Wajah, Begitu Pentingkah?
Dia simpatik, menyenangkan, pengertian, enak diajak bicara, dan yang paling penting:
mencintai saya. Tapi itu justru yang jadi masalah, saya sukar untuk mendefinisikan
apakah saya juga mencintainya, atau sekadar suka. Bukan apa-apa, segala kelebihan
dia di atas, tidak didukung wajahnya. Parasnya terlalu biasa. Dan inilah yang
membedakan dia dari teman pria saya yang lain, yang tampan, dan memang hanya
itulah kelebihannya. Tapi bagi mata saya, itu menyenangkan. Dan celakanya, saya
juga tidak tahu, apakah saya sekadar menyukainya, atau sudah jatuh cinta. Saya
bingung...
xxx@yahoo.com
KALIMAT di atas adalah petikan e-mail dari seorang wanita matang, karyawan
sebuah bank di Jakarta. Masalahnya jelas, dia terletak antara dua kutub: memilih yang
pengertian tetapi berparas orang biasa, atau meraih yang rupawan, tapi cuekan.
Masalah yang klise memang, meski masih kerap terjadi. Seberapa pentingkah,
sebenarnya, wajah seorang pria bagi kita?
Banyak yang sampai kini meyakini wajah merupakan cerminan batin. Keyakinan
yang memang agak sulit dipungkiri, meski dalam beberapa hal, juga harus kita akui,
batin terlalu luas untuk dicerminkan hanya dalam satu eksemplar wajah. Tapi, mata
memang sudah dari "kodrat" penciptaannya suka pada hal-hal yang indah. Karena itu
juga, tak mengherankan jiwa wajah yang indah acap menjadi harapan dari seorang
wanita saat mencari pasangan. Tapi seberapa penting, ini yang akan kita bahas.
Dalam relasi yang terbatas, atau katakanlah awal hubungan, wajah memang acap
membentuk kelahiran rasa simpatik. Melihat wajah seseorang yang bersih, mungkin
tampan, kita merasa senang, dan betah beralama-lama untuk berbincang, tentu
sekalian melebarkan khayal. Tapi, jika hubungan itu semakin dalam, intens dan berisi
harapan-harapan, bukankah wajah menjadi faktor yang kesekian? Kita mulai
mengukur kepribadiannya, pola pikirnya, keluarganya, dan pendiriannya, sekaligus
kadar romatisnya. Untuk sementara, faktor wajah menguap. Diri dan kedirian seorang
lelaki yang memberi rasa damai, aman dan berharga, yang lebih kita butuhkan,
ketimbang selembar wajah, apalagi jika ketampanan itu tak meyiratkan rengkuhan
keteduhan dan perlindungan, juga pribadi yang kokoh.
Nah, melihat surat di atas, pertanyaan pertama adalah, apakah Anda merasa lebih
butuh wajahnya si B untuk dibanggakan (sampai kapan? apalagi tak menyimpan
pribadi yang menyihir daya takjub Anda), atau kepribadian si A, kediriannya yang
utuh, yang meneduhkan (yang bisa selamanya dibanggakan)? Ini masalah yang tidak
sulit sebenarnya jika tolok ukur kita adalah hubungan yang didasari oleh perasaan
butuh akan kedamaian, ketenangan, penghargaan, dan tentu, kecerdasan. Jika tolok
ukur hubungan Anda adalah beberapa faktor di atas, lupakanlah ketakjuban pada
wajah, dan raihlah pribadi yang tak menyembunyikan pesona batiniahnya dalam
seraut wajah. Apalagi kita tahu, semua yang terhampar dalam wajah akan sirna,
paling tidak 15 tahun kelak, tapi kepribadian, setidaknya bertahan lebih dari itu.
Selamat memilih. (CN02)