh, justru belum
terjadi."
"Maksudmu?" tanya Lu Sin Kong.
"Lihatlah keadaan ini!" sahut Sebun It Nio. "Si Pecut Emas-
Han Sun jelas tidak tahu siapa akan mengantar barang
kepadanya, bukankah itu sungguh aneh sekali?"
189
Di saat Lu Sin Kong ingin membuka mulut, pintu itu
terbuka mendadak, yang muncul adalah pembantu tua tadi.
"Majikan kami bilang, kalian berdua datang dari Lam Cong
dan bermarga Lu, tentunya adalah pemimpin Thian Houw Piau
Kiok Lu Cong Piau Tau dan istrinya."
"Tidak salah," sahut Sebun It Nio cepat.
"Kata majikan kami, beliau amat kagum pada kalian
berdua. Beliau memang ingin bertemu, namun baru-baru ini
banyak urusan, maka terpaksa menolak tamu. Harap kalian
berdua maklum," kata pembantu tua.
Usai berkata begitu, pembantu tua itu memandang mereka
berdua, seakan menyuruh mereka berdua cepat pergi.
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio menarik nafas dingin.
Mereka berdua bersusah payah barulah sampai di tempat ini,
bahkan tersambar angin pukulan Im Si Ciang pula. Bagaimana
akibatnya mereka masih belum tahu. Kini sudah tiba di tempat
tujuan, malah memperoleh perlakuan begitu macam. Dapat
dibayangkan betapa gusarnya mereka berdua.
"Sungguh keterlaluan!" caci Lu Sin Kong.
Sebun It Nio segera berkata.
"Pak tua, kau tidak memberitahukan kepada Han Thaihiap,
bahwa kami membawa barang titipan dari orang bermarga Ki
untuk disampaikan kepadanya?"
Pembantu tua itu mengeluarkan suara "Hah", lalu
menepuk keningnya sendiri sambil tertawa.
190
"Kalau usia sudah tua, maka jadi pikun! Harap kalian
berdua tunggu sebentar!"
Pembantu tua itu menutup pintu lagi, kemudian berjalan
ke dalam.
Sebun It Nio memandang Lu Sin Kong lalu berkata.
"Bagaimana menurutmu?"
"Sungguh mengherankan. Sepanjang jalan sudah begitu
banyak orang tahu, tapi dia sendiri justru tidak tahu sama
sekali, itu amat membingungkan," sahut Lu Sin Kong.
Kening Sebun It Nio berkerut-kerut.
"Sebuah kotak kayu kosong, tapi golongan lurus dan sesat
ingin merebutnya. Bahkan Hui Yan Bun pun mengutus seorang
murid perempuan untuk merebutnya pula. Namun si pemilik
barang malah tidak tahu tentang itu. Lagipula kelihatannya,
orang bermarga Ki itu telah tiba di kota Su Cou duluan, tapi
kenapa harus kita yang ke mari?"
"Begitu kau menyinggung orang itu, aku pun merasa
curiga," kata Lu Sin Kong dan melanjutkan.
"Coba pikir, si Setan itu orang macam apa? Tapi si Ki Hok
hanya mengucapkan beberapa perkataan, Datuk Sesat itu pun
langsung berlalu. Coba katakan, orang bermarga Ki itu orang
macam apa?"
"Entahlah! Mungkinkah dia yang memetik harpa mencegah
kita mengejar kereta kuda itu?" sahut Sebun It Nio.
191
Ketika Lu Sin Kong baru mau membuka mulut, pintu itu
terbuka lagi, dan yang muncul tetap pembantu tua tadi.
"Majikan kami bilang, beliau tidak punya kawan bermarga
Ki, juga tidak akan ada suatu barang diantar ke mari. Kalian
berdua pasti sudah keliru."
Begitu mendengar itu, kemarahan Lu Sin Kong memuncak
sehingga langsung membentak.
"Sungguh keterlaluan, bagaimana mungkin kami keliru?"
Blaaak!
Lu Sin Kong menghantam pintu itu, membuat pembantu
tua itu terpental beberapa langkah. Pintu itu pun terbuka
lebar. Lu Sin Kong segera berjalan ke dalam.
"Han Thaihiap!" serunya. "Kami ke mari dari Lam Cong,
bahkan bersusah payah pula demi kau! Kenapa kau malah
tidak mau bertemu kami? Kami masih ada urusan lain, tidak
bisa menunggu terlalu lama!"
Suara Lu Sin Kong bergema ke dalam rumah. Kemudian
terdengar suara batuk-batuk dari dalam rumah itu, disusul
suara sahutan.
"Lu Cong Piau Tau datang dari tempat jauh, berdasarkan
aturan tentunya aku harus menyambut. Tapi belum lama ini,
aku mengalami sesuatu yang amat menyedihkan, maka tidak
mau bertemu tamu dari mana pun. Kalau benar ada suatu
barang untukku, harap serahkan saja kepada pembantu tua
itu!"
192
"Hm!" dengus Lu Sin Kong. "Han Thaihiap, apa yang kami
alami, mungkin lebih dari menyedihkan lagi! Sepanjang jalan
muncul Hui Yan Bun, Tai Ci Bun dan juga orang aneh dalam
rimba persilatan Kim Kut Lau, kemudian muncul pula si Setan
Seng Ling dari gunung Pak Bong San. Semuanya ingin
merebut barang itu, bagaimana mungkin dapat kuserahkan
kepada pembantu tuamu itu?"
"Oh?" Han Sun terkejut. "Sebetulnya barang apa itu?"
Sebun It Nio menyela dengan suara nyaring. "Kami justru
ingin bertanya padamu apa sebetulnya barang itu!"
"Harap kalian berdua tunggu sebentar, aku akan keluar
menemui kalian!" terdengar suara sahutan.
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio melangkah ke ruang besar.
Tak lama setelah mereka duduk, tampak seorang bertubuh
tinggi dan seorang pendek berjalan keluar.
Yang tinggi itu berwajah agak kuning, sepasang alisnya
bagaikan golok, berjenggot dan sepasang matanya agak sipit.
Sedangkan yang pendek adalah seorang gadis kecil yang
bermata besar. Begitu keluar sepasang bola matanya berputar
ke sana ke mari, Lalu berhenti ke arah Lu Sin Kong dan Sebun
It Nio.
Lelaki berusia pertengahan itu tersenyum getir.
"Sudah lama aku mendengar nama besar kalian berdua,
harap memaafkan aku yang berlaku kurang hormat!"
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio memandangnya. Walau
orang yang berbicara itu tampak tidak begitu bersemangat,
namun tetap tidak kehilangan sikap sebagai orang rimba
193
persilatan. Oleh karena itu, mereka berdua pun
membungkukkan badan sebagai penghormatan. Perlahanlahan
si Pecut Emas membelalakkan matanya, kelihatannya
seperti merasa terkejut.
"Tadi kalian berdua menyinggung si Setan Seng Ling,
apakah kalian bertarung dengannya?"
"Ketika kami tiba di Su Cou, kami bertemu para anak buah
Seng Ling yang menyamar sebagai dirimu. Tujuan mereka
ingin merebut barang itu. Kemudian barulah muncul si Setan-
Seng Ling."
Si Pecut Emas berpaling memandang anak gadis kecil itu
seraya berkata,
"Ah Shia, pergilah kau ke kamarku, ambilkan botol kristal!"
"Ayah," tanya anak gadis kecil itu. "Apakah botol kristal
yang berisi obat Kiu Coan Siau Hoan Tan itu?"
Han Sun mengangguk.
"Tidak salah." jawabnya.
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio saling memandang. Dalam
hati masing-masing berpikir, sungguh tak bernama kosong si
Pecut Emas-Han Sun! Obat Kiu Coan Siau Hoan Tan,
merupakan obat peninggalan orang aneh jaman dulu di dalam
sebuah goa di gunung Lo Fou San. Benda itu adalah suatu
benda pusaka dalam rimba persilatan. Kala itu gara-gara obat
tersebut, telah menimbulkan bencana dalam rimba persilatan
pula.
194
Setelah anak gadis kecil itu masuk ke dalam, barulah si
Pecut Emas-Han Sun berkata,
"Kalian berdua terkena racun aneh, itu tentu perbuatan si
Setan-Seng Ling...."
Suaranya amat perlahan. Di saat bersamaan anak gadis
kecil itu sudah datang lagi dengan membawa sebuah botol
kristal. Tampak di dalamnya ada dua butir obat berwarna
hijau, sebesar-besar biji kelereng.
Han Sun mengambil botol kristal itu seraya berkata.
"Untung aku masih punya dua butir obat Kiu Coan Siau
Hoan Tan ini. Kalian makanlah obat ini! Racun aneh yang
mengidap di dalam tubuh kalian pasti dapat dipunahkan."
Usai berkata begitu, Han Sun menyodorkan botol kristal itu
ke hadapan Lu Sin Kong.
Lu Sin Kong segera berkata.
"Kita baru bertemu muka, tapi Anda telah berbuat baik
pada kami, cara bagaimana kami membalasnya?"
Si Pecut Emas-Han Sun tersenyum getir.
"Kalian berdua amat terkenal. Sungguh menyesal kita agak
terlambat bertemu! Kalau soal membalas budi, itu tidak perlu
sama sekali."
Lu Sin Kong menerima botol kristal itu, lalu disimpan ke
dalam bajunya.
195
"Kami suami istri amat berterima kasih atas kebaikan
Anda."
Lu Sin Kong mengeluarkan sebuah kotak kayu, kemudian
diserahkan kepada si Pecut Emas-Han Sun.
Ketika dia mengeluarkan kotak kayu itu, dalam hatinya
merasa heran sekali, karena bentuk, ukuran dan besar kotak
itu tetap, namun beratnya bertambah.
Sudah dua kali Lu Sin Kong dan Sebun It Nio membuka
kotak itu, di dalamnya tidak terdapat apa pun.
Namun saat ini, kotak itu bertambah berat. Maka ia amat
heran, sehingga nyaris menarik kembali tangannya.
Akan tetapi, kotak kayu itu telah disodorkannya ke
hadapan Han Sun, lagipula ia merasa tidak enak membuka
kotak kayu itu di hadapan Han Sun.
"Hujin, tadi apa yang kau katakan di luar memang tidak
salah." katanya sambil memandang istrinya.
Maksud Lu Sin Kong, tadi istrinya mengatakan bahwa
urusan yang lebih aneh masih belum terjadi.
Sebun It Nio tahu akan maksud perkataan itu, hanya dia
tidak tahu Lu Sin Kong menunjukkan tentang apa.
Saat ini Sebun It Nio merasa tidak enak untuk bertanya,
maka diam saja. Sedangkan Lu Sin Kong masih memegang
kotak kayu tersebut.
Itu menyadarkan Sebun It Nio, yang aneh pasti kotak kayu
itu, namun tetap tak terpikirkan apa keanehannya.
196
Ketika mereka berdua dicekam rasa heran, si Pecut Emas-
Han Sun justru berkata.
"Apakah kotak kayu ini untukku?"
"Tidak salah," sahut Lu Sin Kong cepat.
Han Sun memperlihatkan wajah tidak mengerti.
"Walau pergaulanku cukup luas, namun aku tidak punya
kawan bermarga Ki. Kotak kayu ini telah menyebabkan begitu
banyak jago tangguh bermaksud merebutnya. Tentunya
benda yang di dalamnya pasti luar biasa sekali."
Sembari berkata dia menjulurkan tangannya untuk
menerima kotak kayu tersebut.
Sesungguhnya saat ini dalam hati Lu Sin Kong timbul rasa
keberatan menyerahkan kotak kayu itu, karena merasa kotak
kayu itu agak berat, maka ingin tahu barang apa yang ada di
dalam kotak kayu tersebut.
Seingatnya, dia hanya pernah mengeluarkan satu kali
kotak kayu itu di hadapan para anak buah si Setan-Seng Ling,
kemudian disimpannya ke dalam bajunya dengan hati-hati
sekali, tentunya tidak mungkin ditukar orang di tengah jalan.
Pecut Emas-Han Sun telah menjulurkan tangannya untuk
menerima kotak kayu itu, sudah barang tentu dia harus
menyerahkannya.
Setelah menerima kotak kayu itu, si Pecut Emas-Han Sun
segera merobek kertas segelnya, sekaligus membukanya.
197
Saat ini, Lu Sin Kong dan Sebun It Nio sudah duduk di
hadapan si Pecut Emas-Han Sun. Ketika dia membuka kotak
kayu itu, pandangan mereka berdua terhalangi oleh tutup
kotak.
Sesungguhnya mereka berdua ingin sekali melihat isi kotak
kayu itu, namun malah tidak dapat melihatnya.
Mereka hanya dapat melihat wajah si Pecut Emas-Han Sun
berubah hijau setelah melihat isi kotak kayu itu, sedangkan
anak gadis kecil itu mengeluarkan jeritan tak tertahan sambil
rnenyurut mundur beberapa langkah.
Tersentaklah hati Lu Sin Kong dan Sebun It Nio. Namun
mereka tidak tahu barang apa yang dilihat si Pecut Emas-Han
Sun dan gadis itu. Sementara wajah si Pecut Emas-Han Sun
masih tampak hijau. Dia menutup kotak kayu itu, lalu
menaruhnya di atas meja. Kemudian dia berpaling seraya
berkata,
"Ah Shia, ambilkan Pecut Emasku di kamarku!"
Anak gadis kecil itu mengangguk, lalu segera ke dalam,
tapi masih sempat melototi Lu Sin Kong dan Sebun It Nio.
Sungguh mengherankan, sepasang mata anak gadis kecil itu
penuh diliputi rasa dendam.
Mereka berdua terheran-heran. Sedangkan jari tangan Han
Sun terus mengelus-elus kotak kayu itu, dan tak beberapa
lama kemudian, air matanya meleleh deras.
Terkejutlah Lu Sin Kong.
"Han Thaihiap, kau...."
198
Si Pecut Emas-Han Sun mengibaskan tangannya, agar Lu
Sin Kong tidak melanjutkan ucapannya.
Tentunya amat mengherankan Lu Sin Kong. Dia segera
memandang Sebun It Nio yang langsung menggelengkan
kepala, pertanda dia pun tidak tahu apa-apa.
Seketika suasana di ruang itu berubah menjadi hening
mencekam, bahkan juga terasa akan terjadi sesuatu.
Tak Beberapa lama kemudian anak gadis kecil itu sudah
kembali ke ruang tersebut dengan membawa sebuah Pecut
Emas, yang kemudian ditaruhkannya di atas meja.
Pecut Emas itu bergemerlapan. Dapat diduga bahwa itu
merupakan Pecut Emas pusaka yang amat lembut pula.
Han Sun menjulurkan tangannya untuk menyambar Pecut
Emas itu. Kemudian dengan perlahan-lahan ia bangkit berdiri
dan sekaligus menanggalkan jubah panjangnya yang
kemudian ditaruh pada sandaran kursi. Setelah itu, dia
menuding Lu Sin Kong dan Sebun It Nio.
"Sudah lama kudengar ilmu golok Lu Cong Piau Tau amat
lihay, dan Lu Hujin memiliki ilmu pedang yang amat dahsyat,
maka aku ingin mohon petunjuk."
Ketika melihat Han Sun menyambar Pecut Emasnya, hati
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio merasa heran.
Kini Han Sun mencetuskan tantangan, itu membuat
mereka berdua semakin tercengang. Tadi Han Sun
menghadiahkan dua butir obat Kiu Coan Siau Hoan Tan,
namun saat ini malah menantang mereka bertarung.
Bukankah itu merupakan hal yang amat aneh?
199
Karena itu, Lu Sin Kong segera berkata.
"Han Thaihiap, kita baru bertemu, kenapa harus
bertarung?"
Si Pecut Emas-Han Sun mendongakkan kepalanya,
kemudian tertawa gila yang penuh mengandung rasa dendam
dan kesedihan.
"Kalian berdua masih tidak mau memberi petunjuk
padaku?"
Sebun It Nio segera menyahut.
"Kami dengan kau, sama sekali tidak punya permusuhan
apa-apa, kenapa harus bertarung?"
Si Pecut Emas-Han Sun tertawa dingin. Mendadak anak
gadis kecil itu berkata.
"Ayah, untuk apa masih omong kosong dengan mereka?
Cepatlah membalas dendam adik!"
Si Pecut Emas-Han Sun memekik gusar. "Ah Shia, betul
katamu!"
Usai berkata begitu, si Pecut Emas-Han Sun segera
menggerakkan Pecut Emasnya ke arah Lu Sin Kong.
Serrrt! Serrrt...! Terdengar suara aneh.
Pecut Emas itu meliuk-liuk indah mengarah Lu Sin Kong.
Gerakannya tampak lemah gemulai, namun amat cepat seperti
kilat.
200
Ketika mendengar ucapan anak gadis kecil itu menyuruh
ayahnya membalas dendam adiknya, Lu Sin Kong semakin
terheran-heran. Di saat bersamaan pecut itu telah mengarah
dirinya. Tiada kesempatan baginya untuk menjelaskan, cepatcepatlah
ia berkelit, Pecut Emas itu menyambar kursi yang
didudukinya tadi.
Sungguh mengherankan, sama sekali tidak ada suara,
namun kursi itu telah hancur berkeping-keping. Setelah
berkelit, Lu Sin Kong berseru cepat. "Han Thaihiap, harap
dengar perkataanku!"
Si Pecut Emas-Han Sun tertawa dingin. "Masih mau omong
apa?"
Serrt! Pecut Emas itu meliuk-liuk lagi ke arah Lu Sin Kong.
Saat ini, Sebun It Nio sudah tidak dapat bersabar lagi.
Tiba-tiba terdengar suara "Trang", ternyata wanita itu telah
menghunus pedangnya, dan langsung menyerang si Pecut
Emas dengan jurus Liu Sing Kan Goat (Meteor Mengejar
Bulan).
Serangan itu amat cepat dan mendadak, menyabet Pecut
Emas. Namun Pecut Emas itu tidak putus, seakan menyabet
benda yang amat lunak.
Di saat bersamaan, ujung Pecut Emas itu berputar
menyerang Sebun It Nio, sehingga wanita itu terpaksa
meloncat ke belakang.
"Han Thaihiap, ada apa silakan bicara! Kenapa harus
bertarung?" bentaknya sengit.
201
Wajah si Pecut Emas tampak berduka sekali. "Hm!"
dengusnya dingin. Namun ketika dia baru mau membuka
mulut, anak gadis kecil itu telah mendahuluinya.
"Ayah bisa bersabar, tapi aku tidak!"
Mendadak anak gadis kecil itu melesat ke hadapan Sebun
It Nio, lalu mengayunkan tangannya dan tampak tiga titik
cahaya meluncur keluar dari tangannya. Di saat bersamaan,
gadis itu bergerak lagi, tahu-tahu sudah muncul sebuah
senjata aneh di tangannya. Sebelum Sebun It Nio melihat
dengan jelas senjata itu, gadis tersebut telah melancarkan
serangan kilat ke arah dadanya.
Bukan main terkejutnya Sebun It Nio. Tanpa ayal lagi ia
bergerak cepat menghindari tiga buah senjata rahasia itu.
Akan tetapi, senjata yang di tangan anak gadis kecil itu
justru telah mengarah dadanya. Sulit bagi Sebun It Nio untuk
berkelit lagi, maka terpaksa harus menangkis senjata itu
dengan pedang nya.
Trang! Terdengar suara benturan senjata.
Anak gadis kecil itu termundur-mundur beberapa langkah,
namun Sebun lt Nio juga merasa genggamannya menjadi
ringan, ternyata pedangnya telah kutung.
Sebun It Nio tersentak hatinya dan segera memandang
anak gadis kecil itu. Yang disebut senjata aneh itu merupakan
sebuah rantai yang bergemerlapan, tapi pada ujungnya
terdapat sebuah gelang merah seperti darah.
Walau anak gadis kecil itu berdiri diam ditempat, namun
gelang itu masih terus berputar. Bagi kaum rimba persilatan
202
yang berpengetahuan, tentunya tahu senjata itu milik seorang
pendekar wanita, yang berjuluk Hwe Hong Sian Kouw. Senjata
aneh yang amat terkenal itu adalah Liat Hwe Soh Sim Lun
(Gelang Api).
Senjata aneh itu dibikin dari semacam baja murni, maka
tidak mengherankan kalau pedang Sebun It Nio kutung ketika
menangkis senjata aneh itu.
Anak gadis kecil itu memegang senjata Liat Hwe Soh Sim
Lun, tentunya punya hubungan erat dengan Hwe Hong Sian
Kouw. Itu membuat Sebun It Nio merasa gusar dan terkejut.
Sebun It Nio tergolong pendekar wanita yang amat
tersohor, namun Hwe Hong Sian Kouw justru merupakan
wanita yang amat luar biasa.
Sesungguhnya jejak Hwe Hong Sian Kouw muncul di Tiang
Kang dan daerah utara, sedangkan Sebun It Nio bertempat
tinggal di Hun Lam, maka kedua pendekar wanita itu tidak
pernah bertemu.
Namun beberapa tahun lalu, Sebun It Nio menerima
undangan dari seseorang untuk mengurusi suatu masalah.
Kebetulan pihak lain pun mengundang beberapa jago
tangguh, termasuk Hwe Hong Sian Kouw. Sifatnya juga
seperti api yang menyala, sedangkan Sebun It Nio juga
tergolong wanita yang tak sabaran. Begitu bertemu, kedua
pendekar wanita itu langsung bertarung.
Akan tetapi, tiga buah pedang Sebun It Nio justru kutung
oleh senjata aneh Liat Hwe Soh Sim Lun. Hwe Hong Sian
Kouw menyindirnya, sehingga membuat Sebun It Nio gusar
sekali, dan langsung pergi tanpa pamit.
203
Sebelum mereka berdua berpisah, masing-masing telah
mencetuskan suatu janji untuk bertarung lagi. Hal tersebut
diketahui oleh kaum rimba persilatan, maka kaum rimba
persilatan menasihati mereka agar tidak bertarung lagi.
Oleh karena itu, ketika mereka bertemu, tidak pernah
bertarung lagi, bahkan terpaksa berdamai pula. Walau hal itu
sudah berlalu cukup lama, namun hati Sebun It Nio tetap
terganjel, dan ganjelan itu tak pernah hilang.
Kini melihat senjata Liat Hwe Soh Sim Lun itu, ganjelan
dalam hatinya Sebun It Nio bergolak.
"Gadis kecil, senjatamu itu memang tajam! Tapi
Lweekangmu masih belum cukup tinggi untuk menggunakan
senjata itu!" katanya sambil tertawa dingin.
"Phui!" Anak gadis kecil itu meludah. "Begitu kau
menangkis, pedangmu sudah kutung, masih mau omong apa
lagi?"
Betapa gusarnya Sebun It Nio, namun ketika dia ingin
mengejar anak gadis kecil itu, cepat-cepat Lu Sin Kong
mencegahnya.
"Hujin harap tunggu!" serunya kemudian berpaling ke arah
si Pecut Emas, "Han Thaihiap, kenapa kalian ayah dan anak
bersikap demikian terhadap kami, harap dijelaskan!"
Si Pecut Emas-Han Sun mendengus. "Hm!"
Anak gadis kecil itu segera menyahut.
"Ayah, jangan percaya pada mereka! Mereka amat licik!"
204
Si Pecut Emas-Han Sun menatap putrinya sejenak,
kemudian memandang Lu Sin Kong seraya berkata.
"Dia tetap seorang anak kecil, kenapa kalian berdua tega
mencelakainya?"
Lu Sin Kong tercengang.
"Kok Han Thaihiap berkata begitu? Kapan kami pernah
bertemu anakmu?"
"Kalian berdua tidak perlu menyangkal, lebih baik kita
bertarung saja!" sahut si Pecut Emas-Han Sun.
Plak! Lu Sin Kong menaruh goloknya di atas meja lalu
berkata,
"Han Thaihiap, perkataanmu agak kelewat batas. Kita dulu
walau tidak pernah bertemu, namun sudah mendengar nama
masing-masing. Tadi ketika kita bertemu, kau langsung
menghadiahkanku Kiu Coan Siau Hoan Tan, aku amat
berterima kasih. Lalu bagaimana mungkin kami mencelakai
putramu? Itu pasti salah paham, maka aku tidak akan
bertarung denganmu."
Si Pecut Emas-Han Sun terus memandang Lu Sin Kong.
Sedangkan Lu Sin Kong berdiri dengan tangan kosong di
tempat. Goloknya tergeletak di atas meja, pertanda dia
memang tidak mau bertarung.
Beberapa saat kemudian si Pecut Emas-Han Sun menghela
nafas panjang, dan anak gadis kecil itu segera berkata.
"Apakah hati Ayah tersentuh oleh ucapannya?"
205
Si Pecut Emas-Han Sun melotot.
"Ah Shia, jangan banyak bicara!"
Kening anak gadis kecil itu berkerut, di wajahnya tersirat
kegusaran.
"Kalau Ayah tidak mau membalas dendam adik, biar aku
yang membalaskan dendamnya!"
Si Pecut Emas-Han Sun menatap putrinya dengan kening
berkerut-kerut.
"Bagaimana kau tahu ayah tidak mau membalaskan
dendam adikmu?"
Anak gadis kecil itu menggerakkan senjatanya, sehingga
gelang yang di ujung, senjata itu langsung berputar-putar.
"Kalau begitu, tidak seharusnya Ayah mendengar
perkataan mereka!"
Sungguh keras hati anak gadis kecil itu! Ia terus menuduh
Lu Sin Kong adalah pembunuh adiknya, dan itu membuat Lu
Sin Kong gusar dalam hati. Namun berdasarkan
kedudukannya, tentunya dia tidak mau bertengkar dengan
anak gadis kecil itu, maka dia menekan hawa kegusarannya
seraya berkata,
"Nona kecil, kenapa kau begitu tidak sabaran? Tunggu
kami dengan ayahmu menjernihkan urusan ini!"
Anak gadis kecil itu membanting kaki.
206
"Ayah, kalau guru berada di sini, dendam adikku pasti
terbalas!"
Sebun It Nio tertawa dingin.
"Kalau begitu, cepatlah kau undang gurumu kemari!"
Wajah gadis remaja itu memerah.
"Baik, kalian jangan pergi!" ujarnya lalu melesat keluar.
"Ah Shia! Ah Shia!" seru si Pecut Emas-Han Sun.
Namun gadis remaja itu sudah tidak kelihatan, maka si
Pecut Emas-Han Sun mengibaskan tangannya.
"Kalian berdua pergilah! Tadi saking sedihnya aku
menganggap kalian berdua adalah musuh! Setelah kupikir
secara seksama, justru tiada alasan menuduh kalian. Ah Shia
merupakan gadis yang tidak sabaran. Gurunya adalah Hwe
Hong Sian Kouw, yang sifatnya lebih tidak karuan. Kalau
gurunya ke mari, urusan pasti bertambah rumit."
Hati Sebun It Nio tergerak.
"Apakah Hwe Hong Sian Kouw berada di sini?"
"Demi mengajar Ah Shia ilmu silat, maka dia tinggal di
puncak menara Hou Yok."
"Kalaupun dia ke mari, apakah dia juga akan menuduh
kami sebagai pembunuh putramu?" tanya Sebun It Nio.
Tiba-tiba Lu Sin Kong menyela.
207
"Sebelum urusan ini dijernihkan, kami tidak akan pergi.
Boleh bertanya kapan putramu binasa, dan kenapa kami pula
yang menjadi tertuduh?"
Si Pecut Emas-Han Sun menghela nafas, lalu duduk
kembali sekaligus mendorong kotak kayu seraya menyahut.
"Kalian lihat sendiri saja!"
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio saling memandang.
Kecurigaan mereka timbul seketika. Perlahan-lahan Sebun It
Nio membuka kotak kayu itu. Mereka terkejut setelah melihat
ke dalam kotak kayu itu.
Ternyata kotak kayu itu berisi... sebuah kepala manusia
yang masih tampak seperti hidup, bahkan agak mirip Han Sun,
yang berusia kira-kira sebelas tahun. Yang paling mengejutkan
adalah sebuah bendera kecil menancap di kepala itu, dan
bendera kecil itu merupakan tanda pengenal Thian Hou Piau
Ki (Bendera Harimau Langit).
Sebun It Nio segera menutup kotak kayu itu. Mereka
berdua membungkam seperti orang bisu. Tiba-tiba terdengar
Han Sun berkata,
"Tentunya kalian berdua sudah mengerti, kenapa tadi aku
mau bertarung dengan kalian berdua."
"Memang Anda tidak dapat dipersalahkan," sahut Sebun It
Nio. "Tapi kami justru tidak pernah bertemu putra Anda itu."
Saat ini, pikiran Sebun It Nio menjadi kacau balau.
Di dalam kotak kayu itu, mendadak berisi sebuah kepala
manusia, bahkan kepala putra si Pecut Emas-Han Sun.
208
Dapat diketahui bahwa Ki Hok menitipkan kotak kayu itu
telah disertai dengan suatu rencana. Akan tetapi, bagaimana
mungkin kepala manusia itu menimbulkan begitu banyak jago
tangguh untuk merebutnya?
Hati Sebun It Nio semakin dikacaukan oleh teka-teki itu,
sehingga membuatnya tidak dapat berpikir sama sekali.
-ooo0ooo-
Bab 9
Begitu pula hati Lu Sin Kong. Setelah berpikir sejenak
barulah dia berkata dengan perlahan-lahan.
"Pasti ada orang tertentu menghendaki kita bermusuhan.
Karena itu dengan rencana ini menjebak diri kami. Entah
kapan putramu dicelakai orang?"
Si Pecut Emas-Han Sun menghela nafas panjang dan
menyahut.
"Kira-kira setengah bulan yang lalu, putra bungsuku
mendadak hilang. Aku telah mencarinya ke sana ke mari,
namun sama sekali tiada kabar beritanya. Tiga hari kemudian,
tiba-tiba muncul seseorang mengantar surat ke mari, yang
isinya menyatakan bahwa putraku telah dicelakai. Agak ganjil
datangnya surat itu, maka dalam hati aku sudah tahu adanya
gelagat ketidak beresan. Namun justru sama sekali aku tidak
tahu siapa musuh tersebut. Oleh karena itu aku tidak mau
menemui tamu dari mana pun. Ketika kalian berdua datang,
aku pun tidak mau bertemu, siapa langka putraku betul-betul
telah dicelakai orang. Aaaah! Sebelum menghembuskan nafas
penghabisannya, istriku telah berpesan agar aku baik-baik
209
menjaga kedua anak itu. Namun tidak disangka anak Hou
justru telah binasa!"
Berkata sampai di situ, mendadak si Pecut Emas-Han Sun
memukul meja, sehingga menimbulkan suara "brak" dan meja
itu pun berlobang.
Ketika mendengar penuturan itu, Sebun It Nio teringat
akan putra kesayangannya yang juga dicelakai orang. Maka,
air matanya pun tak terbendung lagi langsung meleleh.
"Han Thaihiap, kami berdua pun mengalami musibah yang
sama seperti...." Ucapannya terputus, karena mendadak
Sebun It Nio teringat sesuatu dan bertanya cepat, "Han
Thaihiap, apakah mayat putramu telah ditemukan?"
Lu Sin Kong memandang istrinya. Kelihatannya dia agak
menyesali istrinya yang mengajukan pertanyaan tersebut
dalam keadaan begini, namun Sebun It Nio sama sekali tidak
menghiraukannya.
Si Pecut Emas-Han Sun menghela nafas.
"Hingga saat ini, barulah kuketahui dia sudah binasa.
Tentunya belum menemukan mayatnya." sahutnya.
Kini Lu Sin Kong sudah mengerti, kenapa istrinya
mengajukan pertanyaan tersebut.
"Hujin, maksudmu mayat yang di gudang batu di bawah
tanah itu putra Han Sun?"
Sebelum Sebun It Nio menyahut, si Pecut Emas-Han Sun
sudah bercuriga.
210
"Lu Cong Piau Tau, apa katamu?"
Lu Sin Kong segera menjawab.
"Ketika kami menerima titipan kotak kayu ini, justru terjadi
berbagai macam urusan aneh."
Lu Sin Kong menutur tentang kejadian di dalam gudang
batu di bawah tanah, juga mengenai mayat anak tanpa
kepala.
Makin mendengar penuturan itu, wajah si Pecut Emas-Han
Sun makin tak sedap dipandang.
Usai Lu Sin Kong menutur, si Pecut Emas-Han Sun
membentak bertanya dengan sengit.
"Lu Cong Piau Tau, maksudmu hanya kalian berdua yang
dapat membuka pintu gudang batu itu?"
Lu Sin Kong menutur sejujurnya, sebab dia merasa tak
bersalah sama sekali dalam hal tersebut. Namun tak dinyana
malah menimbulkan kecurigaan si Pecut Emas-Han Sun.
"Benar." Lu Sin Kong mengangguk. "Memang hanya kami
berdua yang dapat membuka gudang batu itu."
Si Pecut Emas-Han Sun tertawa gila, kemudian berkata.
"Tadi aku mengira salah tuduh, tak tahunya memang
kalian berdua yang mencelakai putraku!"
"Kenapa Han Tayhiap berkata demikian?" Lu Sin Kong
mengerutkan kening.
211
Si Pecut Emas-Han Sun menyahut dengan sengit.
"Kalau bukan kalian berdua yang mencelakai putraku,
bagaimana mungkin mayat putraku berada di dalam gudang
batu itu?"
"Han Thaihiap, itu adalah mayat putraku, Lu Leng."
Si Pecut Emas-Han Sun tertawa aneh.
"Kau tidak perlu mengemukakan alasan itu! Putra kalian
itu pasti bersembunyi di suatu tempat! Setelah itu, kalian ke
mari untuk menipuku dengan cerita bohong!"
Hingga saat ini dan setelah berpikir lebih teliti, barulah Lu
Sin Kong dan Sebun It Nio menyadari, bahwa orang yang
menjebak mereka itu sungguh licik dan lihay. Sesudah
menutur tentang kejadian di dalam gudang batu, mereka
berdua malah menjadi tertuduh berat.
Itu membuat Lu Sin Kong tertegun, lama sekali barulah
berkata.
"Han Thaihiap, kami berdua tiada permusuhan apa pun
denganmu. Lalu bagaimana mungkin kami mencelakai
putramu? Terus terang, hingga saat ini kami masih mencurigai
Bu Yi Liok Ci Siansing sebagai pembunuh putra kami. Setelah
urusan di sini beres, kami pun telah mengambil keputusan
untuk berangkat ke Go Bi dan Tiam Cong, guna mengundang
beberapa jago tangguh ke puncak Sian Jin Hong di gunung Bu
Yi San untuk membalas dendam!"
Baru usai berkata, mendadak terdengar suara "Blam",
kemudian tampak seseorang menerjang ke dalam bagaikan
212
angin puyuh. Begitu sampai di dalam, orang itu langsung
membentak,
"Han Sun, kau tidak mau membalas dendam kematian
putramu?"
Ketiga orang itu segera memandang, ternyata yang
menerjang ke dalam itu adalah seorang wanita tua berpakaian
serba merah, wajahnya penuh diliputi kegusaran.
Mereka bertiga mengenali wanita tua itu yang tidak lain
adalah Hwe Hong Sian Kouw. Tak lama gadis remaja itu pun
sudah sampai di situ.
Si Pecut Emas-Han Sun segera bangkit berdiri.
"Hwe Hong Sian Kouw, harap bersabar dulu! Dendam
kematian putraku memang harus dibalas. Namun kini mereka
berdua tetap menyangkal."
Hwe Hong Sian Kouw tertawa dingin.
"Tentunya mereka berdua tidak mau mengaku."
Sebun It Nio juga tertawa dingin.
"Kalau benar itu adalah perbuatan kami, kenapa kami
tidak mengaku? Apakah kami takut padamu?"
Hwe Hong Sian Kouw bersiul panjang, kemudian
mendadak badannya bergerak. Ternyata dia telah
melancarkan sebuah pukulan ke arah Sebun It Nio.
213
Sebun It Nio juga bergerak cepat menangkis pukulan itu,
maka terdengar suara "Blam". Mereka berdua termundur tiga
langkah, dan lantai yang mereka injak pun sudah hancur.
Begitu melihat mereka berdua sudah mulai bertarung, Lu
Sin Kong memandang ke sana ke mari. Di dalam ruang itu
terdapat empat orang, yang rata-rata berkepandaian tinggi.
Lagipula Hwe Hong Sian Kow adalah mantan anggota Hui Yan
Bun. Walau sudah secara resmi mengundurkan diri dari Hui
Yan Bun. Namun hubungannya masih tetap baik dengan para
jago tangguh di Hui Yan Bun. Sedangkan si Pecut Etnas-Han
Sun amat luas pula pergaulannya.
Apabila keempat orang itu bermusuhan, entah berapa
banyak jago tangguh dalam rimba persilatan akan terseret ke
dalamnya.
Sedangkan Lu Sin Kong dan Sebun It Nio masih harus
berangkat ke gunung Bu Yi San mencari Liok Ci Siansing untuk
membuat perhitungan. Selain itu masih ada si Setan-Seng
Ling, Kim Kut Lau dan lainnya, tentunya mereka tidak akan
menyudahi urusan itu begitu saja.
Itu boleh dikatakan, seandainya urusan terus berlanjut,
pasti akan menimbulkan bencana dalam rimba persilatan,
bahkan akan terjadi banjir darah.
Dalam hati Lu Sin Kong, justru muncul suatu bayangan.
Oleh karena itu, segeralah dia membentak.
"Berhenti!"
Hwe Hong Sian Kouw tertawa dingin. "Kenapa harus
berhenti?"
214
Lu Sin Kong tertegun lama sekali, kemudian barulah
menyahut.
"Kami berdua memang tidak mencelakai putra Han Sun,
apakah kalian tidak percaya?"
Gadis remaja itu dan Hwe Hong Sian Kouw menjawab
hampir serentak.
"Tentunya tidak percaya!"
"Kalau benar kami yang mencelakai putra Han Sun, untuk
apa kami masih mengantar kepala itu ke mari? Bukankah
bodoh sekali?" kata Lu Sin Kong.
Apa yang dikatakan Lu Sin Kong memang masuk akal, dan
membuktikan bahwa diri mereka tidak bersalah sama sekali.
Namun Hwe Hong Sian Kouw justru salah tanggap.
"Bagus! Bagus! Kalian berdua mencelakai orang, apakah
tiada seorang pun mengetahuinya? Huh! Tidak gampang
kalian berdua membohongi kami!"
"Tidak salah!" sambung gadis remaja itu. "Kemungkinan
besar mereka berdua ke mari, berniat membunuhku dan
Ayah!"
"Itu memang mungkin!" sahut Hwe Hong Sian Kouw. "Tapi
mereka berdua tahu aku berada di sini, maka tidak berani
turun tangan, hanya mencari alasan untuk mengundurkan diri
saja!"
Mereka berdua guru dan murid saling menyahut, namun
Lu Sin Kong tetap bersabar. Apabila dia tidak dapat menekan
215
hawa amarahnya, niscaya keadaan akan bertambah kacau dan
sulit teratasi lagi.
Sebaliknya Sebun It Nio sudah tidak dapat bersabar,
sehingga langsung mencaci.
"Kentut! Siapa takut padamu?"
"Oh, ya?" Hwe Hong Sian Kouw tertawa sinis.
"Tentu! Tiga tahun yang lalu tiga buah pedangmu kutung,
apakah kau sudah lupa?"
Selama ini, urusan tersebut masih terganjel dalam hati
Sebun It Nio, karena merupakan penghinaan bagi dirinya. Kini
Hwe Hong Sian Kouw mengungkitnya lagi, tentunya
membangkitkan amarahnya sampai meluap-luap.
Di saat itulah mendadak gadis remaja itu menambahkan,
"Guru, ditambah hari ini berarti empat buah pedang sudah
kutung!"
Tambahan itu bagaikan api tersiram minyak, maka
seketika meledaklah amarah Sebun It Nio. Dia bersiul panjang
sekaligus menggerakkan pedangnya yang sudah kutung itu.
Pedang itu berkelebatan membentuk beberapa kuntum bunga
menyerang Hwe Hong Sian Kouw.
Hwe Hong Sian Kouw tertawa, lalu berkelit.
Namun jurus Thian Lo Te Bong (Jebakan Langit Dan Bumi)
yang digunakan Sebun It Nio itu merupakan jurus andalan
yang amat lihay dan dahsyat. Begitu dikeluarkan, jurus itu
menutup empat penjuru.
216
Walau kini hanya menggunakan pedang buntung, tapi
kedahsyatan dan kelihayan jurus tersebut tidak berkurang
sedikit pun.
Hwe Hong Sian Kouw bertangan kosong, maka walau gesit
gerakannya dan lihay ilmu pukulannya, tapi kewalahan juga
menghadapi jurus itu. "Breet", lengan bajunya telah tersabet
hingga kutung.
Seketika juga Hwe Hong Sian Kouw meloncat ke belakang
sambil berseru.
"Ah Shia, cepat berikan Liat Hwe Soh Sim Lun padaku!"
Ah Shia cepat-cepat menyerahkan senjata itu kepada Hwe
Hong Sian Kouw.
Sebun It Nio justru tertawa dingin.
"Biarpun kau menggunakan senjata itu aku tidak akan
takut!"
Ucapan Sebun It Nio membuat air muka Hwe Hong Sian
Kouw berubah.
"Beranikah kau mengadu Lweekang denganku?"
tantangnya.
Sebun It Nio mengibaskan tangannya. Pedang kutung itu
melayang ke atas lalu menancap pada langit-langit ruang
tersebut.
"Kenapa tidak berani?"
217
Hwe Hong Sian Kouw mengembalikan Liat Hwe Soh Sim
Lun kepada gadis remaja itu.
Mereka berdua maju dua langkah, kemudian terdengar
suara "Plak", ternyata telapak tangan mereka telah menempel
menjadi satu. Beberapa tahun yang lalu, mereka berdua
memang pernah bertarung dengan senjata. Hwe Hong Sian
Kouw memperoleh kemenangan karena menggunakan Liat
Hwe Soh Sim Lun. Mengenai Lweekang mereka sudah pasti
sama.
Urusan itu telah lewat beberapa tahun, namun keadaan
mereka berdua tetap seperti dulu. Yang satu bersifat seperti
api menyala, dan yang satu lagi bersifat berangasan.
Sebun It Nio memang sengaja mencetuskan kata-kata
tajam dan pedas, agar Hwe Hong Sian Kouw tidak
menggunakan senjata aneh itu, kemudian mereka akan
mengadu ilmu pukulan atau Lweekang. Kini mereka berdua
sudah mulai mengadu Lweekang. Itu sungguh membahayakan
diri mereka, sebab akhirnya mereka berdua pasti akan samasama
terluka.
Menyaksikan itu, Lu Sin Kong berpaling untuk memandang
si Pecut Emas-Han Sun seraya berkata.
"Han Thaihiap, pernahkah kau berpikir bahwa urusan di
antara kita berdua justru ada orang lain yang
merencanakannya?"
Si Pecut Emas-Han Sun adalah orang yang berpikiran luas
dan jauh, maka hatinya tergerak ketika mendengar ucapan Lu
Sin Kong.
Setelah berpikir sejenak, barulah ia berkata.
218
"Lu Cong Piau Tau, apa yang kau katakan memang tidak
salah."
Legalah hati Lu Sin Kong mendengar ucapan itu.
"Han Thaihiap, aku kagum sekali atas pikiranmu yang
amat luas. Pada dasarnya di antara kita sama sekali tidak
terdapat permusuhan apa pun. Hanya saja diperalat orang,
sehingga membuat kita salah paham. Kini mereka berdua
mati-matian mengadu Lweekang. Bagaimana kalau kita
berdua melancarkan sebuah pukulan untuk memisahkan
mereka?"
"Baik, tapi...." Sebetulnya si Pecut Emas-Han Sun ingin
mengatakan tentang sifat Hwe Hong Sian Kouw, lagipula
wanita tua itu telah menganggap Lu Sin Kong dan Sebun It
Nio sebagai pembunuh, maka sulit sekali menjernihkannya. Di
saat bersamaan, terdengarlah suara jeritan.
Lu Sin Kong tersentak dan segera menoleh. Tampak
Sebun It Nio terpental ke belakang tujuh delapan langkah.
Wajah pucat pias dan mulutnya mengeluarkan darah,
pertanda dia terluka dalam yang cukup parah.
Hwe Hong Sian Kouw tertawa sambil melangkah maju.
Rupanya dia ingin menghantam Sebun It Nio dengan pukulan
dahsyat.
Menyaksikan itu, cemaslah hati Lu Sin Kong. Maka dia
membentak keras sekaligus menyambar goloknya yang ada di
atas meja, kemudian mengeluarkan jurus Lo Cia Noh Hai (Lo
Cia Mengacau Laut), goloknya berkelebatan mengarah Hwe
Hong Sian Kouw.
219
Hwe Hong Sian Kouw cepat-cepat berkelit, tapi tetap
terlambat sedikit, sehingga bahunya tersabet oleh golok itu,
dan darah segarnya mengucur seketika.
Hwe Hong Sian Kouw membentak gusar. "Ingin
mengeroyok aku?"
Sebetulnya Lu Sin Kong sama sekali tidak mengerti,
bagaimana Sebun It Nio begitu gampang roboh. Dia segera
mendekatinya.
Terdengar Sebun It Nio mengeluarkan suara lemah.
"Sin Kong, kita... kita puluhan tahun menjadi suami istri,
akan berakhir sampai di sini."
Hati Lu Sin Kong seperti tersayat mendengar ucapan itu.
"Hujin, kenapa kau berkata begitu?" tanyanya.
Sebun It Nio tersenyum getir.
"Aku terkena pukulan Im Si Ciang dari si Setan-Seng Ling.
Di saat mengadu Lweekang, racun itu pun menjalar sehingga
membuat hawa murniku menjadi buyar, maka... aku terluka
parah."
"Hujin, kita punya Kiu Coan Siau Hoan Tan, maka separah
apa pun lukamu, tidak jadi masalah," kata Lu Sin Kong.
Wajah Sebun It Nio berubah gusar.
"Sin Kong, itu adalah obat kepunyaan musuh, bagaimana
mungkin kita memakannya?" bentaknya. Usai berkata begitu,
220
mulut Sebun It Nio mengeluarkan darah lagi, dan nafasnya
bertambah lemah. "Sin Kong, kau harus ingat! Kalau.... Leng Ji
(Anak Leng) belum mati, suruhlah membalaskan dendamku.
Musuh kita adalah si Setan-Seng Ling... dan beberapa orang
ini...."
"Hujin...." Lu Sin Kong baru memanggilnya, namun Sebun
It Nio langsung memutuskan.
"Apabila Leng Ji telah binasa, mengenai... dendam ini
bergantung padamu." Suara Sebun It Nio bertambah lemah.
"Kau... kau harus minta bantuan kepada pihak.... Go Bi Pai
untuk membalas dendam terhadap.... Bu Yi Liok Ci Siansing, si
Pecut Emas Han Sun, Hwe Hong Sian Kouw, gadis remaja itu
dan si Setan-Seng Ling... tidak boleh tersisa satu pun."
Suara Sebun It Nio yang makin lemah itu membuat si
Pecut Emas-Han Sun menjadi cemas sekali.
"Cepat cekoki dia dua butir Kiu Coan Siau Hoan Tan itu!"
Namun Lu Sin Kong sama sekali tidak mendengar suara
seruan si Pecut Emas-Han Sun, dia hanya berdiri termangumangu
di tempat bagaikan patung. Tiba-tiba terdengar suara
"Trang", ternyata golok itu terlepas dari tangannya, tapi dia
tetap berdiri mematung di tempat.
Si Pecut Emas-Han Sun tertegun, kemudian memandang
Sebun It Nio. Sepasang mata wanita itu mendelik dan
sepasang bola matanya redup tak bercahaya. Itu
membuktikan bahwa Sebun It Nio telah mati.
Begitu melihat Sebun It Nio telah mati, hati si Pecut Emas-
Han Sun tercekat. Urusan itu masih belum jelas, kini Sebun It
Nio malah telah mati. Tentunya urusan tersebut tidak akan
221
dapat diselesaikan secara damai, pasti harus diselesaikan
dengan genangan darah.
Saat ini, Hwe Hong Sian Kouw dan gadis remaja itu
berdiam diri. Di ruang itu hanya terdengar suara desah nafas
berat dari Lu Sin Kong.
Walau Lu Sin Kong berdiri mematung, tapi di telinganya
terus mendengung ucapan Sebun It Nio. "Sin Kong, kau harus
ingat! Kalau Leng Ji belum mati, suruhlah membalaskan
dendannku. Musuh kita adalah si Setan-Seng Ling dan
beberapa orang ini. Apabila Leng Ji telah binasa, rnengenai
dendam ini bergantung padamu. Kau harus minta bantuan
kepada pihak Go Bi Pai untuk membalas dendam terhadap Bu
Yi Liok Ci Siansing, si Pecut Emas-Han Sun, Hwe Hong Sian
Kouw, gadiis remaja itu dan si Setan-Seng Ling, tidak boleh
tersisa satu pun."
Suara itu terus berdengung di dalam telinga Lu Sin Kong,
sehingga membuat kepalanya terasa mau pecah. Kini suara
yang mendengung itu berubah menjadi satu ucapan.
"Balas dendam!" "Balas dendam!"
"Tidak boleh tersisa satu pun!" "Tidak boleh tersisa satu
pun!"
Mendadak Lu Sin Kong membalikkan badannya. Sepasang
matanya tampak membara, dan itu mengejutkan Han Sun
yang bermaksud menglhiburnya sampai menyurut mundur dua
langkah.
Saat ini dalam hati Lu Sin Kong, menyerupai selembar
kertas putih yang terdapat tulisan darah "Balas Dendam"!
Badannya bergoyang seperti dalam keadaan mabuk.
222
Mendadak dia maju selangkah, matanya menatap tajam pada
si Pecut Emas-Han Sun.
Sedangkan si Pecut Emas- Han Sun tahu bagaimana
perasaan Lu Sin Kong saat ini. Percuma menghiburnya, tapi
dia juga tidak bisa tinggal diam.
Si Pecut Emas-Han Sun" tersenyum getir.
"Lu Cong Piau Tau, aku pun percaya yang mencelakai
putraku bukan kau, kita pasti terjebak ke dalam rencana
orang."
Lu Sin Kong tertegun mendengar ucapan itu. Setelah si
Pecut Emas-Han Sun usai berkata, mendadak dia tertawa gila.
Suara tawa itu amat mengejutkan, membuat wajah orang
lain langsung berubah.
Tak larna, suara tawa itu berubah seperti suara tangisan,
sehingga membuat Hwe Hong Sian Kouw dan gadis remaja
yang menuduhnya sebagai pembunuh, saat ini ikut tertegun.
Ketika Lu Sin Kong mulai tertawa gila, badannya tetap
berdiri mematung di tempat. Di saat dia mulai mengeluarkan
suara tangisan, sepasang tangannya ikut bergerak, kemudian
membentak keras sambil menerjang ke "arah si Pecut Emas-
Han Sun.
Sikap Lu Sin Kong tadi telah menimbulkan kecurigaan
dalam hati si Pecut Emas-Han Sun, maka dari tadi dia sudah
bersiap-siap. Di saat Lu Sin Kong menerjang ke arahnya, dia
cepat-cepat meloncat ke samping.
223
Lu Sin Kong memang sudah seperti gila. Terjangannya
membuat kakinya tidak bisa berhenti, maka ia menubruk
sebuah kursi yang ada di hadapannya.
Casss! Sepuluh jarinya menusuk ke dalam kursi itu,
kemudian dia pun memeluk kursi itu erat-erat.
Padahal sesungguhnya Lu Sin Kong berkepandaian amat
tinggi, namun saat ini dia sangat berduka, sehingga
menyebabkan hilang kesadarannya. Lagipula dia pun telah
lupa, bahwa dirinya terkena hawa racun pukulan lm Si Ciang.
Karena kelewat batas mengerahkan Lweekangnya, maka
racun tersebut mulai menjalar mempengaruhi kesadarannya,
sehingga membuatnya seperti orang gila.
Braaak! Kursi itu hancur berkeping-keping.
Lu Sin Kong tertawa gelak, kemudian mendadak menubruk
sebuah pilar.
Buuk!
Lalu memeluk pilar itu erat-erat sambil berteriak-teriak
gusar, sepertinya pilar itu adalah musuh besarnya.
Si Pecut Emas-Han Sun dan Hwe Hong Sian Kouw saling
memandang, kemudian si Pecut Emas-Han Sun berkata.
"Sian Kouw, kalau terus begitu nyawa Lu Cong Piau Tau
pasti melayang. Biar bagaimanapun kita harus
menyelamatkannya."
Walau Hwe Hong Sian Kouw bersifat galak dan pemarah,
namun tidak berhati jahat. Lagipula dia tergolong pendekar
wanita tingkatan tua yang amat terkenal. Sedangkan reputasi
224
Lu Sin Kong dalam rimba persilatan amat baik dan harum,
bahkan juga murid Go Bi Pai yang tidak menyucikan diri.
Setelah Sebun It Nio binasa, urusan yang telah membesar itu
tidak boleh dibiarkan bertambah besar lagi.
Oleh karena itu, Hwe Hong Sian Kouw manggut-manggut.
"Tidak salah." katanya.
Mereka berdua maju serentak, kemudian Hwe Hong Sian
Kouw menjulurkan tangannya ingin menotok jalan darah Hu
Keng Hiat Lu Sin Kong.
Tapi mendadak berkelebat sosok bayangan ke hadapan
Hwe Hong Sian Kouw, ternyata adalah gadis remaja itu.
"Guru!" panggilnya.
Hwe Hong Sian Kouw segera menarik kembali tangannya
dan tanyanya.
"Ah Shia, kau mau mengatakan apa?"
Wajah gadis remaja itu tampak serius.
"Guru, Ayah! Kalau kalian menyelamatkannya, sebaliknya
dia justru tidak akan melepaskan kalian. Untuk apa harus
meninggalkan penyakit itu?"
Begitu mendengar perkataan itu, hati si Pecut Emas-Han
Sun dan Hwe Hong Sian Kouw tersentak.
Mereka berdua menyadari, bahwa apa yang dikatakan Han
Giok Shia memang benar. Saat ini kalau Lu Sin Kong binasa,
225
walau merasa tidak enak dalam hati karena tidak berusaha
menyelamatkannya, namun justru melenyapkan seorang
musuh tangguh.
Apabila menyelamatkan Lu Sin Kong, mengenai kematian
Sebun It Nio, tentunya dia tidak akan menyudahi begitu saja.
Lagipula kalau urusan bertambah membengkak, sudah
pasti akan menyeret Go Bi Pai, Tiam Cong Pai serta kawan
baik Lu Sin Kong dan Sebun It Nio ke dalam kancah dendam
kesumat itu.
Sesaat itu, mereka berdua berdiri mematung dengan
pikiran kacau balau, sama sekali tidak tahu harus berbuat apa.
Sementara Lu Sin Kong masih terus memeluk pilar itu
sambil memekik, bahkan mulai mengguncang-guncangkan
pilar itu pula.
Akan tetapi, berselang sesaat suara pekikannya
kedengaran melemah, tenaganya tampak berkurang, dan
wajah mulai berubah pucat kian tak sedap dipandang.
Han Giok Shia tahu bahwa ajal Lu Sin Kong sudah berada
di ambang pintu. Di saat itulah terdengar suara si Pecut Emas-
Han Sun.
"Sian Kouw, apakah kita adalah orang semacam itu?"
Hwe Hong Sian Kouw segera menyahut. "Tentu bukan."
Usai menyahut, dia bergerak cepat menotok jalan darah
Hu Keng Hiat di tubuh Lu Sin Kong.
226
Saat ini, Lu Sin Kong telah kehilangan kesadarannya sama
sekali. Dia memeluk pilar itu tapi dalam hati mengira, semua
musuhnya telah berada dalam genggaman tangannya.
Di depan matanya pun muncul bayangan musuhnya satu
persatu. Liok Ci Siansing, Tiat Cit Songjin, Han Sun, Hwe Hong
Sian Kouw dan lainnya berada dalam telapak tangannya, maka
dia berusaha membunuh mereka satu persatu pula.
Setelah Hwe Hong Sian Kouw menotok jalan darahnya, Lu
Sin Kong diam tak bergerak lagi.
Si Pecut Emas-Han Sun segera melepaskan tangannya
yang memeluk pilar tersebut, lalu membaringkannya ke lantai.
Han Sun, Hwe Hong Sian Kouw dan Han Giok Shia
memandang pilar itu. Seketika juga mulut gadis itu ternganga
lebar, Han Sun dan Hwe Hong Sian Kouw yang berkepandaian
tinggi, juga terbelalak menyaksikan itu.
Ternyata di pilar itu terdapat bekas pelukan Lu Sin Kong
yang cukup dalam. Itulah yang mengejutkan mereka bertiga.
Ketika melihat ayah dan gurunya menolong Lu Sin Kong,
dalam hati Han Giok Shia merasa tidak senang, namun tidak
berani bersuara.
Sejak kecil dia telah kehilangan ibu, maka si Pecut Emas
amat memanjakannya, sehingga membuat sifat gadis remaja
itu menjadi agak kasar dan mau menang sendiri. Dia tidak
tahu bahwa perbuatan Han Sun dan Hwe Hong Sian Kouw
justru adalah perbuatan orang gagah.
Setelah membaringkan Lu Sin Kong ke lantai, si Pecut
Emas-Han Sun segera mengambil botol kristal dari dalam
227
bajunya. Cepat-cepat dituangnya kedua butir obat Kiu Coan
Siau Hoan Tan lalu dimasukkan ke dalam mulut Lu Sin Kong.
Si Pecut Emas-Han Sun dan Hwe Hong Sian Kouw tahu,
setelah makan obat itu, nyawa Lu Sin Kong pasti dapat
diselamatkan, karena racun yang mengidap di dalam tubuhnya
akan segera punah.
Perlahan-lahan si Pecut Emas bangkit berdiri sambil
menghela nafas panjang, setelah itu berkata.
"Ah Shia, Sian Kouw! Aku yakin Lu Cong Piau Tau tidak
mungkin akan mencelakai orang tanpa sebab."
Hwe Hong Sian Kouw tidak menyahut. Hatinya yang keras
sulit membuatnya membuka mulut untuk mengaku salah.
Karena tidak membuka mulut, itu juga pertanda dia
menyetujui perkataan Han Sun.
Namun Han Giok Shia justru berkata lain.
"Ayah, kalau bukan dia yang mencelakai adik, bagaimana
kepala adik bisa berada di dalam kotak kayu yang dibawanya
itu?"
Si Pecut Emas-Han Sun menggeleng-gelengkan kepala.
"Itu sulit dikatakan." Kemudian dia memandang Hwe Hong
Sian Kouw seraya berkata dengan wajah serius. "Sian Kouw
kurasa rimba persilatan yang sudah tenang sekian lama, akan
timbul petaka banjir darah? Kalaupun urusan kita dengan Lu
Cong Piau Tau telah jernih, tapi Go Bi, Tiam Cong, Liok Ci
Siansing, Tiat Cit Songjin dan lainnya-pasti akan bertarung
mati-matian."
228
Hwe Hong Sian Kouw tetap diam saja.
Si Pecut Emas-Han Sun segera menutur tentang kejadian
aneh di Lam Cong, berdasarkan apa yang di dengarnya dari Lu
Sin Kong.
Mendengar penuturan itu, Hwe Hong Sian Kouw menghela
nafas panjang, lalu berjalan mondar-mandir sejenak dan
memandang Lu Sin Kong yang tergeletak di lantai. Wajah Lu
Sin Kong tampak mulai memerah. Ketika dia baru mau
membuka totokannya, mendadak terdengar suara "Blam" di
luar, menyusul terdengar pula suara bentakan seorang anak
gadis.
"Siang hari bolong, pintu ditutup sampai begitu rapat,
bahkan bilang tuan rumah tidak mau menemui tamu. Itu
sungguh keterlaluan!"
Suara itu sirna, kemudian di tengah ruang itu muncul
seorang gadis.
Kemarahan Hwe Hong Sian Kouw bangkit kembali. Ketika
melihat lebih jelas, ternyata gadis itu berparas cantik, namun
tampak sepasang rantai pendek melekat di lengannya.
Hwe Hong Sian Kouw tertegun.
"Kau ke mari juga ingin mencampuri urusan orang lain?"
Gadis itu tertawa.
"Sungguh di luar dugaan, Hwe Hong Sian Kouw juga
berada di sini...."
229
Baru berkata sampai di situ, dia pun melihat Sebun It Nio
dan Lu Sin Kong tergeletak di lantai.
Air mukanya berubah, badannya bergerak ke arah Sebun
It Nio, sekaligus memeriksa nadinya. Begitu mengetahui
Sebun lt Nio sudah mati, gadis itu mendongakkan kepala.
Wajahnya tampak kehijauhijauan. Ia meloncat ke arah Lu Sin
Kong, lalu bergerak cepat menepuk bahunya. Lu Sin Kong
berteriak keras, kemudian meloncat bangun.
Walau Lu Sin Kong telah makan obat Kiu Coan Siau Hoan
Tan, namun tenaganya telah terkuras habis, maka jatuh lagi di
lantai.
Gadis itu segera memapahnya bangun, lalu
mendudukannya di kursi.
Lu Sin Kong tertawa getir.
"Nona Tam, mau apa kau ke mari?"
Gadis itu ternyata Tam Goat Hua, yang pernah ditolong
oleh Lu Sin Kong dan Sebun It Nio di rumah Kim Kut Lau.
Kening gadis itu berkerut-kerut, kemudian menggelenggelengkan
kepala seraya berkata,
"Aku datang terlambat selangkah, Lu Hujin telah mati."
Ucapannya itu membuat semua orang tertegun, juga
membuat air mata Lu Sin Kong meleleh.
"Nona Tam, bagaimana kau tahu aku berada di sini?"
230
Tam Goat Hua menyahut.
"Panjang sekali kalau dituturkan. Lebih baik kau ikut aku
pergi dulu!"
Lu Sin Kong mencoba menghimpun hawa murninya. Kini
dia telah merasa enakan lalu bangkit berdiri. Sepasang bola
matanya penuh bergaris merah.
"Nona Tam, kau jangan bermain di air keruh ini, lagipula
sementara ini aku tidak bisa ikut kau pergi."
Wajah Tam Goat Hua tampak murung.
"Lu Cong Piau Tau, aku tahu maksudmu. Dendam Lu Hujin
memang harus dibalas, namun kini kondisi badanmu
sedemikian lemah. Di sini terdapat tiga orang, jangan takut
mereka bertiga akan kabur! Terlambat beberapa hari tidak jadi
masalah."
Si Pecut Emas-Han Sun tertegun, bahkan hatinya
tersentak. Gadis ini berdandan begitu aneh.
Di saat bersamaan, Hwe Hong Sian Kouw dan Han Giok
Shia justru tertawa dingin.
Sedangkan Lu Sin Kong terus menatap ketiga orang itu,
lama sekali barulah menghela nafas panjang.
"Baiklah. Biar mereka hidup beberapa hari."
Lu Sin Kong berdiri di sisi Tam Goat Hua. Ketika mereka
mendekati mayat Sebun It Nio, mendadak Han Giok Shia
menghadang sambil menggoyang-goyangkan Liat Hwe Soh
Sim Lun.
231
"Lu Cong Piau Tau, kau boleh pergi namun harus mengerti
satu hal dalam hatimu!"
Walau kematian Sebun It Nio disebabkan pukulan Im Si
Ciang, tapi lantaran mengadu Lweekang dengan Hwe Hong
Sian Kouw, maka menimbulkan kejadian tragis itu.
Akan tetapi, yang membawa Hwe Hong Sian Kouw ke
mari, justru Han Giok Shia, maka dapat dibayangkan betapa
bencinya terhadap gadis itu.
"Minggir!" bentaknya.
Kening Han Giok Shia berkerut.
"Lu Cong Piau Tau, tahukah kau, kalau bukan ayah dan
guru berusaha menolongmu, saat ini kau pasti sudah
melancong ke alam baka!"
Ketika si Pecut Emas-Han Sun dan Hwe Hong Sian Kouw
berusaha menyelamatkan nyawa Lu Sin Kong, dia justru
dalam keadaan pingsan, maka tidak tahu akan hal itu. Walau
Han Giok Shia berkata sesungguhnya, namun bagaimana
mungkin Lu Sin Kong mempercayainya?
Lu Sin Kong tertawa gelak.
"Ha ha ha! Kalau begitu, aku harus berterimakasih kepada
kalian berdua?"
Apa yang diucapkan Lu Sin Kong merupakan kebaikan,
dan siapa pun dapat mendengar itu.
Wajah Han Giok Shia merah padam.
232
"Binatang masih tahu membalas budi, tak disangka kau
yang begitu terkenal, malah tidak dapat dibandingkan dengan
binatang!"
Tingkatan Lu Sin Kong dalam rimba persilatan tinggi
sekali. Kebanyakan kaum rimba persilatan, pasti memberi
hormat bila bertemu dengannya. Kini dia dicaci oleh Han Giok
Shia, sehingga membuatnya tak dapat mengucapkan apa pun
saking gusarnya.
Tam Goat Hua yang diam dari tadi segera membuka mulut
dengan suara dalam.
"Nona Han! Kalau kau masih banyak mulut, aku tidak akan
berlaku sungkan lagi terhadapmu!" Han Giok Shia tertawa
dingin.
"Lucu sekali! Siapa suruh kau berlaku sungkan
terhadapku?"
Kedua gadis itu sama-sama berparas cantik, juga keras
hati. Kini mereka berdua berdiri berhadap-hadapan,
kelihatannya sudah bersiap untuk bertarung.
Air muka Tam Goat Hua berubah. Dia menatap Han Giok
Shia dengan tajam sekali seraya membentak.
"Kau mau minggir tidak?"
Han Giok Shia tidak segera menyahut, melainkan
menuding Lu Sin Kong dengan Liat Hwe Soh Sim Lun.
"Tidak sulit menghendakiku minggir, tapi dia harus
mengucapkan terimakasih kepada ayah dan guru atas
pertolongan mereka, barulah kulepaskan kalian!"
233
Si Pecut Emas-Han Sun segera menghardik. "Ah Shia,
tidak boleh...."
Sebetulnya Han Sun ingin mengatakan "Tidak boleh
banyak urusan", namun sebelum dilanjutkan, mendadak Hwe
Hong Sian Kouw menarik ujung lengan bajunya seraya
berbisik.
"Han Thaihiap, sementara jangan mencegahnya!"
Si Pecut Emas-Han Sun segera menoleh. Dilihatnya
sepasang mata Hwe Hong Sian Kouw menyorot tajam
mengarah Tam Goat Hua. Hwe Hong Sian Kouw berkata
begitu, sudah pasti ada sebabnya, maka dia pun tidak banyak
bicara lagi.
Tam Goat Hua tertawa dingin.
"Sebun It Nio telah binasa di sini. Kalau Lu Cong Piau Tau
tidak mengalami luka parah, aku pasti menyuruh kalian
bertiga menggantikan nyawa Sebun It Nio! Kini masih ada
waktu beberapa hari, itu merupakan kesempatan kalian untuk
minta bantuan!"
-ooo0ooo-
Bab 10
Tam Goat Hua dan Han Giok Shia terus ribut mulut. Dalam
pandangan siapa pun, itu merupakan hal yang wajar.
Sebab mereka berdua sebaya, ilmu silat mereka pun
mungkin berselisih tidak jauh. Tapi begitu Tam Goat Hua
membuka mulut, nadanya sungguh besar. Itu membuat air
muka Hwe Hong Sian Kouw berubah hebat.
234
Lebih-lebih Han Giok Shia. Saking gusarnya gadis itu
malah tertawa.
"Ha ha! Tidak salah, kami memang tidak tahu mampus!
Tapi kenapa kau tidak segera turun tangan membalas
kematian Lu Hujin?"
Tam Goat Hua maju selangkah dan menghardik.
"Sambutlah!"
Badannya bergerak. Ia tidak menyerang Han Giok Shia,
melainkan berkelebat ke belakang gadis itu. Gerakannya
sungguh ringan sekali.
Melihat sikapnya, ia tidak seperti mau bertarung dengan
Han Giok Shia, malah tampak seakan mengajaknya bermain
kucing-kucingan.
Han Giok Shia segera memutar badannya, sekaligus
membentak.
"Mau lari ke mana?"
Cring! Suara Liat Hwe Soh Sim Lun. Ternyata Han Giok
Shia telah menyerangnya dengan jurus Hwe Ouw Siang Hui
(Sepasang Burung Gagak Api Berterbangan).
Di saat bersamaan, badan Tam Goat Hua pun berputar,
sekaligus menepuk dengan telapak tangannya
Pukulan itu, boleh dikatakan sama sekali tidak akan
mengenai badan Han Giok Shia, sebab mengarah ke sisi gadis
itu.
235
Akan tetapi, rantai yang melekat di lengannya, justru
melayang mengeluarkan suara menderu mengarah Liat Hwe
Soh Sim Lun.
Han Giok Shia adalah murid didikan Hwe Hong Sian Kouw.
Bahkan ia memiliki ilmu warisan dari ayahnya. Maka,
kepandaiannya boleh dikatakan sudah tinggi sekali, namun ia
belum pernah menghadapi jurus seaneh itu.
Cring! Terdengar suara benturan senjata.
Gelang bergerigi di ujung rantai Han Giok Shia menjepit
ujung rantai Tam Goat Hua, namun mendadak Tam Goat Hua
menyentak rantainya, sehingga ujung rantai itu meliuk
bagaikan ular, terlepas dari jepitan gelang bergerigi itu.
Bagian 05
Betapa terkejutnya Han Giok Shia. Walau pun mereka
bergebrak hanya satu jurus, dan belum tahu siapa menang
atau kalah, tapi ketika kedua senjata itu beradu, Liat Hwe Soh
Sim Lun tidak dapat menjepit rantai itu, sudah merupakan hal
yang amat mengejutkan, sebab Sebun It Nio yang memiliki
ilmu pedang yang amat lihay dan dahsyat, pedangnya masih
kutung beradu dengan Liat Hwe Soh Sim Lun.
Kalau begitu, apakah Lweekang Tam Goat Hua lebih tinggi
dari Sebun It Nio?
Han Giok Shia tersentak dan tidak berani berlaku ayal lagi.
Namun Tam Goat Hua telah bergerak ke belakangnya.
