24. ISTRI KEDUA
06/14/2002
Abdullah bin Syekh Hasan al Jibrati menikah dengan Fatimah binti Ramadhan Jalabi. Fatimah
ini figur isteri yang baik dan berbakti. Di antara kebaikannya, ia biasa membelikan suaminya
pakaian yang bagus-bagus dengan uangnya sendiri, demikian pula untuk membelikan pakaian
serta perhiasannya sendiri.
Ia tidak pernah meminta uang kepada suami, atau menggunakan uang belanja keluarga. Begitu
baiknya, sampai-sampai ia diam saja dan tidak merasa cemburu melihat suaminya suka
membeli budak perempuan. Kesetiaannya tidak menjadi luntur; sama sekali tidak
terpengaruh. Atas semua itu ia berharap beroleh balasan pahala yang berlipat ganda dari
Allah.
Pada tahun 1156 Hijriyah, Abdullah pergi haji. Di Mekah ia berkenalan dengan orang bemama
Umar al Halbi. Ia dipesan untuk membeli seorang budak perempuan berkulit putih, masih
perawan, dan bertubuh langsing. Pulang dari ibadah haji, ia mencari budak perempuan dengan
ciri-ciri tersebut, dan cukup lama ia baru mendapatkannya.
Abdullah memperkenalkan budak perempuan yang baru dibelinya itu kepada isterinya. Tetapi
sang istri sama sekali tidak tersinggung. Ia bahkan menganggapnya sebagai puterinya sendiri.
Lama-kelamaan keduanya saling mencintai, dan tidak mau berpisah selamanya.
"Jadi bagaimana ini?" tanya Abdullah kepada isterinya.
"Begini saja,"jawab sang isteri, "Aku ganti uangnya, lalu kamu belikan budak yang lain."
"Baiklah," kata Abdullah setuju.
Oleh Fatimah, budak perempuan yang baru dibelinya itu dimerdekakan, dan dinikahkan
dengan suaminya. Bahkan, ia menyediakan kamar tersendiri untuk madunya tersebut.
Pada tahun 1165 Abdullah memboyong isteri keduanya ini ke rumah sendiri. Tetapi, istri
pertama tetap merasa berat untuk berpisah barang sesaat pun, meski ia telah memiliki
beberapa orang anak.
Pada tahun 1182 isteri kedua jatuh sakit, lalu disusul oleh isteri pertama. Kian lama sakit
keduanya kian parah. Tengah hari, isteri kedua memaksakan diri bangun dari pembaringan. Ia
menangis melihat isteri pertama dalam keadaan pingsan. Ia berdoa, "Tuhan, jika Engkau
takdirkan ia meninggal, jangan ia mendahuluiku."
Benar... Malamnya, isteri kedua itu meninggal dunia. Ia disemayamkan di samping isteri
pertama. Saat menjelang subuh, ia siuman. Sambil meraba-raba ia membangunkan madunya.
Namun, ia menjadi lunglai ketika diberitahu bahwa madunya sudah meninggal. Ia menangis
melolong-lolong hingga tengah hari. Setelah ikut menyaksikan madunya dimandikan, ia pun
kembali ke pembaringannya. Petang hari ia meninggal dunia, dan jenazahnya dimakamkan pada
hari berikutnya.
Sumber: 'Aja'ib al Atsar, al Jibrati
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia