jowo.yn.lt
MENUNGGU HASIL UJIAN NASIONAL Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) telah berlalu, dan kini saatnya kita menunggu hasilnya. Ada rasa optimis dan ada rasa pesimis. Rasa optimis membara buat mereka yang telah mempersiapkannya melalui program pendalaman materi, sehingga pada saat UN pemelajar sanggup mengerjakan soalnya dengan baik. Namun, rasa pesimis menghinggapi sebagian siswa, guru, dan orang tua yang merasa UN tahun ini sangat sulit soalnya. Mereka pun mulai mencari kambing hitam. Persiapan sekolah yang kurang dalam memperdalam materi yang diujikan, fasilitas pembelajaran yang tak ada atau rusak, guru yang kurang profesional, sekolah yang hampir roboh, musibah bencana alam, dan kondisi keluarga serta lingkungan yang kurang mendukung membuat mereka menjadi pesimis untuk lulus dalam menghadapi UN. Di tengah meroketnya harga barang, karena naiknya BBM nampaknya masalah UN ini kurang menjadi sorotan masyarakat lagi. Masyarakat lebih tertuju kepada upaya menyelamatkan diri dari beratnya biaya hidup. Seolah-olah pro dan kontra UN telah hilang ditelan bumi. UN telah habis dimakan berita sepakbola piala eropa 2008, kasus Ahmadiyah, demo BBM, kasus monas, seleksi ujian masuk mahasiswa baru, dan berita-berita lainnya yang lebih seru. UN haruskah ada? Itulah pertanyaan polos dan lugu para guru. Untuk apa UN ada dan mengapa UN harus menentukan kelulusan siswa? Mengapa kehadirannya justru membuat resah dan gelisah sekolah-sekolah yang harus mempertahankan kredibilitasnya? Apakah bangsa ini akan lebih maju bila UN tidak ada? Apakah benar UN dapat meningkatkan mutu pendidikan kita? Apakah sistem penyelenggaraan UN sudah benar? Beberapa pertanyaan itu berkecamuk dalam hati kami para pendidik anak bangsa ini. Kurikulum telah berubah. Kurikulum Tingkat Satuan Pendiidikan (KTSP) telah diberlakukan di sekolah. Tapi kenapa tak ada yang berubah dari sistem penilaian kita? Bukankah KTSP mengajarkan kita keragaman dan bukan keseragaman. Bukankah dengan KTSP sekolah diberi kebebasan untuk menyusun kurikulumnya sendiri yang berwawasan global dan bertradisi lokal? Membangun sekolah bertarap internasional dengan mengedepankan nilai-nilai tradisional. Lalu untuk apa KTSP diberlakukan bila UN masih menentukan kelulusan? Bukankah ini sebuah kekeliruan sistem pendidikan kita? UN yang hanya beberapa hari dapat menentukan kelulusan siswa yang terbina selama tiga tahun? Lalu untuk apa peran guru dan untuk apa sertifikasi guru? Kalau kebijakan dewan guru disekolah untuk menentukan kelulusan siswanya dirampas penguasa? Plus dan minusnya penyelenggaraan UN telah sama-sama kita rasakan. Namun, pernahkah pemerintah memanggil perwakilan tiap sekolah atau para pakar pendidikan kita untuk berdiskusi dan mengevaluasi pelaksanaan UN? Nampaknya ini hanya sebuah harapan semu, karena pemerintah masih bersikukuh bahwa UN adalah satu-satunya cara untuk meningkatkan mutu pendidikan. Tak ada kompromi, tak ada solusi, dan tak ada diskusi. UN tetap harus dipertahankan di tahun yang akan datang. Pemerintah lebih percaya Badan Standart Nasional Pendidikan (BSNP) depdiknas, ketimbang kami para guru yang menjadi prajurit terdepan dalam melawan kebodohan. Kebijakan pendidikan saat ini lebih kepada neoriberalisme yang menjadikan pendidikan sebagai komoditas. Akibatnya, pendidikan tidak lagi dijalankan dalam semangat untuk mencerdaskan seluruh kehidupan warga negara, terutama dalam pembangunan kepribadian dan moral. Kecurangan-kecurangan yang dilakukan pada saat UN telah memperlihatkan akan hal itu. Nilai-nilai kejujuran, kebersamaan, dan saling hormat menghormati telah terpasung seiring dengan terpasungnya kreativitas dan sikap kritis anak. Ini terjadi karena anak didik kita hanya diarahkan untuk mengerjakan soal-soal UN dengan latihan dan pendalaman materi yang semuanya berujung kepada soal-soal pilihan ganda (multiple choice). Pendidikan tidak lagi sistemik (menyeluruh). Berbulan-bulan sekolah yang mampu dalam hal pembiayaan mempersiapkan anak didiknya dengan berbagai macam program pendalaman materi untuk melakukan drilling agar mereka dapat mengerjakan soal-soal UN dengan mudah. Sekolah dan bimbingan belajar berlomba untuk merebut hati siswa agar mendapatkan nilai UN yang tinggi. Proses pembelajaran yang sesungguhnya telah hilang lenyap tersapu oleh derasnya tuntutan agar setiap sekolah mampu meluluskan siswanya 100%. Sebuah prestise dan moment tersendiri yang dapat dijual oleh sekolah pada saat Penerimaan Siswa Baru (PSB). UN bukan lagi sebagai alat evaluasi. UN telah berubah fungsi sebagai alat mempertahankan gengsi. Pelaksanaan UN wajib dievaluasi agar tahun depan menjadi semakin baik. Menanti kelulusan UN di tengah pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT), membuat kita terlupakan sejenak bahwa ada yang harus lebih terperhatikan, yaitu nasib anak bangsa. Merekalah yang akan melanjutkan nasib bangsa ini. Melalui pendidikanlah kita dapat membawa bangsa ini menuju kemakmuran dan kejayaan. Karena itu kenapa kita tak memulainya dengan sistem UN yang lebih baik? Wijaya Kusumah, Guru TIK SMP Labschool Jakarta Telp. 47860038 Fax. 4897283 hp. 08159155515 Blog : http://wijayalabs.blogspot.com

Old school Swatch Watches