Han Giok Shia tertawa dalam hati, lalu perlahan-lahan
memutar badannya. Di saat itu pula badan Tam Goat Hua ikut
berputar ke belakang gadis itu. Mendadak Han Giok Shia
236
bersiul panjang, sekaligus mengibaskan lengan kanannya ke
belakang tanpa memutar badannya.
Ternyata adalah jurus Toh Hong Pang Hwe (Membalikkan
Angin Membantu Api). Senjata Liat Hwe Soh Sim Lun itu
berkelebatan mengeluarkan cahaya, dan gelang bergerigi di
ujung rantai mengarah dada Tam Goat Hua.
Menghadapi jurus andalan itu, Tam Goat Hua sama sekali
tidak gugup, malah tampak tenang dan bisa tertawa pula.
"Ha ha!"
Di saat bersamaan, dia menggoyangkan sebelah
tangannya, maka rantai yang melekat di lengannya ikut
berputar-putar, kemudian menangkis Liat Hwe Soh Sim Lun.
Cring! Suara benturan kedua senjata itu. Mendadak gelang
bergerigi itu berputar menjepit
rantai besi, sehingga mengeluarkan suara "Krak", dan
rantai itu terjepit.
Pada saat itu pula tangan kiri Tam Goat Hua pun bergerak.
Bukan main terkejutnya Han Giok Shia, sebab tahu-tahu
kakinya terasa sakit sekali. Ternyata rantai di lengan kiri Tam
Goat Hua telah melingkar di kaki gadis itu. Di saat bersamaan,
gadis itu pun merasa ada serangkum tenaga menyerang ke
arahnya, maka tanpa mampu lagi dia terjatuh ke belakang.
Karena Liat Hwe Soh Sim Lun menjepit rantai di lengan
Tam Goat Hua, maka ketika dia jatuh, Tam Goat Hua pun ikut
jatuh menindihnya.
"Ah Shia, berhenti!" seru Hwe Hong Sian Kouw cepat.
237
Han Giok Shia tidak mendengar seruan gurunya,
sebaliknya malah memukul ke arah Tam Goat Hua. Mendadak
Han Giok Shia merasa kakinya yang sakit itu menjadi
lenggang, ternyata rantai yang melingkar di kakinya telah
mengarah dirinya. Betapa terkejutnya Han Giok Shia. Tanpa
banyak berpikir lagi dia langsung meloncat ke belakang
beberapa depa, dan Liat Hwe Soh Sim Lun pun dilepaskannya.
Braaak!
Rantai itu menghantam lantai, membuat lantai itu pecah
tidak karuan. Kini Han Giok Shia baru tahu akan kelihayan
Tam Goat Hua, sebab senjata andalannya telah berpindah ke
tangan gadis itu.
"Baru mengerti sedikit ilmu silat, sudah berani bertarung
dengan orang! Ha ha!"
Belum lenyap suara tawa Tam Goat Hua, dia sudah
mengibaskan tangannya. Liat Hwe Soh Sim Lun itu meluncur
ke luar, kemudian terdengar suara yang amat memekakkan
telinga. Ternyata senjata itu telah menancap di tembok luar.
Di saat kedua gadis itu bertarung, Lu Sin Kong sudah
membopong mayat isterinya. Setelah Liat Hwe Soh Sim Lun
terlempar ke luar, Tam Goat Hua berkata.
"Lu Cong Piau Tau, mari kita pergi! Lihat siapa yang masih
berani menghadang!"
Han Giok Shia segera berseru.
"Ayah! Guru!"
238
Maksudnya agar Han Sun dan Hwe Hong Sian Kouw
menghadang kepergian Lu Sin Kong dan Tam Goat Hua,
namun ketika Han Giok Shia mendongakkan kepala, dia pun
tertegun.
Tampak wajah Hwe Hong Sian Kouw berubah agak
kehijau-hijauan, sedangkan si Pecut Emas-Han Sun tetap
berdiri mematung, dengan wajah pucat pias.
Sikap mereka kelihatan seperti telah menyaksikan sesuatu
yang amat menakutkan.
Han Giok Shia tertegun, sebelum ia bersuara, Tam Goat
Hua dan Lu Sin Kong sudah berjalan keluar.
Han Giok Shia cepat-cepat menghampiri Han Sun dan Hwe
Hong Sian Kouw seraya bertanya. "Ayah dan Guru kenapa
sih?"
Si Pecut Emas-Han Sun menghela nafas panjang,
sedangkan Hwe Hong Sian Kouw diam saja. Han Giok Shia
tercengang menyaksikan sikap mereka berdua.
"Ayah dan Guru membiarkan mereka pergi, ya sudahlah!
Ada urusan apa lagi sih?"
Si Pecut Emas-Han Sun tetap tidak menyahut. Ia hanya
mengangkat sebelah tangannya, lalu membelai-belai rambut
Han Giok Shia. Selang beberapa saat kemudian barulah ia
berpaling seraya berkata,
"Sian Kouw, lebih baik bawa Ah Shia pergi bersembunyi ke
Hui Yan Bun dulu!"
Hwe Hong Sian Kouw manggut-manggut.
239
"Itu baik juga! Asal dia membawa Liat Hwe Soh Sim
Lunku, Hui Yan Bun pasti menerimanya."
Walau Han Giok Shia tidak tahu apa yang terjadi, namun
pembicaraan si Pecut Emas-Han Sun dengan Hwe Hong Sian
Kouw, justru mengenai dirinya seakan telah mengikat
permusuhan dengan seorang musuh tangguh, maka ayah dan
gurunya menghendaki dirinya pergi ke Hui Yan Bun untuk
menghindar.
Perlu diketahui, hati Han Giok Shia amat keras, bahkan
sifatnya pun seperti gurunya pula. Maka, mendengar ucapan
itu ia langsung berkata.
"Ayah aku tidak mau ke mana-mana."
Si Pecut Emas-Han Sun menghela nafas panjang.
"Ah Shia, bagaimana sifatmu ayah tahu jelas, namun biar
bagaimanapun kau harus mendengar perkataan ayah dan Sian
Kouw, jangan keras hati, ayah tentu akan senang sekali."
Han Giok Shia berpikir, kelihatannya apa yang dikatakan
ayah dan gurunya harus dituruti. Tiada gunanya
membangkang, meninggalkan tempat ini menuju ke Hui Yan
Bun atau tidak, itu tentu bergantung pada dirinya sendiri,
maka ada baiknya menurut.
Oleh karena itu, Han Giok Shia manggut-manggut.
"Ayah, kenapa aku harus ke Hui Yan Bun, bolehkah aku
mengetahuinya?"
Si Pecut Emas-Han Sun menggeleng-gelengkan kepala
240
"Kelak kau akan mengetahuinya. Kini lebih baik kau tidak
banyak bertanya!"
Han Giok Shia tidak banyak bertanya lagi.
"Aku akan berpergian jauh, harus berkemas2 dulu,"
katanya.
Setelah itu, dia mengambil senjata Liat Hwe Soh Sim Lun
yang menancap di tembok lalu masuk ke dalam.
Si Pecut Emas terus memandang punggung putrinya, lama
sekali barulah duduk.
"Siau Kouw, ketika gadis itu baru masuk, kelihatannya kau
mengenalnya, benarkah begitu?"
Kening Hwe Hong Sian Kouw berkerut-kerut, kemudian
menarik nafas dalam-dalam seraya menyahut.
"Aku tinggal di puncak menara Hou Yok. Kira-kira dua
bulan yang lalu aku pernah melihatnya bersama seorang
pemuda pesiar di Hou Yok. Ketika itu banyak orang pesiar di
sana, tapi mereka berdua menerobos ke sana ke mari dengan
gesit sekali, maka dapat kuketahui mereka memiliki Ginkang
tingkat tinggi. Karena mereka berdua masih begitu muda,
maka kupanggil mereka. Setelah kutanya, mereka mengaku
sebagai kakak beradik bermarga Tam, sedang menunggu ayah
mereka di Hou Yok. Namun siapa ayah mereka, keduanya
tidak memberitahukan. Selanjutnya aku masih sering melihat
mereka, namun baru-baru ini tidak pernah melihat gadis itu.
Dia entah ke mana lalu muncul mendadak dengan sepasang
lengannya terbelenggu rantai besi."
Si Pecut Emas-Han Sun menarik nafas dalam-dalam.
241
"Kalau begitu, sementara ini ayah mereka tidak berada di
Su Cou?"
"Kelihatannya memang begitu. Mereka kakak beradik
berusia belum dua puluh, tapi kepandaian mereka sudah
begitu tinggi. Dapat dibayangkan bagaimana kepandaian ayah
mereka," kata Hwe Hong Sian Kouw.
Sampai di sini, mereka berdua diam, tidak berbicara apaapa
lagi.
Han Giok Shia yang telah berkemas itu berjalan ke ruang
besar, maka mendengar pembicaraan ayah dan gurunya.
Apa yang dibicarakan mereka berdua, tidak terlewat dari
telinganya. Namun pembicaraan terakhir, dia tidak mengerti
siapa yang dimaksudkan. Hanya tahu mereka kakak beradik,
masih berada di wilayah Hou Yok.
Tiba-tiba di depan mata Han Giok Shia muncul sebuah
bayangan orang, bayangan yang muncul di depan matanya
adalah bayangan seorang pemuda berbadan kurus namun
tampan. Ketika Han Giok Shia berada di puncak menara Hou
Yok bersama Hwe Hong Sian Kouw, untuk melatih Liat Hwe
Soh Sim Lun Hoat (Ilmu Gelang Api).
Han Giok Shia ke puncak menara Hou Yok itu di malam
hari, itu agar tidak diperhatikan orang.
Setengah bulan yang lalu, setiap kali dia meninggalkan
menara Hou Yok, pasti merasa ada seseorang menguntitnya.
Orang itulah yang muncul mendadak dalam benaknya yang
merupakan pemuda tampan.
242
Apa pekerjaan pemuda itu, Han Giok Shia tidak begitu
jelas, kelihatannya seperti seorang sastrawan.
Beberapa kali muncul, pemuda itu selalu mengenakan
jubah hijau. Jubah itu berkibar-kibar terhembus angin,
sehingga menambah ketampanannya, membuat hati kaum
gadis menjadi berdebar-debar menyaksikannya.
Pemuda itu memang tampan. Sepasang matanya
menyorot tajam, maka tidak dapat mengelabuhi Han Giok
Shia, pemuda itu juga adalah kaum rimba persilatan.
Dalam waktu setengah bulan ini, boleh dikatakan setiap
malam Han Giok Shia pasti bertemu pemuda itu, namun
belum pernah saling menyapa.
Han Giok Shia tidak tahu siapa pemuda itu, tapi kini
setelah mendengar pembicaraan Hwe Hong Sian Kouw dengan
ayahnya, maka dalam benaknya muncul bayangan pemuda
itu.
Si Pecut Emas-Han Sun dan Hwe Hong Sian Kouw tetap
duduk diam. Han Giok Shia memberi hormat kepada mereka.
"Ayah, Guru! Aku mau pergi!"
Hwe Hong Sian Kouw manggut-manggut.
"Ah Shia, setelah kau tiba di kaki gunung Hui Yan, pasti
akan muncul murid Hui Yan Bun. Mereka akan menanyakan
identitasmu. Asal kau memperlihatkan senjata Liat Hwe Soh
Sim Lun, dan mengatakan mau bertemu ketua, tentu ada
orang membawamu ke sana. Yang penting kau harus ingat,
katakan bahwa aku masih ingin pesiar, maka menyuruhmu ke
puncak gunung Hui Yan belajar ilmu silat!"
243
Padahal sesungguhnya, Han Giok Shia sama sekali tidak
berniat pergi ke Hui Yan Bun. Namun ia tetap menyahut "Ya",
lalu melangkah pergi. Mendadak si Pecut Emas-Han Sun
berseru memanggilnya.
"Ah Shia!"
Han Giok Shia segera menolehkan kepalanya seraya
menyahut,
"Ya, Ayah."
Kemudian ia berlari mendekati si Pecut Emas-Han Sun,
dan mendekap di dadanya.
Sebelum mendekap di dada ayahnya, gadis itu melihat
sepasang mata ayahnya bersimbah air, dan tak lama air mata
itu pun meleleh.
Belum pernah Han Giok Shia melihat ayahnya
mengucurkan air mata seperti itu. Ayahnya berkepandaian
tinggi dan tergolong pendekar gagah, namun kini justru
mengucurkan air mata.
Ketika adiknya menghilang mendadak dan boleh dikatakan
dalam bahaya, ayahnya hanya tampak tidak gembira, tapi
sama sekali tidak mengeluarkan air mata. Kini, ayahnya justru
mengucurkan air mata, maka membuat Han Giok Shia merasa
sedih.
"Kenapa Ayah menangis?" tanyanya sambil mendongakkan
kepala.
Si Pecut Emas-Han Sun segera tertawa.
244
"Anak bodoh! Kenapa ayah harus menangis? Jangan
omong sembarangan!"
Gadis itu amat cerdik. Ia tahu bahwa ayahnya begitu,
lantaran mengkhawatirkan dirinya. Maka, ia segera memanggil
ayahnya dengan air mata bercucuran.
"Ayah! Ayah!"
Si Pecut Emas-Han Sun menjulurkan tangannya untuk
membelai putrinya dengan penuh kasih sayang, kemudian
berkata sepatah demi sepatah.
"Nak, jarak dari sini ke gunung Hui Yan amat jauh. Kau
harus ingat, dalam perjalanan jangan bertarung dengan siapa
pun. Rubahlah sikapmu yang agak buruk!"
Han Giok Shia manggut-manggut dan menyahut agak
terisak-isak.
"Aku tahu."
Berselang sesaat, si Pecut Emas-Han Sun berkata lagi.
"Setelah kau tiba di puncak gunung Hui Yan, janganlah
menelantarkan Ilmu Pecut yang kuajarkan dan ilmu Gelang
Api yang diajarkan gurumu, berikut Lweekang Sim Hoat (Ilmu
Melatih Tenaga Dalam). Kau hanya memperoleh sedikit
kulitnya, maka harus terus berlatih dengan giat. Tiga lima
tahun kemudian, kau pasti akan berhasil menguasai semua
ilmu itu. Aku tidak akan pergi menengokmu, kau pun tidak
perlu merindukan kami. Pecut Emas ini sudah kubawa sejak
kecil, juga merupakan benda pusaka dalam rimba persilatan,
kuhadiahkan kepadamu."
245
Begitu mendengar perkataan ayahnya, timbullah rasa duka
dalam hati Han Giok Shia, karena seakan berpisah selamanya
dengan ayahnya. Pada dasarnya dia adalah gadis yang keras
hati, maka dia dapat menekan rasa dukanya. Ia manggutmanggut,
lalu menerima Pecut Emas tersebut. Namun ketika
baru dililitkan pada pinggangnya, mendadak teringat sesuatu.
"Ayah tidak menggunakan Pecut Emas untuk menjaga
diri?"
Si Pecut Emas-Han Sun menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku tidak perlu menggunakannya lagi."
Han Giok Shia mendongakkan kepala. la menatap ayahnya
dengan tertegun, karena ayahnya tampak bertambah tua.
Kematian adiknya amat mendukakan hati ayahnya, kini
ditambah berbagai masalah, maka si Pecut Emas-Han Sun
menjadi kelihatan bertambah tua. Diam-diam gadis itu
menghela nafas panjang.
Si Pecut Emas-Han Sun berpikir sejenak, lalu berkata.
"Masih ada, adikmu...."
Hubungan Han Giok Shia dengan adiknya amat baik dan
akur. Oleh karena itu begitu ayahnya menyinggung adiknya,
air matanya tak terbendung lagi, langsung berderai-derai.
Kemudian ia mengarah tempat lain sambil berkertak gigi.
Si Pecut Emas-Han Sun menghela nafas.
"Yang mencelakai adikmu dapat dipastikan bukan Lu Sin
Kong. Sebetulnya siapa pembunuh itu, masih sulit dipastikan.
246
Setelah kau berkepandaian tinggi, jangan lupa menyelidiki hal
ini, agar dia terlepas dari tuduhan!"
Han Giok Shia mengangguk.
Si Pecut Emas-Han Sun mengibaskan tangannya.
"Pergilah!"
Han Giok Shia membalikkan badannya, sekaligus melesat
keluar. Sampai di halaman, air matanya berderai-derai lagi.
Dia tidak membuka pintu pagar, namun malah mengambil
jalan samping menuju halaman belakang yang mana terdapat
pohon bambu. Dia duduk di situ sambil menangis meraungraung.
Karena sifatnya yang keras, maka biasanya ada masalah
apa pun, tidak akan membuatnya mengucurkan air mata.
Namun saat ini, dia justru merasakan kedukaan itu, sehingga
air matanya mengucur deras tak terbendung lagi.
Apakah musuh ayahnya begitu tangguh dan lihay, maka
merasa percuma menjaga diri dengan Pecut Emas itu, dan
hanya tinggal pasrah saja?
Meskipun si Pecut Emas-Han Sun maupun Hwe Hong Sian
Kouw tidak memberitahukan apa pun, namun Han Giok Shia
dapat mendengar dari nada ucapan ayahnya, yang
kedengarannya seperti akan berpisah selamanya.
Gadis itu terus menangis. Setelah puas menangis, barulah
dia bangkit berdiri.
247
Halaman belakang itu amat luas. Sedangkan jumlah
anggota keluarga si Pecut Emas-Han Sun tidak begitu banyak.
Maka tiada seorang pun melihat Han Giok Shia ada di situ.
Dia berdiri termangu-mangu, sementara sang surya mulai
condong ke barat.
Han Giok Shia meraba senjata Liat Hwe Soh Sim Lun di
punggungnya dan Pecut Emas yang di pinggangnya. la
berkertak gigi dan wajanya memperlihatkan kekerasan
hatinya, kemudian melesat pergi melalui tembok belakang.
Dalam hatinya ia sudah mengambil keputusan, tidak akan
ke Hui Yan Bun, melainkan ke Hou Yok menemui Tam Goat
Hua untuk bertanya sejelas2nya.
Oleh karena itu, Han Giok Shia langsung menuju bukit Hou
Yok. Bukit itu tidak begitu tinggi, namun merupakan bukit
yang amat terkenal di luar kota Su Cou. Konon raja Gouw
dimakamkan di Hou Yok. Biasanya para pelancong ramai
bagaikan semut. Tapi saat ini, hari sudah mulai malam, maka
para pelancong sudah pulang ke rumah masing-masing,
sehingga jalanan tampak sepi.
Beberapa mil kemudian, Han Giok Shia sudah merasa
angin malam menerpa-nerpa wajahnya. Di saat bersamaan,
hujan gerimis pun mulai turun. Hati gadis itu tercekam oleh
berbagai macam masalah, dan itu membuat hatinya tertekan
sekali. Kini ia menghadapi cuaca demikian, sehingga membuat
perasaannya tidak enak. Ia memandang jauh ke depan.
Dilihatnya bayangan menara di puncak bukit itu.
Han Giok Shia memperlambat langkahnya. Ia sudah
sampai di Hou Yok, sekaligus ingin tahu pemuda yang sering
memandangnya, apakah benar adalah kakak Tam Goat Hua.
248
Perlahan-lahan ia memasuki bukit Hou Yok. Tak berapa
lama kemudian gadis itu sudah sampai di sekitar Telaga
Pedang. Mendadak terlihat sosok bayangan kecil berkelebat di
sisi sebuah batu.
Saat ini, bukan hanya hari sudah gelap, bahkan turun
gerimis pula. Sudah barang tentu tempat itu jadi sepi sekali.
Maka ketika melihat sosok bayangan kecil itu, dia tertegun.
"Siapa?" bentaknya.
Bayangan kecil itu sudah berada di balik batu itu. Tapi
begitu mendengar suara bentakan, dia justru berkelebat
keluar seraya menyahut.
"Kakak Tam, kau sudah kembali? Paman Tam menyuruhku
menunggumu di sini!"
Begitu mendengar suara sahutan itu, tergeraklah hati Han
Giok Shia. Ia menoleh kepalanya ke belakang, namun tidak
tampak orang lain datang.
"Tidak salah, memang aku yang ke mari. Sudah Lama kau
menungguku di sini?" sahutnya.
Han Giok Shia sungguh cerdik. Ketika mendengar suara
itu, ia yakin bahwa yang bersuara itu adalah seorang pemuda.
Dalam kegelapan pemuda itu mengira dirinya itu adalah Tam
Goat Hua, maka bertanya begitu.
Oleh karena itu, Han Giok Shia menggunakan siasat untuk
bercakap-cakap dengannya guna mengorek sedikit
keterangan.
249
Walau gelap tapi Han Giok Shia dapat melihat dengan jelas
wajah pemuda itu, ternyata masih remaja dan setinggi Han
Giok Shia.
Usianya sekitar empat lima belas tahun, namun tampak
gagah dan sepasang matanya bersinar terang.
Han Giok Shia sama sekali tidak kenal siapa dia. Pemuda
itu menunggu Tam Goat Hua di tempat ini, tentunya punya
hubungan dengan gadis tersebut. Tapi nada perkataannya
kedengarannya belum pernah bertemu Tam Goat Hua. Karena
itu, Han Giok Shia hendak menyamar sebagai Tam Goat Hua,
itulah siasatnya untuk mengorek sedikit keterangan dari mulut
anak remaja tersebut.
Gadis itu tersenyum-senyum.
"Tentu! Selain kau menunggu di sini, sudah pasti tiada
orang lain."
Anak remaja itu tersenyum. Sungguh mengherankan,
senyumannya menyerupai senyuman anak dewasa.
"Kakak Tam, kata Paman Tam kau pergi menengok
ayahku, apakah ayahku sudah tiba di Su Cou? Sudah setengah
bulan aku meninggalkan rumah, ayahku pasti panik sedikit.
Apakah ayahku pernah menanyakan tentang diriku?"
Sesungguhnya Han Giok Hua amat gembira, sebab anak
remaja itu sama sekali tidak tahu identitasnya.
Akan tetapi, ketika anak remaja itu berkata begitu, justru
membuatnya tertegun.
"Sebetulnya siapa kau?" tanyanya.
250
Pertanyaan tersebut nyaris dilontarkan, namun masih
dapat ditahan dalam tenggorokan, kemudian menyahut.
"Sudah sampai, dia amat rindu kepadamu."
Anak remaja itu segera bertanya.
"Ibuku juga sudah datang? Dia tidak memarahiku? Kini
mereka berada di mana? Bolehkah kau membawaku pergi
menemui mereka?"
Han Giok Shia semakin tertegun. Ia merasa nada
perkataan anak remaja itu mengarah pada Lu Sin Kong, tapi
dia masih kurang yakin.
Saat ini, anak remaja itu menyinggung tentang ibunya,
membuat Han Giok Shia menjadi bercuriga.
Karena menyamar sebagai Tam Goat Hua, tentunya tidak
bisa bertanya tentang asal-usul anak remaja itu. Tapi dalam
hatinya justru timbul suatu ide, maka ia berkata dengan suara
rendah.
"Adik kecil, di sini bukan tempat untuk bercakap-cakap,
lebih baik kau ikut aku!"
Han Giok Shia menjulurkan tangannya menarik lengan
anak remaja itu untuk diajak pergi.
Mereka baru berjalan beberapa depa, tiba-tiba terdengar
suara langkah yang tergesa-gesa dari kejauhan.
Han Giok Shia segera memandang ke arah datangnya
suara. Dilihatnya dua sosok bayangan yang tinggi dan pendek
berkelebat. Bayangan yang tinggi membopong seseorang.
251
Begitu melihat, Han Giok Shia sudah tahu bahwa sosok
bayangan tinggi itu adalah Lu Sin Kong, yang dibopongnya
adalah mayat Sebun It Nio. Ada pun bayangan pendek
tentunya Tam Goat Hua.
