2
Bagian 01
Bab 1
Angin menerpa bendera besar itu sehingga terdengar
suara berdesah-desah, warna dasarnya biru, diatasnya ada
sulaman warna warni bergambar seekor harimau yang hidup
sekali. Di bagian bawahnya ada sulaman tulisan empat huruf
"Thian Houw Piau Kiok" Bendera itu memang tertancap di atas
genteng gedung Thian Houw Piau Kiok (Ekspedisi Harimau
Langit) itu.
Thian Houw Piau Kiok boleh dibilang merupakan Ekspedisi
terbesar di antara lima propinsi sebelah Selatan. Barangbarang
yang dikawal perusahaan ini rata-rata bernilai laksaan
tail uang perak. Namun selama ini belum pernah terjadi
kegagalan. Bukannya para golongan hitam tidak
menginginkannya, tapi karena mereka tidak berani membentur
majikan Ekspedisi itu, Si Harimau Langit Lu Sin Kong juga
istrinya, Sebun It Nio.
Si Harimau Langit Lu Sin Kong merupakan salah satu di
antara para murid Go bi Pai yang tidak menyucikan diri
menjadi pendeta dan menonjol sekali kepandaiannya. Ilmu
tenaga dalam (Iweekang) maupun tenaga luar (Gwakang) nya
sudah mencapai taraf yang tinggi sekali. Umumnya, bila
seseorang sudah mencapai taraf ini, dia akan memilih hidup
menyucikan diri di pegunungan yang tenang atau bersemadi
sehingga menjadi orang sakti.
Namun Thian Houw Lu Sin Kong masih membuka
perusahaan pengawalan di wilayah Lam Cong.
Watak Lu Sin Kong cukup setia kawan, suka menolong
yang lemah. Hanya ada sedikit penyakitnya, yakni agak
3
serakah dan tamak terhadap kekayaan. Sebetulnya hal ini juga
tidak dapat disebut penyakit. Manusia normal mana yang tidak
ingin mencari harta sebanyak-banyaknya, apalagi yang telah
berkeluarga?
Mengandalkan nama besar Lu Sin Kong, barang semahal
apa pun yang dikawalnya, Lu Sin Kong tidak perlu turun
tangan sendiri. Asal dia memerintahkan salah seorang
Piausunya lalu menancapkan bendera Thian Houw Piau Kiok di
kereta kawalannya pasti tidak ada yang berani mengganggu
gugat. Walaupun misalnya ada orang yang berani membentur
Thian Houw Lu Sin Kang, tapi sudah pasti mereka tidak berani
mencari gara-gara dengan istrinya, Sebun It Nio.
Walaupun Sebun It Nio tinggal di wilayah selatan, namun
pada dasarnya wanita ini adalah ketua atau Ciangbunjin Tiam
Cong Pai di Hun Lam. Ia juga terhitung kakak seperguruan
Enam Elang Leng Siau Ing. Kepandaiannya tinggi sekali. Nama
besarnya di dunia Kang Ouw tidak kalah dengan nama
suaminya.
Oleh karena itu, kecuali berlatih ilmu silat, pekerjaan Lu
Sin Kong sehari-hari di rumah hanya mengajak anaknya
bermain. Kadang-kadang ada beberapa sahabatnya yang
datang untuk mengobrol masalah yang menyangkut dunia
persilatan masa itu.
Pada usia lima puluh tahun, Lu Sin Kong baru memperoleh
seorang putera yang diberi nama Lu Leng. Usia Lu Leng
sekarang dua belas tahun. Sejak anak itu masih bayi,
pasangan suami istri Lu Sin Kong sudah mencari berbagai
obat-obatan yang bermanfaat bagi orang yang belajar silat
agar tubuhnya menjadi kuat.
4
Sejak Lu Leng berusia delapan tahun, baik Lu Sin Kong
maupun Sebun It Nio sudah mulai mengajarkan kepandaian
yang mereka miliki. Itulah sebabnya dalam usia yang masih
kecil saja, ilmu silat Lu Leng sudah mempunyai dasar yang
cukup kuat. Bahkan mereka juga mendatangkan beberapa
jago dari Go Bi Pai dan Tiam Cong Pai untuk memberi
petunjuk kepada putera mereka dengan harapan kelak akan
menjadi manusia yang berguna.
Hari itu awal musim gugur. Cuacanya cerah dan udaranya
hangat. Bendera yang terpancang di atas gedung Thian Houw
Piau Kiok berkibar dengan gagah. Beberapa orang pegawainya
sedang melepaskan lelah di samping serambi, tiba-tiba
terdengar suara beberapa orang yang bertanya,
"Apakah Lu Cong Piau Tau ada di tempat?"
Para pegawai itu menolehkan kepalanya. Tampak
beberapa pelayan yang mengenakan kopiah lebar berdiri
tegak di hadapan mereka. Melihat penampilannya, dapat
dipastikan bahwa mereka merupakan utusan dari keluarga
kaya. Pemimpin para pegawai itu tidak berani membuang
waktu lama-lama, cepat-cepat dia menyahut,
"Ada, ada! Entah para Kuan Ke (Kepala Pelayan) sekalian
ada perintah apa?"
Keempat orang itu tidak menjawab sepatah kata pun.
Mereka langsung membalikkan tubuhnya lalu pergi begitu
saja. Pegawai-pegawai Thian Houw Piau Kiok jadi heran
melihatnya.
Selang beberapa lama, seseorang yang berdandan seperti
Kuan Ke juga, namun dengan pakaian yang jauh lebih mewah
5
datang. Tangannya membawa sebuah kotak yang indah
sekali.
"Harap sampaikan kepada Lu Cong Piau Tau bahwa Cayhe
ingin menemuinya!" kata orang itu.
Sebetulnya, kalau ada langganan yang datang, para
pegawai Piau Kiok itu tidak berani bersikap lancang atau
gegabah. Tapi di atas kepala orang yang baru muncul itu
tertempel sebuah giok pada kopiahnya, persis seperti orangorang
sebelumnya. Sedangkan pegawai Houw Thian Piau Kiok
masih merasa jengkel dengan sikap orang-orang tadi. Maka,
dilampiaskannya kekesalan hatinya kepada orang yang baru
muncul ini,
"Apakah Anda mempunyai barang berharga yang akan
dikawal oleh perusahaan kami? Serahkan saja padaku! Apa
barangnya? Ke mana hendak diantarkan? Kenapa kalian diam
saja, bicaralah!" tanyanya dengan nada membentak.
Selama dia berbicara, Kuan Ke yang perlente itu hanya
tersenyum-senyum saja. Setelah ucapannya selesai, dia baru
berkata pula,
"Mengenai ini, hamba tidak berani mengambil keputusan.
Soalnya Majikan hamba sudah berpesan wanti-wanti. Kotak ini
harus diserahkan langsung ke tangan Lu Cong Piau Tau.
Harap Anda sudi melaporkannya ke dalam. Sebelumnya
hamba ucapkan banyak-banyak terima kasih."
Sebetulnya pegawai Piau Kiok itu masih ingin
melampiaskan kejengkelannya. Namun karena pihak lawan
menggunakan cara yang lunak, maka kemarahannya surut
sebagian. Dia memperhatikan orang itu sekali lagi sampai
agak lama, baru kemudian menyahut,
6
"Kalau kau ingin aku melaporkan kedatanganmu,
setidaknya kau harus menyebutkan sebuah nama."
"Majikan kami dari marga Ki. Kau sampaikan saja bahwa
ada utusan orang she Ki yang datang," Kata Kuan Ke tadi.
Pegawai itu merenung sebentar. Dia sudah lama bekerja di
perusahaan itu, maka boleh dibilang hampir seluruh hartawan
di wilayah sekitarnya diketahuinya. Namun setelah dipikir-pikir,
rasanya kok tidak ada satu pun yang marga Ki. Kalau menilik
penampilan orang-orang ini, dapat dipastikan majikan mereka
bukan golongan orang biasa. Hatinya diliputi berbagai tekateki,
akhirnya dia melangkah masuk juga ke dalam rumah.
Orang yang berdandan seperti Kuan Ke itu meletakkan
kotak yang dibawanya di atas pelataran serambi. Kepalanya
mendongak menatap tulisan Thian Houw Piau Kiok di atas
kepalanya, kemudian tertawa dingin sekilas.
Tidak lama kemudian, Thian Houw Lu Sin Kong sudah
melangkah keluar diiringi pegawai tadi. Tampak wajahnya
yang segar dengan jenggot yang melambai-lambai di bawah
dagunya. Tampangnya berwibawa dan langkah kakinya
mantap. Baru saja dia melangkah keluar, orang yang
berdandan seperti Kuan Ke itu sudah menjura dalam-dalam
sebagai penghormatannya.
"Lu Cong Piau Tau, hamba Ki Hok datang menghadap!"
Lu Sin Kong mengibaskan lengan bajunya. Serangkum
kekuatan menahan gerakan orang itu. Si Kuan Ke mencoba
mengerahkan tenaga dalam untuk mengimbangi. Masih
mending kalau dia diam saja. Sekali mengadu tenaga dalam,
langkah kakinya langsung terhuyung-huyung. Hampir saja dia
terjungkal ke belakang.
7
Lu Sin Kong tersenyum simpul.
"Rupanya Tuan Kuan Ke ini memiliki sedikit kepandaian.
Barang apakah yang hendak diserahkan ke tangan Lohu (Aku
yang tua), silakan utarakan langsung!" katanya.
Wajah si Kuan Ke berubah merah padam,
"Hanya kotak ini, harap Cong Piau Tau antarkan sendiri ke
Tuan Han Sun yang bergelar Kim Pian (Si Pecut Emas) di Su
Cou Hu sebagai hadiah."
Lu Sin Kong tertawa terkekeh-kekeh.
"Lohu sudah lama lepas tangan dari profesi ini, kali ini pun
tidak ada perkecualiannya."
Wajah Ki Hok menunjukkan perasaan serba salah.
"Majikan kami sudah pesan wanti-wanti, bagaimanapun
harus Lu Cong Piau Tau sendiri yang mengantarnya."
Lu Sin Kong mengelus jenggotnya sambil tersenyum
simpul.
"Mengandalkan sebuah bendera dari perusahaan kami,
barang apapun pernah kami kawal sampai ke seluruh negeri
ini. Kami jamin tidak akan terjadi apa-apa. Apalagi barang itu
hendak diantarkan ke rumah Han Tayhiap, siapa pula yang
begitu besar nyalinya berani merampas? Rasanya
kekhawatiran majikan kalian terlalu berlebihan."
Ki Hok ikut tersenyum.
8
"Apa yang dikatakan Lu Cong Piau Tau memang benar,"
sahutnya sembari membalikkan tubuhnya. Terdengar suara
Plok! Plok! Plok! Sebanyak tiga kali. Rupanya Ki Hok menepuk
tangannya dengan keras. Saat itu juga, keempat kepala
pelayan yang muncul pertama-tama langsung berjalan
mendatangi. Tangan masing-masing membawa sebuah
nampan emas. Bagian atasnya di tutup dengan kelambu
berwarna hijau. Ki Hok membuka kelambu-kelambu itu.
Saat itu juga, Lu Sin Kong dan beberapa pegawainya
langsung terpukau.
Rupanya, di atas nampan yang pertama terdapat
lempengan-lempengan batu Giok berbentuk segi empat.
Tebalnya kurang lebih setengah cun, warnanya hijau
berkilauan. Ternyata Tou Cui Liok yang sangat langka di
dunia.
Di atas nampan kedua terdapat sebutir Mutiara besar yang
dapat bersinar terang di malam hari.
Nampan ketiga berisi sebuah patung singa dari batu
Manau. Batunya berwarna merah marong seperti bara api.
Jenis ini sangat sulit ditemukan dan yang paling istimewa
justru hasil ukirannya yang hidup sekali. Bahkan setiap helai
surainya dapat dihitung dengan jelas.
Di atas nampan ke empat terdapat seekor Go Jiau Kim
Leng yang panjangnya kurang lebih delapan cun. Kalau
dihitung emasnya saja, mungkin tidak lebih dari setengah kati.
Nantun buatannya yang sehalus itu, justru sulit dicari duanya.
Mungkin pembuatannya memakan waktu delapan sampai
sepuluh tahun. Belum lagi batu yang terdapat di kedua
matanya. Sorotnya tajam seakan menggetarkan hati siapa pun
yang melihatnya.
9
Sejak perusahaannya berkembang maju, Lu Sin Kong
sendiri sudah cukup kaya raya. Dia sering membeli pajanganpajangan
yang mahal. Sedangkan dirinya juga mengenali
mutu barang yang bagus. Namun benda-benda seperti yang
ada di hadapannya sekarang ini, boleh dibilang baru kali ini dia
melihatnya. Bahkan harganya sulit dinilai.
Untuk sesaat, dia sampai berdiri terpana sekian lamanya,
akhirnya baru bertanya,
"Tuan Kuan Ke, a... apa ini?"
"Majikan kami tahu Lu Cong Piau Tau sudah bosan melihat
uang emas, maka sengaja mencari benda-benda langka di
wilayah Lam Hai. Bila Lu Cong Piau Tau sudi turun tangan
sendiri mengantarkan kotak itu, maka seluruh barang-barang
ini akan diberikan kepada Lu Cong Piau Tau sebagai tanda
hormat majikan kami," sahut Ki Hok.
Lu Sin Kong terkesiap. Dalam hati dia berpikir,
Benda-benda langka seperti ini saja diberikan kepadaku
sebagai tanda penghormatan kepadaku. Kira-kira benda
langka apa yang majikannya berikan kepada Han Tayhiap?
Lu Sin Kong memandang keempat benda pusaka itu, lalu
perlahan-lahan diambilnya dan diperhatikan sejenak, baru
kemudian diletakkan kembali. Tampaknya dia merasa berat
sekali melepaskan benda-benda pusaka itu. Akhirnya dia
berkata,
"Baiklah, Lohu mengabulkan permintaan majikan kalian.
Sebetulnya benda apa yang terdapat dalam kotak itu?"
Ki Hok membungkukkan tubuhnya.
10
"Lu Cong Piau Tau, maafkan kelancangan hamba! Menurut
Majikan hamba, sebelum sampai di tempat kediaman Han
Tayhiap, kotak itu tidak boleh dibuka sedikit pun juga, jadi
hamba sendiri tidak tahu apa isinya."
Ucapan Ki Hok itu tidak sesuai sama sekali dengan
peraturan dunia Piau Kiok. Karena biasanya orang yang
meminta pengawalnya pihak Thian Houw Piau Kiok harus
menerangkan dengan jelas dulu barang apa yang akan
dibawa. Tidak ada aturan bahwa pihak pengawalan tidak
boleh tahu apa isi kotak yang akan mereka kawal.
Oleh karena itulah, Lu Sin Kong berkata,
"Kalau begitu, terpaksa rejeki ini kami tolak."
"Lu Cong Piau Tau, menurut Majikan kami, keempat benda
pusaka ini sulit dicari keduanya lagi di seluruh dunia," sahut Ki
Hok.
Kata-katanya itu tepat mengenai isi hati Lu Sin Kong.
Untuk beberapa lama dia sampai terbungkam!
"Kotak itu juga sudah dipasang kertas segel. Asal Lu Cong
Piau Tau berjanji tidak akan merobeknya, maka kami jamin
tidak akan terjadi apa-apa sampai di tempat tujuan," kata Ki
Hok pula.
"Memangnya kau kira aku ini siapa, masa sembarangan
membuka barang milik orang lain?" sahut Lu Sin Kong dengan
nada kurang senang.
"Betul, hamba memang lancang sekali," kata Ki Hok cepat.
Lu Sin Kong mendongakkan kepalanya.
11
"Tuan Kuan Ke, siapa sebetulnya majikan kalian?"
tanyanya.
"Sebelum mendapat ijin dari majikan, kami tidak berani
sembarangan menyebutnya," sahut Ki Hok.
Lu Sin Kong mendengus satu kali, dan dengan tiba-tiba
tangannya mencengkeram. Terpancarlah serangkum kekuatan
yang melanda ke pergelangan tangan Ki Hok.
Ki Hok mencela mundur, tubuhnya dimiringkan sedikit,
tangannya diangkat ke atas, tahu-tahu dia sudah berhasil
menghindar dari serangan Lu Sin Kong.
"Lu Cong Piau Tau...."
Hati Lu Sin Kong tercekat. Cara menghindarkan diri yang
ditunjukkan Ki Hok barusan menunjukkan bahwa dia orang
Hoa San Pai. Bahkan kalau tidak salah dia malah salah satu
jagonya. Tapi mengapa dia justru rela menjadi pelayan yang
jabatannya begitu rendah?
Di antara semua partai di dunia persilatan, anggota murid
Hoa San Pai lah yang paling banyak, bahkan Go Bi Pai saja
tidak sanggup menandinginya.
Namun karena muridnya terlalu banyak, maka tidak
seluruhnya dapat dikontrol dengan baik. Itu pula yang
menyebabkan belakangan ini nama Hoa San Pai di luaran
kurang baik. Meskipun demikian, tokoh-tokoh di dunia Kangouw
masih menaruh rasa hormat yang besar kepada
ketuanya, yakni Liat Hwe Cousu, juga dua belas Tongcu
perguruan itu.
12
Barusan Lu Sin Kong melancarkan sebuah serangan yang
mana dapat dielakkan dengan mudah oleh Ki Hok, bahkan
gerakan yang dikerahkan tadi bukan lain daripada Sut Kut
Kang (Ilmu menyusutkan tulang) dari Hoa San Pai. Sedangkan
ilmu yang satu ini hanya dipelajari oleh murid Tingkat tinggi
dari perguruan itu. Dengan demikian Lu Sin Kong bisa
menduga bahwa Ki Hok merupakan salah satu dari dua belas
Tongcu Hoa San Pai.
Maka Lu Sin Kong segera tersenyum, "Rupanya Liat Hwe
Cousu yang memerintahkan Anda datang ke mari?" katanya.
Dia tahu, kedua belas Tongcu Hoa San Pai mempunyai
kedudukan yang tinggi di dunia Bulim. Tidak mungkin mereka
sudi merendahkan diri menjadi pelayan orang. Itulah
sebabnya Lu Sin Kong langsung menduga bahwa semua ini
merupakan sandiwara yang diatur oleh Liat Hwe Cousu.
Begitu kedoknya terbuka, mimik wajah Ki Hok agak
berubah, namun dalam sekejap saja sudah pulih kembali
seperti biasa.
"Ternyata pandangan mata Lu Cong Piau Tau tajam sekali.
Sekali melihat saja langsung mengetahui bahwa hamba
pernah belajar silat beberapa hari di Hoa San Pai. Tapi hamba
bukan anak murid perguruan itu. Majikan hamba she Ki,
bukan Liat Hwe Cousu," sahutnya.
Lu Sin Kong tertegun. Dalam hati dia sadar bahwa ilmu
Sut Kut Kang merupakan ilmu rahasia Hoa San Pai. Kalau
bukan murid tingkat tinggi, pasti tidak boleh mempelajari ilmu
ini. Sedangkan Ki Hok tidak mengakui dirinya sebagai jago
Hoa San Pai. Maka urusan ini benar-benar mencurigakan.
Kemungkinan dibalik semua ini terdapat apa-apa yang akan
13
membawa ketidak beruntungan bagi dirinya, maka dia berkata
dengan nada dingin,
"Tuan Kuan Ke...."
Baru saja dia menyebut panggilan itu, Ki Hok seperti
sengaja atau mungkin juga tidak, menggeser kakinya sedikit.
Keempat pelayan yang lainnya juga ikut bergerak. Seketika
empat macam benda pusaka di atas nampan bertambah
berkilauan cahayanya tersorot oleh matahari, sehingga
pandangan mata Lu Sin Kong semakin berkunang-kunang
melihatnya.
Lu Sin Kong semakin tidak sanggup menahan pesona yang
ditimbulkan benda-benda pusaka itu. Maka, setelah merenung
sejenak, dia berkata,
"Dari sini ke Su Cou hanya membutuhkan perjalanan
selama tujuh delapan hari. Kepandaian Tuan sudah begitu
tinggi, apalagi majikannya. Tapi mengapa tidak mengantarkan
sendiri barang-barang itu malah menyerahkannya kepada
kami? Apakah kalian sudah punya bayangan bahwa dalam
perjalanan akan ada orang yang memberikan kesulitan?"
Ki Hok menarik nafas panjang.
"Lu Cong Piau Tau memang pandai menerka. Dari sini ke
Su Cou, kemungkinan memang ada sedikit masalah, Majikan
kami bukannya takut, tapi di antara orang-orang yang akan
mendatangkan kesulitan itu, ada seorang di antaranya yang
tidak ingin ditemui oleh majikan kami. Itulah sebabnya kami
terpaksa merepotkan Lu Cong Piau Tau agar kotak ini dapat
lancar sampai di tujuannya."
14
Lu Sin Kong merenung sebentar. Mengandalkan nama
besarnya di dunia Kang-ouw, siapa yang berani merampas
barang yang dikawalnya sendiri? Seandainya ada orang yang
mempunyai niat itu, apakah golok Ce Hun To nya mudah
dilawan begitu saja?
Setelah berpikir panjang lebar, dia yakin tidak akan gagal,
maka dia berkata,
"Baiklah. Kau serahkan saja kotak itu kepadaku, besok
juga aku langsung berangkat."
Ki Hok menjatuhkan dirinya berlutut.
"Hamba sungguh beruntung, kali ini terpaksa
mengandalkan Lu Cong Piau Tau!"
Dia mengibaskan tangannya. Keempat pelayan yang
menyertainya segera meletakkan empat nampan emas itu di
atas lantai serambi dengan hati-hati, setelah itu mereka
langsung mengundurkan diri.
Setelah orang-orang itu keluar dari pintu gerbangnya, Lu
Sin Kong menurunkan perintah kepada salah seorang
pegawainya,
"Cin Piautau, kau ikuti kelima orang itu, hati-hati, jangan
sampai mereka tahu! Kita harus selidiki sampai jelas, siapa
sebetulnya orang-orang itu!"
Cin Piautau merupakan salah seorang pegawainya yang
paling banyak akal. Maka, Lu Sin Kong berani mempercayakan
urusan sepenting ini ke tangannya. Orang itu segera
mengiakan, dan tanpa banyak tanya dia langsung berjalan
keluar.
15
Sementara itu, Lu Sin Kong mengangkat keempat benda
pusaka itu, kemudian dia meletakkannya kembali.
Perbuatannya itu diulangi sampai berkali-kali, seakan-akan dia
merasa berat sekali melepaskannya. Setelah puas
memainkannya, dikumpulkannya keempat benda itu dalam
sebuah nampan lalu dibawanya masuk ke dalam.
Baru sampai di depan koridor panjang, tampak sesosok
bayangan panjang menyelinap keluar. Tubuh wanita itu kurus
sekali. Dialah istri Lu Sin Kong yang bernama Sebun It Nio.
Raut wajahnya mirip kuda, alisnya tebal, tampangnya
menakutkan. Sekali lihat saja dapat dipastikan bahwa watak
orang ini beringas sekali.
Ketika melihat Sebun It Nio, Lu Sin Kong segera berkata,
"Hujin, aku justru ingin menemuimu. Mana Leng Ji?"
Begitu melirik saja Sebun lt Nio sudah melihat empat
macam benda pusaka yang dibawa Lu Sin Kong. Tanpa dapat
ditahan lagi dia terkejut.
Sebun It Nio terlahir di salah satu keluarga kaya di Hun
Lam. Kakeknya merupakan bendahara kerajaan Tayli. Ketika
kerajaan itu musnah, kemana perginya semua harta kekayaan
kerajaan itu, boleh dibilang tidak ada seorang pun yang tahu.
Sebetulnya semua sudah ditelan oleh kakeknya sendiri.
Bayangkan saja berapa banyaknya harta kekayaan yang
dimiliki seorang Raja!
Itulah sebabnya pandangan Sebun It Nio juga lebih tinggi
dari orang biasa. Emas permata yang sering dibeli suaminya,
kenyataannya tidak ada satu pun yang dipandang sebelah
mata olehnya. Sekarang dia melihat keempat benda pusaka
16
itu, hatinya terkejut setengah mati. Kemudian tanpa sadar dia
bertanya,
"Sin Kong, dari mana kau memperoleh keempat macam
benda ini?"
Melihat istrinya juga terpesona melihat empat macam
benda itu, Lu Sin Kong sadar bahwa benda-benda ini memang
bukan pusaka biasa. Hatinya semakin bangga. Dia langsung
menceritakan kedatangan Ki Hok barusan serta amanat yang
dibawanya.
"Dari sini ke Su Cou, paling-paling hanya tujuh delapan
hari. Sedangkan orang yang harus diserahi kotak itu justru si
Pecut Emas-Han Sun. Aku rasa, walaupun mungkin ada yang
jail di perjalanan, tapi tentunya bukan masalah yang perlu
dikhawatirkan," katanya kemudian.
Mimik wajah Sebun It Nio menunjukkan perasaan raguragu.
Maka, setelah merenung agak lama, barulah dia
menyahut,
"Aku rasa urusannya tidak sesederhana itu. Seandainya
dapat sampai di tujuan dengan mudah, mengapa orang she Ki
itu harus mengeluarkan imbalan sebesar ini? Aku khawatir
empat macam benda pusaka ini bisa mendatangkan bencana
besar bagimu."
Lu Sin Kong tertawa terbahak-bahak.
"Hujin, rasanya kecurigaanmu ini agak berlebihan. Kalau
bukan orang itu yang menginginkan agar aku turun tangan
sendiri, belum tentu dia sudi memberikan imbalan sehebat ini.
Asal aku tancapkan sebuah bendera Thian Houw Piau Kiok,
17
jangan kata baru Su Cou, seluruh dunia pun dapat kujelajahi
tanpa rintangan."
Sebun It Nio menjulurkan tangannya.
"Sini, biar kulihat sebentar kotak itu!" katanya.
Lu Sin Kong melemparkan kotak yang harus diantarnya.
Sebun It Nio menyambutnya dengan tenang, lalu menimbangnimbangnya
dan memperhatikannya sejenak. Kotak itu tidak
berat, dan bentuknya biasa-biasa saja, sama sekali tak ada
keistimewaannya. Hanya saja di bagian atas kotak itu sudah
disegel dengan selembar kertas. Kecuali tercantum tanggal
dan bulan, di atas kertas itu tidak ada tulisan apa-apa lagi.
Sebun It Nio membolak-balikkan kotak itu dan
diperiksanya dengan teliti. Mengandalkan pengetahuan dan
pengalamannya yang luas di dunia Kang-ouw, ternyata dia
juga tidak menemukan apapun yang janggal.
Sembari berbicara, kaki mereka terus melangkah. Saat itu
mereka sudah sampai di taman kecil dalam rumah. Sebun lt
Nio meletakkan kotak itu di atas meja lalu berkata dengan
mimik serius.
"Sin Kong, aku yakin di balik semua ini pasti ada intrik
yang mencurigakan. Kalau menurut pendapatku, sebaiknya
kita buka saja kotak ini untuk melihat apa isi di dalamnya."
Lu Sin Kong tertegun.
"Hujin, mungkin... usulmu itu kurang baik,"
Sebun It Nio tertawa dingin.
18
"Di dunia ini mana ada aturan seperti ini. Minta barangnya
dikawal tapi tidak boleh tahu isinya."
"Kalau menurut aturan memang tidak sesuai. Tapi
mungkin saja isi kotak itu merupakan rahasia dunia Bulim atau
sejenis rumput obat yang langka. Bila urusan ini sampai
tersebar luas, pasti akan menjadi bahan rebutan serta
menimbulkan pertikaian. Maka dari itu orang she Ki itu
memilih merahasiakannya," kata Lu Sin Kong.
Sebun It Nio merenung sejenak.
"Apa yang kau katakan memang ada benarnya juga. Kalau
kau sudah mengambil keputusan untuk tidak membuka kota
ini, bagaimana kalau aku mengiringi kepergianmu ke Su Cou
kali ini?"
Lu Sin Kong gembira sekali mendengar ucapan itu.
"Bila Hujin bersedia menemaniku, aku berani menjamin
tugas ini pasti berhasil dengan baik." Setelah berhenti sejenak,
dia melanjutkan pula, "Tapi, kalau kita pergi berdua-duaan,
Leng Ji ditinggal sendirian di rumah, siapa yang akan
mengurusnya nanti?"
Sebun It Nio tertawa.
"Memangnya kita tidak bisa mengajaknya ikut serta?
Lagipula, sudah waktunya anak kita keluar melihat-lihat."
"Apa yang dikatakan Hujin tepat sekali." Dia langsung
berteriak, "Leng Ji, Leng Ji!"
