jowo.yn.lt

" Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya)
kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran." (QS.AlBaqarah/2:221)

Artinya:
Jangan kamu mengawini perempuan karena kecantikannya, mungkin kecantikan
itu akan membinasakan, janganlah kamu mengawini mereka karena harta
kekayaannya mungkin harta kekayaan itu akan menyebabkan mereka durhaka dan
keras kepala. Tetapi kawinilah mereka karena agamanya (iman dan akhlaknya).
Budak perempuan yang hitam, tetapi beragama, lebih baik dari mereka yang
tersebut di atas. (HR Ibnu Majah dari Abdullah bin 'Amr)
2
Dan hadis lain Rasulullah saw. bersabda:

Artinya:
Perempuan itu dikawini karena 4 hal, yaitu: karena hartanya, karena
kebangsawanannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Pilihlah
perempuan yang beragama, engkau akan beruntung. (HR Bukhari dan Muslim dari
Abu Hurairah)

Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuanperempuan
yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih
mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa
mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada
(suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang
kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah
kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu
mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu
tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan
hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta
mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di
antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. 60/10)
Ayat ini menerangkan perintah Allah kepada Rasulullah SAW. dan orang-orang yang beriman
tentang sikap yang harus diambil, jika seorang wanita beriman datang menghadap atau minta
perlindungan yang berasal dari daerah kafir, Allah mengatakan : "Hai orang-orang yang beriman,
apabila datang kepadamu seorang wanita beriman yang berasal dari daerah kafir, sekalipun
mereka telah mengucapkan dua kalimat syahadat dan tidak tampak padanya tanda-tanda
keingkaran dan kemunafikan, maka periksalah dan ujilah keadaan mereka, apakah mereka benarbenar
telah beriman, atau melarikan diri dari suaminya atau mereka datang karena cinta kepada
Allah dan Rasul-Nya. Periksa benar-benar mereka itu"
3
Allah SWT memerintahkan yang demikian itu bukanlah karena Dia tidak mengetahui hal ikhwal
mereka. Allah SWT Maha Mengetahui hakikat iman mereka, bahkan mengetahui semua yang
tergores dalam hati mereka. Tetapi untuk kewaspadaan dan berjaga-jaga di kalangan kaum
muslimin yang sedang berperang menghadapi orang-orang kafir, maka usaha-usaha mengadakan
penelitian itu harus dilakukan, walaupun orang ini kerabat sendiri.
Jika dalam pemeriksaan itu terbukti mereka adalah orang-orang yang beriman, maka jangan
sekali-kali kamu mengembalikan mereka ke daerah kafir, sebab wanita-wanita yang beriman
tidak halal lagi bersuami orang kafir, sebaliknya orang-orang yang kafir itu tidak halal pula bagi
orang-orang yang beriman.
Dari ayat ini dapat ditetapkan Suatu hukum yang menyatakan, bahwa jika seorang istri telah
masuk Islam berarti sejak ia masuk Islam itu telah bercerai dengan suaminya yang masih kafir,
karena itu ia haram kembali kepada suaminya. Ayat ini juga menguatkan hukum yang
menyatakan bahwa haram hukumnya seorang wanita muslimat kawin dengan laki-laki kafir.
Kemudian Allah SWT menetapkan agar mas kawin yang telah diberikan dikembalikan kepada
suaminya.
Menurut Imam Syafi'i wajib istri mengembalikan mahar itu jika pihak suami memintanya, jika
pihak suami tidak memintanya, maka mahar itu tidak wajib dikembalikan. Sebagian ulama