Hati Han Giok Shia tersentak, sedangkan anak remaja itu
pun telah melihat mereka. Han Giok Shia segera berbisik.
"Adik kecil, pendatang itu bukan orang baik, kau tidak
boleh bersuara!"
Anak remaja itu menyahut dengan suara rendah. "Kakak
Tam, salah satu dari mereka mirip ayahku!"
Kini Han Giok Shia sudah mengerti, bahwa anak remaja itu
memang putra kesayangan Lu Sin Kong dan Sebun It Nio yang
bernama Lu Leng.
Seketika juga, muncullah berbagai macam urusan dalam
benak Han Giok Shia. Ia, teringat akan kematian adiknya yang
mengenaskan. Usianya sebaya dengan Lu Leng, tinggi dan
besar badan mereka sama pula. Akan tetapi, adiknya telah
binasa. Berdasarkan apa yang dikatakan Lu Sin Kong,
kedengarannya juga kehilangan anak kesayangannya.
Namun, putra Lu Sin Kong itu bukankah masih hidup segar
bugar dan berada di sisinya?
Dalam hati Han Giok Shia memang telah menganggap Lu
Sin Kong dan isterinya yang mencelakai adiknya. Mereka
menaruh kepala itu ke dalam kotak kayu, kemudian diantar ke
rumahnya. itu sematamata hanya ingin membunuh si Pecut
Emas-Han Sun ayahnya dan dirinya. Kini, Lu Leng muncul
mendadak di bukit Hou Yok, membuatnya lebih yakin, bahwa
252
apa yang dikatakan Lu Sin Kong, semua itu hanya bohong
belaka.
Api kebencian dalam hatinya, makin lama makin berkobar.
Dia sungguh ingin turun tangan seketika juga untuk
menghabiskan nyawa Lu Leng.
Sedangkan Lu Leng di saat ini, sama sekali tidak berjagajaga,
maka boleh dikatakan tidak sulit membunuhnya.
Perlahan-lahan Han Giok Shia mengangkat tangannya, tapi
justru tidak untuk memukulnya.
Mendadak gadis itu ingin tahu satu hal, yakni keluarga Lu
dan keluarga Han punya dendam apa, kenapa Lu Sin Kong
begitu tega membunuh adiknya? Lagipula Lu Sin Kong dan
Tam Goat Hua sudah berada di sekitar tempat tersebut.
Begitu menotok, Han Giok Shia justru menotok jalan darah
Tay Pai Hiat di tubuh Lu Leng, sehingga membuatnya tak bisa
bergerak sama sekali. Han Giok Shia pun merebahkan dirinya,
lalu bersama-sama bersembunyi di tempat itu.
Di saat bersamaan, Tam Goat Hua dan Lu Sin Kong telah
tiba di tempat itu, hanya terpisah beberapa depa saja. Sampai
di situ, Tam Goat Hua berhenti.
Itu membuat jantung Han Giok Shia menjadi berdebar
tidak karuan, takut tempat persembunyiannya mereka ketahui.
Terdengar Tam Goat Hua berkata.
"Lu Cong Piau Tau, tidak baik kau terus membopong
mayat Lu Hujin, lebih baik kuburkan saja di sini!"
Lu Sin Kong menyahut dengan suara parau.
253
"Tidak! Biar bagaimanapun aku harus membawa mayat
isteriku ke Tiam Cong, biar Tiam Cong Pai yang menguburnya
di Hun Lam."
Tam Goat Hua menghela nafas panjang.
"Lu Cong Piau Tau, aku lihat lukamu telah sembuh. Kalau
kau ingin melanjutkan perjalanan, aku pun tidak akan
menghalangi waktumu. Tapi apakah kau sama sekali tidak
mau menemui ayah dan saudaraku?"
Lu Sin Kong menyahut.
"Nona Tam, maksud baikmu kuterima dalam hati. Tapi
dendam kematian putra dan isteriku masih belum terbalas, itu
membuatku tidak bisa lama-lama di sini."
Tam Goat Hua segera berkata.
"Lu Cong Piau Tau, kalau bukan kalian suami isteri yang
menyelamatkan diriku di rumah Kim Kut Lau, mungkin saat ini
aku masih dirantai. Hanya saja...."
"Nona Tam mau mengatakan apa, katakanlah!" sahut Lu
Sin Kong cepat.
Tam Goat Hua segera berkata.
"Lu Cong Piau Tau, maafkan aku berterus terang! Siang
tadi ketika kita meninggalkan rumah si Pecut Emas-Han Sun,
aku melihat ada beberapa jago tangguh dari Hoa San Pai,
berjalan mondar-mandir di depan rumah itu karena kau
kelewat berduka, maka tidak melihat mereka. Aku sengaja
memutar dan kembali ke halaman belakang rumah Han Sun,
menunggu sampai malam di taman bambu yang rimbun itu,
254
barulah ke mari. Kalau kau seorang diri melanjutkan
perjalanan ke Tiam Cong dan Go Bi, yang begitu jauh, aku
khawatir akan terjadi sesuatu atas dirimu.
Lu Sin Kong tertawa.
"Ha ha! Nona Tam, terimakasih atas perhatianmu! Mereka
itu sama sekali tidak berada dalam mataku. Harap Nona sudi
menyampaikan salamku kepada ayah dan saudaramu, aku
mau pamit sekarang!"
Usai berkata begitu, Lu Sin Kong melesat pergi. Dalam
waktu sekejap, dia telah lenyap ditelan kegelapan malam.
Walau pembicaraan mereka tadi tidak begitu keras, namun
Han Giok Shia dapat mendengarnya dengan jelas.
Setelah Lu Sin Kong pergi, barulah Han Giok Shia
berpaling untuk memandang Lu Leng.
Di saat bersamaan, Han Giok Shia juga teringat akan
kematian adiknya yang begitu mengenaskan, maka diapun
amat gusar. Sudah barang tentu mereka berdua saling
menatap dengan penuh kebencian, lama sekali barulah Han
Giok Shia mendongakkan kepala.
Tampak Tam Goat Hua duduk di atas sebuah batu. Tak
lama dia bangkit kembali, lalu berjalan mondar-mandir.
Kelihatannya dia sedang menunggu seseorang dengan tidak
sabaran.
-ooo0oooKANG
ZUSI WEBSITE http://cerita-silat.co.cc/
255
Bab 11
Han Giok Shia mengintipnya sambil menahan nafas. Tak
Beberapa lama kemudian, di sebelah barat laut terdengar
suara yang amat nyaring, yaitu suara orang membaca syair.
Asap tebal di dalam rimba,
gunung dingin hati berduka,
ada orang merana di loteng,
burung-burung berterbangan,
di mana adalah tempat tinggal....
Itu adalah syair Lie Thet Pek yang amat terkenal. Suara
belum sirna, orangnya sudah mendekat.
Bukan main cepatnya gerakan orang itu, bahkan tak
mengeluarkan suara sedikit pun Han Giok Shia memandang si
pendatang itu. Seketika juga hatinya berdebar-debar.
Si pendatang itu tidak lain pemuda kurus yang tampan itu,
yang sering dilihatnya setiap malam dalam waktu setengah
bulan ini.
Setelah mendekat, Tam Goat Hua menyapanya seraya
memanggil.
"Kakak!"
Hati Han Giok Shia tertegun. Ternyata dugaannya tidak
meleset, pemuda itu memang kakak Tam Goat Hua.
Oleh karena itu, dia terus menahan nafas sambil pasang
kuping, karena ia yakin bahwa mereka berdua akan
membicarakan sesuatu.
256
"Eh? Adik, kenapa kau ke mari seorang diri?"
Tam Goat Hua menghela nafas panjang.
"Lu Cong Piau Tau sudah pergi." Gadis itu
memberitahukan.
Pemuda itu segera bertanya.
"Apakah mereka tetap akan pergi ke Tiam Cong dan Go Bi
untuk mengundang para jago tangguh, membuat perhitungan
dengn Liok Ci Siansing?"
Tam Goat Hua tampak tercengang.
"Tentu! Memangnya kenapa?"
Pemuda itu kelihatan terkejut.
"Hah? Adik, kau tidak bertemu ayah?" Tam Goat Hua
menyahut.
"Tidak." Gadis itu menggelengkan kepala. "Ayah ke
mana?"
"Celaka!" seru pemuda itu.
"Kakak! Apa yang celaka?" Tam Goat Hua menatapnya.
"Ada kejadian apa, cepatlah beritahukan!"
Pemuda itu segera menyahut.
"Kini tiada waktu untukku menutur, karena kita harus
segera pergi mencari Lu Sin Kong."
257
Tam Goat Hua terheran-heran. Dia menatap pemuda itu
dengan tidak mengerti.
"Mengapa?" tanyanya kemudian.
Pemuda itu menyahut.
"Putranya tidak mati. Kalau kita tidak segera pergi
menyusulnya, bukankah akan terjadi pertarungan mati-matian
antara Bu Yi San, Tiam Cong dan Go Bi?"
Tam Goat Hua tampak tertegun.
"Putra Lu Sin Kong tidak mati? Bagaimana kau tahu?
Legakanlah hatimu, pasti belum jauh dia pergi! Tuturkanlah
dulu kejadian itu!"
Pemuda itu tersenyum.
"Kenapa kau tidak sabaran? Mengenai kejadian itu, aku
pun tidak begitu jelas. Sore ketika kau pulang, juga tidak
memberitahukan pergi ke mana selama setengah bulan ini.
Sebetulnya kau pergi ke mana dan kenapa sepasang
lenganmu terbelenggu sepasang rantai? Dengarkanlah! Lu Sin
Kong dan isterinya ke tempat tinggal si Pecut Emas-Han Sun,
kemungkinan besar mereka akan bertarung. Karena aku
melihat Nona Han tergesa-gesa dan dalam kemarahan besar
mengundang Hwe Hong Sian Kouw, gurunya. Kau tidak dapat
bersabar sama sekali, langsung pergi sih! Kalau kau bersabar
sedikit sampai ayah pulang, bukankah kau akan tahu itu?"
Tam Goat Hua mengendus dingin.
"Hm! Masih bilang aku tidak sabaran? Aku justru telah
terlambat selangkah sampai di sana, Sebun It Nio telah
258
binasa. Apabila terlambat lebih lama lagi, nyawa Lu Sin Kong
pun sulit diselamatkan."
Pemuda itu tampak terkejut sekali.
"Adik, benarkah perkataanmu itu?"
"Mengapa aku harus membohongimu?" sahut Tam Goat
Hua.
Pemuda itu menghela nafas panjang.
"Kalau begitu, antara Lu Sin Kong, si Pecut Emas-Han Sun
dan Hwe Hong Sian Kouw sudah mengikat suatu
permusuhan."
"Memang begitu," sahut Tam Goat Hua. Pemuda itu
berjalan mondar-mandir sejenak dengan kepala tertunduk.
Han Giok Shia yang mengintipnya dapat melihat wajahnya
yang muram sekali.
Terdengar Tam Goat Hua berkata.
"Kakak, terus terang Lu Sin Kong dan isterinya pernah
menyelamatkanku. Tidak hanya mereka dengan si Pecut
Emas-Han Sun dan Hwe Hong Sian Kouw terikat suatu
permusuhan, tapi aku dengan mereka juga telah terjadi suatu
pertikaian pula. Tadi aku telah bertarung dengan putri Han
Sun."
Pemuda itu tampak terkejut sekali. Kemudian ia
menjulurkan tangannya untuk menggenggam lengan Tam
Goat Hua.
"Adik, kau... kau melukainya?"
259
Han Giok Shia dapat mendengar, nada pertanyaan itu
penuh mengandung perhatian, itu membuat hatinya
berbunga-bunga.
Terdengar Tam Goat Hua tertawa dingin. "Kakak, tidak
begitu lama aku pergi, apakah kau telah berkenalan dengan
dia?"
Pemuda itu segera menyahut.
"Tidak, Dik. Kau... kau telah melukainya?"
Tam Goat Hua menyahut dingin.
"Kalau aku melukainya, kau mau apa?"
Sepasang alis pemuda itu terangkat sedikit.
"Aku akan mengantar obat kepadanya, agar dia lekas
sembuh." katanya.
"Mungkin dia tahu kau adalah kakakku, tidak mau
menerima kebaikanmu lho!" kata Tam Goat Hua.
Pemuda itu tersenyum getir.
"Aku mengantar obat ke sana setulus hati, kenapa dia
tidak mau terima?"
Mendengar sampai di situ, hati Han Giok Shia bergejolak,
bahkan terasa hangat pula. Di saat seorang gadis remaja tahu
ada orang mencintainya, tentunya akan berperasaan
demikian. Itu adalah perasaan cinta mulai bersemi. Gembira,
260
hangat, malu-malu dan lain sebagainya, begitu pula Han Giok
Shia.
Dengan tertegun dia memandang pemuda itu, dan dalam
hatinya berseru-seru.
"Kau mengantar obat untukku, aku pasti menerimanya!"
Di saat bersamaan, wajah Tam Goat Hua justru berubah.
"Kakak! Bagaimana seandainya dia telah mati di
tanganku?"
Wajah pemuda itu langsung berubah pucat pias, lalu
menyurut mundur beberapa langkah dan mem.bentak.
"Adik!"
Tam Goat Hua tertawa geli.
"Kakak! Kenapa kau begitu cemas? Legakanlah hatimu,
aku cuma merebut senjata Liat Hwe Soh Sim Lun saja, sama
sekali tidak melukainya."
Pemuda itu menghela nafas lega. Wajahnya pun mulai
kembali normal.
"Dasar! Adik, jangan omong yang bukan-bukan lagi, kita
harus segera pergi menyusul Lu Sin Kong,
memberitahukannya bahwa putranya belum mati."
Tam Goat Hua mengangguk.
"Baik."
261
Mereka berdua lalu berjalan pergi sambil bercakap-cakap.
Sayup-sayup masih terdengar pemuda itu berkata.
"Kata ayah, tidak lama lagi dalam rimba persilatan akan
terjadi badai. Ayah akan berusaha mencegah badai itu, tapi
khawatir kemampuannya terbatas...."
Kata-kata berikutnya, sudah tidak terdengar lagi oleh Han
Giok Shia, namun tetap tampak punggung kedua orang itu,
karena rembulan sudah mulai bersinar.
Han Giok Shia terus memandang punggung pemuda itu. Di
saat bersamaan terdengar suara kereta yang datangnya
sungguh cepat sekali.
Tak Beberapa lama kemudian tampak sebuah kereta kuda
mewah berpacu cepat sekali.
Saat ini, Tam Goat Hua dan kakaknya sudah sampai di
sebuah tikungan. Kereta kuda itu justru mengarah ke sana,
lalu menghadang mereka. Di saat bersamaan, terdengarlah
suara harpa yang amat nyaring menusuk telinga.
Sungguh mengherankan, suara harpa itu entah berasal
dari mana. Di saat itu pula kereta kuda tersebut pun berjalan
dengan perlahan-lahan.
Tentunya membuat Han Giok Shia tercengang, tapi dia
justru menyaksikan suatu keanehan.
Begitu mendengar suara harpa itu, Tam Goat Hua dan
kakaknya mendadak membalikkan badannya, lalu melesat ke
tempat persembunyian Han Giok Shia.
262
Gadis itu memang tidak mau bertemu Tam Goat Hua,
namun ingin sekali menjumpai pemuda itu.
Di saat hatinya sedang bertentangan, barulah diketahuinya
bahwa Tam Goat Hua dan kakaknya tidak mengarah
kepadanya, melainkan bergerak cepat berputar-putar
membentuk sebuah lingkaran besar.
Tercekat hati Han Giok Shia, kemudian mendengar dengan
seksama suara harpa itu, sepertinya berasal dari kereta,
namun kedengarannya juga berasal dari empat penjuru.
Sementara wajah Tam Goat Hua dan kakaknya, tersirat
suatu penderitaan, tapi masih terus berputar2 di tempat itu.
Mengenai kepandaian Tam Goat Hua, Han Giok Shia telah
merasakannya, sudah pasti kepandaian kakaknya tidak akan
berada di bawahnya.
Walau usia mereka berdua belum begitu besar, tapi
kepandaian mereka sudah mencapai tingkat tinggi.
Melihat keadaan mereka, jelas keduanya masih tidak tahu
bahwa dirinya terus berputar di situ, melainkan mengira
berlari ke depan.
Kekuatan apa yang telah mempengaruhi mereka? Padahal
mereka memiliki Lweekang yang cukup tinggi, namun masih
dapat dikendalikan orang. Apakah suara harpa itu yang
mempengaruhi mereka?
Han Giok Shia mencoba mendengarkan suara harpa itu
dengan seksama. Tak lama dia pun merasa semangatnya agak
terbetot. Kini dia berani memastikan, bahwa orang yang
memetik harpa memiliki Lweekang yang amat tinggi sekali.
263
Segeralah dia menghimpun hawa murninya, setelah itu
barulah dia bisa merasakan agak tenang.
Dia memandang ke depan lagi. Dilihatnya Tam Goat Hua
dan kakaknya masih terus berputar-putar, sedangkan kereta
kuda itu bergerak perlahan-lahan meninggalkan tempat itu,
namun kusirnya tidak terlihat, entah berada di mana.
Dalam hati Han Giok Shia tahu, suara harpa itu bukan
ditujukan kepadanya, maka dia tidak terpengaruh.
Berdasarkan situasi itu, Tam Goat Hua dan kakaknya tidak
akan mengalami suatu luka, lagipula ayah mereka tentunya
bukan orang biasa. Lebih baik cepat-cepat meninggalkan
tempat ini. Setelah mengambil keputusan tersebut, dia pun
mengapit Lu Leng lalu melesat pergi.
Tujuannya ke menara Hou Yok. Sayup-sayup dia masih
mendengar suara harpa itu. Berselang beberapa saat mereka
sudah sampai di menara tersebut, kemudian langsung masuk
dan naik ke tingkat teratas, yaitu tempat tinggal Hwe Hong
Sian Kouw.
Han Giok Shia telah faham keadaan di menara itu. Maka
begitu mendorong daun pintu tingkat teratas itu, dia pun
langsung masuk sekaligus menaruh Lu Leng di Iantai, dan
membalikkan badannya untuk melihat keluar.
Menara itu sangat tinggi, lagipula terletak di atas bukit.
Maka dari menara tersebut, orang bisa memandang sejauh
sepuluh mil, Tampak di tempat tadi Tam Goat Hua dan
kakaknya masih terus berputar-putar.
Dalam hati Han Giok Shia semakin merasa heran. Dia tidak
mempedulikan Lu Leng yang tergeletak di lantai, hanya terus
memandang Tam Goat Hua dan kakaknya. Berselang
264
beberapa saat kemudian, terlihat sebuah lengan terjulur
keluar dari dalam kereta itu.
Plaaak!
Sebuah pecut bergerak mengeluarkan suara. Kereta kuda
itu berpacu cepat ke depan, sedangkan suara harpa itu makin
rendah.
Setelah suara harpa itu berhenti, Tam Goat Hua dan
kakaknya pun berhenti berputar.
Mereka berdua tampak tertegun, kemudian melesat pergi.
Dalam sekejap keduanya sudah lenyap dari pandangan Han
Giok Shia.
Sementara Han Giok Shia masih tetap berdiri di dekat
jendela. Ia terus memandang ke tempat itu sambil melamun.
Ternyata dia sedang mengingat kembali kata-kata pemuda itu,
sehingga hatinya merasa kehilangan sesuatu. Setelah pemuda
itu lenyap dari pandangannya, barulah ia membalikkan
badannya.
Kini hari sudah mulai terang. Namun ketika ia
membalikkan badannya, di depan matanya tetap gelap gulita.
Han Giok Shia menghela nafas panjang. Kemudian ia
mengeluarkan sebuah batu api, dan menyalakan lampu yang
tergantung di ruangan itu.
Dalam waktu setengah tahun ini, setiap malam dia pasti ke
mari, namun tidak pernah memperhatikan bangunan menara
itu.
265
Tingkat teratas menara itu menyerupai sebuah kamar. Di
dalamnya terdapat sebuah meja, sebuah kursi dan boleh
dijadikan tempat tinggal.
Setelah lampu dinyalakan, gadis itu tampak tertegun,
bahkan sepasang matanya terbelalak lebar. Dia ingin berteriak
tapi tidak dapat mengeluarkan suara. Wajahnya penuh diliputi
kedukaan.
"Ayah! Ayah!" Ia menubruk ke depan. Ternyata ia melihat
di dinding ruangan itu muncul sosok bayangan.
Bayangan itu tinggi besar, jelas bukan Lu Leng. Lagipula ia
menaruh Lu Leng di lantai, sedangkan bayangan itu berdiri
bersandar di dinding.
Rambut orang itu awut-awutan, dadanya tampak terluka
dan darahnya belum kering. Sepasang matanya mendelik
memandang ke depan, namun sudah redup.
Begitu melihat orang itu, Han Giok Shia mengenalinya,
yang tidak lain si Pecut Emas-Han Sun, ayahnya.
Sungguh tak terduga, dia akan bertemu ayahnya di tempat
ini, tapi ayahnya telah mati.
Han Giok Shia memeluk erat-erat mayat ayahnya, lama
sekali barulah meledak isak tangisnya.
Adiknya telah binasa, ayah pun telah mati, ibu sudah lama
tiada, kini dia hanya tinggal sebatang kara.
Kali ini, Han Giok Shia jauh lebih sedih dari kesedihannya
ketika berada di halaman belakang rumahnya. Ia terus
266
menangis hingga cahaya mentari menyorot ke dalam melalui
jendela, ternyata hari sudah mulai siang.
Han Giok Shia mendongakkan kepala. Wajahnya murung
dan kusut, rambutnya awut-awutan tidak karuan, bibirnya
berbekas gigitan dan terdapat noda darah. Dapat dibayangkan
betapa sedihnya hati gadis itu.
Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, lalu merapihkan
rambutnya. Dia termangu-mangu lagi.
Di dinding tempat Han Sun bersandar tadi, tampak dua
huruf yang ditulis dengan tangan. Yakni huruf "Lu" dan huruf
"Tam".
Kira-kira tiga kaki di atas kedua huruf itu, terdapat pula
bekas sebuah telapak tangan yang cukup dalam, di jempol
bercabang sebuah jari, maka telapak tangan itu berjumlah
enam jari.
Padahal Han Giok Shia sudah berhenti menangis, namun
ketika melihat itu dia mulai menangis lagi.
"Ayah! Ayah! Aku sudah tahu! Yang membunuhmu adalah
Lu Sin Kong dan orang bermarga Tam itu! Aku sudah tahu!
Aku sudah tahu!"
Gadis itu cuma memperhatikan kedua huruf itu, sama
sekali tidak melihat bekas telapak tangan tersebut. Gadis itu
pun yakin, kedua huruf itu ditulis ayahnya, agar orang tahu
pembunuh itu adalah orang bermarga Lu dan bermarga Tam.
Walau malamnya dia melihat Lu Sin Kong membopong
mayat isterinya pergi namun dalam hatinya telah menganggap
267
Lu Sin Kong yang membunuh ayahnya, maka dia sama sekali
tidak bercuriga.
Sebab terhadap Lu Sin Kong, dia memang amat benci. Kini
melihat kedua huruf itu, sehingga semakin yakin Lu Sin Kong
adalah pembunuh ayahnya, sama sekali tidak bercuriga akan
keganjilan itu. Maklum! Gadis itu masih muda dan belum
berpengalaman.
Lama sekali dia berdiri mematung di situ, kemudian
perlahan-lahan memandang Lu Leng dengan penuh
kebencian.