Belum lagi suara panggilannya sirap, terdengarlah langkah
kaki mendatangi. Dari arah pintu menghambur seorang bocah
19
berusia kurang lebih tiga belas tahun. Alisnya tebal, bentuk
matanya indah, wajahnya bersih. Dia berhenti tepat di depan
pintu sambil bertanya,
"Ayah, Ibu, ada apa kalian memanggilku?"
Bocah itu memang Lu Leng, anak tunggal mereka. Lu Sin
Kong memang suka harta, tapi putranya ini justru buah hati
yang lebih disayangi melebihi nyawanya sendiri. Dia langsung
membungkukkan tubuhnya untuk merangkul anak itu.
"Leng Ji, besok aku dan ibumu akan pergi ke Su Cou. Kami
ingin mengajakmu, bagaimana menurut pendapatmu?"
Lu Leng bertepuk tangan sambil bersorak gembira.
"Bagus! Aku senang keluar jalan-jalan!"
Sebun It Nio tertawa,
"Leng Ji, kau anggap kita berjalan-jalan? Kemungkinan
ada lawan yang tangguh menanti kita di sana," katanya.
Sepasang mata Lu Leng yang bening mengerling ke sana
ke mari.
"Aku tidak takut! Kalau ketemu lawan, pukul saja!"
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio tertawa. Usia anaknya masih
kecil tapi sudah bisa menunjukkan kegagahannya. Tentu saja
hati mereka senang sekali mempunyai anak seperti dia.
Tiba-tiba, dari luar terdengar suara ramai, rasanya ada
beberapa orang yang berseru dengan suara lantang,
20
"Cepat panggil Cong Piau Tau!"
Ada pula orang lain yang berteriak,
"Yang penting menolong orang dulu!"
Terdengar seorang lainnya berteriak,
"Apa kau tidak punya mata? Memangnya orang ini masih
bisa tertolong?"
Untuk sesaat, suasana menjadi bising sekali. Lagipula
sayup-sayup terdengar langkah kaki mereka semakin lama
semakin dekat dengan taman bunga itu.
Hati Lu Sin Kong tertegun. Entah apa yang telah terjadi.
Tangannya menumpu pada tiang pilar, dan dia langsung
berdiri. Wajah Sebun It Nio juga mulai berubah.
Digenggamnya tangan Lu Leng erat-erat, jangan sampai
bocah itu sembarangan keluyuran.
Tepat pada saat itu, dari luar pintu terdengar seseorang
bertanya,
"Apakah Lu Cong Piau Tau ada di tempat?"
"Ada apa?" tanya Lu Sin Kong cepat.
Brakk!! Pintu taman itu terbuka seketika. Dari luar
menyeruduk masuk tujuh delapan belasan orang yang terdiri
dari para pegawai perusahaan Ekspedisi itu. Dua di antaranya
merupakan Piau Tau tua. Mereka melangkah masuk. Tubuh
keduanya penuh dengan bercak darah, sebab mereka sedang
membimbing seseorang yang tubuhnya penuh luka.
21
Kalau mengatakan orang yang mereka papah itu seorang
"Manusia Darah", rasanya kiasan itu memang tepat sekali.
Dari atas kepala sampai ke ujung kaki orang itu memang
bergelimang darah segar.
Melihat keadaan itu, Lu Sin Kong juga terkejut setengah
mati.
"Jangan ribut!" bentaknya.
Dalam sekejap mata, suasana dalam taman itu menjadi
hening. Lu Sin Kong memperhatikan "Manusia Darah" itu, dan
lagi-lagi hatinya terkesiap,
"Ah! Bukankah ini Cin Piau Tau?"
Memang benar, orang yang bergelimangan darah itu
memang Cin Piau Tau yang ditugaskan Lu Sin Kong untuk
mengikuti jejak kelima orang Kepala Pelayan keluarga Ki.
Terdengar seseorang menyahut,
"Memang Cin Piau Tau."
Lu Sin Kong segera menghampiri lalu perlahan-lahan
mendongakkan wajah Cin Piau Tau. Tampak dari atas kepala
sampai ujung kaki orang itu penuh dengan lobang luka.
Tampaknya luka yang diderita orang itu parah sekali. Sudah
barang tentu, dengan luka sehebat itu, Cin Piau Tau tidak bisa
berjalan sendiri.
Dalam waktu bersamaan, Sebun It Nio juga melihat
kejadian ini.
"Siapa yang mengantarnya pulang?" tanya wanita itu.
22
Salah seorang pegawainya menyahut,
"Sebuah kereta yang mewah sekali. Begitu sampai di
depan pintu, Tubuh Cin Piau Tau terlempar keluar. Kami
segera berhamburan keluar untuk melihatnya, tapi kereta itu
sudah tidak tampak lagi."
Sebun It Nio melirik sekilas kepada Lu Sin Kong, lalu
bergerak maju selangkah. Kedua jari telunjuk dan tengahnya
menjulur ke depan lalu perlahan-lahan menotok jalan darah
Pek Ciok Hiatnya Cin Piau Tau.
Jalan darah Pek Ciok Hiat merupakan salah satu di antara
delapan urat darah terpenting di tubuh manusia. Luka yang
dialami Cin Piau Tau sudah terlampau parah. Tapi bila jalan
darah Pek Ciok Hiatnya ditotok, getarannya dapat membuat
orang sadar kembali. Sebun It Nio langsung membentak,
"Cin Piau Tau, siapa yang mencelakaimu? Cepat katakan
agar kami bisa membalas dendammu!"
Cin Piau Tau mendongakkan kepalanya, kemudian dengan
suara lemah dia berkata,
"Lu.... Cong Piau.... Tau.... A... ku sungguh... ti... dak
berun... tung, kau... ti... dak... bo... leh...." Baru berkata
sampai di situ, kepalanya sudah terkulai.
"Tidak boleh apa?" tanya Lu Sin Kong cepat.
Namun Cin Piau Tau untuk selamanya tidak bisa bersuara
lagi.
23
Orang-orang yang melihatnya, tanpa sadar mengeluarkan
seruan terkejut, sebab di dalam Thian Houw Piau Kiok,
masalah seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Lu Sin Kong berusaha menenangkan hatinya, "Kalian
keluar!"
Para pegawainya segera berjalan keluar. Begitu sampai di
luar, mereka berkasak-kusuk membicarakan urusan itu. Ada
pula beberapa di antaranya yang menduga-duga hal ini
merupakan hal yang wajar.
Setelah semua orang keluar, Lu Sin Kong baru meletakkan
jenasah Cin Piau Tau lurus ke atas tanah. Brett! Dikoyaknya
sebagian baju jenasah itu lalu digunakannya untuk
membersihkan noda darah diwajah jenasah Cin Piau Tau.
Setelah itu dia baru memperhatikan wajah pegawainya itu,
dan kembali dia diguncang rasa terkejut. Rupanya mimik
wajah Cin Piau Tau menunjukkan rasa gentar yang begitu
hebatnya sehingga untuk selamanya tidak pernah terlihat oleh
Lu Sin Kong. Mimik seperti itu juga tidak pernah terlihat pada
manusia umumnya.
Melihat keadaan ini, Lu Sin Kong tahu bahwa sebelum ajal
atau sebelum jatuh pingsan, Cin Piau Tau pasti menghadapi
suatu situasi yang membuatnya ketakutan sampai titik
puncaknya. ltulah sebabnya dia mati dengan membawa mimik
wajah seperti itu.
Bisa jadi juga, rasa takut yang hebat itulah yang
membuatnya pingsan. Dalam keadaan tidak sadar, barulah
pihak lawan membuat sekian banyak luka di tubuhnya.
24
Lu Sin Kong tersadar seketika bahwa urusan yang
dihadapinya kali ini bukanlah urusan sepele lagi seperti
dugaan sebelumnya.
Sampai cukup lama dia memperhatikan mimik wajah Cin
Piau Tau, akhirnya dia berdiri kembali sambil berkata,
"Hujin, kira-kira apa yang terjadi? Apakah kau mempunyai
sedikit dugaan?"
Pada saat itu mimik wajah Sebun It Nio sendiri juga
sungguh tidak sedap dipandang.
"Sebelum mati dia mengatakan bahwa dirinya sungguh
tidak beruntung, apakah kau menugaskannya melakukan
sesuatu?" tanya wanita itu.
Lu Sin Kong menganggukkan kepalanya.
"Setelah orang bernama Ki Hok pergi bersama keempat
Kepala Pelayan lainnya, aku menugaskan Cin Piau Tau
mengikuti kelima orang itu. Aku ingin tahu asal-usul mereka,"
sahutnya.
"Kemungkinan dia sudah berhasil mengetahui asal-usul
mereka. Sayangnya dia tidak sempat mengatakannya, malah
mati terbunuh." kata Sebun lt Nio.
Sejak tadi Lu Leng berdiri di samping ibunya. Semua
kejadian itu dilihatnya dengan jelas, namun mimik wajahnya
tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Malah tiba-tiba dia
bertanya,
25
"Ma, kalian menyebut orang-orang itu, siapa sebetulnya
mereka? Dan bagaimana kita membalaskan kematian Cin Piau
Tau?"
Sebun It Nio tertawa getir, dielusnya kepala Lu Leng.
"Nak, kau masih terlalu kecil, jangan ikut camput urusan
orangtua!"
Sepasang mata Lu Leng mengerling ke sana ke mari,
seakan-akan ada sesuatu yang ingin dikatakannya namun
tidak jadi. Diam-diam dia menganggukkan kepalanya.
"Ma, aku takut melihat orang mati, aku ingin keluar saja,"
katanya kemudian.
Sebun lt Nio tidak melarang.
"Jangan sembarangan keluyuran!" pesannya.
Lu Leng menganggukkan kepalanya, dan langsung
berjalan keluar.
Sejak Lu Leng lahir, kedua suami istri Lu Sin Kong dan
Sebun It Nio memang sangat sayang terhadap anak mereka
yang semata wayang itu.
Orangtua yang terlalu menyayangi anaknya, maka untuk
selamanya anak itu akan dianggap sebagai balita saja.
Walaupun usia Lu Leng belum tiga belas tahun, namun sejak
kecil dia sudah belajar silat, tenaga dalamnya juga sudah
mempunyai dasar yang cukup kuat. Sudah barang tentu
nyalinya juga lebih besar daripada anak-anak biasa. Dapat
dipastikan bukan "bocah kecil" seperti anggapan orangtuanya.
26
Dia juga tidak mungkin takut melihat mayat Cin Piau Tau,
hanya alasannya saja agar diijinkan keluar.
Begitu keluar dari taman bunga, dia segera kembali ke
kamarnya sendiri. Dia meloncat ke atas untuk mengambil
sebilah golok pemberian ayahnya sendiri. Golok itu serupa
dengan golok Ce Hun To yang digunakan oleh ayahnya, hanya
miliknya lebih pendek beberapa ciok. Setelah berhasil
mengambil golok itu, Lu Leng berjalan keluar kembali.
"Tidak boleh". Kira-kira apa maksud perkataannya itu?.
Perlahan-lahan Sebun It Nio menarik nafas panjang.
"Kata-katanya memang sulit dijelaskan. Bisa jadi dia
menyuruhmu jangan menerima langganan kali ini, atau kau
tidak boleh berangkat ke Su Cou."
Lu Sin Kong tertegun.
"Kenapa?"
"Kalau kau tanya kenapa, mungkin hanya Cin Piau Tau
yang tahu apa alasannya. Sayangnya dia sudah mati. Sin
Kong, urusannya sudah sedalam ini, bagaimanapun aku harus
membuka kotak itu," sahut Sebun It Nio.
Lu Sin Kong memperlihatkan kebimbangan.
"Karena mengikuti orang bernama Ki Hok itulah maka Cin
Piau Tau menemui kematiannya dengan cara yang begitu
mengenaskan. Hal ini membuktikan bahwa Ki Hok pasti bukan
manusia baik-baik...."
Baru berkata sampai di sini, tiba-tiba Sebun It Nio
bertanya,
27
"Kau mengatakan bahwa Ki Hok bisa mengerahkan ilmu
Sut Kut Kang dari Hoa San Pai, bagaimana rupa orang itu?"
"Kalau tahu rupanya saja apa gunanya? Anak murid Hoa
San Pai begitu banyak, kemana kita harus mencari orang itu?"
Sebun lt Nio menyahut dengan nada dingin,
"Bagaimana kau ini? Di dalam perguruan Hoa San Pai,
kecuali Liat Hwe Cousu dan dua belas Tongcunya,
memangnya ada orang keempat belas yang bisa memainkan
ilmu Sut Kut Kang? Dulu, Su Cou dari Tiam Cong Pai pernah
mengajakku ke Hoa San Pai untuk mengunjungi Liat Hwe
Cousu. Ketika itu kedua belas Tongcunya juga keluar
menyambut kami. Bila kau menyebut rupa orang itu, mungkin
aku bisa mengingatnya kembali!"
"Kapan kejadiannya?" tanya Lu Sin Kang. "Kurang lebih
tiga puluh tahun yang lalu."
"Kalau begitu, tidak cocok. Usia Ki Hok rasanya belum
sampai empat puluh tahun," sahut Lu Sin Kong.
Mimik wajah Sebun It Nio menunjukkan perasaan bingung.
Sampai lama dia tidak berkata-kata. Tiba-tiba dia menjulurkan
tangannya untuk mengambil kotak itu.
"Hujin, kalau kita bisa menahan diri untuk tidak membuka
kotak itu, lebih baik kita jangan membukanya. Aku pernah
berjanji kepada Ki Hok bahwa aku tidak akan membuka
segelnya sampai di Su Cou," kata Lu Sin Kong.
Sebun It Nio tertawa dingin.
28
"Sin Kong, bila seseorang memasang perangkap, apakah
kau akan menjebloskan diri begitu saja?" Sembari berbicara
dia mengambil cawan berisi air teh lalu disiramkan ke atas
kertas segel itu.
Tidak lama kemudian, kertas segel di atas kotak itu telah
basah semuanya oleh air teh. Dengan hati-hati Sebun It Nio
melepaskannya. Walaupun adat nyonya ini agak berangasan
tapi dalam mengambil tindakan dia selalu waspada. Ternyata
kertas itu tidak koyak sedikit pun juga. Setelah itu dia
membuka besi kecil yang mengait di kotak kayu itu lalu
membukanya.
Sepasang suami istri itu sama-sama melongokkan
kepalanya ke dalam kotak. Namun hanya beberapa detik
mereka serentak mengangkat kepalanya dan menunjukkan
mimik keheranan.