berpendapat bahwa mahar yang wajib dikembalikan itu jika suaminya termasuk orang yang telah
melakukan perjanjian damai dengan kaum muslimin, sedang bagi suami yang tidak ter-masuk
dalam perjanjian damai dengan kaum muslimin tidak wajib dikembalikan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum pengembalian mahar itu bukan wajib tetapi sunah dan
jika diminta pula oleh suaminya.
Diriwayatkan pula bahwa Nabi Muhammad SAW. pada tahun terjadinya perdamaian Hudaibiyah
memerintahkan Ali bin Abi Talib untuk membuat konsep perjanjian itu, maka Ali pun
menulisnya "Dengan menyebut nama-Mu, wahai Tuhan Kami, ini adalah perdamajan antara
Muhammad bin Abdullah dengan Suhail bin Amr. Mereka telah menyatakan perdamaian dengan
menghentikan peperangan selama 10 tahun, saling berusaha menjaga keamanan dan menahan
serta menjaga terjadinya perselisihan. Barang siapa di antara orang-orang Quraisy yang datang
kepada Muhammad tanpa izin walinya, hendaklah orang itu dikembalikan sedangkan kaum
muslimin yang datang kepada orang Quraisy tidak dikembalikan, dan seterusnya". Demikianlah
Rasulullah SAW. mengembalikan Abu Jandal bin Suhail kepada orang-orang Quraisy dan tidak
satupun yang ditahan beliau, walaupun ia seorang mukmin. Maka datanglah kepada Rasulullah,
seorang wanita mukmin dari daerah kafir yang bernama Ummu Kulsum binti Uqbah bin Abi
Muit, lalu datang pula kepada Rasulullah dua orang saudara dari perempuan itu yang bernama
`Ammar dan Walid yang meminta agar wanita itu dikembalikan. Maka turunlah ayat ini yang
melarang Rasulullah mengembalikannya. Kemudian wanita itu dikawini oleh Zaid bin Harisah.
Dari tindakan Rasulullah ini nyatalah bahwa yang wajib dikembalikan menurut perjanjian itu
hanyalah laki-laki saja, sedangkan wanita tidak dikembalikan.
Menurut riwayat Bukhari dan Muslim dan Miswan dan Marwan bin Hakam diterangkan bahwa
setelah Rasulullah menandatangani perjanjian Hudaibiyah dengan orang-orang kafir Quraisy,
banyaklah wanita-wanita mukminat berdatangan dari Mekah ke Madinah. Maka turunlah ayat ini
yang memerintahkan agar Rasulullah menguji mereka lebih dahulu dan melarang beliau
mengembalikan wanita-wanita yang benar-benar mukminat ke Mekah
Dalam pada itu kepada kaum muslimin dibolehkan mengawini wanita-wanita mukminat yang
berhijrah itu dengan membayar mas kawin. Hal ini berarti bahwa wanita itu tidak boleh dijadikan
budak, karena mereka bukan berasal dari tawanan perang. Allah SWT menganjurkan kaum
muslimin mengawini mereka itu agar diri mereka terpelihara. Jika mereka tidak dikawini, mereka
akan sendirian karena mereka telah bercerai dengan suami mereka itu dengan masuk Islam-Nya
mereka itu.
Allah menerangkan sebab larangan melanjutkan perkawinan istri mukminat dengan suami yang
kafir itu, karena tidak akan ada hubungan perkawinan antara orang-orang yang sudah beriman
4
dengan suami-suami mereka yang masih kafir dan berada di daerah kafir. Akad perkawinan
mereka tidak berlaku lagi sejak istri masuk Islam.
Sebaliknya jika yang pergi ke daerah kafir itu adalah istri-istri yang beriman kemudian ia menjadi
kafir, biarkanlah mereka pergi dan mintalah mas kawin yang pernah kamu berikan dahulu kepada
laki-laki yang mengawininya, sebagaimana yang kamu berikan kepada orang-orang kafir.
Semua yang disebutkan itu adalah hukum-hukum Allah yang wajib ditaati oleh setiap orang yang
menghambakan diri kepada-Nya, karena dalam menetapkan hukum-Nya itu Allah SWT Maha
Mengetahui kesanggupan hamba yang akan memikul hukum itu dan mengetahui sesuatu yang
paling baik dilakukan oleh hamba-hamba-Nya. Dan dalam menetapkan hukum itu Dia
mengetahui guna, faedah dan akibat menetapkan hukum serta keserasian hukum itu bagi yang
memikulnya.

" dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhatihatilah
kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling
(dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya
Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan
sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah
orang-orang yang fasik." (QS.5/49)
Dalam Kitab Shoheh Bukhari Larangan / haramnya wanita Muslimah nikah dengan wanita non
Muslim murapakan bab tersendiri , seperti Text hadis shoheh Bukhari dibawah ini:

Bab: Apabila wanita musyrikah atau nasrani masuk Islam dibawah (suami) kafir
dzimmi atau kafir harbi (musuh).
Abdul warist berkata, dari Khalid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas: “ Apabila wanita
nasrani masuk Islam satu saat sebelum suaminya, maka dia haram atas suaminya”
5
Hadis diatas menerangkan kepada kita bahwa apabila wanita nasrani masuk Islam dan
suami masih belum Islam (masih nasrani) maka wanita tersebut haram atas sauaminya.
Dalam kitab Fathul Baari (syarah kitab shoheh Bukhari) oleh Alhafid Imam Ibnu Hajar
Al Astkalani diaantaranya dia mengemukakan firman Allah Ta’ala:

Allah Ta’ala berfirman Mereka (wanita wanita muslimah) tiada halal bagi orangorang
kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka (wanita
wanita muslimah)

Ath Thahawi mengeluarkan / mentakhrij dari jalan Ayyub, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas
mengenai wanita Yahudi atau Nasrani yang berada dibawah (suami) Yahudi atau
Nasrani lalu wanita itu masuk Islam, maka dia (Ibnu Abbas) berkata: “Dipisahkan
antara keduanya (suami isteri) oleh Islam, dan Islam itu tinggi dan tidak diungguli
diatasnya” Sanadnya shoheh.
Inilah pejelasan Dalam kitab Fathul Baari (syarah kitab shoheh Bukhari) oleh Alhafid
Imam Ibnu Hajar.
Imam Syaukani dalam kitabnya “Nailul Authar” menukil dari Ibnul Qayyim di dalam
kitabnya “Zadul Ma’ad fi Hadyir Rasul” yang kesimpulannya, bahwa dalam hadis-hadis
yang membicarakan masalah ini tidak ditemukan adanyapembicaraan masalah iddah
sedikitpun, sedang Nabi sendiri tidak menanyakan kepada pihak perempuan, apakah
iddahnya telah habis apa belum, dan kalau seandainya masuk Islam itu semata-mata telah
menjadi penyebab terputusnya pernikahan , tentu talaknya adalah talak “ba’in bukan talak
“raj’i, sehingga suami tidak berhak merujuk kembalinya isterinya apabila ia masuk Islam
kemudian. Dan keputusan hokum Nabi SAW itu menunjukkan, bahwa (apabila isteri
masuk Islam lebih dahulu), maka pernikahannya dimaukufkan (diberhentikan).
Kemudian jika suami mengikuti jejak isteri masuk Islam sebelum masa iddahnya, maka
ia tetaplah sebagai isterinya dan jika iddahnya telah habis, maka si isteri diberi hak
memilih untuk kawin dengan lelaki lain yang ia sukai, tetapi jika isteri memang masih
mencintai suaminya (yang masih kafir itu), maka dia boleh menunggu sampai suaminya
juga masuk Islam, maka dia tetap sebagai isterinya tanpa memerlukan pernikahan baru.
Imam al hafid Ibnu Hajar berkata: Aku tidak mengetahui seorangpun yang setelah masuk
Islam lalu memperbaharui pernikahannya, tetapi yang terjadi ialah salah satu diantara dua
kemungkinan, yaitu ada kalanya perceraian antara keduanya dan adakalanya tetap
sebagai suami isteri dengan pernikahan yang pertama, apabila suami masuk Islam
kemudian.
6
Syaihul Islam Ibnu Taimiyah berkata didalam kitabnya “Ikhtiyarat”: Dan apabila seorang
isteri masuk Islam sedang suaminya masih kafir kemudian mengikuti jejak isterinya
(masuk Islam juga), sebelum atau sesudah dicampuri, maka pernikhan itu tetap, selagi
isteri belum kawin dengan laki-laki lain dan persoalan perempuan itu diserahkan atas
dirinya sendiri dan tidak ada ketentuan hokum bagi suami terhadap pihak isteri dan
sebaliknya, karena Allah dan Rasul-Nya tidak memerinci ketentuan hokum masalah ini,
tetapi demi kemaslahatan (mereka berdua), demikian juga apabila suami masuk Islam
lebih dahulu, sedang suami tidak ada hak untuk mempertahankannya, maka apabila isteri
mengikuti jejak suaminya dan masuk Islam, sebelum atau sesudah dicampuri, maka ia
adalah tetap isterinya jika suami menghendakinya, begitu pula kalau keduanya murtad
atau salah seorang diantara mereka masuk Islam.
Dalam kitab Al Majmu’ Syarah Muhaddab oleh Imam Nawawi dalam bab Yang
diharamkan dan yang tidak diharamkan dari nikah

“Barang siapa yang murtad dari agamanya tidak sah nikahnya” Imam Nawawi
menjelaskan dalam syarahnya barang siapa pindah agamanya dari agama yang
benar / haq ke agama yang bathil, seperti pindah dari Islam ke selain Islam. Maka
tidak diterima selain Islam.
Dalam kitab Al Majmu’ Syarah Muhaddab, Imam Nawawi mencantumkan hadis riwayat
Baihaqi (7/172) dan Abbdurarazzaq (12677)” dari Jabir “ ketika ditanta pernikahan
Muslim, Yahudi dan Nasrani “Halal bagi kami wanita-wanita mereka, dan tidak halal
bagi mereka wanita-wanita kami” (Almajmu’ 17/399). Adapun Ibnu Umar telah sungguh
memakruhkan menikahi wanita ahli kitab dan tidak mengharamkan. (Almajmu’ 17/399).

Semoga bermanfaat.
Bukit Permai
15 Jumadil tsani 1426 / 21 Juli2005
?????? ??? ???? ? ?????
Achmad Muzammil


XtGem Forum catalog