Jalan darah Tay Pai Hiat di tubuh Lu Leng telah ditotok.
Walau anak itu terus menerus menghimpun hawa murninya
untuk membuka totokan itu, namun tidak berhasil sama sekali.
Sorotan mata Han Giok Shia yang penuh kebencian itu,
ditujukan pada Lu Leng. Berselang beberapa saat, perlahanlahan
dia menjulurkan tangannya untuk meraih senjata Liat
Hwe Soh Sim Lun yang di punggungnya, lalu diayunkannya
sehingga gelang bergerigi yang ada di ujung rantai itu,
melayang ke dada Lu Leng, dan menancap di situ tapi tidak
begitu dalam. Walau merasa sakit, tapi Lu Leng sama sekali
tidak menjerit.
Sebaliknya dia malah berusaha tenang, setelah itu berulah
berkata perlahan-lahan.
"Aku dan Nona sama sekali tidak saling mehgenal, tapi
kenapa Nona ingin merenggut nyawaku? Harap dijelaskan!"
Saat ini dalam hati Han Giok Shia, justru sedang berpikir
harus dengan cara bagaimana membuatnya mati perlahanKANG
ZUSI WEBSITE http://cerita-silat.co.cc/
268
lahan dalam keadaan tersiksa. Akan tetapi, perkataan Lu Leng
barusan malah membuat-nya tertegun.
Di saat bersamaan, Lu Leng pun mengerahkan seluruh
Lweekangnya totokan seketika itu juga terbuka dan mendadak
melancarkan sebuah pukulan.
Pukulan itu tidak diarahkan pada Han Giok Shia, melainkan
ditujukan pada senjata Liat Hwe Soh Sim Lun.
Dalam keadaan tertegun, Han Giok Shia merasakan
adanya serangkum tenaga yang amat kuat menerjang ke atas,
sehingga membuat badannya terhuyung-huyung ke belakang,
dan gelang bergerigi yang menancap di dada Lu Leng pun
tercabut.
Perubahan yang sekejap itu, justru merupakan suatu
kesempatan bagi Lu Leng untuk menyelamatkan diri. Tiba-tiba
sebelah tangannya menekan lantai, dan seketika juga
badannya mencelat sejauh tiga depaan.
Kini Han Giok Shia baru sadar, di saat Lu Leng membuka
mulut berbicara, ternyata dia berhasil membuka totokan itu
dengan hawa murninya.
Oleh karena itu, ketika melihat Lu Leng mencelat, dia pun
menggerakkan senjata Liat Hwe Soh Sim Lun untuk
menyerangnya, dengan jurus Thian Lung Hwe Yun (Langit
Menurunkan Awan Api).
Di saat gelang bergerigi itu hampir mengenainya,
mendadak Lu Leng berkelit ke samping.
269
Dikarenakan kematian ayahnya, maka timbul
kebenciannya yang amat dalam di hatinya, maka ketika
menyerang, dia menggunakan sembilan bagian tenaganya.
Plaaak!
Senjata Liat Hwe Soh Sim Lun menghantam lantai,
sehingga membuat lantai itu berlobang.
Lu Leng yang berhasil berkelit, cepat-cepat menyambar
sebuah kursi sekaligus menyerang Han Giok Shia. Padahal
luka di dadanya cukup berat, namun dia tahu kalau tidak
bertahan mati-matian, nyawanya pasti akan melayang. Oleh
karena itu, dia pun menggunakan tenaga sepenuhnya untuk
menyerang gadis itu, hingga kursi itu mengeluarkan suara
menderu-deru.
Han Giok Shia tidak sempat lagi mencabut senjatanya
yang menancap di lantai. Dilepaskannya senjata itu sambil
meloncat ke belakang sekaligus meraih Pecut Emas yang
melilit di pinggangnya.
Gadis itu menyentakkan Pecut Emas itu, sehingga
menimbulkan suara "Taar", dan itu sungguh mengejutkan Lu
Leng.
"Kau adalah puteri Han Sun?" tanya Lu Leng tertegun.
Han Giok Shia tidak menyahut, melainkan terus
menggerakkan Pecut Emas itu untuk menyerang Lu Leng.
Taaar!
Ujung Pecut Emas itu mendarat di bahu kiri Lu Leng,
membuat bajunya tersobek dan meninggalkan bekas
270
memerah. Walau kini bahunya telah terluka, namun Lu Leng
tetap mengajukan pertanyaan tadi.
Lu Leng amat membutuhkan jawaban, sebab penting
sekali bagi dirinya.
Semalam jalan darahnya ditotok oleh Han Giok Shia, tapi
tetap dapat mendengar pembicaraan Tam Goat Hua, Lu Sin
Kong dan kakak Tam Goat Hua.
Saat itu, dia tahu dirinya tidak becus, maka dipecundangi
orang. Lagipula dia pun kurang berpengalaman, sehingga
mengira gadis itu adalah Tam Goat Hua.
Selain itu, dia pun tahu ibunya telah binasa di rumah Pecut
Emas-Han Sun.
Betapa sedihnya hati Lu Leng saat itu, namun masih
belum terpikirkan, gadis yang menotok jalan darahnya, justru
puteri si Pecut Emas-Han Sun.
Hingga saat ini, Han Giok Shia mengeluarkan Pecut
Emasnya, barulah dia terpikirkan tentang itu.
Apabila benar gadis itu adalah puteri si Pecut Emas-Han
Sun, berarti gadis tersebut dan dia merupakan musuh besar.
Meskipun bahu Lu Leng terluka oleh Pecut Emas, tapi dia
tetap mengajukan pertanyaan tadi.
Han Giok Shia tertawa panjang.
"Tidak salah, aku memang puterinya!"
271
Usai menyahut, mendadak badannya melesat ke depan
sambil mengayunkan Pecut Emasnya. Serrr!
Gadis itu mengeluarkan jurus Toh Lang Cih Thian (Ombak
Menyapu Langit) menyerang Lu Leng. Itu adalah jurus
andalan ayahnya yang diwariskan kepadanya.
Begitu Pecut Emas itu diayunkan, terdengar suara
menderu-deru bagaikan suara ombak. Sedangkan dada Lu
Leng telah terluka, ditambah lagi luka di bahu, itu
membuatnya terasa sakit sekali, tapi dia terus berkelit ke sana
ke mari.
Tar! Taar! Tak henti-hentinya Pecut Emas itu
mengeluarkan suara yang mengguncangkan jantung.
Walau sudah berkelit ke sana ke mari, namun badannya
tak luput dari hantaman Pecut Emas itu.
Terasa sakit sekali ketika Pecut Emas itu mendarat di
badannya.
Sementara rambut Han Giok Shia sudah awut-awutan,
keadaannya bagai orang gila, terus memecut Lu Leng.
Lu Leng sudah tidak mampu berkelit lagi. Namun
kebetulan dia berada di dekat senjata Liat Hwe Soh Sim Lun
yang tertancap di lantai. Dia menggigit gigi sambil menyambar
senjata itu, sekaligus mencabutnya. Kemudian dengan senjata
itu dia menangkis Pecut Emas yang terus menyambarnyambar
dirinya.
Cring! Kedua senjata itu beradu. Di saat bersamaan Lu
Leng meloncat ke samping.
272
Han Giok Shia tertawa dingin lalu membentak.
"Binatang kecil, kau mau kabur ke mana?"
Setelah menggenggam senjata Liat Hwe Soh Sim Lun, Lu
Leng berusaha bangkit berdiri, akan tetapi sekujur badannya
terasa sakit sekali, sehingga membuatnya tak mampu bangun.
Ketika Han Giok Shia tertawa dingin itu bagaikan sembilu
menyayat hatinya, maka sekuat tenaga dia berusaha bangkit
berdiri dan berhasil, namun tidak bisa berdiri tegak, sebab
badannya terus bergoyang-goyang. Dia terpaksa menghimpun
hawa murninya, sekaligus mengayunkan senjata Liat Hwe Soh
Sim Lun untuk menyerang gadis itu, kemudian mendadak
dilepaskannya senjata itu dan menerjangnya ke arah jendela.
Lu Leng saat ini, sudah tentu akan binasa. Justru dalam
hatinya merasa, dari pada terus dipecut oleh musuh, lebih
baik meloncat keluar lewat jendela, itu akan mati secara
menyenangkan.
Ketika badannya mulai meluncur ke bawah, tiba-tiba
terdengar suara "Ser", ternyata Han Giok Shia telah
mengayunkan Pecut Emasnya untuk melilit badannya.
Tujuan gadis itu tidak menyelamatkannya, hanya saja
tidak menghendakinya mati terhempas di bawah, sebab gadis
itu masih ingin menyiksanya.
Di saat Pecut Emas itu melilit badan Lu Leng, membuat Lu
Leng nyaris tak dapat bernafas, sehingga sepasang tangannya
menggapai ke sana ke mari, kebetulan menggapai pinggir
jendela.
273
Pada waktu bersamaan, dia mendengar suara tawa Han
Giok Shia, kemudian Pecut Emas itu mulai memecutnya.
Tadi Lu Leng tidak mempedulikan apa pun, karena dia
telah mengambil keputusan untuk mati terhempas, namun kini
hatinya justru berubah keras.
Biar bagaimana pun juga, dia sudah tidak ingin mati lagi.
Asal ada sedikit kesempatan hidup, dia harus berjuang untuk
hidup. Itu demi membalas dendam ibunya, dan saat ini dia
justru menemukan kesempatan itu.
Ketika badannya berayun-ayun di pinggir jendela, dia
melihat tingkat bawah hanya berjarak dua tiga kaki.
Dia tahu, asal hatinya tenang pasti dapat meloncat ke
ujung wuwungan tingkat bawah itu, kemudian dengan jurus
Toh Kua Kim Ceng (Lonceng Emas Bergantung), dia bisa
menerobos ke dalam ruang tingkat bawah itu melalui jendela
untuk sementara menghindari siksaan Han Giok Shia.
Lu Leng berkertak gigi menahan rasa sakit Pecut Emas
yang terus menghujani badannya, dia memperhatikan ke
bawah. Di saat bersamaan Pecut Emas itu mengarah jalan
darah yang di punggungnya, itu merupakan jalan darah yang
amat penting.
Lagipula Han Giok Shia menyerangnya dengan jurus Liu
Sing Sam Tah (Meteor Membuat Tiga Lingkaran), mengarah
tiga jalan darah penting di punggung Lu Leng. Apabila ketiga
jalan darah itu tertotok, nyawa Lu Leng pasti melayang
seketika.
Oleh karena itu, dia menarik nafas dalam-dalam sambil
melepaskan tangannya yang memegang pinggir jendela,
274
membiarkan badannya merosot ke bawah, kemudian
melintangkan kaki kanannya untuk menggaet ujung
wuwungan. Maka badannya bergantung di situ dan
bergoyang-goyang, sekaligus mengayunkan badannya untuk
menerjang ke dalam jendela.
Buuk!
Badannya terhempas di lantai, sedangkan ujung
wuwungan yang telah menyelamatkan dirinya pun roboh jatuh
ke bawah.
Untung di bawah tidak terdapat seorang pun. Kalau ada
pasti tertimpa oleh ujung wuwungan itu.
Begitu terhempas di lantai, sekujur badan Lu Leng terasa
sakit lagi.
Tapi dia tahu, kalau masih ingin hidup, haruslah
memanfaatkan kesempatan yang sekejap itu untuk meloloskan
diri.
Karena itu, dia langsung bangkit berdiri. Setelah bangkit
berdiri, seketika juga dia merasa merinding. Ternyata di ruang
itu terdapat beberapa buah patung dewa yang tampak angker,
balikan seperti hidup.
Sungguh aneh sekali, di ruangan itu terdapat begitu
banyak Barang laba-laba, namun patung-patung dewa itu
justru kelihatan bersih sekali.
-ooo0oooKANG
ZUSI WEBSITE http://cerita-silat.co.cc/
275
Bab 12
Di saat itulah terdengar. suara bentakan Han Giok Shia,
dan itu sungguh mengejutkan Lu Leng.
"Binatang kecil! Jangan harap dapat meloloskan diri,
kecuali menuju ke alam baka!"
Lu Leng tahu tidak mungkin dirinya bisa lari ke bawah,
maka dia bersembunyi di belakang sebuah patung dewa.
Baru saja dia bersembunyi, hatinya merasa menyesal
sekali, karena jejak kakinya berada di lantai, bahkan menuju
ke arah patung tempat dia bersembunyi. Siapa yang melihat
jejak itu, pasti tahu ada orang bersembunyi di tempat itu.
Namun di saat itu Lu Leng sudah tidak sempat
bersembunyi di tempat lain, sebab suara Han Giok Shia sudah
semakin mendekat.
Sesungguhnya dari tingkat atas ke tingkat bawah, tidak
begitu membutuhkan waktu.
Akan tetapi, beberapa tingkat atas menara itu sudah lama
tidak diperbaiki, dan tangganya pun sudah lapuk, maka Han
Giok Shia harus berhati-hati melangkah turun, sudah barang
tentu memberi sedikit waktu untuk Lu Leng bernafas.
Lu Leng saat ini semakin panik, karena tahu sulit baginya
untuk meloloskan diri, sehingga membuatnya lupa akan rasa
sakit di sekujur badannya. Justru di saat itu, suatu hal yang
luar biasa terjadi mendadak.
276
Lu Leng nyaris tidak percaya akan matanya sendiri,
mengira itu hanya merupakan halusinasinya lantaran sekujur
badannya terluka.
Dia menggoyang-goyangkan kepala, apa yang terjadi itu
memang nyata, bukan halusinasinya.
Ternyata dia melihat salah satu patung dewa yang di
ujung, sekonyong-konyong bangkit berdiri, kemudian bergerak
cepat berputar-putar di ruang itu, dan berhenti di dekat
jendela, setelah itu mencelat ke tempat semula.
Betapa cepatnya gerakan patung dewa itu, sehingga
membuat mata Lu Leng menjadi kabur.
Ketika dia menundukkan kepala, memang benar patung
dewa itu pernah bangkit berdiri, sekaligus berputar-putar di
ruang itu.
Sebab jejak kakinya telah terhapus semua, malah muncul
jejak kaki lain menuju ke arah jendela.
Dalam hati Lu Leng tahu, kalau Han Giok Shia muncul
pasti akan melihat jejak kaki itu, dan mengira dirinya telah
meloncat keluar melalui jendela.
Di saat dia berpikir, terdengar suara "Blam", gadis itu
sudah menerobos ke dalam. Sebelah tangannya
menggenggam Pecut Emas, yang sebelah lagi memegang
senjata Liat Hwe Soh Sim Lun. Padahal gadis itu berparas
cantik, namun saat ini dia tampak beringas dan bengis sekali.
Lu Leng segera menahan nafas, tak berani bergerak sama
sekali.
277
Han Giok Shia yang telah masuk itu, langsung menengok
ke sana ke mari. Dilihatnya jejak kaki di lantai mengarah
jendela, maka dia lalu melesat ke jendela itu.
Seketika juga Lu Leng menarik nafas lega. Namun
kemudian berkeluh lagi, sebab dia melihat Han Giok Shia
membalikkan badan setelah memperhatikan jejak kaki di
lantai. Sedangkan apabila Han Giok Shia memperhatikan
patung-patung dewa yang di ruang itu, dia pasti akan
menemukan Lu Leng.
Justru di saat inilah hal aneh terjadi lagi. Ternyata
mendadak jubah patung dewa itu mengembang menutupi
badan Lu Leng.
Di saat itu pula terdengar suara dengusan Han Giok Shia
yang amat dingin.
"Hm! Bocah busuk, aku mau melihat kau kabur ke mana!"
Kemudian gadis itu melesat keluar menuju tingkat bawah.
Sampai di situ Han Giok Shia sama sekali tidak
menemukan jejak kaki. Karena itu, dia terus memeriksa ke
bawah. Tercium wangi dupa dan tampak beberapa Hweeshio
sedang membaca doa. Apa yang telah terjadi di lantai atas,
para Hweeshio itu sama sekali tidak mengetahuinya.
Han Giok Shia juga tidak punya waktu untuk berbicara
dengan mereka, namun segera bertanya.
"Maaf! Apakah kalian dapat melihat seorang anak remaja
melarikan diri dari sini?"
"Omitohud!" sahut salah seorang Hweeshio. "Seorang
anak remaja? Tidak."
278
Han Giok Shia mendekati jendela dan memandang ke
bawah, namun tidak tampak ada orang terhempas di bawah
sana, dan itu membuatnya tidak habis pikir.
Setelah termangu-mangu beberapa saat, gadis itu kembali
ke atas lagi. Beberapa Hweeshio itu tahu bahwa Hwe Hong
Sian Kouw tinggal di tingkat teratas, adalah orang dunia
persilatan, maka tidak merasa heran menyaksikan gadis itu
naik ke sana.
Han Giok Shia memeriksa setingkat demi setingkat, namun
sampai di tingkat itu dia pun tertegun. Padahal tadi di tingkat
itu terdapat tujuh delapan buah patung dewa, namun kini
sudah Ienyap semuanya.
Menyaksikan keadaan itu, sadarlah Han Giok Shia bahwa
dirinya telah terjebak oleh siasat orang. Maka dia bersiul
panjang seraya bertanya.
"Kurcaci dari mana, beranikah memperlihatkan diri?"
Walau dia berseru beberapa kali, tapi tetap tiada sahutan
sama sekali. Tiba-tiba dia teringat akan mayat ayahnya yang
masih bersandar di dinding ruangan tingkat atas. Maka
segeralah dia berlari ke tingkat teratas itu.
Han Giok Shia melihat mayat ayahnya sudah tidak
bersandar di dinding lagi, melainkan terbaring di ranjang. Dia
langsung menghampiri mayat itu. Dilihatnya selembar kertas
menempel di dada mayat ayahnya yang terluka. Pada kertas
tersebut terdapat beberapa baris tulisan. Diambilnya surat itu
lalu dibacanya.
279
Dada saudara Han, dilukai oleh Hou Jiau Kou (Cakar
Harimau) tiada hubungan dengan orang itu. Keponakan tidak
boleh bertindak sembarangan terhadap orang baik!
Pada surat itu tidak tercantum siapa yang menulisnya,
hanya terdapat tujuh macam gambar.
Yakni sebuah Holou (Semacam Kendi), sebatang suling,
sebatang Pit, sebuah buku, sebuah kipas, sebuah gelang besi
dan sebuah lempengan besi.
Gambar-gambar tersebut mewakili apa, Han Giok Shia
sama sekali tidak mengetahuinya, bahkan terheran-heran
pula.
Tadi di lantai bawah dia melihat tujuh delapan buah
patung dewa, tapi tidak memperhatikannya secara seksama.
Kini dia melihat ketujuh gambar itu, dapat diduga itu mewakili
tujuh orang.
Mengenai ketujuh orang tersebut Han Giok Shia pun tidak
kenal maupun tidak mengetahuinya.
Saat ini, dia masih dalam keadaan gusar, maka tidak
begitu memperhatikan bunyi tulisan itu. Kematian ayahnya
justru dilukai oleh Hou Jiau Kou, semacam senjata yang amat
ganas. Dalam hatinya dia menduga, bahwa ketujuh orang
tersebut telah menyelamatkan Lu Leng. Oleh karena itu,
dirobekrobeknya kertas tersebut, lalu dipeluknya mayat ayahnya
sambil menangis meraung-raung dan akhirnya pingsan.
Tak Beberapa lama kemudian, dia siuman dari pingsannya.
Ketika ia membuka mata, keadaan di sekelilingnya gelap
gulita, hanya tampak satu titik sinar.
280
Itu bukan berarti hari sudah gelap, melainkan sepasang
matanya tertutup sehelai kain.
Han Giok Shia tidak tahu dirinya berada di mana, dan itu
membuat hatinya menjadi "gugup dan panik. Mendadak
terdengar suara "Ting! Ting! Ting", yaitu suara harpa, tapi
cepat sekali suara berhenti, kemudian terdengar lagi suara
tawa.
"Ha ha ha!"
Tak seberapa lama, suara tawa itu pun hilang lenyap,
barulah Han Giok Shia menghimpun hawa murninya untuk
membuka jalan darahnya yang tertotok. melepaskan kain yang
menutupi mukanya. ternyata dia masih tetap berada di tingkat
atas menara tersebut dan mayat ayahnya pun tetap terbujur
di atas ranjang. Dia terus menatap mayat itu dengan wajah
murung.
Berselang beberapa saat, dia mulai berpikir. Ayahnya mati
di sini, lalu di mana Hwe Sian Siau Kouw, gurunya?
Apakah gurunya juga telah binasa? Kalau tidak, bagaimana
mungkin gurunya tidak ke mari? Padahal ketika dia
meninggalkan rumah, ayahnya dan gurunya masih duduk di
ruang besar, tapi kenapa malam harinya ayahnya sudah
menjadi mayat dan berada di sini sedangkan gurunya tidak
kelihatan sama sekali?
Berpikir sampai di sini, dia langsung menutupi mayat
ayahnya dengan selimut, kemudian segera turun ke tingkat
bawah. Keluar dari menara itu, dia langsung melesat menuju
kota. Sampai di depan rumahnya dia tidak membuka pintu
pagar lagi, melainkan meloncat ke dalam melalui tembok.
281
Rumah yang begitu besar, tampak sepi sekali, tiada suara
sedikit pun. Han Giok Shia berseru memanggil pembantu tua,
kemudian berseru memanggil gurunya, namun tidak terdengar
suara sahutan.
Dia langsung menerobos memasuki ruang besar.
Keadaan ruangan itu pun sama seperti kemarin ketika dia
pergi, tidak terdapat perubahan apa pun.
Han Giok Shia berputar ke sana ke mari, tapi tidak melihat
pembantu. Entah pergi ke mana pembantu itu.
Gadis itu membatin, mungkin gurunya belum mati. Hanya
karena musuh amat tangguh, maka gurunya pergi
mengundang jago tangguh untuk menghadapi musuh itu.
Gurunya punya hubungan baik dengan Hui Yan Bun, tentunya
gurunya pergi ke sana.
Tapi kemudian Han Giok Shia berpikir lagi, ayahnya dan
Hwe Hong Sian Kouw berada di ruang besar ini, sudah pasti
tidak ada musuh tangguh ke mari, maka Hwe Hong Sian Kouw
berpamit. Sedangkan ayahnya bukan mati di rumah,
melainkan di menara Hou Yok, bahkan juga meninggalkan
tulisan, yakni Lu dan Tam.
Lu tentunya menunjukkan Lu Sin Kong, sedangkan Tam
sudah pasti menunjukkan ayah Tam Goat
Hua....
Mendadak dalam benak Han Giok Shia kembali muncul
sosok bayangan, yaitu pemuda kurus yang tampan itu.
282
Bayangan pemuda itu justru membuatnya tersenyum getir,
sebab dia tahu jelas pemuda itu mencintainya, dan dia pun
terkesan baik terhadapnya.
Padahal kalau urusan terus berkembang, pasti akan baik
dan indah sekali. Akan tetapi kini apa pula yang harus
dikatakannya?
Han Giok Shia terus berpikir, setelah itu mengambil
keputusan, bahwa malam harinya dia akan kembali ke menara
itu. Walau dia tidak tahu jejak musuh, namun paling tidak bisa
menurunkan mayat ayahnya dan memakamkannya, kemudian
setelah itu baru menyusun suatu rencana untuk membalas
dendam.
Sesudah mengambil keputusan tersebut, barulah Han Giok
Shia merebahkan dirinya ke tempat tidur, tapi dia sama sekali
tidak bisa pulas.
Sulit sekali menunggu hari gelap. Walau tidak begitu lama
menunggu, namun dia merasa lama sekali. Ketika hari mulai
gelap, gerimis pun mulai turun. Di saat itulah Han Giok Shia
berangkat ke gunung Hou Yok.