Ternyata kotak itu kosong melompong, tidak ada apaapanya
sama sekali.
Orang itu sudah memberikan imbalan begitu besar,
bahkan memutuskan harus Lu Sin Kong yang mengantar kotak
itu sendiri, tapi ternyata barang yang harus diantar hanya
berupa sebuah kotak kosong. Seandainya mengatakan urusan
ini hanya lelucon yang disengaja oleh orang iseng, memang
agak mirip. Namun Cin Piau Tau sudah mati dengan cara yang
mengenaskan. Maka, dapat dipastikan urusan ini bukan
lelucon belaka.
Sebun It Nio cepat-cepat merapatkan kembali kotak itu
lalu memasang kertas segelnya dengan rapi.
Sepasang suami istri itu tertegun untuk sekian lama.
Perasaan Lu Sin Kong sudah tidak terkatakan gundahnya.
29
"Hujin, apakah kita tetap berangkat ke Su Cou atau tidak?"
tanyanya kepada sang istri.
"Tentu saja kita harus pergi, sebab kalau kita tidak jadi
pergi, bukankah kita akan dipandang hina oleh orang?" sahut
Sebun It Nio dengan nada dingin.
Lu Sin Kong tertawa getir.
"Seandainya kita menempuh perjalanan sejauh ribuan li
untuk mengantarkan sebuah kotak kosong kepada si Pecut
Emas-Han Sun, lalu urusan ini tersebar di dunia Kang-ouw,
bukankah akan menjadi bahan tertawaan yang sebelumnya
belum pernah ada?" katanya.
"Kotak kayunya memang kosong, tapi di dalamnya pasti
mengandung rahasia yang tidak diketahui orang lain. Mungkin
kalau si Pecut Emas-Han Sun melihatnya, dia akan mengerti
seketika. Yang penting dalam perjalanan kita harus
meningkatkan kewaspadaan."
Lu Sin Kong merenung sebentar,
"Apa yang kau katakan ada benarnya juga. Walau pun
perjalanan kita nanti tidak terlalu jauh, tapi mungkin saja kita
akan berhadapan dengan lawan. Hal ini sudah bisa kita duga.
Saat itu, kita berdua harus mengerahkan segenap kemampuan
untuk menghadapi musuh. Usia Leng Ji masih kecil, sebaiknya
kita jangan mengajak dia dalam perjalanan ini."
"Kalau kita tidak mengajaknya, kemungkinan kita akan
mati ketika berhadapan dengan musuh tangguh. Bukankah
kita tidak sempat meninggalkan pesan apa pun kepadanya?"
sahut Sebun lt Nio.
30
-ooo0ooo-
Bab 2
Mendengar kata-kata istrinya, Lu Sin Kong tertegun. Dia
tahu sekali bahwa selama ini istrinya selalu memandang tinggi
diri sendiri. Lagipula, selama ini, baik sendiri atau pun
bergabung dengannya, entah sudah berapa banyak lawan
yang mereka hadapi. Namun selama ini pula, dia belum
pernah mendengar Sebun It Nio mengucapkan kata-kata yang
demikian putus asa, padahal perang belum lagi dimulai.
Oleh karena itu Lu Sin Kong terbungkam sampai sekian
lama.
"Hujin, menurut perkiraanmu, kepergian kita kali ini akan
menghadapi lawan seperti apa?" tanyanya kemudian.
Sebun It Nio berpikir cukup lama.
"Sulit untuk menerkanya. Beberapa tahun belakangan ini,
dunia Bulim tenang tentram, bahkan gembong-gembong Iblis
yang dulunya banyak menimbulkan keonaran, akhir-akhir ini
malah memilih menyepi di tempat terpencil. Mungkin ada
sekelompok orang yang merencanakannya secara diam-diam.
Atau dengan kata lain, mereka bergerak secara gelap. Lebih
baik kita terka dulu, siapa kira-kira majikan orang yang
bernama Ki Hok itu."
Lu Sin Kong berjalan mondar-mandir sembari
menggendong kedua tangannya. Dia juga menundukkan
kepalanya untuk melirik ke arah jenasah Cin Piau Tau. Melihat
mimik wajah jenasah yang ketakutan, Lu Sin Kong sendiri
31
berpikir-pikir dengan tidak habis mengerti, kira-kira apa yang
dilihatnya sebelum ajal? Matanya mengedar, sekonyongkonyong
dia melihat sepasang tangan Cin Piau Tau mengepal
dengan erat. Di antara jari tangan kanannya seakan ada
sesuatu yang tersembul keluar.
"Hujin, coba kau lihat, benda apa yang tergenggam di
tangan Cin Piau Tau?" katanya cepat.
Sebun It Nio juga merasa heran.
"Cin Piau Tau paling banyak akalnya. Mungkin ketika
terluka berat, dia sempat menggenggam sesuatu dalam
tangannya sebagai tanda untuk kita."
Kedua orang itu segera mengerahkan tenaganya untuk
membuka kepalan tangan Cin Piau Tau. Setelah berhasil,
ternyata mereka melihat jari tangan orang itu mengepal
secarik kain berwarna ungu.
Keduanya langsung merentangkan lipatan kain itu. Dapat
dipastikan secarik kain itu terkoyak dari pakaian seseorang. Lu
Sin Kong semakin heran,
"Aih, orang bernama Ki Hok beserta keempat pelayan
lainnya tidak ada yang mengenakan pakaian ungu!"
"Kalau melihat keadaan ini, urusannya semakin lama
semakin rumit. Kita tinggal di wilayah Lam Cong, tapi tidak
sadar bahwa di wilayah ini kedatangan orang-orang sakti. Sin
Kong, masalahnya penuh dengan teka-teki, kita tidak perlu
asal tebak. Malam ini juga kita berkemas, besok pagi-pagi kita
berangkat," kata Sebun It Nio.
32
Dengan hati-hati Lu Sin Kong mengangkat kotak kayu itu
lalu melangkah keluar. Bersama-sama dengan Sebun It Nio,
keduanya menuju sebuah gunung-gunungan yang terdapat di
taman belakang rumah.
Mereka sampai di sisi gunung-gunungan itu. Keduanya
mengedarkan pandangan ke sekeliling, tapi tidak tampak
bayangan seorang pun. Gunung-gunungan itu dibangun di
sudut taman, dengan memunggungi dinding rumah, jadi tidak
menarik perhatian sama sekali. Di bagian depannya juga
dipenuhi tumbuhan yang lebat, maka siapa pun yang
melihatnya, pasti menganggapnya sebagai dekorasi dalam
taman itu. Hanya Lu Sin Kong dan Sebun It Nio yang tahu
betapa pentingnya gunung-gunungan itu.
Secara berturut-turut keduanya menyusup ke dalam
sebuah goa yang terdapat di balik tetumbuhan yang lebat.
Baru masuk sedikit, mereka harus melalui tiga kelokan.
Setelah itu tubuh mereka baru bisa ditegakkan. Keadaan di
dalam goa itu gelap sekali. Walaupun di siang hari ada sedikit
cahaya matahari yang menyorot masuk lewat celah-celah
batu, namun keadaannya masih remang-remang. Sedangkan
hawa di dalamnya lembab sekali sehingga terendus bau
pengap.
Mereka sampai di ujung kelokan ketiga. Keduanya baru
saja menegakkan tubuh, tiba-tiba terdengar Sebun It Nio
mengeluarkan seruan "Aih!"
"Sin Kong, apakah beberapa hari terakhir ini kau datang ke
sini?" tanyanya kemudian.
"Tidak pernah. Kecuali empat hari yang lalu ketika kita
bersama-sama masuk ke sini, aku tidak pernah datang lagi,"
sahut Lu Sin Kong.
33
Sebun It Nio mengendus dingin.
"Ternyata keanehan ini terus berentet, tapi kita berdua
justru seperti katak dalam tempurung yang tidak tahu apaapa.
Tempat ini sudah diketahui orang, bahkan ada yang
pernah masuk ke sini."
Lu Sin Kong terkejut setengah mati.
"Hujin, bagaimana kau bisa tahu?" tanyanya cepat.
Sebun It Nio menunjuk ke arah dinding goa.
"Coba kau lihat, di sini ada sebuah cap telapak tangan.
Beberapa hari yang lalu ketika kita masuk ke sini, tanda ini
belum ada."
Lu Sin Kong mendongakkan kepalanya. Ternyata di
hadapannya, yakni di dinding yang permukaannya rata namun
banyak ditumbuhi lumut, dengan jelas tertera sebuah cap
telapak tangan. Tempat yang ada cap tangannya sudah tidak
berlumut lagi. Hal ini membuktikan bahwa cap tangan itu
dibuat dengan tenaga yang kuat sekali.
Dengan penasaran Lu Sin Kong berkata,
"Rupanya memang ada orang yang menyusup ke sini.
Sebaiknya kita segera memeriksa, apakah ada sesuatu.yang
berkurang?"
Ternyata di dalam gunung-gunungan ini, Lu Sin Kong
menyuruh dua orang ahli untuk membangun gudang
penyimpanan barang.
34
Di dalam gudang itu tersimpan berbagai emas, permata,
barang-barang antik yang dikoleksinya selama belasan tahun
belakangan ini. Mereka berdua masuk ke tempat ini,
tujuannya adalah menyimpan keempat benda pusaka yang
dihadiahkan majikan Ki Hok.
Gudang penyimpanan ini, kecuali suami istri Lu Sin Kong
sendiri, boleh dibilang selain kedua arsitek dari Tibet yang
membangunnya, maka tidak ada pihak lain yang
mengetahuinya. Sekarang mereka melihat di dinding goanya
ada tanda cap tangan, berarti sudah pernah ada orang yang
masuk ke situ, bagaimana Lu Sin Kong tidak menjadi tercekat
hatinya?
Sekali lagi Sebun It Nio mendengus dingin. "Kau hanya
mementingkan benda-benda rongsokanmu itu, mana sempat
melihat cap telapak tangan.
Sebun It Nio memang terlahir di keluarga berada. Sejak
dia kecil, intan permata atau pun batu-batuan berharga
lainnya menjadi mainannya sehari-hari. Maka, terhadap watak
Lu Sin Kong yang gila harta, sudah sejak lama dia merasa
tidak senang. Namun karena kasih sayangnya terhadap suami,
selama ini dia mendiamkan saja. Sekarang timbul masalah
seperti ini, maka tanpa dapat menahan diri lagi, dia
mencetuskan rasa tidak senangnya.
Mendengar sindiran istrinya, Lu Sin Kong segera
memperhatikan tanda telapak tangan itu dengan seksama.
Begitu melihat sebentar, dia langsung menemukan sesuatu
yang janggal.
Rupanya tanda telapak tangan itu berbeda dengan telapak
tangan orang pada umumya. Pada sisi jari jempolnya terdapat
35
sebuah jari kecil lainnya. Jadi orang yang membuat tanda ini
pasti memiliki enam jari tangan.
Bagaimanapun pengalaman Lu Sin Kong di dunia Bulim
sudah banyak sekali. Maka, begitu melihatnya, dia langsung
bertanya dengan suara tercekat.
"Mungkinkah Liok Ci Siansing ?"
"Pasti memang dialah orangnya, tak salah lagi..
memangnya didunia ini selain dia ada lagi orang yang
mempunyai bentuk jari tangan seperti itu?" sahut Sebun It
Nio.
Lu Sin Kong semakin heran.
"Walaupun adat Liok Ci Siansing angin-anginan, tapi
selama ini selalu menetap di puncak gunung Bu Yi San. Beliau
jarang sekali terjun ke dunia persilatan. Beberapa tahun lalu,
beliau pernah menyebarkan berita bahwa dirinya akan
mencari seorang murid sebagai ahli warisnya, maka beliau
muncul lagi di dunia persilatan. Kecuali hobby mengoleksi
harpa-harpa antik, tidak ada benda lainnya yang bisa menarik
perhatiannya. Mana mungkin dia mengincar hartaku ini?"
Mendengar suaminya berulang kali menyebut hartanya,
hawa amarah dalam dada Sebun It Nio menjadi meluap.
"Sin Kong, kau anggap orang lain selalu sama denganmu,
yaitu melihat harta benda melebihi nyawamu sendiri? Bila Liok
Ci Siansing benar pernah ke mari, pasti dia sudah membuka
gudang penyimpanan ini. Kenapa tidak segera kau buka agar
kita bisa memeriksa keadaan di dalamnya?"
36
Mendengar omelan istrinya, Lu Sin Kong membayangkan
dirinya sendiri yang agak gila harta, dan hatinya menjadi rada
malu. Tapi dia memaksakan diri untuk tertawa.
"Hujin, seandainya Liok Ci Siansing pernah datang ke mari,
belum tentu dia bisa membuka gudang penyimpananku ini,"
katanya.
Apa yang dikatakan Lu Sin Kong memang tidak berlebihan.
Gudang penyimpanan harta bendanya itu memang dirancang
khusus oleh kedua Arsitek dari Tibet. Jadi untuk membukanya
memang sulit sekali. Mereka menciptakan sebuah gudang
yang belum pernah ada sebelumnya. Alat rahasianya terletak
di bawah sebuah batu besar, berupa tujuh butir kancing yang
terbuat dari batu. Di atasnya penuh dengan lumut pula. Bila
tidak mencarinya dengan teliti, pasti tidak berhasil
menemukannya. Seandainya ketemu pun, tidak akan tahu
cara membukanya, berarti sia-sia juga.
Ketujuh kancing batu itu, mula-mula harus ditekan kancing
pertama dan yang ketujuh dalam waktu yang bersamaan, lalu
menekan pula kancing kedua dan keenam, setelah itu
menekan kancing ketiga dan lima, terakhir baru menekan
kancing keempat. Dengan demikian pintu batu itu baru bisa
terbuka.
Dalam melakukannya, tidak boleh ada kesalahan sedikit
pun juga. Bukan saja pintunya tidak akan terbuka, malah dari
bagian atasnya akan meluncur keluar puluhan senjata rahasia
yang mematikan.
Semua ini masih belum terhitung sulit. Yang paling
istimewa adalah kancing batunya itu yang beratnya mencapai
ribuan kati. Bila orang yang tenaga dalamnya tidak kuat,
jangan harap sanggup menekan kenop batu itu.
37
Itulah sebabnya, setiap kali hendak memasuki gudang
penyimpanannya ini, Lu Sin Kong harus mengajak istrinya.