Tak seberapa lama kemudian, dia sudah berada di sekitar
gunung Hou Yok tersebut. Hujan pun makin lama makin lebat,
sehingga rambut dan pakaiannya telah basah kuyup, tapi dia
sama sekali tidak merasakannya. Dia hanya berharap bertemu
kembali dengan Tam Goat Hua dan kakaknya, agar dapat
menyelidiki siapa ayah mereka, barulah membalas dendam.
Han Giok Shia mendatangi tempat semalam di mana dia
bersembunyi bersama Lu Leng, lalu duduk di atas sebuah
batu, membiarkan hujan turun terus mengguyur dirinya.
283
Ketika tengah malam, dia melihat dua sosok bayangan
berkelebat. Cepat-cepat dia bersembunyi di balik batu itu.
Kedua sosok bayangan itu sudah semakin mendekat, mereka
memakai topi rumput lebar.
Walau muka mereka ditutup oleh topi rumput lebar itu,
namun Han Giok Shia mengenali mereka berdua, yang tidak
lain Tam Goat Hua dan kakaknya.
Dia langsung menahan nafas dan tidak bergerak sama
sekali di tempat persembunyiannya, tak lama terdengar suara
Tam Goat Hua.
"Heran, sebetulnya ayah pergi ke mana, kok sudah malam
begini masih belum datang?" Kakaknya menyahut.
"Adik, apakah kau khawatir ayah akan dicelakai orang?"
Tam Goat Hua tertawa.
"Tentunya ayah tidak akan dicelakai orang, sebab dalam
rimba persilatan tidak banyak pesilat yang dapat bertahan
sepuluh jurus melawan senjata Hou Jiau Kounya. Aku cuma
merasa heran, kenapa ayah tidak datang?"
Usai Tam Goat berkata, sekujur badan Han Giok Shia
menggigil. Bukan karena kedinginan, melainkan teringat akan
sesuatu.
Hou Jiau Kou (Cakar Harimau)!
Ternyata itu yang membuatnya menggigil, bahkan juga
menyerupai jarum menusuk ke dalam hatinya.
284
Teringat akan tulisan yang tertera di kertas itu, berbunyi
demikian. "Dada Saudara Han, dilukai oleh Hou Jiau Kou..."
Pada waktu itu dia masih ragu, tapi kini sudah berani
memastikan siapa yang dimaksudkan "Tam" itu.
Itu membuat darahnya langsung mendidih. Rasanya ingin
segera memecut putra putri musuh besarnya itu, tapi dia
justru tahu, seorang diri tidak mungkin dapat melawan
mereka berdua.
Lagipula... bagaimana mungkin dia turun tangan terhadap
pemuda kurus tampan itu? Oleh karena itu hatinya manjadi
bimbang.
Di saat bersamaan, terdengar pemuda itu menyahut.
"Ayah tidak datang, tentunya ada urusan. Adik, kau jangan
mengira orang yang berkepandaian tinggi pasti ternama, itu
belum tentu. Seperti halnya apa yang kita alami semalam, kau
sudah lupa itu?"
"Kalau tidak diungkit masih tidak apa-apa. Tapi kalau
diungkit, justru hingga hari ini aku masih merasa gusar dan
penasaran sekali."
Pemuda itu tertawa.
"Adik, apa gunanya gusar dan penasaran. Suara harpa itu
dapat mempengaruhi kita, bahkan membuat kesadaran kita
kabur. Kalau si pemetik harpa itu mau mencelakai kita, boleh
dikatakan gampang sekali. Aaah! Dalam hal ilmu silat,
memang tiada batasnya!"
Tam Goat Hua juga tertawa.
285
"Kakak, kalau malam ini ayah tidak datang, kelihatannya
kita tidak bisa terus berdiam di Hou Yok. Kita harus segera
berangkat ke gunung Bu Yi, menunggu Lu Sin Kong membawa
para jago tangguh dari kedua partai pergi mencari Liok Ci
Siansing untuk membuat perhitungan. Kita memunculkan diri
dan asal mengatakan sesuatu, mereka pasti tidak akan
bertarung mati-matian."
Pemuda itu menyahut.
"Gampang sekali kau bicara. Kemarin kita bersama pergi
menyusul Lu Sin Kong, suara harpa itu datang dari langit,
membuat kita kehilangan banyak waktu, sehingga kita tidak
berhasil menyusulnya. Lagipula Lu Leng masih hidup, itu
hanya ucapan ayah, aku juga tidak bertemu Lu Leng. Sampai
saat ini kedua pihak menghunus pedang bertarung kalau kita
juga mengucapkan begitu apakah Lu Sin Kong dan para jago
kedua partai itu akan percaya?"
Tam Goat Hua menghela nafas panjang.
"Menurutmu, tidak ada yang harus kita lakukan?"
Pemuda itu menyahut, kemudian menghela nafas panjang.
"Juga tidak begitu. Kita harus ke gunung Bu Yi. Kalau
sampai saatnya mereka tidak percaya, asal kita menyebut
julukan ayah, mungkin untuk sementara mereka tidak akan
bertarung."
Tam Goat Hua bertepuk tangan.
"Ide yang bagus! Mari kita berangkat, jangan membuang
waktu lagi!"
286
Pemuda itu tertawa.
"Kau memang tidak sabaran!"
Tam Goat Hua juga tertawa.
"Kakak, jangan berkata begitu! Bagaimana kau sendiri
semalam? Begitu mendengar aku melukai gadis itu, kau pun
tampak begitu gugup dan panik. Kak, perlukah kita ke
rumahnya untuk berpamit?"
Pemuda itu memukul Tam Goat Hua. Gadis itu langsung
berkelit, kemudian mereka berdua tertawa lagi.
Begitu mendengar suara tawa mereka, hawa kegusaran
yang berada di rongga dada Han Giok Shia makin menyala,
tapi dia terpaksa bertahan kemudian terdengar lagi pemuda
itu berkata.
"Kita pun harus meninggalkan beberapa kata agar ayah
tahu ke mana tujuan kita. Kalau ayah berhasil membawa Lu
Leng bukankah baik sekali?"
Tam Goat Hua mengangguk.
"Betul apa yang kau katakan."
Mereka berdua menengok ke sana ke mari. Tampak batu
besar tempat Han Giok Shia bersembunyi. Mereka berdua
mempunyai maksud yang sana, lalu melesat ke arah batu
besar itu.
Begitu melihat mereka berdua melesat ke arahnya, Han
Giok Shia langsung menahan nafas dan tak berani bergerak
sedikit pun.
287
Ketika Tam Goat Hua dan pemuda itu sampai di hadapan
batu besar, Han Giok Shia dapat mendengar desah nafas
mereka, kemudian terdengar pula suara. Sert! Serrrt!,
kedengarannya seperti suara semacam senjata tajam
mengukir sesuatu di batu besar itu. Berselang sesaat, Tam
Goat Hua berkata.
"Kakak, biar aku yang mengukir namaku!"
Terdengar lagi suara "Serrt! Serrrt!".
Setelah itu, Tam Goat Hua berkata lagi. "Beres! Kalau ayah
ke mari pasti melihat ini!" Badan mereka bergerak, kemudian
perlahan-lahan meninggalkan tempat itu.
Setelah mereka tidak kelihatan, barulah Han Giok Shia
keluar dari tempat persembunyiannya.
Dia ke hadapan batu besar itu. Dilihatnya dua Baris tulisan
diukir di atas batu, yang berbunyi demikian.
ayah, Anak telah berangkat ke gunung Bu Yi, Ayah boleh
menyusul.
Berdasarkan ukiran huruf itu, dapat diketahui bahwa
Lweekang pemuda itu lebih tinggi, sebab ukirannya lebih
dalam. Tam Goat Hua tadi mengatakan mengukir namanya
sendiri, terlihat ukiran nama tersebut tidak begitu dalam.
Han Giok Shia berdiri termangu-mangu di depan batu
besar itu. Sampai lama sekali barulah dia mengambil
keputusan, yakni untuk berangkat kegunung Bu Yi juga.
288
Lu Sin Kong mau ke gunung Bu Yi membuat perhitungan.
Tam Goat Hua dan kakaknya bernama Tam Ek Hui serta ayah
mereka juga mau ke gunung Bu Yi.
Itu berarti kedua pembunuh ayahnya berada di gunung Bu
Yi, maka Han Giok Shia mengambil keputusan untuk
berangkat ke sana.
Walau gadis itu tidak kenal Liok Ci Siansing, Tiat Cit
Songjin dan lainnya, namun apabila dia membantu mereka
menghadapi musuh, tentunya mereka pasti gembira sekali dan
akan menyambutnya dengan baik.
Begitu ingat akan dendam tersebut, Han Giok Shia tampak
bersemangat sekali, lalu ke menara Hou Yok untuk mengambil
mayat ayahnya. Setelah dibawa pulang, hari berikutnya dia
membeli sebuah peti mati, kemudian menaruh mayat ayahnya
ke dalam peti mati itu, sekaligus dimakamkan di halaman
belakang. Isak tangisnya pun meledak di situ. Setelah puas
menangis barulah dia berangkat ke gunung Bu Yi.
Sementara ini tidak mengikuti perjalanan Han Giok Shia
yang sedang pergi ke gunung Bu Yi, sebaliknya kita harus
tahu bagaimana keadaan Lu Leng yang terluka malam itu.
Dia bersembunyi di belakang sebuah patung dewa. Ketika
Han Giok Shia memasuki lantai itu,
patung dewa itu pun menutupi badannya dengan
jubahnya. Lu Leng adalah anak cerdik, seketika juga dia dapat
menduga, bahwa patung dewa itu adalah orang.
Orang-orang itu bersedia menyelamatkannya, tentunya
tidak akan mencelakainya, maka dia berlega hati.
289
Walau dia sudah terluka, namun masih terus bertahan
karena ingin hidup. Di saat dia merasa lega, justru sudah tidak
kuat bertahan lagi. Dia merasa matanya gelap lalu pingsan.
Di saat dia pingsan, kebetulan Han Giok Shia
meninggalkan lantai itu menuju lantai bawah. Mendadak
ketujuh patung dewa itu bangun serentak, kemudian bergerak
cepat bagaikan terbang menuju tingkat teratas. Salah satu
patung itu masih menggendong Lu Leng.
Tidak begitu lama berada di tingkat teratas itu, mereka
segera turun ke tingkat bawah menggunakan Ginkang. Sampai
di bawah, mereka langsung melesat pergi laksana kilat.
Segala yang berlangsung itu, Lu Leng sama sekali tidak
mengetahuinya. Ketika dia siuman dan perlahan-lahan
membuka matanya, dia merasa badannya bergoyang-goyang.
Ternyata dirinya berada di dalam sebuah perahu yang cukup
besar.
Begitu siuman, sekujur badannya terasa sakit sekali. Maka
dia merintih-rintih tak tertahan.
Dia baru saja mengeluarkan suara rintihan, tampak
seseorang menjulurkan kepalanya ke dalam. "Bocah, kau
sudah siuman? Perutmu pasti sudah lapar, mau makan?"
Orang itu bertelinga lebar dan tampak ramah, sehingga Lu
Leng terkesan baik. Dia berusaha bangun tapi tak mampu
bergerak, sebaliknya sekujur badannya bertambah sakit, maka
merintih lagi.
"Bocah!" Si Gendut itu menggeleng-gelengkan kepala.
"Merasa sakit ya sudahlah! Jangan terus merintih, kau masih
hidup kok."
290
Lu Leng berkertak gigi. Walau sekujur badannya masih
terasa sakit sekali, tapi dia sama sekali tidak mengeluarkan
suara rintihan lagi.
Si Gendut mengacungkan jempolnya sambil manggutmanggut.
"Bagus! Hatimu memang tabah!" katanya.
Ketika si Gendut mengacungkan jempolnya, Lu Leng
melihat sebuah gelang berukuran cukup besar di lengannya.
Sementara Lu Leng terus menahan rasa sakitnya, sehingga
membuat wajahnya tampak meringis-ringis.
"Kau tidak usah cemas, kawan-kawanku itu sedang pergi
mencari obat untukmu. Tak lama mereka pasti ke mari.
Lukamu itu cukup berat, namun kau memiliki Lweekang yang
cukup tinggi, maka tidak apa-apa." kata si Gendut.
Bagian 06
"Terimakasih atas pertolongan para Cianpwee," ucap Lu
Leng.
Si Gendut kemudian mendadak menjulurkan tangannya
untuk mengambil sebuah topeng tembaga. Dipakainya topeng
itu tapi kemudian dilepaskan lagi.
"Tidak mengejutkanmu?" katanya.
291
Topeng tembaga itu memang aneh, justru adalah salah
satu patung dewa yang dilihatnya di dalam menara Hou Yok.
Saat ini walau sekujur badan masih terasa sakit, namun
kelakuan si Gendut yang lucu itu membuat Lu Leng tertawa
geli.
"Tidak terkejut, hanya saja kenapa para Cianpwee
menyamar sebagai patung dewa di menara Hou Yok itu?"
Si Gendut menghela nafas panjang.
"Panjang sekali kalau diceritakan. Setelah lukamu sembuh,
barulah kuceritakan. Ingat, saat ini kau tidak boleh gusar,
sebab akan menambah parah lukamu!"
Lu Leng mengangguk, lalu memandang keluar.
Tampak sedikit kabut di luar sana. Ternyata perahu
tersebut berada di pinggir sebuah telaga. Bukan main
indahnya panorama di tempat itu.
Setelah memandang keluar sejenak, dia bertanya kepada
si Gendut.
"Bolehkah aku tahu, siapa Cianpwee sekalian?"
Si Gendut tertawa gelak.
"Ha ha ha! Kami berjumlah tujuh orang, maka untuk
mengingat nama kami, mungkin sulit bagimu."
Begitu mendengar mereka berjumlah tujuh orang, hati Lu
Leng tergerak.
292
"Apakah Cianpwee sekalian adalah Tujuh Dewa dalam
rimba persilatan?"
Walau Lu Leng tidak pernah berkecimpung dalam rimba
persilatan, namun kedua orangtuanya sudah berpengalaman,
maka pernah mendengar dari kedua orangtuanya mengenai
orang-orang aneh berkepandaian tinggi dalam rimba
persilatan.
Dia masih ingat akan penuturan ayahnya, selain para
ketua partai besar, masih terdapat tujuh orang aneh yang
berkepandaian amat tinggi sekali. Karena merasa cocok satu
sama lain, maka ketujuh orang aneh itu selalu bersama dan
dijuluki Tujuh Dewa dalam rimba persilatan.
Jejak ketujuh orang aneh itu tidak menentu, kadangkadang
berada di dalam perahu, di pegunungan dan di pinggir
laut, bertindak sesuatu pun berdasarkan kemauan hati, sama
sekali tidak terikat oleh peraturan rimba persilatan. Kalau
berjodoh bertemu mereka dan mau menyebut sebagai
"Teecu" (Murid), pasti akan memperoleh keuntungan besar.
Teringat akan ini, barulah Lu Leng dapat menduga identitas
mereka.
Si Gendut tertawa lagi.
"Bocah, pengetahuanmu cukup luas, kami memang Tujuh
Dewa."
Lu Leng justru tidak tahu, sejak hari itu dia melihat
seorang piausu yang berlumuran darah, begitu masuk ke
dalam ruangan langsung mati, karena itu dia membawa golok
pendek meninggalkan rumah. Sejak itu pula dia terus
menghadapi berbagai macam bahaya, bahkan juga mengalami
hal-hal yang aneh.
293
Begitu pula apa yang dialami kedua orangtuanya, sebab
menemukan mayat anak tanpa kepala di dalam gudang batu,
maka mengira dia telah binasa, lantaran bekas telapak tangan
berjari enam, sehingga menganggap itu adalah perbuatan Bu
Yi San Liok Ci Siansing, Tiat Cit Songjin dan Tujuh Dewa
sebagai pembunuh.
Lu Leng sama sekali tidak tahu akan urusan itu. Begitu
pula Tujuh Dewa tersebut, sama sekali tidak tahu bahwa Lu
Sin Kong pergi mengundang para jago tangguh Tiam Cong Pai
dan Go Bi Pai, ke gunung Bu Yi guna membuat perhitungan
terhadap Liok Ci Siansing.
Ketika Lu Leng tahu bahwa Tujuh Dewa yang
menyelamatkan dirinya, maka hatinya menjadi lega. Di saat
itulah justru dia teringat akan kedua orangtuanya. Sudah
sekian lama dia tidak berjumpa, bahkan kini ibunya telah
binasa. Tak disangka hari itu meninggalkan rumah, malah
berpisah selamanya dengan ibunya.
Lu Leng merupakan anak yang berperasaan, begitu
teringat hal itu, air matanya meleleh. Sedangkan si Gendut
sudah kembali ke geladak. Lu Leng memandang keluar,
tampak permukaan telaga sedikit bergelombang, dan itu
membuat pikirannya menjadi menerawang.
Setelah meninggalkan rumah, Lu Leng mengalami
berbagai macam kejadian. Ternyata dia pergi mengejar kereta
mewah itu. Apa yang dialaminya, akan dituturkan di sini.
Hari itu setelah meninggalkan rumah, Lu Leng terus
mengejar kereta mewah itu. Dia terus mengejar sampai di luar
kota, tapi sama sekali tidak menemukan jejak kereta mewah
tersebut.
294
Lu Leng berpikir, apakah dirinya terlambat selangkah,
sehingga kereta mewah itu telah pergi jauh? Ketika dia baru
ingin kembali ke rumah untuk berunding dengan kedua
orangtuanya, mendadak terdengar suara kereta.
Lu Leng segera meloncat ke semak-semak dan
bersembunyi di situ lalu mengintip. Tampak sebuah kereta
mewah yang dihiasi dengan bermacam-macam permata, terus
melaju ke arah luar kota.
Setelah kereta mewah itu melewati tempat
persembunyiannya, dia segera melesat keluar, ke arah
belakang kereta mewah itu, sekaligus meraih pinggirnya,
maka dia bergantungan di situ.
Walau Lu Leng bernyali besar, tapi saat itu hatinya merasa
tegang juga. Sebelah tangannya memegang erat-erat
pinggiran atap kereta, tangan yang sebelah lagi bersiap-siap
menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.
Sementara kereta mewah itu terus melaju dengan
mengeluarkan suara "Tik Tak Tik Tak", tak Beberapa lama
kemudian, sudah tiba di pinggir sebuah sungai. Begitu tiba di
pinggir sungai itu, kereta mewah tersebut berhenti.
Hati Lu Leng bertambah tegang, sebab kereta mewah itu
berhenti di pinggir sungai, sudah barang tentu mau
menyeberang, itu berarti orang yang ada di dalamnya akan
keluar.
Hati Lu Leng terus berkebat-kebit. Akan tetapi, sudah
lewat sekian lama, tiada suara gerakan apapun.
Lu Leng merasa heran. Kebetulan di belakang kereta
mewah itu terdapat sebuah jendela kecil, yang ditutup dengan
295
sehelai gordyn warna keemasan. Karena tidak mendengar
suara gerakan apapun, maka dia mengeluarkan golok pendek
yang dibawanya untuk merobek sedikit gordyn itu, sekaligus
mengintip ke dalam.
Begitu melihat ke dalam, hatinya tersentak, karena
ternyata kereta itu kosong melompong.
Betapa heran hati Lu Leng, sebab kereta mewah itu
kosong. Keberaniannya pun menjadi bertambah. Dia segera
menghimpun hawa murninya lalu menerobos ke dalam. Ketika
sepasang kakinya menginjak, terasa menginjak sesuatu yang
amat lunak. Ternyata kereta mewah itu beralas semacam kulit
bulu binatang. Suasana di dalam kereta itu agak gelap,
tercium pula semacam bau harum yang amat aneh.
Lu Leng menyingkap sehelai gordyn, seketika di dalam
kereta mewah itu pun menjadi terang.
Sungguh indah dekorasi di dalam kereta mewah itu.
Terdapat sebuah meja kecil, tampak sebuah teko dan sebuah
pedupaan yang mengepulkan asap harum. Di sini pedupaan
terdapat sebuah harpa kuno berwarna agak kehitam-hitaman.
Lu Leng memang sering melihat berbagai macam harpa,
maka tahu ada berapa banyak tali senar harpa. Namun harpa
kuno yang satu itu, justru punya dua puluh satu tali senar
yang sehalus rambut.
Menyaksikan harpa kuno itu, dia merasa tercengang,
karena itu dia menjulurkan tangannya untuk memetik tali
senar harpa itu.
296
Akan tetapi, jari tangannya sama sekali tidak mampu
menggerakkan tali senar itu, sehingga sedikit suara pun tak
terdengar.
Mulut Lu Leng ternganga lebar. Padahal tadi dia telah
menggunakan tenaga yang cukup besar untuk memetik tali
senar harpa itu, namun tak berbunyi sama sekali.
Kalau begitu, si pemiliknya harus menggunakan tenaga
besar untuk memetik tali Benar harpa tersebut? Maklum! Lu
Leng masih bersifat anak-anak, maka ingin sekali
membunyikan harpa kuno tersebut. Dia menghimpun hawa
murni, kemudian disalurkan ke jari tangannya untuk memetik
tali senar itu.
Tali senar harpa kuno itu bergerak dan mendadak
mengeluarkan suara bagaikan halilintar. Lu Leng sama sekali
tidak menyangka harpa kuno itu akan mengeluarkan suara
yang begitu keras memekakkan telinga, membuat jantungnya
tergetar dan badannya terpental jatuh.
Di saat bersamaan, terdengar pula suara ringkikan kuda,
kemudian kereta mewah itu tergoncang-goncang lalu
meluncur laksana kilat.
Saat itu, Lu Leng mengerti bahwa dirinya telah
menimbulkan suatu bencana. Dia segera menuju tempat
duduk kusir, lalu dengan sekuat tenaga ditariknya tali les kuda
itu, agar kuda itu berhenti.
Akan tetapi, kuda itu terus meringkik dan mengamuk
berjingkrak-jingkrak seperti gila, mulut mengeluarkan busa.
Bagaimana mungkin tali les itu dapat menahan amukan kuda
tersebut? Tiba-tiba terdengar suara "Plaak", tali les itu telah
putus.
297
Begitu tali les itu putus, kuda tersebut berlari kencang ke
depan. Lu Leng ingin meloncat turun, tapi ketika melihat ke
bawah, kepalanya langsung terasa pusing dan pandangannya
kabur. Itu dikarenakan saking kencangnya kuda itu berlari.
Kalau dia meloncat, pasti akan terluka berat.
Kini sekujur badannya mengeluarkan keringat dingin.
Sedangkan kuda itu terus berlari kencang. Lu Leng berteriakteriak,
namun kuda itu tidak mau berhenti. Kuda itu terus
berlari, tak terasa hari mulai gelap.
Lu Leng memandang ke depan, dilihatnya sebuah telaga
besar. Permukaan telaga itu menyatu dengan langit, dan
kemerah-merahan pula. Itu sungguh indah sekali! Lu Leng
dibesarkan di kota Lam Cong, tentunya tahu bahwa dirinya
telah tiba di telaga Hoan Yang Ouw.
Sampai di pinggir telaga itu, kuda tersebut berhenti lalu
terkulai dengan mulut mengeluarkan busa. Kalau bukan
terhalang oleh telaga itu, kuda tersebut entah akan berlari
sampai ke mana?
Begitu sampai di telaga Hoan Yang Ouw, Lu Leng
tertegun, karena dari Lam Cong ke tempat itu paling sedikit
harus menempuh jarak seratus mil lebih. Maka dapat
diketahui, bahwa kuda itu sangat jempolan.