Mengandalkan tenaganya sendiri, dia tidak akan sanggup
menekan dua kenop sekaligus. Bagaimanapun tingginya ilmu
seseorang, tekanan jari tangannya mempunyai batas-batas
tertentu. Jari tangan Lu Sin Kong mungkin mengandung
tenaga sebanyak delapan ratusan kati, namun tetap aja tidak
sanggup menekan dua kenop sekaligus.
Oleh karena itu, ucapan Lu Sin Kong mengenai Liok Ci
Siansing yang kemungkinan telah datang ke tempat itu dan
belum tentu bisa membuka gudang penyimpanan hartanya
memang beralasan.
Kedua orang itu segera membungkukkan tubuhnya. Lu Sin
Kong menekan kenop ketujuh, maka Sebun It Nio menekan
kenop pertama dalam waktu yang bersamaan. Tiga kali
berturut-turut mereka menekan, akhirnya Lu Sin Kong sendiri
menekan kenop keempat.
Terdengar suara berderak-derak, batu besar yang ada di
hadapan mereka perlahan-lahan terkuak.
Lu Sin Kong mengambil mutiara yang dapat bersinar dari
atas nampan, lalu melangkah masuk. Ruangan dalam goa
batu itu sebetulnya gelap gulita, tapi begitu terkena sinar
mutiara itu menjadi agak terang.
Tampak ruangan batu itu luasnya kurang lebih satu depa
persegi. Di dalamnya terdapat banyak rak-rak yang di atasnya
tersusun berbagai benda-benda bernilai tinggi. Dalam waktu
senggang, Lu Sin Kong sering berdiam di dalam ruangan itu
sampai berjam-jam lamanya untuk menikmati keindahan hasil
koleksinya. Sedangkan Sebun It Nio selalu menunggu di luar
goa untuk berjaga-jaga. Kadang-kadang wanita itu harus
38
masuk ke dalam sampai beberapa kali, barulah suaminya
bersedia meninggalkan tempat itu.
Oleh karena itu, berapa banyak jumlah benda-benda
pusaka atau harta benda yang tersimpan di dalam gudang itu,
Lu Sin Kong sudah hapal luar kepala. Bahkan di mana setiap
benda diletakkan, dia bisa mengambilnya, meskipun dalam
kegelapan.
Begitu masuk kedalam matanya mengedar, dan sekali
melihat dia tahu hartanya tidak ada yang berkurang. Hatinya
merasa bangga sekali, dan dia langsung menoleh kepada
istrinya dan berkata,
"Hujin, sejak tadi aku sudah bilang, walaupun Liok Ci
Siansing bisa masuk ke tempat ini, belum tentu bisa membuka
pintu batunya."
Dari luar pintu Sebun It Nio membentak dengan nada
dalam,
"Cepat simpan keempat benda itu, jangan menunda waktu
lagi!"
Setiap kali melihat harta benda yang dikumpulkannya
dengan susah payah, hati Lu Sin Kong pasti gembira sekali.
Meskipun sepanjang hari itu banyak kejadian yang tidak
terduga, namun Lu Sin Kong bukan tipe manusia yang mudah
dibuat takut oleh segala hal. Karena itu, dengan bibir
tersenyum dan mengelus-elus jenggotnya, dia melangkah
masuk. Disentuhnya beberapa benda tertentu yang selama ini
menjadi kesayangannya, kemudian ditariknya dua buah rak
untuk menempatkan keempat macam benda pusaka yang
dibawanya. Setelah itu dia menyurut mundur lagi beberapa
39
langkah, untuk menaksir tepat tidak penataan benda-benda
itu.
Lagaknya seperti orang yang baru menyelesaikan sebuah
hasil karya besar, dia melangkah mundur beberapa tindak
untuk menikmati keindahannya. Tapi kali ini keadaannya
berbeda, begitu mundur dua langkah, dia memang melihat
benda-benda itu berkilauan dengan indah. Namun justru
kilauan benda-benda itu pula yang membuat dia melihat di
bagian bawah rak tersebut ada seseorang yang sedang berdiri
tegak.
Tinggi rak itu kurang Iebih sampai di bawah dagu Lu Sin
Kong, tapi orang yang dilihatnya berdiri tegak di bawahnya
menunjukan postur tubuh orang yang dilihatnnya itu lebih
pendek darinya. Rasa terkejut dalam hati laki-laki itu jangan
ditanyakan lagi. Maka, setelah tertegun sejenak, dia segera
berseru,
"Hujin, cepat kau lihat!"
Sebun It Nio berdiri di luar pintu. Sejak tadi pikirannya
memang terus melayang-layang memikirkan berbagai kejadian
aneh yang mereka hadapi hari ini. Tiba-tiba dia mendengar
suara panggilan suaminya yang mengandung rasa terkejut
yang besar. Maka tubuhnya segera melesat, tahu-tahu dia
sudah masuk ke dalam gudang.
"Ada apa?" tanyanya.
Lu Sin Kong menunjuk ke bagian bawah rak itu.
"Lihatlah!"
40
Sebun It Nio mengalihkan pandangannya ke arah yang
ditunjuk Lu Sin Kong, hatinya terkesiap. "Leng Ji!" teriaknya.
Tangannya mencengkeram lengan Lu Sin Kong.
Tenaga dalam laki-laki ini tinggi sekali, namun
cengkeraman istrinya menimbulkan rasa sakit. Begitu
mendengar teriakan Sebun It Nio, rasa sakitnya sirna entah ke
mana.
"Leng Ji?" tanyanya dengan nada tercekat.
Tepat pada saat itulah, dia baru ingat, ketika Lu Leng
masuk ke taman bunga menemui mereka, pakaian yang
dikenakannya memang berwarna hijau. Sedangkan sosok
orang yang berdiri tegak di bawah rak itu juga mengenakan
pakaian hijau.
Membayangkan anaknya bisa muncul di dalam gudang
penyimpanan hartanya, perasaan Lu Sin Kong menjadi tidak
karuan. Cepat-cepat dia maju dua langkah. Tapi baru saja
mau melangkah, tiba-tiba sebuah ingatan melintas dalam
benaknya, dan hatinya bergidik seketika. Seluruh tubuhnya
bagai terserap dalam ruangan es sehingga dia tidak sanggup
bergerak sedikit pun.
Ketika pertama kali melihat orang yang berdiri tegak tadi,
dia sama sekali tidak terpikir ke anaknya, Lu Leng. Hal ini
disebabkan tinggi Lu Leng sudah lebih tinggi dari bawah
dagunya, orang yang dilihatnya justru berdiri tegak di bawah
rak, berarti dia lebih pendek kurang lebih satu kepala dari Lu
Leng.
Sekarang dia maju ke depan sedikit. Tiba-tiba sebuah
ingatan melintas dalam benaknya, di mana kepala orang itu?
41
Karena melihatnya dari kejauhan, ditambah suasana dalam
gudang yang remang-remang, maka yang tampak hanya
bagian tubuhnya saja, dari tadi dia tidak melihat bagian kepala
orang itu.
Seandainya kepala orang itu masih ada, pasti akan
menyembul keluar dari ketinggian raknya. Sedangkan ketika
mutiara di tangannya menyinari ruangan, yang tampak hanya
bagian atasnya yang datar. Dari sini saja dapat diketahui,
orang itu bisa berdiri tegak dan rapat bersandar pada rak,
justru karena kepala sampai batas lehernya telah tiada.
Begitu berpikir sampai di sini, apalagi setelah mengetahui
tubuh yang terlihat adalah anaknya sendiri, bagaimana hati Lu
Sin Kong tidak menjadi kaku karena ketakutan?
Tepat pada saat dirinya masih berdiri terpaku, Sebun It
Nio sudah menjerit histeris, tangannya menghantam ke arah
rak barang itu, orangnya juga melesat melewati samping Lu
Sin Kong dan langsung menghambur ke depan.
Sekali tangannya menghantam, pukulannya menimbulkan
suara Brakk! Rak tempat memajang barang itu hancur total
dan benda-benda berharga yang terpajang di atasnya juga
pecah berantakan. Tiba-tiba dia meraih tubuh orang yang
berdiri tegak itu lalu dipandangnya sekilas. Ternyata sosok
tubuh tanpa kepala, tangan dan kakinya kecil. Maka dapat
dipastikan tubuh itu milik seorang bocah cilik.
Mayat tersebut mengenakan pakaian Lu Leng. Di
tangannya juga melingkar sebuah gelang Giok seperti yang
biasa dikenakan Lu Leng. Gelang Giok itu dihadiahkan oleh Lu
Sin Kong ketika Lu Leng berusia tiga tahun dan selama ini
tidak pernah dilepasnya. Karena usianya yang bertambah,
42
sudah barang tentu gelang itu menjadi ketat, akhirnya tidak
bisa dilepas lagi.
Dalam sesaat, hati Sebun lt Nio bagai tersayat ratusan
pisau kecil, bahkan seperti di atas lukanya ditaburi garam
sehingga perihnya tidak terkatakan. Kesedihan hatinya terlalu
dalam. Setelah berdiri termangu-mangu cukup lama, tiba-tiba
Hoakkk!! Segumpal darah segar muncrat dari mulutnya! Dia
meraung keras-keras lalu dilemparkannya tubuh tanpa kepala
yang sudah kaku itu ke arah Lu Sin Kong sambil tertawa
terbahak-bahak
"Bagus! Orang tahu kau suka menyimpan barang-barang
antik! Tidak perlu kau susah payah, ada orang yang
menolongmu membersihkan anakmu ini dan mengantarnya
sendiri ke dalam gudangmu!"
Tubuh mayat itu melayang bagaikan terdorong angin
dahsyat. Meskipun perasaan Lu Sin Kong saat itu juga pilu
sekali, namun bagaimanapun juga perasaan laki-laki memang
lebih kuat dari perempuan. Tangannya menjulur ke depan,
sosok mayat itu disambutnya dan matanya menatap ke arah
luka di leher mayat itu. Ternyata tidak ada jejak darahnya lagi,
seakan sudah dicuci sampai bersih. Dalam keadaan putus asa,
dia berkata,
"Hujin jangan kelewat bersedih. Mayat ini tidak ada
kepalanya, kita tidak dapat memastikan bahwa ini anak kita."
Kembali Seburi It Nio memperdengarkan suara tawa yang
menyeramkan.
"Kalau bukan Leng Ji, lalu siapa? Lihatlah gelang Giok di
tangannya!"
43
Lu Sin Kong melirik ke arah gelang di tangan mayat itu.
Harapannya yang terakhir pupus sudah. Tapi, pada saat itu
juga suatu ingatan melintas dalam benaknya dan dia segera
berkata,
"Hujin, di depan dada Leng Ji ada tanda merah, kenapa
kita tidak lihat sekali lagi?" Sembari berbicara, dia mengoyak
bagian depan pakaian mayat itu. Tampak di dadanya, di mana
semestinya ada tanda merah yang dibawa Lu Leng sejak lahir,
sekarang telah di sayat kulitnya.
Walaupun Lu Sin Kong seorang gagah perkasa, namun
karena kejadian yang ada di hadapannya saat ini terlalu sadis,
maka tangannya jadi lemas, Buk! Tubuh itu terhempas di atas
tanah, menimpa harta bendanya yang tidak ternilai. Tapi saat
ini, benda-benda yang disayanginya setengah mati itu pada
hari biasanya, sekarang dilihatnya seperti onggokan debu
yang mengotorkan saja.
Sebab Lu Leng sudah mati ! Anak mereka yang semata
wayang sudah mati !
Lu Sin Kong ingin sekali berteriak sekeras-kerasnya untuk
melegakan dadanya, namun tidak ada sedikit pun suara yang
keluar. Rasanya dia ingin menangis menggerung-gerung, tapi
air matanya tidak turun setetes pun juga.
Beberapa saat kemudian, dia malah tertawa terbahakbahak
! Suara tawanya begitu memilukan ! Suara tawa itu
terus bergema di dalam gudang batu. Laki-laki yang namanya
telah menggetarkan dunia persilatan ini, dalam sekejap mata
berubah menjadi seorang tua biasa... seorang kakek yang
begitu sedih karena kehilangan anaknya.
44
Setelah tertawa kurang lebih selama sepeminum teh,
suara tawanya baru tertahan oleh batuknya yang keras. Saat
itu pula, dia merasa ada seseorang yang berjalan di
sampingnya dan menepuk pundaknya dengan lembut.
Terdengar orang itu berkata,
"Sin Kong, jangan bersedih lagi. Seandainya Leng Ji benarbenar
dicelakai orang, berarti musuh yang kita hadapi bukan
orang sembarangan. Kita harus mengumpulkan kekuatan
untuk membalas dendam anak kita."
Lu Sin Kong menolehkan kepalanya. Tampak di wajah
istrinya yang pilu terselip ketabahan yang luar biasa. Dalam
hati dia mengulangi kembali ucapan istrinya barusan,
kemudian dengan suara lemah dia bertanya,
"Seandainya Leng Ji dicelakai orang? Apakah kau
bermaksud mengatakan bahwa Leng Ji masih hidup? Ini
bukan Leng Ji?"
Sebun It Nio menganggukkan kepalanya.
"Sebetulnya, begitu melihat tubuh tanpa kepala ini, aku
juga menduga dia memang Leng Ji. Tapi setelah kurenungkan
kembali, rasanya ada bagian yang perlu kita curigai."
"Apanya yang perlu dicurigai?" tanya Lu Sin Kong cepat.
Sebun It Nio menunjuk ke arah dada mayat itu.
"Lihat, di dada Leng Ji ada tanda merah, sekarang kulit
dada mayat itu sudah disayat, bisa jadi musuh memang
sengaja membuat kita percaya bahwa Leng Ji memang sudah
mati. Itulah sebabnya aku mengatakan bahwa kemungkinan
Leng Ji masih hidup, ini mayat orang lain!"
45
Lu Sin Kong malah menggelengkan kepalanya.
"Cara yang diambil lawan sungguh keji. Dia pasti ingin
membuat kita merasa bahwa Leng Ji masih ada kemungkinan
hidup. Kau tahu, bila seseorang putus asa, kepiluan hatinya
hanya sesaat. Tapi bila dalam hati masih terselip harapan,
sedangkan harapan itu tidak pernah menjadi kenyataan, inilah
penderitaan yang bisa kita tanggung seumur hidup."
Ucapan Lu Sin Kong itu merupakan ungkapan hatinya yang
terlalu sakit. Selesai bicara, dia menghantam dua kali ke rak
tempat pajangan harta bendanya sehingga dinding di
sekitarnya ikut bergetar.
Sebun It Nio terbungkam sesaat. Kemudian dia
menggunakan lengan bajunya untuk menyeka darah yang ada
di ujung bibirnya, dan dengan suara tenang, dia berkata,
"Biar bagaimana, kita sudah dihadapi kemelut ini. Urusan
ini untuk sementara jangan sampai tersebar keluar. Biarlah
mayat ini kita sembunyikan dalam gudang dulu. Kita harus
bersikap wajar, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Hanya
dengan cara ini, kita bisa menemukan siapa musuh besar yang
sebenarnya."
"Kecuali Liok Ci Siansing, siapa lagi musuh besar kita?
Apakah kita berdua harus tetap ke Su Cou?"
"Tentu saja."
Lu Sin Kong berteriak kalap.
"Aku tidak mau! Aku harus berangkat ke gunung Bu Yi
San, akan kuratakan tanah di bukit itu!"
46
"Kalau hanya Liok Ci Siansing seorang, kau pikir aku
sendiri tidak ingin berangkat ke Bu Yi San?" sahut Sebun lt Nio
dengan nada dingin.
"Memangnya ada siapa lagi?!" teriak Lu Sin Kong.
"Biasanya Liok Ci Siansing selalu bersama Pik Giok Sen,
Tiat Cit Siong Jin, Bu Lim Jit Sian. Jumlah mereka bisa
mencapai belasan orang. Kepandaian mereka tinggi sekali,
makanya bisa mendapat julukan "Dewa". Kalau kau
memperlihatkan gerakan sedikit saja, belasan orang itu pasti
bergabung untuk menghadapi kita. Apakah kita mempunyai
kemampuan untuk melawan mereka?" tanya Sebun lt Nio.
Lu Sin Kong tertegun sesaat. Kemudian tiba-tiba dia
menghantamkan sebuah pukulan lagi.
"Pik Giok Sen, apakah dia orangnya yang pernah membuat
keonaran di Ngo Tay San belasan tahun yang lalu, yang
belakangan terjebak dalam barisan ilmu golok sehingga
hampir mati, Namun akhirnya berhasil meloloskan diri?"
"Tidak salah. Mengapa kau seperti sengaja mengungkit
persoalan yang satu ini? Kepandaian yang dimilikinya memang
hebat, namun rasanya tidak ada seorang pun yang tahu asalusulnya.
Bila melihat kekalahan yang dialaminya di Ngo Tay
San, kemungkinan dia tidak terlalu sulit dihadapinya. Bisa jadi
ilmunya lebih rendah dibandingkan Tiat Cit Siong lin dan yang
lainnya," sahut Sebun It Nio.
"Aku tidak peduli tinggi rendahnya kepandaian orangorang
itu. Tapi barusan kau mengungkit orangitu, aku jadi
teringat kepada Ki Hok dan keempat kepala pelayan itu. Di
atas kopiah mereka juga tertempel sebuah batu Giok," kata Lu
Sin Kong.
47
Sebun It Nio tertegun.
"Pik Giok Sen paling menyukai batu Giok, karena itu pula
dia membuang nama aslinya sendiri serta menggunakan nama
yang artinya "Diri sendiri ibarat Kumala". Dia juga disebut si
Gila Giok, mungkinkah aslinya dia bermarga Ki?"
"Untuk sementara kita tidak perlu urus masalah itu. Coba
kau katakan, bagaimana seharusnya kita membalas dendam
atas kematian Leng ji?" tanya Lu Sin Kong.
Sebun It Nio menjungkitkan sepasang alisnya dan
terdengar dia tertawa dingin dua kali.
"Biarpun orang-orang ini mempunyai kepandaian yang
tinggi, memangnya perguruan Go Bi Pai dan Tiam Cong Pai
kita tidak ada yang jago? Apakah semuanya terdiri dari
gentong-gentong nasi belaka?"
Perasaan Lu Sin Kong agak terperanjat mendengar
jawaban istrinya.
"Hujin, maksudmu... kau ingin mengumpulkan jago-jago
dari kedua perguruan itu untuk membalas sakit hatinya Leng
ji?"
"Tepat! Tapi untuk sementara kita tidak boleh
memperlihatkan gerakan apa-apa. Setelah kotak ini sampai di
tangan si Pecut Emas-Han Sun, kau berangkat ke Go Bi Pai
aku akan pergi ke perguruan Tiam Cong. Kita rundingkan dulu
kapan waktunya. Jago-jago dari Go Bi Pai jumlahnya banyak
sekali, tidak perlu kau undang semuanya, asal ada belasan
orang yang sudi tampil saja, sudah lebih dari cukup. Ketua
kedua perguruan juga jangan diusik, sebab urusannya malah
bisa menjadi gawat!" sahut Sebun It Nio.
48
Dalam hati Lu Sin Kong yakin, tidak mungkin pihak lawan
tidak mendengar berita apa-apa. Walaupun Liok Ci Siansing
maupun Pik Giok Sen biasanya selalu malang melintang
sendirian di dunia Bulim, tapi Tiat Cit Siong Jin justru
mempunyai hubungan yang erat dengan perguruan Ceng Ci
Pai. Sedangkan Bu Lim Jit Sian itu, mereka terdiri dari
manusia-manusia yang wataknya berbagai ragam, ada satu
dua diantaranya juga mempunyai hubungan istimewa dengan
perguruan Hoa San Pai dan Partai Cik Sia Pai.
Kemungkinan buntut urusan ini bisa menimbulkan
pergolakan yang hebat dalam dunia persilatan.
Sedangkan pergolakan yang demikian hebat, sedikit
banyaknya akibat yang akan timbul sudah dapat dibayangkan,
paling-paling kedua pihak sama-sama menanggung kerugian
besar.
Meskipun pikiran Lu Sin Kong membayang sampai sejauh
ini, namun mengingat kembali nasib anaknya yang
kemungkinan besar memang sudah mati, dia sudah tidak
peduli akibatnya lagi, maka dia segera menganggukkan
kepalanya sambil berkata,
"Baik!"
Kedua orang itu segera keluar dari goa penyimpanan harta
itu. Pintu batunya dirapatkan kembali. Lu Sin Kong merabaraba
sakunya, kotak kosong itu masih ada. Tanpa
memperlihatkan gerak-gerik yang mencurigakan, mereka
keluar dari gunung-gunungan itu.
Gunung-gunungan itu terletak di taman belakang rumah.
Pada hari-hari biasanya, kalau tidak mendapat panggilan, para
pegawai Ekspedisi itu tidak ada yang berani masuk ke dalam
49
rumah. Oleh karena itu, meskipun Lu Sin Kong dan Sebun It
Nio cukup lama berada di balik gunung-gunungan, tidak ada
seorang pun yang mengetahuinya.
Hati Lu Sin Kong diliputi berbagai teka-teki. Pertama dia
merasa sedih sekali, kedua, dia tidak mengerti bagaimana
mungkin ada orang yang masuk ke dalam gudang hartanya
itu. Satu-satunya kemungkinan hanya kedua orang arsitek dari
Tibet itu yang membocorkan rahasanya. Tapi kedua orang itu
berada di tempat yang jauh sekali. Sedangkan tahun yang
lalu, ketika dia mengundang kedua orang itu, dia juga
melakukannya dengan sangat hati-hati sehingga tidak ada
seorang pun yang tahu rencana perjalanannya itu. Entah
bagaimana Liok Ci Siansing itu bisa tahu rahasianya?
Seorang diri dia menuju ruang perpustakaannya. Hatinya
penuh dengan kemarahan dan kepedihan. Kemudian dia
duduk termenung dengan pikiran melayang-layang
Sebun It Nio juga berusaha menahan duka dalam hatinya.
Dengan mempertahankan sikap wajar dia berjalan ke ruangan
depan. Dia berharap dapat menemukan sedikit keterangan
tentang musuh dari mulut para pegawainya.
Melihat dia berjalan keluar, beberapa pegawai langsung
mengerumuninya untuk melontarkan berbagai pertanyaan. Dia
menjawab secara samar-samar. Salah seorang pegawainya
tiba-tiba bertanya,
"Sebun Lihiap, apakah kau yang mengijinkan Tuan muda
bermain keluar?"
Pikiran Sebun It Nio langsung tergerak. Dia mendongakkan
kepalanya, yang mengajukan pertanyaan itu adalah seorang
50
laki-laki setengah baya yang biasanya menjadi kuli kasar
dalam perusahaan itu.
"Kapan kau melihatnya?" tanyanya cepat. Laki-laki itu
berpikir sejenak.
"Kurang lebih setengah kentungan yang lalu," sahutnya
kemudian.
Hati Sebun It Nio tercekat. Ketika melihat mayat bocah
tadi, pakaian yang dikenakannya memang pakaian Lu Leng.
Gelang Gioknya juga sama, namun bagian dada di mana ada
tanda merah justru kulitnya telah disayat. Dia yakin dibalik
semua ini pasti ada apa-apanya,
Karena itu, begitu mendengar pertanyaan pegawainya
tadi, dia segera menanyakan waktunya yang tepat. Sebab, bila
orang itu melihat Lu Leng tepat pada saat dia dan suaminya
masuk ke dalam gudang itu, berarti anaknya masih hidup.
Namun jawaban pegawainya membuat hatinya kecewa.
Setengah kentungan yang lalu, berarti sesaat sesudah Lu Leng
meninggalkan mereka.
Namun dia tidak putus asa begitu saja, maka dia bertanya
pula,
"Di mana kau melihatnya?"
"Di pintu barat gedung kita. Di jalan kecil itu aku
melihatnya berjalan dengan tergesa-gesa. Di pinggangnya
terselip sebatang golok. Aku sempat menariknya, lalu
menanyakannya ingin ke mana, tapi dia malah menyengkat
kakiku sehingga aku hampir saja...."
51
Sebun It Nio tidak peduli apa yang terjadi pada orang itu.
"Apakah dia sempat mengatakan kemana tujuannya?"
potongnya cepat.
"Tidak. Saat aku terjatuh di atas tanah, aku sempat
melihat dia berjalan ke sebelah barat."
Sebun It Nio mendengus satu kali. Dalam hati dia
memperhitungkan waktunya. Setengah kentungan yang lalu,
berarti Lu Leng langsung keluar dari rumah mereka setelah
meninggalkan taman bunga. Masih sempat ada yang bertemu
dengannya dan melihatnya menuju barat. Sedangkan dia dan
suaminya tidak menunda waktu terlalu lama kemudian masuk
ke dalam gudang. Antara saat itulah musuh mencelakai Lu
Leng lalu memasukkan mayatnya ke dalam gudang. Bila
dihitung-hitung, waktunya hanya dua peminum teh.
Dari sini saja dapat dibuktikan bahwa dalam beberapa
tahun terakhir ini, kekuatan Liok Ci Siansing atau
rombongannya tentu sudah jauh lebih hebat dibandingkan
sebelumnya. Atau setidaknya lebih lihai daripada yang pernah
didengar olehnya.
Perasaan Sebun It Nio saat itu, ingin sekali membawa
sepasang pedangnya untuk mengejar ke arah barat. Namun
dia sadar, dengan seorang diri, tak mungkin ia sanggup
menghadapi musuh-musuh setangguh mereka. Maka,
terpaksa dia menahan kepedihan hatinya lalu berkata,
"Memang aku yang menyuruhnya menunggu di depan
sana. Besok kami akan berangkat bersama-sama ke Su Cou.
Urusan dalam Piau Kiok ini harus kalian tangani dengan hatihati,
jangan sembrono!"
52
Para pegawai Perusahaan Pengawalan itu merasa heran,
mengapa seorang bocah cilik disuruh berangkat terlebih
dahulu untuk menunggu di sebelah depan bukannya
berangkat bersama-sama dengan orangtuanya?
Tapi ucapan ini tercetus dari mulut ibunya sendiri, masa
bohong? Karena itu mereka hanya berjanji untuk menuruti
kata-kata nyonya majikannya itu.
Sebun lt Nio kembali ke dalam rumah. Dia merundingkan
masalah ini dengan suaminya. Sampai mentari hampir muncul
di ufuk timur, ternyata keduanya tidak ada yang tidur
sepanjang malam.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sebun It Nio sudah
menyiapkan perbekalan mereka. Tidak lupa ia menyelipkan
sepasang pedang di pinggangnya.
Lu Sin Kong juga membawa golok andalannya. Tanpa
menunda waktu lagi mereka segera meninggalkan rumahnya.
Dalam hati mereka sudah ada keyakinan bahwa musuh
besar mereka pasti Liok Ci Siansing beserta komplotan orangorang
yang akrab sekali dengan si Tuan Enam Jari itu. Namun,
keduanya mengambil keputusan untuk tidak memperlihatkan
gerak-gerik apa-apa agar sakit hati ini dapat terbalas dengan
lancar.
Sepanjang malam Lu Leng tidak pulang. Sebetulnya
kepiluan dalam hati kedua suami istri semakin bertambah
dengan kenyataan ini. Sepanjang malam juga mereka tidak
tidur, namun seakan keduanya sudah bersepakat untuk tidak
mengungkit nama anaknya itu.
53
Sekarang mereka mulai percaya bahwa mayat dalam
gudang harta itu memang mayat Lu Leng, putera mereka.
Meskipun demikian, masih ada satu hal yang membuat
mereka tidak habis mengerti. Baik Liok Ci Siansing, Tiat Cit
Siong Jin, Pik Giok Sen atau pun tokoh-tokoh lainnya yang
mendapat sebutan Tujuh Dewa, antara mereka tidak pernah
ada perselisihan atau dendam apa pun, tapi mengapa mereka
menggunakan cara yang demikian keji terhadapnya.
Di samping itu, dari hasil perundingan mereka tadi malam,
kemunculan Ki Hok beserta keempat rekannya yang
memberikan imbalan begitu besar hanya untuk mengantarkan
sebuah kotak ke Su Cou, rasanya tidak ada kaitannya dengan
kematian Lu Leng.
Mereka segera melakukan perjalanan. Pintu kota Lam
Cong baru dibuka, keduanya segera memacu kuda
tunggangan masing-masing menuju tenggara.
Siang harinya, mereka sudah menempuh perjalanan
sejauh seratus li lebih. Keduanya menerawangkan pandangan
di kejauhan. Sekeliling terasa hening sekali, bahkan
suasananya terasa agak mencekam. Dalam hati keduanya
telah mengadakan persiapan. Mereka melanjutkan perjalanan
sampai belasan li pula.