Lu Leng meloncat turun dari kereta. Ketika itu hari sudah
agak gelap. Dalam hati Lu Leng merasa, kereta mewah itu
amat aneh dan misterius pula. Maka, dia tidak berani lamalama
berada di tempat itu.
Dia membalikkan badannya, kemudian berlari kencang ke
arah kota Lam Cong. Dia ingin pulang untuk memberitahukan
298
kepada kedua orangtuanya tentang apa yang dialaminya, juga
mengenai harpa kuno itu.
Namun ketika dia baru berlari tujuh delapan mil,
mendadak terdengar suara kereta di belakangnya, seakan
mengejarnya.
Tersentak hati Lu Leng, tapi kemudian berpikir mungkin
kereta lain sedang melakukan perjalanan malam, maka dia
tidak begitu cemas lagi, juga tidak berpaling ke belakang.
Setelah berlari beberapa mil, suara kereta itu tetap
terdengar di belakangnya, dan itu membuat Lu Leng berpaling
ke belakang. Begitu berpaling, sekujur badannya langsung
mengeluarkan keringat dingin.
Ternyata kereta yang berada di belakangnya, justru kereta
mewah itu.
Saat ini, kereta mewah tersebut telah bertambah seorang
kusir yang berpakaian serba hitam, tangannya memegang
pecut kuda.
Di malam nan gelap itu, kereta mewah tersebut kelihatan
mirip arwah gentayangan menerjang ke arahnya. Lu Leng
cepat-cepat meloncat ke samping, tapi kereta mewah itu pun
bergeser ke samping seakan menindihnya.
Betapa terkejutnya hati Lu Leng. Ia langsung membentak
sambil mengeluarkan golok pendek.
"Hei! Kau buta ya? Kau tidak melihat di depan ada orang?"
Kereta mewah itu berhenti, dan si kusir mendengus dingin.
299
"Hmmm!" Dengusan itu membuat orang merinding
mendengarnya.
Saat ini, jarak kereta mewah tersebut dan Lu Leng begitu
dekat, sehingga Lu Leng dapat melihat dengan jelas kusir itu
berpakaian serba hitam. Wajahnya kehijau-hijauan, sama
sekali tidak terdapat warna darah. Sepasang bola matanya tak
bergerak, namun menyorot dingin.
Terkejut Lu Leng menyaksikannya, sehingga tanpa sadar
ia menyurut ke belakang.
"Kau... kau siapa?" tanyanya.
Si kusir itu mendengus dingin lagi, kemudian mengangkat
pecut kuda yang di tangannya. Kemudian pecut itu meliuk-liuk
ke arah Lu Leng.
Lu Leng ingin berkelit, namun terlambat, tahu-tahu pecut
itu sudah mendarat di bahunya.
Tar! Taaar!
Bahu Lu Leng terpecut dua kali. Itu membuat Lu Leng
gusar sekali. Dia langsung mengayunkan golok pendek yang di
tangannya untuk menyerang si kusir dengan jurus It Coh Keng
Thian (Sekali Menyerang Mengejutkan Langit).
Si kusir tetap duduk tak bergeming, tapi mendadak
menggerakkan pecut kuda itu untuk menangkis golok pendek
yang mengarahnya. Golok pendek itu tertangkis sehingga
arahnya menjadi miring ke kiri. Di saat bersamaan pecut kuda
itu menghantam lengan Lu Leng yang menggenggam golok
pendek.
300
Lengan Lu Leng terasa sakit sekali, sehingga golok pendek
yang digenggamnya terlepas, jatuh ke tanah.
Lu Leng terkejut bukan kepalang, karena hanya dua jurus
bergebrak dengan kusir itu, dia sudah kehilangan golok
pendeknya. Mendadak dia menjatuhkan diri, sekaligus
menyambar golok pendek yang tergeletak di tanah.
Dia berhasil menyambar golok pendek itu, namun
punggungnya terasa sakit sekali. Ternyata pecut kuda itu telah
menyambar punggungnya. Dia terguling-guling beberapa
depa, namun tiba-tiba ada tenaga lunak menahan dirinya,
sehingga dia tidak berguling lagi.
Lu Leng tertegun, lalu mendongakkan kepalanya. Tampak
tiga orang berbadan tinggi besar berdiri di hadapannya.
Dandanan ketiga orang itu sungguh aneh. Mereka
mengenakan pakaian kuno dan topi tinggi. Di pinggang
masing-masing bergantung sebilah pedang panjang.
Salah seorang dari mereka mengangkat Lu Leng bangun
dengan sebelah kakinya, kemudian melemparkannya beberapa
depa, membuat Lu Leng berdiri.
Terhadap apa yang telah terjadi dan siapa pula yang
dijumpainya, Lu Leng sama sekali tidak paham, hanya merasa
tercengang.
Kemudian orang itu menjura ke arah kereta kuda mewah
seraya berkata,
"Jago tangguh dari partai mana yang berada di dalam
kereta, harap memberitahukan!"
301
Kusir itu perlahan-lahan menoleh. Sepasang bola matanya
tetap tak bergerak memandang ketiga orang itu. Kemudian ia
mengeluarkan suara dengusan dingin namun sama sekali tidak
berbicara.
Ketiga orang itu maju selangkah, lalu berkata serentak.
"Kalau kau masih tidak berbicara, kami akan membuka
pintu kereta melihat dalamnya!"
-ooo0ooo-
Bab 13
Lu Leng tidak kenal dengan ketiga orang itu. Namun dia
amat berterimakasih kepada mereka karena mereka telah
menyelamatkannya. Dia ingin memberitahukan bahwa kereta
itu kosong, tidak ada orangnya.
Namun ketika dia baru mau membuka mulut, mendadak
tampak sosok bayangan meloncat keluar dari kereta mewah
itu.
Lu Leng terkejut sekali, sebab ketika dia meninggalkan
kereta mewah itu, di dalamnya tidak terdapat seorang pun.
Dia sudah merasa heran karena kereta mewah itu
mengejarnya, bertambah seorang kusir, kini bahkan tampak
seseorang meloncat keluar dari dalamnya, membuatnya
bertambah heran. Entah kapan kedua orang itu berada di
kereta mewah tersebut. Orang yang meloncat keluar
berdandan sebagai pengurus rumah. Wajahnya lumayan, tidak
seperti wajah si kusir yang menyeramkan itu.
302
Setelah meloncat keluar, orang itu memberi hormat
kepada ketiga orang tersebut seraya berkata,
"Aku bernama Ki Hok, entah ada urusan apa kalian bertiga
ingin menemui majikanku?"
Salah seorang dari mereka menyahut.
"Tahukah kau siapa kami bertiga?"
Ki Hok tertawa.
"Harap beritahukan!"
Wajah ketiga orang itu berubah gusar, kemudian salah
seorang dari mereka membentak.
"Kau berani menggunakan kereta ini ke mana-mana
menimbulkan urusan, tentunya majikanmu punya asal-usul
yang luar biasa, tapi kenapa tidak kenal kami bertiga?"
Semula Lu Leng tidak tahu kenapa ketiga orang itu marahmarah.
Setelah mendengar ucapan itu, barulah ia tahu bahwa
mereka bertiga pasti amat terkenal dalam rimba persilatan.
Namun Ki Hok justru tidak kenal mereka, maka mereka bertiga
menjadi gusar sekali.
Oleh karena itu, Lu Leng memperhatikan ketiga orang itu,
hatinya tergerak dan membatin. Apakah mereka bertiga
adalah Bu Tong Sam Kiam (Tiga Pedang Dari Bu Tong) yang
amat tersohor itu?
Bu Tong Pai memang mempunyai jago-jago tangguh,
maka nama Bu Tong Pai amat cemerlang dalam rimba
303
persilatan. Ketiga orang itu memang Bu Tong Sam Kiam,
karena apabila mereka turun pasti bersama pula.
Mereka bertiga telah menguasai ilmu pedang Sam Cay
Kiam Hoat, yakni ilmu pedang Langit, Bumi dan Manusia.
Ketiga macam ilmu pedang itu merupakan ilmu pedang tingkat
tinggi, yang amat lihay dan dahsyat.
Ki Hok tertawa.
"Aku cuma keluyuran mengikuti majikanku ke empat
penjuru. Mengenai kaum rimba persilatan yang terkenal, aku
memang tidak mengetahuinya, harap kalian bertiga
memaafkanku!"
Wajah ketiga orang itu penuh kegusaran, sedangkan
wajah Ki Hok tampak berseri-seri.
"Hmm!" Ketiga orang itu mendengus dingin, kemudian
salah seorang dari mereka berkata,
"Dengar-dengar ada sebuah kotak kayu yang punya
hubungan dengan kereta ini. Kami ingin melihatnya!"
Ucapan tersebut agak bernada angkuh, namun Ki Hok
sama sekali tidak tersinggung maupun marah.
"Sungguh tidak kebetulan kedatangan kalian bertiga,
sebab majikanku telah menitipkan kotak kayu itu kepada
Thian Hou Piau Kiok yang di kota Lam Cong untuk diantar ke
Su Cou, kini sudah tidak berada di dalam kereta."
Apa yang dikatakan Ki Hok membuat Lu Leng menyadari
satu hal, maka dia berseru dalam hati.
304
"Hah! Ternyata yang datang mencari ayahku di siang hari,
adalah Ki Hok ini!"
Karena berkaitan dengan ayahnya, maka Lu Leng pun
mendengarkan dengan penuh perhatian. Ketiga orang itu
tertawa.
"Ha ha! Kalian dapat mengelabui orang lain, namun tidak
dapat mengelabui kami bertiga!"
Ki Hok tampak tertegun.
"Apa maksud ucapan kalian bertiga itu?" tanyanya
kemudian.
Salah seorang dari Bu Tong Sam Kiam itu tertawa
panjang, lalu menyahut.
"Kalian menyiarkan berita ke mana-mana, bahwa kotak
kayu itu telah dititipkan kepada Lu Sin Kong, tentunya akan
membuat para jago terkenal pergi mencarinya! Tapi
sesungguhnya, kotak kayu itu justru masih berada di tangan
kalian! Ya, kan?"
Ki Hok tertawa.
"Kalian bertiga salah! Kotak kayu itu memang benar sudah
berada di tangan Lu Sin Kong, siapa pun tahu itu!"
Ketiga orang itu maju selangkah. Mendadak terdengar
suara "Tring! Tring! Tring", ternyata mereka telah menghunus
pedang masing-masing dan langsung mengurung Ki Hok.
305
Usia Lu Leng masih muda. Tapi ibunya adalah ahli ilmu
pedang, dan mengajarnya ilmu pedang Tiam Cong Pai, bahkan
juga menjelaskan ilmu pedang partai lain.
Maka ketika menyaksikan cara ketiga orang itu menghunus
pedang, Lu Leng sudah tahu bahwa mereka bertiga memiliki
ilmu pedang tingkat tinggi.
Setelah terkurung oleh ketiga bilah pedang itu,
wajah Ki Hok mulai berubah, namun tetap tersenyum.
"Kalian bertiga mengurungku, sebetulnya bermaksud
apa?"
Ketiga orang itu tertawa dingin.
"Sesungguhnya kau bukan bermarga Ki, melainkan adalah
Sun San, Hian Hiang Tongcu dari Hoa San Pai. Kami tidak
salah bicara bukan?"
Air muka Ki Hok langsung berubah, tapi hanya sekejap
sudah normal kembali seperti semula.
"Itu hanya merupakan jabatanku sehari di Hoa San Pai,
lalu aku meninggalkan Hoa San. Kalian bertiga dapat
mengenaliku, itu membuatku salut sekali!"
Ketiga orang itu tertawa gelak.
"Dua belas Tongcu dari Hoa San Pai, berkedudukan tinggi
dalam rimba persilatan. Sejak kapan kau rela meninggalkan
Hoa San, menjadi seorang pengurus rumah?"
306
Ki Hok menyahut hambar.
"Setiap orang punya kemauan sendiri, kalian bertiga tidak
perlu banyak bertanya!"
Ketiga orang itu tertawa lagi.
"Jangan macam-macam! Yang kau maksudkan majikan itu
adalah si Tua Liat Hwe, bukan? Bicaralah!"
Mendengar sampai di sini, Lu Leng semakin yakin bahwa
ketiga orang itu adalah Bu Tong Sam Kiam.
Sedangkan ketua Hoa San Pai adalah Liat Hwe Cousu,
kedudukannya sangat tinggi dalam rimba persilatan. Namun
dalam dua puluh tahun ini, beliau tidak begitu gampang
menginjakkan kakinya di rimba persilatan.
Akan tetapi, nada ucapan ketiga orang itu kedengarannya
tidak memandang sebelah mata kepada Liat Hwe Cousu.
Ki Hok menggeleng-gelengkan kepala seraya menyahut.
"Kalian bertiga keliru, majikanku bukan Liat Hwe Cousu!"
Salah seorang Bu Tong Sam Kiam bernama Mok Pek Yun.
Dia adalah saudara tertua. Ketika dia baru mau bertanya lagi,
yang di sampingnya yaitu Mok Cong Hong, saudara kedua
sudah tidak sabar lagi.
"Kakak, untuk apa banyak bicara dengan dia? Hoa San Pai
memang tidak karuan, lebih baik dia kita habiskan dulu!"
Mok Kui Ih, yang bungsu itu menyelak.
307
"Betul. Dia tidak punya majikan, cuma berlagak dan
macam-macam saja! Kotak kayu itu pasti menyimpan sesuatu
yang amat penting, bagaimana mungkin akan dititipkan
kepada orang lain?"
Mok Pek Yun memberi isyarat kepada kedua adik
seperguruannya, kemudian berkata kepada Ki Hok.
"Kau mendengar itu?"
Ki Hok tertawa hambar.
"Kalau kalian bertiga mau turun tangan, aku pun tidak bisa
apa-apa. Namun kalau kalian bertiga menjadi pecundang,
jangan mempersalahkanku!"
Usai Ki Hok berkata, si kusir mengeluarkan tawa dingin. Di
saat itulah Bu Tong Sam Kiam sudah mulai bergerak.
Tampak sinar pedang berkelebatan ke arah Ki Hok.
Sungguh cepat sekali gerakan ketiga pedang itu! Kemudian
ketiga orang itu mundur serentak.
Sekujur badan Ki Hok telah terluka oleh ketiga pedang itu,
dan darah segarnya pun mengucur.
Ki Hok sama sekali tidak berkelit maupun menangkis.
Kalaupun dia berkelit atau menangkis, juga percuma karena
gerakan ketiga pedang itu amat cepat, lihay dan dahsyat
sekali.
Menyaksikan kejadian itu, Lu Leng merasa tidak senang
akan tindakan Bu Tong Sam Kiam.
308
Walau dia pernah bergebrak dengan si kusir sehingga
badannya tercambuk, namun Ki Hok adalah orang yang
sedang dicarinya karena membunuh salah seorang piausu
Thian Hou Piau Kiok.
Meskipun Bu Tong Sam Kiam telah menyelamatkannya,
tapi Lu Leng berjiwa gagah, maka merasa tidak adil mereka
bertiga mengeroyok satu orang.
"Tiga lawan satu, itu tidak adil sama sekali. Kalau mau
bertarung, satu lawan satu!" serunya lancang.
Bu Tong Sam Kiam berpaling. Mereka menatap Lu Leng
dengan penuh kegusaran, sedangkan Ki Hok justru tertawa
sambil memandangnya.
"Saudara kecil, terimakasih atas ucapanmu yang gagah
itu! Dengarlah perkataanku, cepat tinggalkan tempat ini!"
Lu Leng sungguh salut terhadap sikap Ki Hok yang begitu
tenang, pertanda orang gagah.
Lu Leng masih kecil, maka dia tidak tahu sama sekali,
bahwa Ki Hok begitu tenang karena tahu akan perkembangan
selanjutnya.
Lu Leng menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak mau
pergi."
Ki Hok berpaling ke arah si kusir, lalu memberi isyarat. Si
kusir berwajah seram itu langsung tertawa dingin, mendadak
mencelat ke atas dari tempat duduknya, berputar di udara
kemudian melayang turun. Di saat bersamaan, terdengar pula
suara "Sert! Sert! Sert", pecut kuda yang di tangannya telah
309
mengarah Lu Leng. Sungguh cepat dan indah sekali
gerakannya pecut itu.
Lu Leng terkejut sekali. Tanpa ayal lagi dia segera
meloncat ke belakang. Akan tetapi, ujung pecut kuda itu
masih tetap mengarah padanya, sehingga membuat Lu Leng
harus meloncat lebih jauh lagi.
Tak terasa dia sudah meloncat mundur sekitar dua tiga
puluh depa. Disaat bersamaan, sekonyong-konyong si kusir itu
melesat pergi, kembali ke tempat duduknya.
Lu Leng menarik nafas lega. Dia bersandar dipohon sambil
memandang ke depan. Dilihatnya Bu Tong Sam Kiam masih
berdiri di situ mengurung Ki Hok, sedangkan Ki Hok masih
berdiri tak bergeming di tempat itu.
Dalam hati Lu Leng tahu, si kusir aneh sama sekali tidak
bermaksud mencelakai dirinya, melainkan menuruti perintah Ki
Hok untuk mendesaknya keluar dari tempat itu.
Seandainya si kusir aneh itu ingin mencelakai dirinya, tidak
mungkin pecut kuda itu tidak mengenai badannya. Kini
melihat Ki Hok terkurung di situ, dia bermaksud maju.
Di saat bersamaan, mendadak telinganya menangkap
suara harpa yang amat halus.
Tergerak hati Lu Leng dan teringat dirinya ketika berada di
dalam kereta mewah itu, melihat sebuah harpa kuno dan
memetik tali senarnya, justru menimbulkan suara yang amat
menggetarkan jantung.
Kini terdengar suara harpa kuno itu, kedengarannya
seperti berasal dari langit, namun Lu Leng tahu suara itu pasti
310
berasal dari dalam kereta mewah. Akan tetapi. Ki Hok telah
keluar dari dalam kereta itu, bagaimana mungkin masih ada
orang lain di sana?
Lu Leng berpikir sambil memandang. Begitu suara harpa
mengalun, Bu Tong Sam Kiam mulai menyerang. Lu Leng
amat mengkhawatirkan Ki Hok. Namun setelah diperhatikan
dengan seksama, dia justru terheran-heran hingga tak percaya
akan pandangannya, ternyata mereka mengayunkan pedang
masing-masing ke arah orang lain, yang ternyata Mok Kui Ih.
"Aaaakh!" Dia menjerit menyayat hati dan nyawanya
melayang seketika.
Setelah Mok Kui lh binasa, kedua orang itu mulai
bertarung lagi. Berselang sesaat, gerakan pedang mereka
mulai melemah.
Suara harpa berhenti, kereta mewah itupun mendadak
meluncur pergi. Kedua orang itu masih saling menyerang.
Setelah kereta mewah itu hilang ditelan kegelapan,
perkelahian mereka barulah berhenti.
Walau Lu Leng berada di tempat yang agak jauh, namun
dapat melihat kedua bilah pedang itu terlepas dari tangan
mereka, kemudian mereka berdua terkulai.
Lu Leng tahu bahwa apa yang dilihatnya itu merupakan
kejadian yang amat aneh dan besar dalam rimba persilatan.
Ketika melihat kedua orang itu terkulai, dia segera berlari
menghampiri mereka. Ternyata mereka berdua telah terluka
parah. Dada masing-masing berlobang dan darah segar tak
henti-hentinya mengucur dari luka itu.
311
Di saat bersamaan, tampak kedua orang itu membalikkan
badan, lalu memandang Lu Leng seraya berkata.
"Sa... sahabat kecil... beritahukan kepada Bu Tong Pai...
kami bertiga...."
Berkata sampai di situ, mata kedua orang itu mendelik,
dan nafasnya pun putus seketika.
Lu Leng termangu-mangu, Bu Tong Sam Kiam amat
terkenal dalam rimba persilatan, namun kini malah mati secara
mengenaskan di tempat ini. Kalau tidak menyaksikannya
dengan mata kepala sendiri, tentu tidak akan percaya apabila
orang lain menceritakannya.
Sebelum menghembuskan nafas penghabisan, mereka
berpesan. Walau pesan itu tidak lengkap, namun Lu Leng
tahu, mereka berdua menghendakinya ke Bu Tong Pai
mengabarkan tentang kejadian ini.
Lu Leng berdiri termangu-mangu dekat ketiga sosok mayat
itu, kemudian membatin. Karena pesan itu mau tidak mau dia
harus pergi ke Bu Tong Pai. Namun tidak bisa membiarkan
mayat-mayat itu tergeletak di situ, harus dikubur.
Oleh karena itu, dengan sebilah pedang mulailah dia
menggali sebuah lobang besar. Di saat bersamaan, justru
terdengar suara derap kaki kuda menuju ke tempat itu, lalu
berhenti.
Lu Leng berpaling. Dilihatnya seorang lelaki meloncat
turun dari kuda, lalu menghambur mendekati mayat-mayat
itu.
312
Setelah melihat sejenak ketiga sosok mayat itu, dia
mendadak menerjang ke arah Lu Leng seraya membentak.
"Bangsat! Cara bagaimana kau melukai ketiga paman
guruku?" usai membentak, lelaki itu meng ayunkan goloknya
menyerang Lu Leng.
Lu Leng gusar tapi juga ingin tertawa. Bu Tong Pai
tergolong salah satu partai besar dalam rimba persilatan,
namun punya murid yang begitu tak becus berpikir. Dia
menangkis golok pendeknya, mengeluarkan jurus Siang Hong
Cak Yun (Sepasang Puncak Menembus Awan).
"Trang!" Suara kedua senjata itu beradu.
Golok pendek milik Lu Leng dibuat dari baja murni. Walau
tidak tergolong golok pusaka, namun golok itu amat tajam.
Tangkisan Lu Leng membuat lelaki tersebut terhuyunghuyung
ke belakang bahkan goloknya telah somplak.
Setelah dapat berdiri, lelaki itu langsung membentak.
"Bangsat kecil, siapa kau?"
"Namaku Lu Leng!"
Lu Leng? Laki-laki tertegun, sebab sama sekali tidak
pernah mendengar nama tersebut.
"Siapa orangtuamu?" tanyanya lagi.
"Thian Hou Lu Sin Kong!" Lu Leng memberitahukan.
313
"Hah?" Lelaki itu tampak terkejut dan mendadak meloncat
ke punggung kudanya seraya berseru, "Ternyata Lu Sin Kong
bangsat tua itu yang membunuh ketiga paman guruku!"
Usai berseru, dia memacu kudanya. Hati Lu Leng
tersentak. Kalau tidak menjelaskan padanya,
Bu Tong Pai pasti akan salah paham terhadap ayahnya.
Oleh karena itu, dia melesat pergi mengejar lelaki itu, dan
berhasil meraih ekor kudanya.
Lu Leng berteriak-teriak.
"Bu Tong Sam Kiam saling membunuh! Mereka bertiga
saling membunuh!"
Lelaki itu mengayunkan goloknya. Terdengar suara "Sert",
ekor itu telah putus.
Lu Leng terjatuh, tapi masih sempat berteriakteriak.
"Bu Tong Sam Kiam...!"
"Omong kosong!" sahut lelaki itu lantang. "Suruh bangsat
tua itu tunggu, Bu Tong Pai pasti mencarinya!"
Lu Leng meloncat bangun, tapi kuda itu sudah jauh sekali,
tidak mungkin dapat mengejarnya.
Lelaki itu memanggil Bu Tong Sam Kiam sebagai "Paman
Guru", tentunya dia murid tingkat rendah. Tapi dia begitu
pulang ke Bu Tong Pai, sudah pasti akan menceritakan yang
bukan-bukan.