Keduanya bersepakat untuk beristirahat sejenak sambil
mengisi perut dengan ransum kering yang dibawa. Mendadak,
dari samping hutan terdengar suara Ting Ting Tang Tang!,
kumandang nada dari petikan harpa yang merdu.
Begitu mendengar suara petikan harpa, baik wajah Lu Sin
Kong maupun Sebun It Nio langsung menunjukkan mimik
54
marah. Mereka memegang tali kendali kuda tanpa bergerak
sedikit pun.
Terdengar Sebun It Nio berkata dengan nada rendah,
"Sin Kong, rasanya suara harpa itu dipetik oleh Liok Ci
Siansing. Kalau dia muncul, kita jangan memperlihatkan reaksi
apa-apa dulu. Kita dengar apa yang akan dikatakannya, baru
ambil keputusan."
Baru saja ucapannya selesai, suara harpa itu sudah
semakin dekat. Lalu terdengar pula suara seruling, dan tidak
lama kemudian, dari sisi hutan muncullah seekor keledai yang
warnanya hitam pekat seperti disiram dengan tinta.
Di atas keledai itu duduk bertengger seorangtua berjubah
kuning. Sebuah harpa antik tersandar di depan dadanya,
tangannya terus memetik alat musik itu, seakan dia tidak
menaruh perhatian sedikit pun terhadap Lu Sin Kong maupun
Sebun It Nio.
Melihat kemunculan musuh besar mereka, hampir saja Lu
Sin Kong tidak sanggup menahan diri. Wajahnya berubah
merah padam, dan sepasang tangannya mengepal dengan
erat. Sementara itu, si orangtua berjubah kuning masih terus
memainkan harpanya dengan kepala tertunduk. Bila
diperhatikan kedua tangannya, maka dapat terlihat di samping
masing-masing jempolnya terdapat pula sebuat jari kecil
lainnya.
Ternyata cocok sekali dengan julukannya yakni Liok Ci
Siansing atau si Tuan Enam Jari!
Sebun It Nio dapat merasakan kemarahan hati suaminya,
sedangkan pihak lawan tetap adem ayem. Dia sendiri merasa
55
tidak baik mengejutkan musuh pada saat seperti ini, sebab
rencananya untuk membalas dendam bisa menjadi
berantakan.
Karena itu, perlahan-lahan dia menjawil lengan baju Lu Sin
Kong sambil berkata,
"Lebih baik kita pergi saja!"
Begitu dia berbicara, Liok Ci Siansing yang nangkring di
atas keledai langsung mendongakkan kepalanya. Dia
memperhatikan Lu Sin Kong dan Sebun It Nio sejenak,
kemudian menyapa,
"Aih, apakah kalian berdua bersuami istri keluarga Lu yang
membuka perusahaan pengawalan Thian Houw Piau Kiok?
Cayhe justru bermaksud menuju Lam Cong untuk
mengunjungi kalian berdua, tidak disangka-sangka kita malah
bertemu di sini, sungguh kebetulan sekali!"
Sebun It Nio tertawa dingin.
"Memang sungguh kebetulan!" sahutnya seakan
menyindir.
Liok Ci Siansing tertegun sejenak, sepertinya dia tidak
mengerti mengapa Sebun It Nio bersikap demikian. Tampak
dia menoleh kepalanya sambil berseru,
"Tiat Cit Siong Jin, kebetulan sekali suami istri keluarga Lu
ada di sini, kita tidak usah buang-buang waktu lagi!"
Dalam hati Lu Sin Kong dan Sebun It Nio langsung
mengeluh, Sungguh bagus! Rupanya komplotan mereka sudah
berkumpul di sini!.
56
Dari dalam hutan terdengar suara seseorang yang
nyaringnya seperti bunyi keliningan,
"Liok Ci Siansing, suara harpa burukmu itu membuatku
tidak bisa tenang sedikit pun juga. Baru merasa enak sedikit,
kau malah berteriak-teriak kayak orang kesurupan!"
Liok Ci Siansing tertawa terbahak-bahak.
"Apa gunanya memperdengarkan alunan musik di depan
kerbau? Pantas saja kau mencela suara harpaku yang katamu
berisik itu!"
Tepat pada saat itu pula, dari dalam hutan tampak
seseorang berjalan keluar. Bentuk tubuh orang itu luar biasa
tinggi besarnya. Pakaiannya serba hitam. Dia berdiri di depan
hutan seperti sebuah pagoda yang kokoh. Kepalanya bulat
dengan mata lebar, wajahnya penuh berewok sehingga
berkesan angker. Di bagian punuknya ada sesuatu yang
menyembul ke atas, tapi tidak mirip dengan seonggok daging,
malah seperti sedang menggembol sesuatu benda.
Begitu keluar dari hutan dia segera menghentikan langkah
kakinya sembari berkata,
"Ini rupanya pasangan suami istri dari Thian Houw Piau
Kiok. Namanya sih sudah Iama kudengar, tapi baru kali ini ada
jodoh untuk bertemu muka!"
Begitu melihat orang itu, Lu Sin Kong dan Sebun It Nio
segera tahu bahwa dialah yang disebut Tiat Cit Siong Jin, ahli
Gwakang. Yang dipanggul di punuknya justru senjata
andalannya yang berbentuk seperti bola besi. Beratnya
mencapai enam ratusan kati, tapi orang ini dapat
57
menggunakannya sebagai senjata, bahkan gerakannya tetap
cepat seperti kilat.
Melihat lagak Tiat Cit Siangjin dan Liok Ci Siansiang yang
seolah-olah tidak pernah terjadi apaapa, hati Sebun It Nio
semakin marah. Namun dia bisa menahan diri sehingga dari
luar kelihatannya biasa-biasa saja.
"Tentunya Tuan yang berjuluk Tiat Cit Siong Jin. Entah
kalian mencari kami untuk keperluan apa?"
Thian Cit Siong Jin maju beberapa langkah, setiap langkah
kakinya mencapai setengah depaan,
"Justru karena putera kalian." sahutnya.
Jawaban ini benar-benar diluar dugaan Sebun It Nio.
Barusan keduanya masih pura-pura bodoh, tidak disangkasangka
sekarang mereka berani menuju ke persoalannya
langsung.
Baru saja dia ingin menjawab, Lu Sin Kong sudah tidak
dapat menahan kemarahan dalam hatinya. Dengan suara
keras dia berteriak,
"Ada apa dengan anak kami? Usianya masih kecil,
kalian...."
Baru berkata sampai di sini, Sebun it Nio sudah menjawil
lengan bajunya sebagai isyarat agar dia menghentikan katakatanya.
Sementara itu, mimik wajah Liok Ci Siansing dan Tiat Cit
Siong Jin sama-sama menunjukkan perasaan bingung.
58
"Entah ada apa sampai Lu Cong Piau Tau marah
sedemikian rupa?" tanya Liok Ci Siansing.
Lu Sin Kong mendengus satu kali, namun Sebun It Nio
segera menukas terlebih dahulu,
"Ada masalah apa dengan putera kami?"
Liok Ci Siansing tersenyum.
"Selama ini aku tinggal di bukit Sian Jin Hong yang terletak
di gunung Bu Yi San. Walaupun kepandaianku masih belum
bisa menandingi ilmu-ilmu dari perguruan Go Bi Pai maupun
Tiam Cong Pai, setidaknya memiliki kelebihan tersendiri.
Setengah tahun yang lalu, aku pernah turun gunung sekali,
maksudnya untuk mencari seorang ahli waris, siapa sangka
ternyata orang yang herbakat baik di dunia ini sedikit sekali,
sehingga aku tidak berhasil menemukan seorang pun yang
cocok. Bulan lalu, aku pernah mendengar Tiat Cit Siongjin
mengatakan, bahkan bukan dia saja, masih ada beberapa
sahabat lainnya juga ikut mendukung, bahwa putera Anda
yang bernama Lu Leng kini berusia kurang lebih dua belas
tahun, tenaga dalamnya sudah mempunyai dasar yang cukup,
bakatnya bagus pula. Karena itulah aku memberanikan diri
untuk meminta puteramu itu untuk menjadi muridku. Dia
hanya perlu menetap di gunung Bu Yi San selama lima tahun
saja, maka seluruh kepandaianku akan diwariskan
kepadanya."
-ooo0oooKANG
ZUSI WEBSITE http://cerita-silat.co.cc/
59
Bagian 02
Bab 3
Di dalam dunia Bulim, seorang guru memilih murid, atau
seorang murid mencari guru yang pandai merupakan urusan
yang wajar.
Lagipula, walaupun orangtuanya sendiri mempunyai
kepandaian yang tinggi, namun anaknya berguru kepada
orang lain, juga bukanlah kejadian yang mengherankan.
Menilik kepandaian yang dimiliki Liok Ci Siansing,
seandainya Lu Leng benar-benar berguru kepadanya, hal ini
juga tidak merendahkan derajat Lu Sin Kong dan Sebun It Nio
sebagai orangtuanya. Seandainya mereka belum menemukan
mayat dalam goa dan cap telapak tangan di balik gununggunungan
itu, saat ini mereka pasti sudah turun dari kuda
masing-masing untuk menyatakan perasaan terima kasihnya.
Tapi, kenyataannya justru berlawanan, maka dalam hati
mereka segera berpikir,
Betul, antara kami dengan orang-orang ini tidak pernah
terlibat permusuhan apa-apa. Sedangkan Leng ji lebih tidak
mungkin lagi mencari masalah dengan tokoh-tokoh besar ini.
Pasti mereka memaksa Leng ji untuk menjadi muridnya Liok Ci
Siansing, tapi karena Leng ji menolak, maka mereka tidak
segan-segan membunuhnya.
Lu Sin Kong hanya berpikir sampai di sini, tapi pandangan
Sebun It Nio lebih jauh lagi.
Mereka sengaja berbicara demikian, maksudnya pasti
untuk menyelidiki apakah kami sudah menemukan mayat Lu
60
Leng atau belum. Sebaiknya aku pura-pura tidak tahu, jadi
kami yang memegang kartu As-nya, kelak dengan mudah
kami bisa menuntut balas atas dendam ini.
Dengan tenang dia tersenyum,
"Liok Ci Siansing memandang putera kami begitu tinggi,
tentunya kami berterima kasih sekali. Kami hanya khawatir
putera kami itu terlalu bodoh sehingga tidak dapat belajar
dengan baik," katanya.
Liok Ci Siansing tertawa terbahak-bahak.
"Mengapa Lu Hujin harus merendahkan diri?"
"Sayangnya sekarang kami suami istri masih ada
keperluan sedikit. Kami harus berangkat ke Su Cou untuk
menyelesaikannya. Sekembalinya nanti, kami akan
mengantarkan Leng ji ke gunung Bu Yi San. Bagaimana kalau
Liok Ci Siansing dan sahabat lainnya menunggu di bukit Sian
Jin Hong saja?" kata Sebun It Nio pula.
Liok Ci Siansing merenung sejenak.
"Boleh juga. Kalau begitu, sekarang juga kami mohon
diri!" Kepalanya kembali tertunduk, tangannya mulai memetik
harpa. Tiat Cit Siong Jin melangkah dengan tindakan lebar
mengikuti di belakangnya.
Tidak lama kemudian, keduanya sudah menyeberangi
jalan raya lalu menghilang ke dalam hutan. Setelah kedua
orang itu tidak terlihat lagi, Sebun It Nio baru berkata dengan
nada berapi-api,
61
"Sebulan kemudian, akan kubuat mereka mati tanpa
kubur!"
"Hujin, kalau melihat lagak keduanya, tampaknya mereka
tidak tahu menahu urusan ini," kata Lu Sin Kong.
"Sudah terang mereka yang menurunkan tangan keji,
bagaimana bisa tidak tahu? Mereka bersikap begini, pasti ada
tujuannya, hanya kita saja yang tidak bisa menerka apa
maksudnya," sahut Sebun It Nio dengan nada tajam.
Sebetulnya Lu Sin Kong ingin mengatakan bahwa dia tidak
tahu bagaimana watak Liok Ci Siansing, tapi mengenai Tiat Cit
Siongjin, dia justru jelas sekali. Orang ini adatnya keras, tapi
jujur. Rasanya dia tidak mungkin berpura-pura seperti dugaan
istrinya.
Keduanya segera mengisi perut dengan ransum kering lalu
meneruskan perjalanan. Menjelang sore harinya, mereka
dapat melihat di bagian depan terdapat sebuah kota besar.
Dari wuwungan rumah terlihat asap mengepul. Rupanya para
penduduk sedang mempersiapkan makan malamnya. Mereka
segera turun dari kuda masing-masing dan meneruskan
dengan berjalan kaki. Maksudnya agar jangan timbul
kecurigaan di hati orang-orang yang melihatnya. Bisa-bisa
timbul lagi masalah lainnya.
Tiba-tiba dari belakang terdengar suara tertawa dingin
sebanyak dua kali. Mereka segera menolehkan kepalanya.
Tampak tiga orang bertubuh kurus kering sedang berlari
mendatangi dengan cepat. Kaki mereka seakan tidak
menyentuh tanah. Hal ini membuktikan ilmu ginkang ketiga
orang itu sangat tinggi sekali. Sekejap saja mereka sudah
melewati kuda tunggangan Lu Sin Kong dan Sebun It Nio,
bahkan ketiga orang itu masih sempat melirik mereka sekilas.
62
Gerakan ketiga orang itu menunjukkan bahwa mereka
bukan orang sembarangan. Mendapat lirikan sekilas tadi, Lu
Sin Kong dan Sebun it Nio segera mencurahkan perhatiannya
kepada ketiga orang itu.
Pandangan kedua pihak sempat bertemu sesaat. Sebun It
Nio melihat sorot mata ketiga orang itu tajam sekali. Sembari
menoleh, kaki ketiganya tidak berhenti. Sebentar saja mereka
sudah melesat jauh di depan.
Sebun It Nio tertawa dingin. Baru saja dia ingin
mengatakan sesuatu kepada Lu Sin Kong, sekonyong-konyong
dari belakang kembali terdengar suara seruan,
"Numpang lewat! Nurripang lewat!"
Tempat di mana mereka berada sudah dekat sekali
dengan kota besar dengan jalananya yang lebar sekali.
Walaupun banyak orang pun kuda yang berlalu lalang, tapi
bila orang di belakang itu ingin mendahului, sebetulnya tidak
perlu Lu Sin Kong maupun Sebun it Nio menggeser ke pinggir
untuk mereka lewat.
Diam-diam hatinya merasa gondok juga. Dia menolehkan
kepalanya, tampak seorang laki-laki yang gemuknya luar biasa
dengan menggembol sesuatu seperti bakul batu di pundaknya.
Orang itu melenggang-lenggok seperti induk bebek yang
sedang bunting. Di kiri kanannya masih ada jalan yang
longgar tapi dia tidak mau menepi, malah sengaja mengintil di
belakang kudanya Sebun It Nio. Lemak di pipi, leher dan
perutnya bergoyang-goyang sementara mulutnya terus
berteriak: "Numpang lewat! Numpang lewat!"
Sebun It Nio sudah banyak pengalaman dan
pengetahuannya luas pula. Sekali lihat saja, dia dapat
63
menduga bahwa batu yang dipanggul di pundak si Gendut itu
paling tidak beratnya mencapai empat ratusan kati. Dia
langsung tahu bahwa si Gendut itu bukan orang
sembarangan. Lagipula, menilik keadaannya, dapat dipastikan
bahwa orang itu sengaja mencari gara-gara dengannya.
Sejak semula Sebun It Nio juga sudah tahu, bahwa dalam
mengantarkan kotak kayu itu ke Su Cou, sepanjang perjalanan
mereka akan bertemu dengan jago-jago yang tidak sedikit
jumlahnya.
Tujuannya ikut dengan suaminya, sesungguhnya juga
karena ingin melihat tokoh-tokoh siapa saja yang akan mereka
temui dalam perjalanan.
Namun, sebelum keberangkatannya, mereka menemukan
kejadian di dalam gudang. Maka dalam hati Sebun It Nio
timbul tekad, dia ingin secepatnya mengantarkan kotak itu ke
Su Cou lalu berangkat ke gunung Bu Yi San untuk mencari
Liok Ci Siansing, Tiat Cit Siongjin dan yang lainnya untuk
membalas dendam. Niat untuk mengadu kepandaian dengan
tokoh-tokoh yang akan merebut kotak dalam perjalanan sudah
sirna entah ke mana.
Itulah sebabnya sekarang dia memilih diam walaupun si
Gemuk terang-terangan mengincar dirinya dengan mencari
gara-gara.
Ditariknya tali kendali kudanya untuk menepi sejauh tiga
Ciok. Si Gemuk juga tidak sungkan sedikit pun juga. Dengan
memanggul batu yang berat di pundaknya, dia berjalan
dengan langkah lebar di antara Lu Sin Kong dan Sebun It Nio.
Malah kepalanya terus menoleh ke kiri dan ke kanan untuk
memperhatikan kedua orang itu. Sebun It Nio memberi isyarat
64
kepada Lu Sin Kong dengan kedipan matanya agar dia
menahan kedongkolan hatinya.
Lu Sin Kong hanya menatap si Gemuk dengan pandangan
dingin. Tiba-tiba dia melihat di punuk si Gemuk tumbuh
daging sebesar kepalan yang warnanya merah matang.
Mendadak bayangan seseorang melintas dalam benaknya, dan
untuk sesaat dia menjadi tertegun.
Tepat pada saat itulah, si Gemuk mempercepat langkah
kakinya. Jangan dilihat tubuhnya yang penuh lemak, belum
lagi beban di pundaknya yang begitu berat, namun begitu dia
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, tahu-tahu
gerakannya seperti terbang.
Ser, ser, ser! Tahu-tahu dia sudah melewati beberapa
kereta kuda dan orang-orang yang berlalu lalang dan sekejap
saja sudah menuju kota besar di depan.
Lu Sin Kong menarik tali kendali kudanya agar dapat
berjalan beriringan dengan istrinya.
"Hujin, mungkinkah si Gemuk tadi adalah Ciangbunjin dari
perguruan Tai Ci Bun yang berjuluk Pang Sian (si Dewa
Gemuk) dan namanya Yu Lao Pun yang sangat terkenal di
dunia Kang-ouw?" tanyanya.
Sebun It Nio menganggukkan kepalanya.
"Tidak salah. Sedangkan ketiga orang yang tubuhnya
kurus kering tadi pasti Thai San Sam Sia (Tiga Sesat Dari
Gunung Thai San). Apakah kau tidak melihat kalau di
pinggang mereka masing-masing terselip sebuah senjata yang
aneh?" sahutnya.
65
Lu Sin Kong baru tersadar mendengar keterangan istrinya.
"Betul. Mereka bertiga tentu anak didik Hek Sin Kun dari
Thai San."
Sepasang alis Sebun It Nio tampak mengerut.
"Urusan ini benar-benar aneh. Thai San Sam Sia itu
biasanya malang melintang di wilayah Hopak, San Tung.
Dengan Beking Hek Sin Kun, mereka berani melakukan
kejahatan apa saja, bahkan sebagian besar tokoh dari
golongan hitam saja dibuat pening kepalanya oleh mereka.
Kalau mereka ingin merebut kotak ini, memang pantas. Tapi
Ciangbunjin dari perguruan Tai Ci Bun itu terhitung orang dari
golongan lurus, mengapa dia juga ikut mengincar kita?"
Lu Sin Kong tertawa sumbang.
"Biar saja. Tunggu saja sampai mereka mengusik kita
secara terang-terangan. Taruh kata kita tidak bisa melawan
mereka, biarlah mereka mendapatkan kotak kosong ini, toh
tak ada gunanya bagi mereka," sahutnya.
Sebun It Nio juga mempunyai pikiran yang sama. Tapi
bagaimanapun dia memang lebih cerdik daripada Lu Sin Kong,
maka dia berkata,
"Jangan bicara keras-keras! Bagaimanapun malam ini kita
harus meneliti kotak itu sekali lagi, siapa tahu kita bisa
menemukan rahasianya. Kalau tidak, mengapa si Ki Hok
bersedia memberikan imbalan yang begitu besar? Kenapa pula
Thai San Sam Sia dan Yu Lao Pun bisa mengikuti jejak kita?"
Baru saja dia selesai bicara, dari belakangnya kembali
terdengar suara ratapan yang memilukan sekali.
66
Kepandaian Lu Sin Kong dan Sebun It Nio sudah terhitung
jago kelas satu. Seandainya mereka berdua bermaksud
mendirikan sebuah perguruan, ketenarannya mungkin tidak
akan kalah dengan perguruan besar lainnya. Meskipun
demikian, begitu mendengar suara ratapan tadi, tidak urung
hati keduanya bergetar juga, seakan tiba-tiba mereka dilanda
rasa takut yang hebat.
Cepat-cepat mereka menenangkan perasaannya,
kemudian segera menoleh. Tampak di belakangnya berjalan
dua pemuda yang sedang berkabung. Yang seorang
membawa lentera dari kertas, dan yang satunya membawa
Leng ki atau bendera tanda berkabung.
Bahkan tangan mereka juga menaburkan kertas-kertas
sembahyang sehingga memenuhi sepanjang jalan. Dandanan
kedua orang ini sungguh mencurigakan. Rona wajah keduanya
juga pucat pasi, tidak mirip sedikit pun dengan orang hidup.
Hal ini membuat perhatian orang-orang di sepanjang jalan
beralih kepada mereka berdua. Namun keduanya seakan tidak
peduli, mereka tetap mendengarkan suara ratapan yang
menyayat hati, bahkan langkah keduanya juga seradakseruduk
sehingga orang-orang disekitarnya menepi untuk
memberi jalan. Kuda-kuda orang-orang yang berlalu lalang
juga mengeluarkan ringkikkan keras karena didorong ke sana
ke mari.
Sebun It Nio tertawa dingin. Dia memalingkan kepalanya
seakan tidak menaruh hati sama sekali terhadap sikap kedua
orang itu.
Sementara itu, kedua orang itu masih saja melangkah
dengan seenaknya. Tiba-tiba, mereka menyeruduk ke arah
seekor kuda hitam sehingga binatang itu terkejut. Orang yang
67
menunggang di atasnya berdandan seperti Piau Su, ia
langsung melonjak bangun dan nyaris terjatuh.
Laki-laki itu gusar sekali, dan terdengar dia memaki,
"Sialan! Biar keluarga kalian kematian bapak, juga tidak
perlu seruduk ke sana seruduk ke mari!"
Kedua pemuda yang sedang berkabung itu mendongakkan
kepalanya. Ternyata bukan suara ratapannya saja yang tidak
enak didengar, malah suara bicaranya yang mengandung
suara tangisan itu juga membuat telinga orang ikut tergetar.
"Bapak kami baru mati, tanpa sengaja kami
mendorongmu, mohon maaf! Mohon maaf!" ucap keduanya
serentak.
Sambil bicara, kaki mereka terus melangkah ke depan.
Walaupun tindakan kaki mereka seperti orang sempoyongan
namun mengandung gaya tersendiri. Dalam sekejap keduanya
sudah melewati Lu Sin Kong dan Sebun lt Nio.
Ketika melalui kedua orang itu, mereka malah sempat
menoleh dan tersenyum, tapi tampangnya malah terlebih
menyeramkan. Setelah itu mereka meneruskan langkah kaki
ke depan.
Diam-diam Sebun lt Nio memaki dalam hati, "Bagus! Setan
dan Iblis model apa saja sudah berkumpul di sini!"
Ketika di saat hatinya memaki, dari belakang terdengar
suara ringkikan kuda yang keras dan suara jeritan yang
histeris. Dia segera menoleh. Situasi di belakangnya sudah
ramai sekali. Kuda hitam yang didorong kedua pemuda tadi
68
sudah terkulai di atas tanah dengan mulut mengeluarkan buih
putih.
Sedangkan si laki-laki kekar yang duduk di atas punggung
binatang itu juga sudah menggelinding di atas tanah.
Mulutnya mengeluarkan suara Krok, Krok, Krok seperti orang
yang disembelih. Tidak lama kemudian tubunya sudah
membujur kaku, dan wajahnya berubah kehijauan. Dapat
dipastikan selembar nyawanya sudah melayang.
Sebun It Nio dan Lu Sin Kong sudah lama berkecimpung di
dunia Bulim. Mendengar suara ratapan serta dandanan kedua
pemuda tadi, mereka sudah dapat menebak asal-usulnya.
Mereka juga tahu, laki-laki berkuda hitam yang mengeluarkan
makian tadi pasti akan menerima akibat yang menyedihkan.
Namun mereka tidak menyangka kejadiannya bisa begitu
cepat, apalagi setelah melihat wajah laki-laki itu, keduanya
semakin terkesiap.
Rupanya setelah mati, mimik wajah si laki-laki kekar itu
bukan saja menyeramkan, tapi tersirat ketakutan yang hebat
sekali.
Keduanya langsung teringat mimik wajah Cin Piau Tau
sebelum kematiannya. Tampang kedua orang itu
memperlihatkan ketakutan yang sama, maka baik Lu Sin Kong
maupun Sebun It Nio sama-sama tertegun jadinya.
Ketika mereka menoleh kembali kepada kedua pemuda
yang dandanannya aneh itu, ternyata bayangan keduanya
sudah tidak terlihat lagi.
"Hujin, kalau Kui Sen Seng Ling telah mengutus kedua
anak kesayangannya untuk muncul, kemungkinan dia sendiri
juga sudah datang," kata Lu Sin Kong.
69
Sebun It Nio menganggukkan kepalanya.
"Thai San Sam Sia, si Dewa Gemuk Yu Lau Pun, Hek Sin
Kun, Kui Sen dari Pak Bong San...Hemm... Kita menempuh
perjalanan belum sampai dua ratus li, tokoh yang muncul
sudah begitu banyak. Mungkin di depan nanti masih ada
tontonan yang lebih menarik lagi"
Lu Sin Kong merenung sejenak.
"Bagaimana kalau kita mengambil jalan putar dan
meneruskan perjalanan tanpa beristirahat?"
Biasanya Sebun It Nio tidak pernah sudi mendengarkan
usul orang lain. Tapi saat ini yang terpikir olehnya hanya
dapat membalaskan dendam atas kematian anaknya dengan
secepatnya. Dia tidak ingin melibatkan diri dalam
persengketaan dengan orang lain, maka dia menyahut,
"Baik!"
Begitu dekat dengan kota besar itu, mereka segera
menarik tali kendali kudanya lalu mengambil jalan lain. Dalam
semalaman mereka sudah menempuh perjalanan sejauh
seratus li lebih. Sampai keesokan paginya, orangnya masih
tidak apa-apa, tapi kuda-kuda tunggang mereka sudah
kecapean. Tampaknya kedua binatang itu tidak sanggup
meneruskan perjalanan lagi.
Sejak mendirikan Thian Houw Piau Kiok, setidaknya Lu Sin
Kong juga sudah malang melintang di dunia Bulim selama dua
puluh tahun lebih. Hampir seluruh wilayah pernah
dijelajahinya. Maka dia tahu, bila berjalan terus, sebentar lagi
mereka akan sampai di kota Keng Bun Ceng.
70
Walaupun kota itu tidak terlalu besar, namun di tempat ini
hasil buminya seperti teh merah sangat terkenal sekali.
Daerah ini juga sering menjadi ajang berkumpulnya para
pengusaha.
Sepasang suami istri itu berunding sebentar. Mereka
mengambil keputusan untuk melepaskan kelelahan perjalanan
panjang dengan bermalam di kota ini.
Dengan menunggang kuda, keduanya masuk ke dalam
kota. Baru sampai di depan pintu gerbangnya, tampak dua
orang yang berdandan seperti pelayan penginapan berdiri
menyambut mereka. Tangan keduanya membawa sebuah
lentera. Lilinnya memang sudah padam, namun raut wajah
kedua orang itu tampak jelas. Mereka tampak sudah letih
sekali, rupanya sudah menunggu selama sepanjang malam.
Melihat Sebun It Nio dan Lu Sin Kong mendatangi, kedua
orang yang berdandan seperti pelayan itu segera maju untuk
menyambut.
"Apakah kalian berdua suami istri Lu Cong Piau Tau dan Lu
Hujin?" tanya mereka serentak.
Lu Sin Kong tertegun.
"Betul. Bagaimana kau bisa tahu?"
Wajah kedua pelayan itu berseri-seri seketika.
"Tampang Lu Thai Enghiong (Pendekar Besar Lu) gagah
perkasa. Sekali lihat saja sudah bisa dikenali. Kami berdua
mendapat perintah dan kami sudah menunggu sepanjang
malam. Kami berdua menyiapkan dua kamar besar agar kalian
bisa beristirahat dengan tenang," sahut salah satunya.